Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan, Kenapa Maksiat Marak?

Salah satu hadis populer di bulan suci Ramadhan yang mungkin akrab kita dengarkan adalah hadis perihal “setan dibelenggu di bulan Ramadhan”. Hadis ini seringkali disampaikan penceramah atau khatib di berbagai kesempatan, seperti saat menjelang berbuka puasa dan setelah shalat tarawih

Namun banyak kalangan umat muslim yang bertanya tanya perihal hadis ini. Salah satu Pertanyaannya adalah mengapa di bulan Ramadhan masih banyak manusia yang melakukan maksiat? Katanya setan dipenjara? Lantas apa maksud hadis tersebut? 

Hadis perihal dipenjaranya setan saat bulan Ramadhan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim hadis ke 2173 berikut;

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال “إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة، وغلقت أبواب النار، وصفدت الشياطين

Artinya, “Dari Abi Hurairah Ra sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:”Jika bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”

Mengenai ihwal kesahihan hadis diatas tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab hadis diatas tertulis dalam kitab Sahih Muslim yang menjadi kitab hadits paling otoritatif di tengah kaum Muslimin.

Menjawab pertanyaan mengapa di bulan Ramadhan masih banyak manusia yang melakukan maksiat padahal setan telah dipenjara? Hal tersebut telah dijelaskan dalam kitab Fathul Mun’im Syarah Sahih Muslim juz 4 halaman 488 berikut:

قال القرطبي: فإن قيل: كيف ونحن نرى الشرور والمعاصي واقعة في رمضان كثيراً؟ فلو صفدت الشياطين لم يقع ذلك؟ فالجواب أنها إنما تقل عن الصائمين للصوم الذي حوفظ على شروطه، وروعيت آدابه، أو المصفد بعض الشياطين، وهم المردة، لا كلهم كما جاء في بعض الروايات، أو المقصود تقليل الشرور فيه، وهذا أمر محسوس، فإن وقوع ذلك فيه أقل من غيره، إذ لا يلزم من تصفيدهم جميعهم أن لا يقع شر ولا معصية، لأن لذلك أسباباً غير الشياطين، كالنفوس الخبيثة والعادات القبيحة والشياطين الإنسية

Artinya:” Al-Qurthubi berkata:”Jika ditanya:”Mengapa kita sering melihat keburukan dan pelanggaran di bulan Ramadhan? Padahal iblis dirantai, seharusnya hal ini tidak terjadi? Kejelekan tersebut menjadi jarang terjadi pada orang yang berpuasa dengan menjalankan semua syarat-syaratnya dan menjaga adab-adabnya.

Atau yang diborgol hanyalah sebagian setan tidak semuanya seperti keterangan di sebagian riwayat terdahulu. Atau yang dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan Ramadhan, ini adalah hal nyata karena kejelekan di bulan ramadhan kenyataannya memang lebih sedikit dibanding bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua setan diborgol di bulan Ramadhan sekalipun, tidak akan terjadi kejelekan dan kemaksiatan karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek atau setan dari setan sebangsa manusia”

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menjawab pertanyaan mengapa masih ada tindakan maksiat di bulan Ramadhan padahal setan telah dipenjara? setidaknya ada 3 jawaban:

  1. Seorang muslim yang masih bermaksiat pada bulan Ramadhan berarti ia belum menjalankan semua syarat-syarat puasa dan menjaga adab-adanya.
  2. Tidak semua setan yang dipenjara melainkan hanya sebagian, oleh karenanya masih memungkinkan adanya kemaksiatan.
  3. Dibelenggunya setan bukan jaminan tidak terjadi keburukan atau kemaksiatan. Karena ada faktor lain yang menyebabkan manusia melakukan maksiat. Yakni nafsu yang buruk, kebiasaan yang hinia dan setan yang berwujud manusia.

Demikian penjelasan perihal jika saat setan dibelenggu di Bulan Ramadhan, mengapa maksiat masih merajalela? Semoga bermanfaat Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Rapper Lil Jon Memutuskan Jadi Mualaf di Awal Ramadhan

Rapper yang juga merupakan produser rekaman musik, Lil Jon, memutuskan untuk masuk Islam dan menjadi mualaf di depan jamaah sholat Jumat di Masjid King Fahad, Los Angeles, Amerika Serikat.

Kabar masuk Islamnya rapper bernama asli Jonathan H. Smith ini terungkap dalam sebuah video yang diunggah akun Youtube resmi Masjid King Fahad pada Jumat (15/03/2024) waktu setempat.

Dalam video tersebut terlihat Lil Jon mengenakan sebuah peci berwarna merah berdiri di depan jamaah sholat Jumat bersama seorang imam dan takmir.

“Alhamdulillah, hari ini kita kedatangan saudara Jon yang siap untuk menjadi seorang muslim dan bergabung dengan umat kita, semoga Allah SWT memberkatinya dan semoga Allah SWT menjaganya tetap istiqomah,” ujar sang imam tersebut di depan para jamaah.

Setelah itu, imam tersebut menjelaskan bahwa untuk menjadi muslim Lil Jon harus mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai bentuk pengakuan terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Dituntun oleh sang imam, Lil Jon kemudian bersyahadat. Yang pertama dengan bahasa Arab dan yang kedua dengan bahasa Inggris.

Jonathan H. Smith (lahir 17 Januari 1972), yang lebih dikenal dengan nama panggung Lil Jon, adalah seorang DJ, produser rekaman, dan rapper asal Amerika Serikat. Dia berperan penting dalam terobosan komersial subgenre hip hop crunk di awal tahun 2000-an, dan sering dikreditkan sebagai nenek moyang dari genre tersebut.

Dia adalah pentolan grup crunk Lil Jon & the East Side Boyz, yang telah merilis lima album. Selain itu, Lil Jon menjabat sebagai produser rekaman untuk sebagian besar rekaman oleh artis yang mempopulerkan genre ini; ini termasuk rapper yang berbasis di Miami, Pitbull, rapper yang berbasis di Bay Area, Too Short dan E-40, dan sesama artis yang berbasis di Atlanta, Ludacris, Ciara, dan Usher.

Pada tahun 2013, Lil Jon berkolaborasi dengan DJ Snake merilis sebuah single berjudul “Turn Down For What” yang disertifikasi octuple platinum oleh Recording Industry Association of America (RIAA).[9] Lagu ini kemudian memenangkan Penghargaan Musik Billboard untuk Lagu Dance/Elektronik Terbaik.

Video musik yang menyertainya dinominasikan untuk Penghargaan Grammy untuk Video Musik Terbaik, dan melewati tonggak sejarah 1 miliar penayangan di YouTube tujuh tahun setelah dirilis. Terdaftar sebagai salah satu Pemenang Penghargaan Musik Billboard Teratas Sepanjang Masa pada tahun 2016, Lil Jon telah mengumpulkan delapan singel nomor satunya di tangga lagu Rhythmic Billboard.*

HIDAYATULLAH

Darah Haid Tuntas Tapi Belum Mandi Besar, Bolehkah Berpuasa?

Perempuan haid dilarang berpuasa. Tapi, larangan ini tidak bermakna diskriminasi Islam terhadap perempuan. Puasa ramadhan memiliki keutamaan dan pahala berlimpah. Suatu kerugian apabila menyia-nyiakan bulan mulia ini. Namun demikian, ada beberapa kelompok yang diberikan keringanan, bahkan tidak boleh berpuasa di bulan ramadhan. Seperti musafir, pekerja berat dan lain-lain dengan beberapa syarat tertentu.

Termasuk perempuan yang sedang haid, mereka dilarang berpuasa. Apakah dengan demikian mereka kehilangan kesempatan meraih pahala dan keutamaan ramadhan? Tidak. Sebab larang berpuasa bagi perempuan haid merupakan perintah juga, perintah untuk tidak berpuasa. Maka, sekalipun tidak berpuasa tetap memperoleh keutamaan di bulan ramadhan.

Lalu, seandainya darah haid tuntas di malam hari dan sebelum mandi wajib perempuan niat berpuasa, mandi wajibnya setelah subuh atau di pagi hari, sah atau tidak puasanya?

Dalam kitab Hasyiyata Qalyubiy wa Umairah, dijelaskan, diharamkan melakukan aktifitas ibadah yang diharamkan saat haid, sekalipun darah haidnya telah tuntas sebelum mandi wajib terlebih dahulu, kecuali puasa dan talak.

Boleh berpuasa sekalipun belum mandi wajib sebab larangan berpuasa telah hilang bersamaan dengan berhentinya darah haid. Dengan kata lain, illat atau alasan keharaman berpuasa hilang bersama mampetnya darah haid.

Dengan demikian, perempuan yang telah tuntas haidnya boleh berpuasa di bulan ramadhan sekalipun belum mandi wajib. Namun demikian, tetap dianjurkan mandi terlebih dahulu sebelum terbit fajar mengingat puasa adalah ibadah mulia yang dalam pelaksanaannya sebisa mungkin seseorang bersih dari hadats besar seperti haid.

ISLAMKAFFAH

Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan, Kenapa Maksiat Marak?

Salah satu hadis populer di bulan suci Ramadhan yang mungkin akrab kita dengarkan adalah hadis perihal “setan dibelenggu di bulan Ramadhan”. Hadis ini seringkali disampaikan penceramah atau khatib di berbagai kesempatan, seperti saat menjelang berbuka puasa dan setelah shalat tarawih

Namun banyak kalangan umat muslim yang bertanya tanya perihal hadis ini. Salah satu Pertanyaannya adalah mengapa di bulan Ramadhan masih banyak manusia yang melakukan maksiat? Katanya setan dipenjara? Lantas apa maksud hadis tersebut? 

Hadis perihal dipenjaranya setan saat bulan Ramadhan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim hadis ke 2173 berikut;

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال “إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة، وغلقت أبواب النار،

وصفدت الشياطين

Artinya, “Dari Abi Hurairah Ra sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:”Jika bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”

Mengenai ihwal kesahihan hadis diatas tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab hadis diatas tertulis dalam kitab Sahih Muslim yang menjadi kitab hadits paling otoritatif di tengah kaum Muslimin.

