Memahami Istilah Salat Tarawih, Qiyamul Lail, Witir, dan Tahajud

Ramainya masjid dengan salat Tarawih merupakan salah satu ciri khas bulan Ramadan. Ini merupakan bentuk antusias kaum muslimin dalam mengharapkan ampunan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [1]

Dalam hadis disebutkan qama ramadhan atau “salat pada malam hari di bulan Ramadan”. Mungkin akan timbul pertanyaan. Apakah itu qiyam ramadhan? Apakah ini sama dengan salat Tarawih? Apakah hubungannya dengan salat Witir dan Tahajud? Dan pertanyaan lain semisal.

Melalui artikel ringkas ini, kami menyampaikan definisi dari setiap istilah-istilah tersebut, dengan menyebutkan hubungannya dengan salat Tarawih.

Makna salat Tarawih

Secara bahasa, salat berarti doa ( الدعاء ), sebagaimana firman Allah,

وصل عليهم

Dan berdoalah untuk mereka.” [2]

Yang artinya memohonkan kebaikan untuk mereka.

Secara istilah (terminologi), mayoritas ulama mengatakan bahwa salat adalah,

أقوال وأفعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم مع النية بشرائط مخصوصة

Kumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai niat dan syarat-syarat tertentu.” [3]

Sedangkan Tarawih, adalah bentuk jamak dari tarwihah ( ترويحة ), yang berarti istirahat, dari kata rahat ( الراحة ) yang artinya menghilangkan kesulitan dan kelelahan.

Al-Fayyumiy rahimahullah berkata,

وَصَلَاةُ ‌التَّرَاوِيحِ مُشْتَقَّةٌ مِنْ الراحة لِأَنَّ التَّرْوِيحَةَ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ فَالْمُصَلِّي يَسْتَرِيحُ بَعْدَهَا

Salat Tarawih merupakan turunan (diambil) dari (kata) rahat. (Dinamakan demikian) karena tarwihah (memberikan rasa istirahat) setelah setiap empat rakaat. Orang yang melaksanakan salat (Tarawih) akan beristirahat setelah empat rakaat.” [4]

Tentang salat Tarawih, para ulama mendefinisikannya dengan,

قيام شهر رمضان

Salat malam di bulan Ramadan.”

Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa yang melaksanakan salat pada malam hari di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [5]

Di mana para ulama fikih bersepakat bahwa yang dimaksud dengan qiyam di hadis tersebut adalah salat Tarawih. [6]

Makna qiyamul lail

Menurut istilah para fuqaha (ahli fikih), qiyamul lail adalah,

قضاء الليل ولو ساعة بالصلاة أو غيرها

Menghabiskan malam, meskipun hanya satu jam; dengan salat atau ibadah lainnya.” [7]

Oleh karena itu, salat merupakan bagian dari qiyamul lail. Beberapa fuqaha kadang-kadang menyebut “salat qiyamil lail“. Yang dimaksudkan dengan itu adalah salat pada malam tersebut. Sedangkan salat Tarawih lebih spesifik lagi, yaitu dilakukan di bulan Ramadan. Wallahu a’lam

Makna salat Witir

Salat witir adalah

صلاة تفعل ما بين صلاة العشاء وطلوع الفجر، تختم بها صلاة الليل

Salat yang dilakukan antara salat Isya dan terbit fajar, digunakan untuk mengakhiri salat malam.

Dinamakan “witir” (ganjil) karena jumlah rakaatnya ganjil, bisa satu, tiga, atau lebih. Dan tidak diperbolehkan menjadikannya genap. [8]

Makna Tahajud

Sedangkan Tahajud adalah

صلاة التطوع في الليل بعد النوم

Salat sunah yang dilakukan di malam hari setelah tidur.

Demikianlah menurut mayoritas fuqaha (ahli fikih), di mana salat tahajud ini umum, mencakup seluruh malam sepanjang tahun dan dilaksanakan setelah tidur. Sedangkan salat Tarawih khusus dilakukan pada malam hari di bulan Ramadan, dan tidak dipersyaratkan untuk dilakukan setelah tidur. [9]

Contoh kasus I: Memahami jumlah rakaat Tarawih

Kita ketahui bersama bahwasanya kebanyakan kaum muslimin saat ini salat tarawih dengan 23 rakaat. Sementara, di kitab-kitab fikih banyak disebutkan bahwasanya jumlah rakaat tarawih adalah 20 rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman dan Al-Baihaqi dari Al-Saib bin Yazid,

قيام