Menjawab pertanyaan mengapa di bulan Ramadhan masih banyak manusia yang melakukan maksiat padahal setan telah dipenjara? Hal tersebut telah dijelaskan dalam kitab Fathul Mun’im Syarah Sahih Muslim juz 4 halaman 488 berikut:

قال القرطبي: فإن قيل: كيف ونحن نرى الشرور والمعاصي واقعة في رمضان كثيراً؟ فلو صفدت الشياطين لم يقع ذلك؟ فالجواب أنها إنما تقل عن الصائمين للصوم الذي حوفظ على شروطه، وروعيت آدابه، أو المصفد بعض الشياطين، وهم المردة، لا كلهم كما جاء في بعض الروايات، أو المقصود تقليل الشرور فيه، وهذا أمر محسوس، فإن وقوع ذلك فيه أقل من غيره، إذ لا يلزم من تصفيدهم جميعهم أن لا يقع شر ولا معصية، لأن لذلك أسباباً غير الشياطين، كالنفوس الخبيثة والعادات القبيحة والشياطين الإنسية

Artinya:” Al-Qurthubi berkata:”Jika ditanya:”Mengapa kita sering melihat keburukan dan pelanggaran di bulan Ramadhan? Padahal iblis dirantai, seharusnya hal ini tidak terjadi? Kejelekan tersebut menjadi jarang terjadi pada orang yang berpuasa dengan menjalankan semua syarat-syaratnya dan menjaga adab-adabnya.

Atau yang diborgol hanyalah sebagian setan tidak semuanya seperti keterangan di sebagian riwayat terdahulu. Atau yang dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan Ramadhan, ini adalah hal nyata karena kejelekan di bulan ramadhan kenyataannya memang lebih sedikit dibanding bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua setan diborgol di bulan Ramadhan sekalipun, tidak akan terjadi kejelekan dan kemaksiatan karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek atau setan dari setan sebangsa manusia”

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menjawab pertanyaan mengapa masih ada tindakan maksiat di bulan Ramadhan padahal setan telah dipenjara? setidaknya ada 3 jawaban:

  1. Seorang muslim yang masih bermaksiat pada bulan Ramadhan berarti ia belum menjalankan semua syarat-syarat puasa dan menjaga adab-adanya.
  2. Tidak semua setan yang dipenjara melainkan hanya sebagian, oleh karenanya masih memungkinkan adanya kemaksiatan.
  3. Dibelenggunya setan bukan jaminan tidak terjadi keburukan atau kemaksiatan. Karena ada faktor lain yang menyebabkan manusia melakukan maksiat. Yakni nafsu yang buruk, kebiasaan yang hinia dan setan yang berwujud manusia.

Demikian penjelasan perihal jika saat setan dibelenggu di Bulan Ramadhan, mengapa maksiat masih merajalela? Semoga bermanfaat Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Cara Memperoleh Ridha Allah di Bulan Ramadhan

Memperoleh ridha Allah adalah tujuan utama bagi banyak umat Islam, terutama di bulan Ramadhan yang dianggap sebagai bulan penuh berkah dan ampunan. Berikut adalah beberapa cara yang dapat membantu seseorang memperoleh ridha Allah di bulan Ramadhan.

Ramadhan adalah bulan istimewa dimana pahala dilipatgandakan, sehingga umat muslim berlomba-lomba beribadah dan melakukan kebaikan di Ramadhan. Tentunya, sebagai muslim yang paling diharapkan adalah diterimanya amal perbuatannya. Namun, alangkah lebih baik lagi jika mendapatkan pula ridha Allah Swt. Bagaimana cara untuk mendapat ridha Allah di Ramadhan? Dan apa yang sebaiknya dilakukan di bulan ini?

Sebenarnya, puasa adalah upaya meneladani sifat-sifat Allah Swt. Kebutuhan manusia atau kebutuhan fa’ali manusia adalah makan, minum dan hubungan suami istri. Dia masih punya kebutuhan-kebutuhan yang lain, tetapi kebutuhan akan makan dan minum itu bisa ditangguhkan sementara oleh manusia dalam beberapa waktu.

Berbeda halnya dengan kemampuan bernafas. Kita tidak mungkin bisa tahan tidak menghirup oksigen. Kebutuhan fa’ali manusia yang bisa ditangguhkan dalam waktu tertentu adalah makan dan minum. Demikian juga dia dapat mengendalikan kebutuhan seksualnya. Allah Swt. tidak makan, minum dan tidak memiliki pasangan.

Inilah yang pertama diteladani oleh manusia dari sifat Allah Swt. sesuai dengan kemampuan manusia. Allah Swt. mengukur bahwa rata-rata manusia bisa tidak makan, minum dan tentu lebih bisa lagi tidak melakukan hubungan seks. Makan dan minum ditaksir normalnya sebutlah 12 jam.

Maka dengan demikian, Allah Swt. menetapkan bahwa puasa tidak makan, minum dan seterusnya dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Sekalipun masih bisa lebih dari itu. Buktinya, kata Quraish Shihab, ada orang di Eropa yang mungkin puasanya sampai 14 dan 15 jam.

Meneladani sifat-sifat Allah Swt

Bukan hanya ini yang mestinya diteladani dari segi syariat (hukum), tetapi dari segi substansi yang dikehendaki oleh agama adalah meneladani sifat-sifat Allah Swt. Meneladani bagaimana Dia Maha Pemaaf, Maha Mengetahui, Menahan amarah, Maha Dermawan, tak terkecuali Maha Kaya. Kayanya Allah bukan dalam arti memiliki materi yang banyak, tetapi kayanya Allah itu Dia tidak membutuhkan sesuatu apapun.

Artinya, manusia mempunyai kebutuhan  dan Allah Swt. tidak butuh sesuatu apapun untuk wujud-Nya, serta tidak butuh sesuatu untuk kelanjutan wujud-Nya. Berbeda dengan manusia butuh Allah untuk mewujudkan kita, setelah diwujudkan kita masih memiliki kebutuhan untuk kelanjutan hidup.

Jadi, ghaniyy dalam bahasa agama bagi manusia adalah sedikit sekali kebutuhannya. Semakin sedikit kebutuhan Anda, maka semakin tidak butuh Anda. Semakin kaya Anda, maka semakin banyak harta Anda. Tetapi Anda masih merasa butuh. Itu sebabnya, kekayaan 360 derajat lingkaran. Lingkaran walaupun kecil itu 360 derajat, dan lingkaran walau besar tapi tidak melingkar itu tidak 360 derajat. Inilah sebenarnya yang mau kita teladani.

Sekarang banyak orang punya harta banyak tapi miskin. Tidak sedikit orang yang tidak punya harta tidak mau mengulurkan tangan. Dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 273 dinyatakan:

لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًاۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌࣖ ۝٢٧٣

Artinya: “(Apa pun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Tahu tentang itu. (QS. Al-Baqarah [2]: 273).

Nabi pernah bersabda sebelum masuknya bulan Ramadhan “Sebentar lagi akan datang mengunjungimu bulan Ramadhan, di sana ada satu malam yang lebih mulia dan lebih baik dari 1000 bulan, yaitu Lailatul Qadar. Dalam bulan ini hendaklah kalian melakukan empat hal. Dua dari yang empat itu kalau kamu lakukan Allah ridha dan senang pada kamu. Dan dua lagi jangan tidak kamu tidak meraihnya. Dua hal yang menjadikan Tuhan ridha kepada kamu adalah hendaklah kalian bersaksi bahwa tidak tidak ada Tuhan selain Allah dan memohon maghfirah-Nya. Dua lainnya yang jangan tidak kamu tidak meraihnya pada bulan ini adalah mohon agar kalian memperoleh surga dan terhindar dari neraka.”

Tak heran, jika orang-orang tua dahulu kala setelah menjelang buka puasa ia akan membaca:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْأَلُكَ الجَنَّةَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ

Artinya: “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan aku memohon ampunan pada Allah, aku meminta surga dan meminta perlindungan dari neraka.”

Boleh jadi kita membacanya, akan tetapi ada banyak orang yang tidak tahu maksudnya. Jadi kita hanya membaca. Padahal, sebenarnya tidak semuda itu Allah Swt. ridha dan tidak semuda itu dapat surga hanya dengan doa “Ya Allah kasih saya surga”.

Jadi ada makna yang sangat dalam sekali. Ketika Rasulullah Saw. berucap dan bersyahadat. Nabi Saw. pernah bersabda:

 وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ 

Artinya: “Dan Rasulullah Saw. bersabda: “Perbaharuilah iman kalian”, maka ditanyakan kepada beliau; Bagaimana kami memperbaharui iman kami wahai Rasulullah? Nabi bersabda: “Perbanyaklah mengucapkan, La Ilaha illallah” (HR. Ahmad).

Ilaha adalah yang menguasai alam raya ini dan yang mengaturnya, menguasai hidup dan matinya manusia. Artinya, tidak ada yang menguasai dan mengatur alam raya ini kecuali Allah Swt. Kata Quraish Shihab, inilah yang harus ditanamkan di hati kita selama bulan Ramadhan penuh bahwa, penguasa mutlak adalah Allah Swt.

Dalam hal ini bukan hanya sekedar tidak ada yang disembah selain Allah Swt. Hingga pada akhirnya dia akan mengalir di darah dan pikiran kita dan sampai pada puncaknya sebagaimana yang di alami oleh Rasulullah Saw.

Suatu waktu Nabi sedang bersandar di bawah pohon dan pedangnya juga berada di situ. Rupanya beliau terlena dan pedangnya ada yang mengambil. Tiba-tiba saja yang mengambil bilang “Siapa yang bisa menyelamatkan kamu dari pedang ini?” Nabi menjawab “Allah Swt.” Akhirnya orang itu seketika gemetar dan pedangnya terjatuh. Nabi berkata “Sekarang siapa yang bisa?” Dia pun malu lalu meninggalkan Nabi.

Jelasnya, tidak ada sesuatu yang terjadi kecuali Allah Swt. menghendakinya. Karena itu, Nabi berpesan “Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah Swt., dan ketika memohon perlindungan maka mohonlah kepada Allah Swt.” Sekali lagi, tanamkan hal ini selama bulan Ramadhan maka Allah Swt. akan ridha dan senang kepada kita. Jadi Allah Swt. puas.

Tentang Lailatul Qadar. Ia adalah tamu agung. Ia hanya akan datang berkunjung kepada orang yang ia anggap sudah siap menyambutnya. Kalau tidak siap maka ia tidak akan pernah datang. Dan tentu saja dalam menyambutnya bukan hanya satu malam apalagi satu jam. Tidak. Setidaknya, persiapan itu paling tidak sejak awal Ramadhan. Misalnya dengan cara memperbanyak baca syahadat, istighfar dan tentunya juga memperbanyak amal-amal shaleh dalam segala hal.

Kenapa harus memperbanyak baca syahadat? Sebab, kepercayaan kita kepada Allah Swt. tidak sempurna. Seringkali dalam benak kita ada yang terlintas sesuatu yang mengurangi penghormatan kita kepada Allah Swt. Boleh jadi yang terlintas rasa-perasaan yang tidak sesuai dengan kebesaran Allah Swt.

Atau menggeruduk dan memprotes kenapa si A kaya dan saya tidak. Bahkan, menduga bahwa ada selain Tuhan yang berkuasa. Inilah yang mengurangi makna syahadat. Dan untuk membersihkannya maka harus memperbanyak baca syahadat. Demikian juga dengan istighfar. Di Ramadhan inilah tempat kita untuk membersihkannya.

Demikian penjelasan tentang cara memperoleh Ridha Allah di bulan Ramadhan. Semoga kita semua termasuk orang yang mendapatkan ampunan dan ridha Allah. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Warga Gaza Menyambut Ramadhan di Tengah Kelaparan Berat

Warga Gaza menyambut Ramadhan di tengah ujian kelaparan, mereka berbuka tanpa makanan. Di tengah ujian berat, foto-foto yang beredar menunjukkan mereka masih bisa tersenyum

SEBAGAIMANA kita umat Islam di seluruh dunia, warga Gaza Palestina juga menyambut bergembira datangnya bulan Ramadhan.

Hanya, saja, kondisi mereka menyambutnya jauh berbeda dangan kita.  Di antara puing-puing, di bawah reruntuhan, dan di tengah momok kelaparan, masyarakat Jalur Gaza yang terkepung menyambut bulan suci Ramadhan.

Di bawah pemboman dan tembakan artileri, mereka menata perabotan sederhana mereka menunggu suara adzan. Anak-anak berkumpul di sekitar piring sederhana berisi makanan yang dengan susah payah mereka kais-kais dari bantuan kemanusiaan.

Sudah lebih dari lima bulan lamanya, daging dan ayam menghilang dari sarapan pagi mereka yang saat ini terkepung, sebagian makan makanan kaleng karena tingginya harga dan kelangkaan persediaan makanan.

Sementara yang lain hanya makan saus tomat tanpa roti. Dan sebagaian lain mengelola rumput untuk kebutuhan puasa.

Kondisi Gaza yang semakin memprihatinkan akibat boikot akses bantuan kemanusian yang dilakukan penjajah ‘Israel’ bahkan memaksa para pengungsi mencari bahan pangan pengganti demi bisa bertahan hidup.

Setelah 14 jam berpuasa, inilah yang mereka santap di Gaza Utara untuk berbuka puasa.Beberapa lemon dan rumput matang. @SuppressedNws

Adalah Marwan al-Awadeya dan keluarganya asal Gaza Utara yang terpaksa memakan kaktus jenis pir berduri untuk mengusir rasa lapar, di tengah ancaman krisis pangan.

Tanaman yang tumbuh subur di wilayah Mediterania ini biasa dikonsumsi oleh hewan – hewan liar, namun demi bisa bertahan hidup selama invasi Marwan dan keluarganya harus memakan Kaktus mentah.

Tak hanya batang kaktus saja yang dikonsumsi, Marwan dan beberapa warga lainnya juga turut menghaluskan bagian daun kaktus yang berduri, dan rumput, agar bisa di konsumsi anak dan sanak keluarganya.

Saat ini Ramadhan ke-4, tapi tanda-tanda gencancatan senjata belum juga nampak. Penjajah bahkan tak peduli, menembak membabi-buta, menyasar warga sipil yang sedang menunggu bantuan.

Keluarga Gaza ini buka puasa dengan menu seadanya (Reuters)

Yang menarik, di tengah ujian berat ini, foto-foto yang beredar di media sosial,  warga Gaza tetap menyambut bulan Ramadhan dengan senyuman dan cara seadanya.

Sejak pecahnya perang di daerah pantai, yang dihuni oleh lebih dari 2,4 juta warga Palestina, penjajah ‘Israel’ telah memberlakukan pengepungan yang menyesakkan, mencegah masuknya ribuan truk bantuan yang terkumpul di perbatasan dengan Mesir, sebelum mengizinkan masuknya beberapa orang dari mereka dalam jumlah yang sangat langka sehingga tidak memuaskan rasa lapar ratusan ribu warga.

Foto Reuteres

Truk bantuan UNRWA juga menjadi sasaran lebih dari satu kali, sehingga mendorong UNRWA berhenti membawa bantuan, terutama ke arah utara, sekitar sebulan yang lalu. Sementara PBB memastikan seperempat penduduk Gaza selangkah lagi menuju kelaparan.*

HIDAYATULLAH

Kultum Ramadhan Singkat; Puasa Ramadan dan Ketakwaan Sosial

Puasa Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tapi juga merupakan kesempatan untuk meningkatkan ketakwaan sosial. Ketakwaan sosial berarti memiliki rasa empati, peduli, dan kasih sayang terhadap sesama manusia. Berikut “Kultum Ramadhan singkat; Puasa Ramadan dan Ketakwaan Sosial.

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ الْوَفَا أَمَّا بَعْدُ.

Jamaah Kultum Ramadhan Singkatyang Dirahmati Allah

Puasa dalam Islam ada yang hukumnya sunnah dan wajib. Untuk puasa sunnah, tidak semua umat Islam melaksanakanmya, terlebih puasa yang dikerjakan secara rutin seperti puasa Senin dan Kamis, Puasa Ayyamul Bidh, apalagi Puasa Nabi Daud AS.

Secara umum, hampir saja kita mengatakan bahwa orang yang biasa melaksanakan puasa sunnah adalah orang yang memiliki tingkat keimanan dan ketakwaan yang sangat baik. Logika sederhananya, jangankan ibadah wajib seperti shalat, ibadah sunnah yang cukup berat seperti puasa saja selalu dikerjakan.

Lain lagi jika kita bicara soal puasa Ramadan yang wajib hukumnya. Siapaun orangnya, selama dia adalah mukallaf yang tidak memiliki udzur, suka atau tidak, dipaksa atau tidak tetap wajib melaksanakannya. Artinya, puasa Ramadan wajib bagi pezina, pemabuk, penjudi, koruptor, perampok, penipu dan selururuh ahli maksiat lainnya dan juga wajib bagi para ulama dan orang awan sekalipun.

Karena kewajiban puasa Ramadan satu bulan penuh ini serentak dilakukan oleh seluruh mukalaf bila uzur, maka puasa Ramadan sangat berpotensi untuk menjadikan para sha’imin menjadi pribadi yang bertakwa, sebagaimana  tujuan dari puasa itu sendiri, la’allakum tattaqun. Harapan kita, setelah Ramadan berakhir, umat Islam seluruh dunia adalah umat yang bertakwa, khususnya di Indonesia, aamin.

Jamaah Kultum Ramadhan Singkatyang Dirahmati Allah

Dalam Al-Qur’an, surah Al-Baqarah ayat 183 dan 18, Allah berfirman mengenai kewajiban dan tujuan puasa Ramadan

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183).

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.” (Q.S. Al-Baqarah: 185).

Jadi, dari dua ayat ini kita tahu bahwa Ramadan itu akan membentuk seorang Muslim menjadi orang yang bertakwa sebenar-benarnya.

Jamaah Kultum Ramadhan Singkatyang Dirahmati Allah

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersbada:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun di atas lima (landasan); bersaksi bahwa  tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan”. (Muttafaq Alaih).

Jamaah Kultum Ramadhan Singkatyang Dirahmati Allah

Rasulullah saw. juga bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu HurairahRA  berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaq Alaih).

Jamaah Kultum Ramadhan Singkatyang Dirahmati Allah

Ketakwaan seorang yang berpuasa di antaranya dapat kita simak dalam dua hadis berikut. Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رِوَايَةً قَالَ إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنْ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ.

Dari Abu Hurairah RA -secaya riwayah (menukil dan menceritakan hadits dari Nabi) beliau SAW berkata; Apabila salah seorang dari kalian berpuasa di suatu hari, maka janganlah ia berkata-kata kotor dan berbuat kesia-siaan. Bila ia caci seseorang atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, “Sesungguhnya saya sedang berpusa.” (HR. Muslim).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ.

Dari Abu Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahalanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan selain begadang.” (HR. Ibn Majah)

Jamaah Kultum Ramadhan Singkatyang Dirahmati Allah

Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim mengatakan bahwa

وَاعْلَمْ أَنَّ نَهْيَ الصَّائِمِ عَنِ الرَّفَثِ وَالْجَهْلِ وَالْمُخَاصَمَةِ وَالْمُشَاتَمَةِ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِهِ، بَلْ كُلُّ اَحَدٍ مِثْلهِ فِي أَصْل ِالنَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ، لَكِنَّ الصَّائِمَ آكَدُ.

“Ketahuilah bahwa larangan berkata kotor, bertindak bodoh, permusuhan dan saling mencaci bukan hanya dikhususkan bagi orang yang sedamg berpuasa secara khusus. Semua larangan tersebut memang bersifat asal (kapan dan dimanapun). Terlebih hal itu dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa.”

Oleh sebab itu, orang yang berpuasa bukanlah hanya menahan lapar dan haus, tapi ia menjaga seluruh anggota tubuhnya dari perbutan kotor dan maksiat kepada Allah. Dengan begitu, puasa yang berkualitas menjadikan orang yang melakukannhya bertakwa kepada Allah.

Semoga kaum muslimin seluruh dunia, terutama di Indonesia mampu menjalankan seluruh ranglaian ibadah Ramadan dengan penuh kualitas, terutama puasa Ramadan. Dengan demikian, ketakwaan sosial Insya Allah terwujud. Amin.

BINCANG SYARIAH

Sekali Lagi, Bersikap Lembutlah kepada Sesama Ahlusunah

ومرة أخرى: رفقاً أهل السنة بأهل السنة

الحمد لله، ولا حول ولا قوة إلا بالله، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه

Segala puji hanya bagi Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau.

وبعد، فإن المشتغلين بالعلم الشرعي من أهل السنة والجماعة السائرين على ما كان عليه سلف الأمة هم أحوج في هذا العصر إلى التآلف والتناصح فيما بينهم، لاسيما وهم قلة قليلة بالنسبة للفرق والأحزاب المنحرفة عما كان عليه سلف الأمة، وقبل أكثر من عشر سنوات وفي أواخر زمن الشيخين الجليلين: شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز والشيخ محمد بن عثيمين رحمهما الله اتجهت فئة قليلة جداً من أهل السنة إلى الاشتغال بالتحذير من بعض الأحزاب المخالفة لما كان عليه سلف الأمة، وهو عمل محمود ومشكور، ولكن المؤسف أنه بعد وفاة الشيخين اتجه بعض هذه الفئة إلى النيل من بعض إخوانهم من أهل السنة الداعين إلى التمسك بما كان عليه سلف الأمة من داخل البلاد وخارجها، وكان من حقهم عليهم أن يقبلوا إحسانهم ويشدوا أزرهم عليه ويسددوهم فيما حصل منهم من خطأ إذا ثبت أنه خطأ، ثم لا يشغلون أنفسهم بعمارة مجالسهم بذكرهم والتحذير منهم، بل يشتغلون بالعلم اطلاعاً وتعليماً ودعوة، وهذا هو المنهج القويم للصلاح والإصلاح الذي كان عليه شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز إمام أهل السنة والجماعة في هذا العصر رحمه الله، والمشتغلون بالعلم من أهل السنة في هذا العصر قليلون وهم بحاجة إلى الازدياد لا إلى التناقص وإلى التآلف لا إلى التقاطع، ويقال فيهم مثل ما قال النحويون: ((المصغَّر لا يصغَّر))، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/51): ((وتعلمون أن من القواعد العظيمة التي هي جماع الدين تأليف القلوب واجتماع الكلمة وصلاح ذات البين؛ فإن الله تعالى يقول: {فَاتَّقُواْ اللَّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ}، ويقول: {وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ}، ويقول: {وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}، وأمثال ذلك من النصوص التي تأمر بالجماعة والائتلاف وتنهى عن الفرقة والاختلاف، وأهل هذا الأصل هم أهل الجماعة؛ كما أن الخارجين عنه هم أهل الفرقة)).

Amma ba’du:

Yang paling dibutuhkan oleh orang-orang yang berkutat dengan ilmu syar’i dari kalangan Ahlusunah wal jamaah – yang berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh para ulama salaf umat ini – pada zaman ini adalah persatuan dan saling menasihati. Terlebih lagi, mereka adalah minoritas jika dibandingkan dengan sekte-sekte dan golongan-golongan sesat yang berbelok dari pemahaman para salaf umat ini. 

Sebelum lebih dari 15 tahun yang lalu, pada akhir-akhir zaman dua syaikh yang mulia, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahumallah; beberapa orang dari kalangan Ahlusunah berusaha untuk memberi peringatan dari beberapa aliran yang menyelisihi jalan para salaf; dan ini adalah usaha yang terpuji dan patut dihargai. Namun, yang disayangkan adalah setelah wafatnya dua syaikh tersebut, ada beberapa orang yang mencela sebagian saudara mereka sendiri dari kalangan Ahlusunah yang menyeru agar berpegang kepada pemahaman para salaf, baik itu yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Padahal, seharusnya mereka wajib menerima kebaikan para dai tersebut, mendukung usaha mereka, dan meluruskan kesalahan mereka jika memang telah dipastikan itu salah. Kemudian mereka hendaknya tidak sibuk mengisi majelis mereka dengan menyebutkan keburukan para dai itu dan memperingatkan orang-orang dari mereka. Justru, seharusnya mereka menyibukkan diri dengan ilmu, baik itu dengan membaca, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Inilah metode yang benar dalam menghadirkan kebaikan dan perbaikan yang dulu dipakai oleh Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz – Imam Ahlusunah wal jamaah pada zaman ini – rahimahullah. 

Orang-orang yang berkutat dengan ilmu (penuntut ilmu dan ulama) dari kalangan Ahlusunah hanya sedikit pada zaman ini, sehingga mereka butuh peningkatan jumlah; dan bukan sebaliknya, saling merendahkan. Dan mereka butuh saling menguatkan, bukan saling memutus hubungan. Perumpamaan yang sesuai dengan mereka seperti yang diungkapkan ulama nahwu, “Lafaz dalam bentuk tashghir (kecil) tidak perlu dikecilkan lagi.” 

Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa, jilid 28 hlm. 51, “Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa di antara kaidah agung yang menjadi pokok agama adalah pengharmonisan hati, penyatuan kalimat, dan pendamaian dua pihak yang berselisih; karena Allah Ta’ala telah berfirman, 

فَاتَّقُواْ اللهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ

“… Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu …” (QS. Al-Anfal: 1)

Allah Ta’ala juga berfirman, 

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …” (QS. Ali Imran: 103)

Allah Ta’ala juga berfirman, 

وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran: 105)

Dan nash-nash lain semisalnya yang memerintahkan untuk berjamaah dan bersatu, dan melarang dari perpecahan dan perselisihan. Golongan yang menerapkan dasar ini adalah Ahlusunah; sedangkan orang-orang Khawarij adalah golongan yang menyukai perpecahan.”

وقد كتبت في هذا الموضوع رسالة بعنوان: ((رفقاً أهل السنة بأهل السنة)) طبعت في عام 1424هـ، ثم في عام 1426هـ، ثم طبعت ضمن مجموع كتبي ورسائلي (6/281ـ327) في عام 1428هـ، أوردت فيها كثيراً من نصوص الكتاب والسنة وأقوال العلماء المحققين من أهل السنة، وقد اشتملت الرسالة بعد التقديم على الموضوعات التالية: نعمة النطق والبيان، حفظ اللسان من الكلام إلا في خير، الظنُّ والتجسُّس، الرِّفق واللِّين، موقف أهل السنَّة من العالم إذا أخطأ أنَّه يُعذر فلا يُبدَّع ولا يُهجَر، فتنة التجريح والهجر من بعض أهل السنَّة في هذا العصر وطريق السلامة منها، بدعة امتحان الناس بالأشخاص، التحذير من فتنة التجريح والتبديع من بعض أهل السنة في هذا العصر.

Saya telah menulis risalah dalam tema ini dengan judul “Rifqan Ahl as-Sunnah bi-Ahl as-Sunnah” (Bersikap lembutlah kepada sesama Ahlusunah) yang dicetak pada tahun 1424 H, dan cetakan kedua pada tahun 1426 H, lalu dicetak dalam kumpulan buku dan tulisan saya lainnya (jilid 6 halaman 281-327) pada tahun 1428 H. Dalam risalah itu, saya menyebutkan banyak dalil dari al-Quran dan as-Sunnah, serta perkataan para ulama yang teliti dari kalangan Ahlusunah.

Setelah pendahuluan, risalah itu bersisi pembahasan-pembahasan sebagai berikut; (1) nikmat dapat berbicara dan menjelaskan,
(2) menjaga lisan dari berbicara kecuali bicara yang baik,
(3) prasangka dan mencari-cari aib,
(4) lemah lembut,
(5) sikap Ahlusunah terhadap ulama jika melakukan kesalahan adalah memberi uzur, bukan membidahkan dan memboikot,
(6) fitnah pencelaan dan boikot dari sebagian Ahlusunah pada zaman ini, dan cara agar selamat darinya,
(7) kebidahan menilai orang lain berdasarkan sosok panutan,
(8) dan peringatan terhadap fitnah pencelaan dan pembidahan yang dilakukan sebagian Ahlusunah pada zaman ini.

ومما يؤسف له أنه حصل أخيراً زيادة الطين بلة بتوجيه السهام لبعض أهل السنة تجريحاً وتبديعاً وما تبع ذلك من تهاجر، فتتكرر الأسئلة: ما رأيك في فلان بدَّعه فلان؟ وهل أقرأ الكتاب الفلاني لفلان الذي بدَّعة فلان؟ ويقول بعض صغار الطلبة لأمثالهم: ما موقفك من فلان الذي بدَّعه فلان؟ ولابد أن يكون لك موقف منه وإلا تركناك!!! ويزداد الأمر سوءاً أن يحصل شيء من ذلك في بعض البلاد الأوربية ونحوها التي فيها الطلاب من أهل السنة بضاعتهم مزجاة وهم بحاجة شديدة إلى تحصيل العلم النافع والسلامة من فتنة التهاجر بسبب التقليد في التجريح، وهذا المنهج شبيه بطريقة الإخوان المسلمين الذين قال عنها مؤسس حزبهم: ((فدعوتُكم أحقُّ أن يأتيها الناس ولا تأتي أحداً … إذ هي جِماعُ كلِّ خير، وغيرها لا يسلم من النقص!!)). (مذكرات الدعوة والداعية ص 232، ط. دار الشهاب) للشيخ حسن البنا، وقال: ((وموقفنا من الدعوات المختلفة التي طغت في هذا العصر ففرَّقت القلوبَ وبلبلت الأفكار، أن نزنها بميزان دعوتنا، فما وافقها فمرحباً به، وما خالفها فنحن براء منه!!!)) (مجموعة رسائل حسن البنا ص 240، ط. دار الدعوة سنة 1411هـ)، ومن الخير لهؤلاء الطلاب ـ بدلاً من الاشتغال بهذه الفتنة ـ أن يشتغلوا بقراءة الكتب المفيدة لأهل السنة لاسيما كتب العلماء المعاصرين كفتاوى شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز وفتاوى اللجنة الدائمة للإفتاء ومؤلفات الشيخ ابن عثيمين وغير ذلك، فإنهم بذلك يحصِّلون علماً نافعاً ويسلمون من القيل والقال وأكل لحوم بعض إخوانهم من أهل السنة، قال ابن القيم في الجواب الكافي (ص203): ((ومن العجب أن الإنسان يهون عليه التحفظ والاحتراز من أكل الحرام والظلم والزنى والسرقة وشرب الخمر ومن النظر المحرم وغير ذلك، ويصعب عليه التحفظ من حركة لسانه، حتى يُرى الرجل يشار إليه بالدين والزهد والعبادة وهو يتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالاً ينزل بالكلمة الواحدة منها أبعد مما بين المشرق والمغرب، وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات ولا يبالي ما يقول)).

Di antara hal yang sangat disayangkan adalah akhir-akhir ini keadaan tersebut semakin parah, dengan pengarahan panah pencelaan dan pembidahan terhadap sebagian Ahlusunah, dan saling memboikot sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut. Saat ini sering sekali muncul pertanyaan, “Bagaimana menurut Anda tentang si A yang membidahkan si B? Apakah saya boleh membaca kitab ini yang ditulis si A yang telah membidahkan si B? Anda harus punya sikap dalam masalah ini, kalau tidak maka kami akan berpaling dari Anda!” 

Hal ini lebih buruk lagi ketika terjadi di sebagian negara Eropa dan lainnya, yang para penuntut ilmunya dari kalangan Ahlusunah, hanya memiliki bekal sangat sedikit, dan mereka sangat butuh belajar lagi agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan agar selamat dari fitnah saling memboikot karena ikut-ikutan dalam pencelaan pihak lainnya.

Manhaj ini mirip dengan manhaj Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya berkata tentang organisasi ini, “Dakwah kalian paling berhak untuk didatangi oleh orang-orang, dan tidak perlu datang kepada orang lain … karena dakwah ini adalah pokok segala kebaikan, sedangkan yang lain tidak terbebas dari kekurangan!” (Kitab Mudzakkirat ad-Da’wah wa ad-Da’iyah, hlm. 232, cetakan Dar asy-Syihab, karya Syaikh Hasan al-Banna).

Beliau juga berkata, “Sikap kita terhadap berbagai dakwah yang berlebihan pada zaman ini, sehingga mencerai berai hati dan mengacaukan pemikiran, adalah menimbangnya dengan dakwah kita; dakwah yang sesuai dengannya akan kita sambut, adapun dakwah yang menyelisihinya maka kami berlepas diri darinya!” (Kitab Majmu’ah Rasail Hasan al-Banna, hlm. 240, cetakan Dar ad-Da’wah, tahun 1411 H).

Daripada para penuntut ilmu itu sibuk dengan fitnah ini, lebih baik mereka menyibukkan diri dengan membaca buku-buku yang bermanfaat milik Ahlusunah, terlebih lagi buku-buku karya ulama kontemporer seperti fatwa-fatwa Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, fatwa-fatwa Lajnah Daimah lil-Ifta’, buku-buku karya Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lainnya. Dengan buku-buku itu, mereka akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan selamat dari ‘katanya ini dan itu’ dan memakan daging saudaranya dari sesama Ahlusunah.

Dalam kitab “al-Jawab al-Kafi” halaman 203, Ibnu al-Qayyim berkata, “Di antara hal yang mengherankan adalah manusia dengan mudah menjaga diri dan menjauh dari memakan makanan haram, kezaliman, zina, mencuri, meminum khamr, melihat hal yang diharamkan, dan lain sebagainya; akan tetapi dia susah menjaga diri dari gerakan lisannya. Bahkan, terkadang ada orang yang terkenal dengan agama, kezuhudan, dan ibadahnya; tapi dia mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah tanpa menghiraukannya. Akibat satu kalimat itu, dia menempatkan dirinya terhadap Allah lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Betapa sering kamu melihat orang yang menjauhkan diri dari perbuatan keji dan kezaliman, tapi lisannya melecehkan kehormatan orang-orang yang masih hidup dan yang telah mati, tanpa memedulikan apa yang dia katakan.”

وإذا وُجد لأحد من أهل السنة كلام مجمل وكلام مفصَّل فالذي ينبغي إحسان الظن به وحمل مجمله على مفصله؛ لقول عمر رضي الله عنه: ((ولا تظننَّ بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا خيراً وأنت تجد لها في الخير محملاً)) ذكره ابن كثير في تفسير سورة الحجرات، وقال شيخ الإسلام ابن تيمية في الرد على البكري (ص324): ((ومعلوم أن مفسر كلام المتكلم يقضي على مجمله، وصريحه يُقدَّم على كنايته))، وقال في الصارم المسلول (2/512): ((وأَخْذ مذاهب الفقهاء من الإطلاقات من غير مراجعة لما فسروا به كلامهم وما تقتضيه أصولهم يجرُّ إلى مذاهب قبيحة))، وقال في الجواب الصحيح لمن بدل دين المسيح (4/44): ((فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا، وتُعرف ما عادته يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به)).

Apabila ada ucapan yang umum dan ucapan yang terperinci dari seorang Ahlusunah, hendaklah kita berbaik sangka kepadanya dan memahami ucapannya yang umum berdasarkan ucapannya yang terperinci. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umar radhiyallahu ‘anhu, “Janganlah kamu menyangka satu pun kalimat yang keluar dari lisan saudaramu seiman, kecuali dengan sangkaan yang baik; dan kamu dapat mencarikan kemungkinan yang baik bagi ucapan itu.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir surat al-Hujurat).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab “al-Istighatsah fi ar-Radd ‘ala al-Bakri” halaman 324, “Sebagaimana diketahui, ucapan yang terperinci dari seseorang menjelaskan ucapannya yang umum; dan ucapannya yang terang-terangan harus didahulukan daripada ucapannya yang berupa kiasan.” Beliau juga berkata dalam kitab “ash-Sharim al-Maslul” jilid 2 hlm. 512, “Mengikuti mazhab-mazhab para ulama secara mutlak tanpa merujuk kembali kepada penafsiran atas ucapan mereka dan hasil dari kaidah-kaidah mereka, dapat menjerumuskan kepada mazhab-mazhab yang buruk.”

Beliau juga berkata dalam kitab “al-Jawab ash-Shahih Liman Baddala Din al-Masih” jilid 4 hlm. 44, “Perkataan seseorang harus ditafsirkan dengan perkataannya yang lain; dan perkataannya harus dinukil dari sana sini; serta harus diketahui kebiasaannya jika dia berkata seperti itu, apa sebenarnya yang biasa dia maksud dan inginkan.”

والناقدون والمنقودون لا عصمة لهم ولا يسلم أحد منهم من نقص أو خطأ، والبحث عن الكمال مطلوب، لكن لا يُزهَد فيما دونه من الخير ويُهدر، فلا يقال: إما كمال وإلا ضياع، أو إما نور تام وإما ظلام، بل يحافظ على النور الناقص ويُسعى لزيادته وإذا لم يحصل سراجان أو أكثر فسراج واحد خير من الظلام، ورحم الله شيخنا الشيخ عبد العزيز بن باز الذي وقف حياته للعلم الشرعي تعلماً وعملاً وتعليماً ودعوةً وكان معنياً بتشجيع المشايخ وطلبة العلم على التعليم والدعوة، وقد سمعته يوصي أحد المشايخ بذلك، فاعتذر بعذر لم يرتضه الشيخ، فقال رحمه الله: ((العمش ولا العمى))، والمعنى: ما لا يُدرك كله لا يترك بعضه، وإذا لم يوجد البصر القوي ووُجد بصر ضعيف وهو العمش فإن العمش خير من العمى، وقد فقد شيخنا رحمه الله بصره في العشرين من عمره ولكن الله عوضه عنه نوراً في البصيرة اشتهر به عند الخاص والعام، وقال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (10/364): ((فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف وإلا بقي الناس في الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة إلا إذا حصل نور لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج عن النور بالكلية))، ويشبه هذا مقولة بعض الناس: ((الحق كلٌّ لا يتجزأ فخذوه كله أو دعوه كله))، فإنَّ أخْذه كله حق وتركه كله باطل، ومن كان عنده شيء من الحق يوصى بالإبقاء عليه والسعي لتحصيل ما ليس عنده من الحق.

Orang-orang yang mengkritik dan yang dikritik sama-sama tidak punya jaminan dan tidak ada yang terbebas dari kekurangan dan kesalahan. Namun, mencari tingkat yang sempurna adalah hal yang diharuskan; meskipun tidak boleh juga berpaling dan menyia-nyiakan kebaikan yang berada di bawah tingkat sempurna. Sehingga tidak boleh dikatakan, “Antara mendapatkan yang sempurna atau tidak sama sekali,” atau “Antara meraih cahaya yang sempurna atau kegelapan.” Namun, harus menjaga cahaya yang redup dan berusaha untuk meningkatkan sinarnya. Jika tidak dapat diraih dua lentera atau lebih, maka satu lentera lebih baik daripada harus mengalami kegelapan.

Semoga Allah merahmati Syaikh kami, Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang telah mewakafkan hidupnya untuk ilmu syar’i dengan belajar, mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkannya. Dulu beliau orang yang sangat serius dalam menyemangati para syaikh dan penuntut ilmu untuk mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau menasihati salah seorang syaikh dalam hal ini, tapi syaikh tersebut enggan dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh beliau; maka beliau berkata, “Dengan keadaan rabun atau buta!” Yakni hal yang tidak dapat diraih sepenuhnya, tidak lantas ditinggalkan sebagiannya.

Apabila tidak ada orang yang punya penglihatan tajam, tapi adanya hanya orang yang punya penglihatan buram (rabun), maka rabun itu lebih baik daripada buta sama sekali. Syaikh kami Abdul Aziz bin Baz rahimahullah telah kehilangan penglihatannya pada usia 20 tahun; tapi Allah mengganti bagi beliau cahaya batin yang sudah masyhur di kalangan orang yang dekat maupun yang jauh dengan beliau.

Syaikhul Islam berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 10 hlm. 364, “Jika tidak dapat diraih cahaya yang terang benderang karena tidak ada cahaya kecuali yang redup (maka itulah yang harus diraih), karena jika tidak maka manusia akan berada dalam kegelapan. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh mencela dan melarang dari cahaya yang redup, kecuali jika memang ada cahaya yang terang benderang; sebab betapa banyak orang yang berpaling dari cahaya yang redup itu, sehingga dia kehilangan cahaya sepenuhnya.” Hal ini mirip dengan ucapan (yang salah) dari sebagian orang, “Kebenaran itu absolut, tidak terbagi-bagi; maka ambillah kebenaran itu atau tinggalkan saja sepenuhnya.”

Mengikuti kebenaran sepenuhnya adalah sikap yang benar, sedangkan meninggalkannya sepenuhnya adalah sikap yang salah; dan barang siapa yang memiliki sedikit kebenaran, disarankan baginya untuk terus menjaganya dan berusaha meraih kebenaran yang belum dia miliki.

والهجر المحمود هو ما يترتب عليه مصلحة وليس الذي يترتب عليه مفسدة، قال شيخ الإسلام في مجموع الفتاوى (28/173): ((ولو كان كلما اختلف مسلمان في شيء تهاجرا لم يبق بين المسلمين عصمة ولا أخوة))، وقال أيضاً (28/206): ((وهذا الهجر يختلف باختلاف الهاجرين في قوتهم وضعفهم وقلتهم وكثرتهم؛ فإن المقصود به زجر المهجور وتأديبه ورجوع العامة عن مثل حاله، فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته كان مشروعاً، وإن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر، والهاجر ضعيف، بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر)) إلى أن قال: ((إذا عُرف هذا، فالهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله، فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله وأن تكون موافقة لأمره، فتكون خالصة لله صواباً، فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجراً غير مأمور به كان خارجا عن هذا، وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله)).

Boikot yang baik adalah yang mendatangkan kemaslahatan, bukan justru yang mendatangkan kerusakan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 28 hlm. 173, “Seandainya setiap kali ada dua orang Muslim yang berselisih dalam suatu perkara, keduanya kemudian saling memboikot; niscaya tidak tersisa lagi perlindungan dan persaudaraan di antara kaum Muslimin.” 

Beliau juga berkata dalam jilid 28 hlm. 206, “Masalah boikot ini berbeda-beda sesuai dengan keadaan para pelakunya, dari sisi kekuatan dan kelemahan mereka, dan dari sisi banyak atau sedikitnya mereka. Karena tujuan dari boikot adalah memberi tekanan dan pelajaran bagi pihak yang diboikot, serta memberi pelajaran kepada masyarakat umum agar berhenti dari sikap pihak yang diboikot itu.

Apabila ada maslahat yang lebih besar dari aksi boikot, sehingga menjadikan keburukan menjadi melemah dan berkurang; maka boikot itu disyariatkan. Namun, jika pihak yang diboikot dan yang lainnya tidak berhenti dari sikap buruknya, atau bahkan justru bertambah buruk – sedangkan yang memboikot adalah pihak yang lemah, sehingga kerusakan yang didapatkan lebih besar daripada kemaslahatannya, maka boikot tidak disyariatkan.” Hingga perkataan beliau, “… jika ini telah dipahami, maka aksi boikot yang disyariatkan termasuk amalan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ketaatan harus dilakukan ikhlas untuk Allah dan sesuai dengan perintah-Nya; sehingga ketaatan itu ikhlas untuk Allah dan dengan cara yang benar. Sehingga barang siapa yang memboikot berdasarkan hawa nafsu, atau melakukan boikot yang tidak diperintahkan Allah; maka boikot itu telah keluar dari hal ini (ketaatan). Betapa sering jiwa ini melakukan sesuatu yang diinginkan hawa nafsunya, dan dia mengira telah melakukan ketaatan kepada Allah.”

وقد ذكر أهل العلم أن العالم إذا أخطأ لا يتابَع على خطئه ولا يُتبرأ منه وأنه يُغتفر خطؤه في كثير صوابه، ومن ذلك قول شيخ الإسلام ابن تيمية في مجموع الفتاوى (3/349) بعد كلام سبق: ((ومثل هؤلاء إذا لم يجعلوا ما ابتدعوه قولاً يفارقون به جماعة الإسلام، يوالون عليه ويعادون كان من نوع الخطأ، والله سبحانه وتعالى يغفر للمؤمنين خطأهم في مثل ذلك، ولهذا وقع في مثل هذا كثير من سلف الأمة وأئمتها لهم مقالات قالوها باجتهاد، وهي تخالف ما ثبت في الكتاب والسنة، بخلاف من والى موافقه وعادى مخالفه وفرق جماعة المسلمين…))، وقال الذهبي في سير أعلام النبلاء (14/39): ((ولو أنَّا كلَّما أخطأ إمامٌ في اجتهاده في آحاد المسائل خطأً مغفوراً له قُمنا عليه وبدَّعناه وهجَرناه، لَمَا سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ولا مَن هو أكبر منهما، والله هو هادي الخلق إلى الحقِّ، وهو أرحم الراحمين، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة))، وقال أيضاً (14/376): ((ولو أنَّ كلَّ من أخطأ في اجتهاده ـ مع صحَّة إيمانه وتوخِّيه لاتباع الحقِّ ـ أهدرناه وبدَّعناه، لقلَّ مَن يسلم من الأئمَّة معنا، رحم الله الجميعَ بمنِّه وكرمه))، وذكر ابن الجوزي أن من التجريح ما يكون الباعث عليه الهوى، قال في كتابه صيد الخاطر (ص143): ((لقيت مشايخ أحوالهم مختلفة يتفاوتون في مقاديرهم في العلم، وكان أنفعهم لي في صحبته العامل منهم بعلمه وإن كان غيره أعلم منه، ولقد لقيت جماعة من علماء الحديث يحفظون ويعرفون ولكنهم كانوا يتسامحون بغيبة ويخرجونها مخرج جرح وتعديل … ولقد لقيت عبد الوهاب الأنماطي فكان على قانون السلف ولم يُسمع في مجلسه غيبة…))، وقال في كتابه تلبيس إبليس (2/689): ((ومن تلبيس إبليس على أصحاب الحديث قدح بعضهم في بعض طلباً للتشفي، ويُخرجون ذلك مخرج الجرح والتعديل الذي استعمله قدماء هذه الأمة للذب عن الشرع، والله أعلم بالمقاصد))، وإذا كان هذا في زمن ابن الجوزي المتوفى سنة (597هـ) وما قاربه فكيف بأهل القرن الخامس عشر؟!

Para ulama telah menyebutkan bahwa jika seorang ulama melakukan kesalahan, tidak boleh diikuti kesalahannya, tapi tidak juga dijauhi orangnya; dan kesalahannya dimaklumi karena dibandingkan dengan kebenarannya yang banyak.

Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid 3 hlm. 349 setelah perkataan beliau sebelumnya, “Orang-orang seperti ini, jika tidak menjadikan apa yang mereka buat itu sebagai pendapat yang memisahkan mereka dari jamaah Islam, serta berlepas diri dan memusuhi Islam; maka itu hanya suatu kesalahan biasa; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni orang-orang beriman atas kesalahan mereka yang seperti ini. Oleh sebab itu, banyak para salaf dan ulama umat yang melakukan hal semacam ini; mereka memiliki pendapat-pendapat yang mereka ucapkan berdasarkan ijtihad, tapi pendapat-pendapat itu menyelisihi apa yang disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Lain halnya jika seseorang membela orang yang sepakat dengannya, memusuhi orang yang menyelisihinya, dan berpisah dari jamaah kaum Muslimin.”

Imam adz-Dzahabi berkata dalam kitab “Siyar A’lam an-Nubala” jilid 14 hlm. 39, “Seandainya setiap kali seorang imam (ulama) salah dalam berijtihad tentang beberapa masalah yang masih dapat dimaklumi, kita segera melawan, membidahkan, dan memboikotnya; niscaya tidak akan selamat dari kita seorang Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau ulama yang lebih besar dari mereka berdua. Allah adalah Maha Pemberi hidayah bagi makhluk-Nya menuju kebenaran, dan Dia Maha Pengasih; maka kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan sikap kasar.”

Beliau juga berkata, dalam jilid 14 hlm. 376, “Andai setiap kali ada ulama yang salah dalam berijtihad – padahal imannya lurus dan sangat berusaha mengikuti kebenaran – lalu kita segera sia-siakan dan bidahkan ulama itu, niscaya hanya sedikit sekali ulama yang selamat untuk tetap sejalan dengan kita. Semoga Allah merahmati semua pihak dengan karunia dan kemurahan-Nya.”

Ibnu al-Jauzi rahimahullah menyebutkan bahwa termasuk pencelaan jika yang menjadi pemicu perbuatan itu adalah hawa nafsu. Beliau berkata dalam kitab “Shaid al-Khathir” hlm. 143, “Saya telah berjumpa dengan banyak guru, keadaan mereka berbeda-beda dan tingkat keilmuan mereka juga beragam. Namun, yang paling banyak membawa manfaat bagiku dari mereka saat saya membersamai mereka adalah yang mengamalkan ilmunya, meskipun ulama yang lain lebih luas ilmunya.

Saya juga telah berjumpa dengan beberapa ulama hadis yang menghafal dan mengetahui banyak hadis, tapi mereka mudah untuk melakukan gibah, dan menganggapnya sebagai bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu yang mempelajari keadaan para perawi hadis). Dan saya telah berjumpa dengan Abdul Wahhab al-Anmathi; beliau dulu berada di atas jalan para salaf, dan di majelisnya tidak terdengar gibah.”

Ibnu al-Jauzi rahimahullah juga berkata dalam kitab “Talbis Iblis” jilid 2 hlm. 689, “Di antara bentuk hasutan Iblis kepada para ulama hadis adalah saling mencela satu sama lain untuk meluapkan balas dendam atau amarah; dan mereka menganggap itu bagian dari ilmu Jarh wa Ta’dil yang dipakai para ulama terdahulu dari umat ini untuk mempertahankan syariat. Dan Allahlah Yang Maha Mengetahui tentang tujuan mereka.” Jika ini terjadi pada zaman Ibnu al-Jauzi yang telah wafat sekitar tahun 597 H, lalu bagaimana dengan orang-orang yang hidup pada abad ke-15 hijriyah ini?

وقد صدر أخيراً رسالة قيمة بعنوان: ((الإبانة عن كيفية التعامل مع الخلاف بين أهل السنة والجماعة)) تأليف الشيخ محمد بن عبد الله الإمام من اليمن وقد قرَّظها خمسة من مشايخ اليمن، وقد اشتملت على نقول كثيرة عن علماء أهل السنة قديماً وحديثاً، ولاسيما شيخ الإسلام ابن تيمية والإمام ابن القيم رحمهما الله، وهي نصيحة لأهل السنة لإحسان التعامل فيما بينهم، وقد اطلعت على كثير من مباحث هذه الرسالة واستفدت منها الدلالة على مواضع بعض النقول التي أوردتها في هذه الكلمة عن الإمامين ابن تيمية وابن القيم، فأنا أوصي بقراءتها والاستفادة منها، وما أحسن ما قاله في هذه الرسالة (ص170): ((وقد يجرِّح المعتبرُ بعضَ أهل السنة فتنشب فتن الهجر والتمزيق والمضاربات، وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم، فعند حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن، فالواجب إعادة النظر في طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد، وفيما تدوم به الأخوة وتحفظ به الدعوة وتعالج به الأخطاء، ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها الضرر)).

Belum lama ini, terbit kitab berharga dengan judul “al-Ibanah ‘an Kaifiyah at-Ta’amul ma’a al-Khilaf Baina Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” (Penjelasan tata cara berinteraksi dengan perbedaan pendapat antara Ahlusunah waljamaah), yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam yang berasal dari Yaman. Kitab ini telah mendapat testimoni baik dari lima Syaikh dari Yaman. Kitab ini menyebutkan banyak nukilan dari para ulama terdahulu maupun kontemporer; terlebih lagi dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahumallah. Kitab ini berisi nasihat bagi Ahlusunah untuk berinteraksi dengan baik sesama mereka.

Saya telah membaca banyak bab dari kitab ini dan mendapatkan referensi beberapa nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu al-Qayyim yang saya cantumkan dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, saya sarankan untuk membaca kitab ini dan mengambil manfaat darinya. 

Di antara kalimat terbaik dari Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam dalam kitab tersebut adalah yang disebutkan di halaman 170, “Terkadang ada ulama terpercaya yang mencela sebagian Ahlusunah lainnya, sehingga tertancaplah fitnah boikot, perpecahan, dan saling bermusuhan. Bahkan, bisa jadi timbul peperangan di antara sesama Ahlusunah. Ketika ini terjadi, dapat diketahui bahwa pencelaan dapat menimbulkan banyak fitnah; sehingga hal yang wajib dilakukan adalah meninjau kembali metode pencelaan, dan memperhatikan kemaslahatan dan kerusakan yang mungkin terjadi, serta melakukan hal yang dapat memperkokoh persaudaraan, menjaga keberlangsungan dakwah, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan. Tidak baik terus menggunakan suatu metode pencelaan yang telah terbukti menimbulkan kemudaratan.”

وما من شك أن المشايخ وطلبة العلم الآخرين من أهل السنة يشعرون بما شعر به هؤلاء الإخوة اليمنيون ويتألمون لهذه الفُرقة والاختلاف ويرغبون تقديم النصح لإخوانهم وقد سبق إليه الإخوة اليمنيون فجزاهم الله خيراً، ولعل لهذه النصيحة نصيباً من قوله صلى الله عليه وسلم: ((الإيمان يمان والحكمة يمانية)) رواه البخاري (3499) ومسلم (188)، والمأمول أن تكون هذه النصيحة من الإخوة اليمنيين محققة للغرض من كتابتها ونشرها، ولا أظن أن أحداً من أهل السنة يؤيد هذا النوع من التجريح والاهتمام بالمتابعة عليه وهو الذي لا يثمر إلا العداوة والبغضاء بين أهل السنة وغِلظ القلوب وقسوتها.

Tidak diragukan lagi bahwa para syaikh dan penuntut ilmu dari kalangan Ahlusunah merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara kita dari Yaman ini, dan merasa sakit atas perpecahan dan perselisihan, serta berhasrat untuk menyampaikan nasihat kepada saudara mereka lainnya. Namun, penyampaian nasihat ini telah didahului oleh saudara-saudara kita dari Yaman, semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Mungkin nasihat ini adalah bagian dari yang dimaksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keimanan ada di orang-orang Yaman, dan kebijaksanaan ada di orang-orang Yaman.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 3499 dan Imam Muslim no. 188). 

Diharapkan nasihat dari saudara-saudara kita dari Yaman ini dapat terealisasi tujuan dari penulisan dan publikasinya. Saya mengira tidak ada seorang pun dari Ahlusunah yang mendukung bentuk pencelaan seperti itu dan berusaha mengikutinya, karena pencelaan seperti itu tidak menghasilkan apapun kecuali permusuhan dan kebencian di antara kalangan Ahlusunah, serta kekerasan hati mereka.

ولا ينتهي عجب العاقل أنه في الوقت الذي يسعى فيه التغريبيون للإفساد في بلاد الحرمين بعد إصلاحها، ولاسيما الكارثة الأخلاقية في منتداهم في جدة الذي سموه زوراً: ((منتدى خديجة بنت خويلد)) والذي كتبت عنه كلمة بعنوان: ((لا يليق اتخاذ اسم خديجة بنت خويلد عنواناً لانفلات النساء))، أقول: في هذا الوقت يكون بعض أهل السنة منشغلين بنيل بعضهم من بعض والتحذير منهم.

Orang yang berakal tidak akan berhenti terheran-heran, di waktu orang-orang yang berkiblat ke negara-negara Barat berusaha membuat kerusakan di negara dua Tanah Suci – terlebih lagi ada musibah akhlak dalam konferensi mereka di Jeddah yang mereka namai dengan dusta “Konferensi Khadijah binti Khuwailid”; dan saya telah menanggapi konferensi ini melalui artikel yang berjudul “Tidak pantas memakai nama Khadijah binti Khuwailid sebagai tema untuk acara yang berisi degradasi moral kaum wanita” –; bersamaan dengan waktu ini, sebagian orang dari kalangan Ahlusunah masih sibuk mencela dan mencekal sesama mereka.

وأسأل الله عز وجل أن يوفق أهل السنة في كل مكان للتمسك بالسنة والتآلف فيما بينهم والتعاون على البر والتقوى ونبذ كل ما يكون فيه فُرقة أو خلاف بينهم، وأسأله تعالى أن يوفق المسلمين جميعاً للفقه في الدين والثبات على الحق، وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله صحبه.

عبد المحسن بن حمد العباد البدر

Saya memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberi taufik kepada setiap penganut Ahlusunah di setiap tempat sehingga mereka dapat berpegang teguh kepada as-Sunnah, saling bersatu padu sesama mereka, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan mengesampingkan segala perpecahan dan perselisihan di antara mereka. 

Saya juga memohon kepada Allah Ta’ala agar memberi taufik kepada seluruh kaum Muslimin dalam memahami agama dan beristiqamah di atas kebenaran. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan para sahabat beliau.

Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr

Sumber: https://al-abbaad.com/articles/45-1432-01-16 

PDF sumber artikel.

KONSULTASI SYARIAH

Fatwa MUI ; Hukumnya Boleh Periksa Gigi Saat Berpuasa!

Pernahkah khawatir sakit gigi saat bulan puasa?  MUI (Majelis Ulama Indonesia) memiliki fatwa yang mengatur tentang boleh tidaknya periksa gigi saat berpuasa.  Fatwa ini memberikan angin segar bagi umat Muslim yang membutuhkan perawatan gigi selama bulan Ramadhan.

Sebagaimana yang diketahui di setiap memasuki bulan suci Ramadhan, seluruh umat muslim diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa.  Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 183: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

Oleh karenanya, penting bagi kita untuk mengikuti aturan dan peraturan puasa, agar ibadah yang kita jalankan ini tidak sia-sia, alias mendapat berkah dan pahala dari Allah SWT. Salah satu pertanyaan paling umum yang ditanyakan orang selama Ramadhan adalah apakah mereka boleh melakukan perawatan gigi saat berpuasa? Kali ini sahabat Bincangsyariah akan membahas fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Indonesia (Majelis Ulama Indonesia) terkait panduan tata cara merawat gigi yang benar saat berpuasa.

Fatwa MUI Nomor 250/E/MUI-KB/V/2018

Mengacu pada Fatwa MUI Fatwa MUI Nomor 250/E/MUI-KB/V/2018 tentang Tindakan Kedokteran Gigi, memperbolehkan rangkaian pemeriksaan gigi atau check up rutin ke dokter gigi pada saat berpuasa. Namun tetap dalam tindakan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan tidak berlebihan. Lantas tindakan apa saja yang diperbolehkan ketika berpuasa? 

Berikut ini penjelasan dari muatan Fatwa MUI terkait rangkaian perawatan dan pengobatan gigi yang diperbolehkan saat berpuasa:

  1. Pencabutan gigi/ekstraksi gigi tidak membatalkan puasa

Pemberian obat anestesi berupa gel yang dioleskan di dalam mulut, atau disuntikkan dan atau disemprotkan di sekitar gigi tidak membatalkan puasa selama dilakukan dengan berhati – hati dan tidak berlebihan sekalipun ada yang tertelan.

2. Proser berkumur dengan air atau obat antiseptik dalam tindakan pembersihan karang gigi:

a.Apabila dilakukan dengan berhati-hati dan tidak berlebihan maka tidak membatalkan puasa sekalipun ada yang tertelan.

b.Apabila dilakukan dengan tidak berhati – hati dan berlebihan maka akan membatalkan puasa jika ada yang tertelan.

3. Sensasi rasa segar dari air yang keluar dari alat ultrasonic scaler dan pemberian pasta profilaksis dengan berbagai rasa di dalam mulut pasien selama pembersihan karang gigi tidak membatalkan puasa.

4. Terjadinya pendarahan selama pembersihan karang gigi tidak membatalkan puasa.

5. Penambalan gigi dan obat yang tertelan (tidak sengaja) selama proses penambalan gigi tidak membatalkan puasa jika dilakukan dengan berhati – hati dan tidak berlebihan.

6. Bahan tambalan sementara yang tertelan tidak membatalkan puasa., 7. Proses pencetakan gigi tidak membatalkan puasa. [Baca juga: Tafsir Mimpi Gigi Rontok Semua]

8. Kesempurnaan wudhu tidak tergantung kepada ada dan tidak adanya gigi atau terhalang dan tidak terhalangnya air sampai ke gigi yang asli, artinya tetap wudhunya utama meskipun terhalang jaket gigi atau veneer.

9. Membuat jaket gigi, membuat veneer, pemasangan behel gigi dan bleaching:

a.Untuk tujuan pengobatan maka hukumnya halal.

b.Untuk menormalkan gigi yang tumbuhnya tidak normal maka hukumnya halal.

c.Untuk tujuan tindakan pencegahan dari timbulnya penyakit, maka hukumnya halal.

d.Untuk tujuan kecantikan tanpa merubah bentuk aslinya maka hukumnya halal.

e.Untuk tujuan kecantikan tanpa indikasi medis dengan merubah bentuknya yang asli maka hukumnya haram.

Demikian penjelasan terkait fatwa MUI bahwa hukumnya boleh periksa gigi saat berpuasa! Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Memahami Istilah Salat Tarawih, Qiyamul Lail, Witir, dan Tahajud

Ramainya masjid dengan salat Tarawih merupakan salah satu ciri khas bulan Ramadan. Ini merupakan bentuk antusias kaum muslimin dalam mengharapkan ampunan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [1]

Dalam hadis disebutkan qama ramadhan atau “salat pada malam hari di bulan Ramadan”. Mungkin akan timbul pertanyaan. Apakah itu qiyam ramadhan? Apakah ini sama dengan salat Tarawih? Apakah hubungannya dengan salat Witir dan Tahajud? Dan pertanyaan lain semisal.

Melalui artikel ringkas ini, kami menyampaikan definisi dari setiap istilah-istilah tersebut, dengan menyebutkan hubungannya dengan salat Tarawih.

Makna salat Tarawih

Secara bahasa, salat berarti doa ( الدعاء ), sebagaimana firman Allah,

وصل عليهم

Dan berdoalah untuk mereka.” [2]

Yang artinya memohonkan kebaikan untuk mereka.

Secara istilah (terminologi), mayoritas ulama mengatakan bahwa salat adalah,

أقوال وأفعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم مع النية بشرائط مخصوصة

Kumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat dan syarat-syarat tertentu.” [3]

Sedangkan Tarawih, adalah bentuk jamak dari tarwihah ( ترويحة ), yang berarti istirahat, dari kata rahat ( الراحة ) yang artinya menghilangkan kesulitan dan kelelahan.

Al-Fayyumiy rahimahullah berkata,

وَصَلَاةُ ‌التَّرَاوِيحِ مُشْتَقَّةٌ مِنْ الراحة لِأَنَّ التَّرْوِيحَةَ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فَالْمُصَلِّي يَسْتَرِيحُ بَعْدَهَا

Salat Tarawih merupakan turunan (diambil) dari (kata) rahat. (Dinamakan demikian) karena tarwihah (memberikan rasa istirahat) setelah setiap empat rakaat. Orang yang melaksanakan salat (Tarawih) akan beristirahat setelah empat rakaat.” [4]

Tentang salat Tarawih, para ulama mendefinisikannya dengan,

قيام شهر رمضان

Salat malam di bulan Ramadan.”

Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [5]

Di mana para ulama fikih bersepakat bahwa yang dimaksud dengan qiyam di hadis tersebut adalah salat Tarawih. [6]

Makna qiyamul lail

Menurut istilah para fuqaha (ahli fikih), qiyamul lail adalah,

قضاء الليل ولو ساعة بالصلاة أو غيرها

Menghabiskan malam, meskipun hanya satu jam; dengan salat atau ibadah lainnya.” [7]

Oleh karena itu, salat merupakan bagian dari qiyamul lail. Beberapa fuqaha kadang-kadang menyebut “salat qiyamil lail“. Yang dimaksudkan dengan itu adalah salat pada malam tersebut. Sedangkan salat Tarawih lebih spesifik lagi, yaitu dilakukan di bulan Ramadan. Wallahu a’lam

Makna salat Witir

Salat witir adalah

صلاة تفعل ما بين صلاة العشاء وطلوع الفجر، تختم بها صلاة الليل

Salat yang dilakukan antara salat Isya dan terbit fajar, digunakan untuk mengakhiri salat malam.

Dinamakan “witir” (ganjil) karena jumlah rakaatnya ganjil, bisa satu, tiga, atau lebih. Dan tidak diperbolehkan menjadikannya genap. [8]

Makna Tahajud

Sedangkan Tahajud adalah

صلاة التطوع في الليل بعد النوم

Salat sunah yang dilakukan di malam hari setelah tidur.

Demikianlah menurut mayoritas fuqaha (ahli fikih), di mana salat tahajud ini umum, mencakup seluruh malam sepanjang tahun dan dilaksanakan setelah tidur. Sedangkan salat Tarawih khusus dilakukan pada malam hari di bulan Ramadan, dan tidak dipersyaratkan untuk dilakukan setelah tidur. [9]

Contoh kasus I: Memahami jumlah rakaat Tarawih

Kita ketahui bersama bahwasanya kebanyakan kaum muslimin saat ini salat tarawih dengan 23 rakaat. Sementara, di kitab-kitab fikih banyak disebutkan bahwasanya jumlah rakaat tarawih adalah 20 rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman dan Al-Baihaqi dari Al-Saib bin Yazid,

قيام الناس في زمان عمر – رضي الله تعالى عنه – بعشرين ركعة  وجمع عمر الناس على هذا العدد من الركعات جمعا مستمرا

Pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu umat Islam melaksanakan salat Tarawih dengan dua puluh rakaat. Dan Umar sendiri yang mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan jumlah rakaat tersebut secara berjemaah. Dan ini menjadi praktik yang berkelanjutan.” [10]

Setelah memahami istilah-istilah di atas dengan baik, kita mengerti bahwa maksud dari “Tarawih adalah dua puluh rakaat” adalah tanpa menghitung witir. Jadi, menjadi dua puluh tiga rakaat dengan witir, sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya umat Islam saat ini. Wallahu a’lam.

Contoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam

Dalam situs islamqa, terdapat artikel dengan judul, “Ingin Menunaikan Salat Tahajud di Akhir Malam, Apakah Tetap Salat Witir Bersama Imam dalam Salat Tarawih?”

Di dalamnya, terdapat pembahasan:

Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian orang ketika salat witir bersama imam (dalam salat Tarawih), ketika imamnya salam, dia berdiri dan menambahkan satu rakaat agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Apa hukumnya perbuatan semacam ini? Apakah orang tersebut dapat dikatakan salat bersama imam hingga selesai?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Kami memandang tidak ada masalah dalam hal ini. Para ulama telah menetapkan demikian. Tidak mengapa dia melakukannya agar witirnya dapat dilaksanakan di akhir malam. Dan dia dapat digolongkan orang yang salat bersama imam hingga selesai. Karena dia salat dengan imam sampai imam selesai. Dan menambah satu rakaat karena ada tujuan syar’i, (yaitu) agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Maka, hal ini tidak mengapa. Dan dengan itu, dia tidak dianggap keluar dari kriteria salat bersama imam hingga selesai. Dia telah salat bersama imam hingga selesai, hanya saja dia tidak selesai bersamaan dengan imam, hanya sedikit menundanya.”  (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11: 312) [11]

Dengan memahami istilah-istilah di atas, insyaAllah kita bisa memahami artikel, dan fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah dengan benar.

Demikian penjelasan ringkas tentang istilah-istilah terkait dengan istilah salat Tarawih. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua, sehingga bisa maksimal dalam beribadah kepada-Nya di bulan Ramadan ini, dan bulan-bulan selainnya. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

***

1 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Sumber: https://muslim.or.id/92545-memahami-istilah-salat-tarawih-qiyamul-lail-witir-dan-tahajud.html
Copyright © 2024 muslim.or.id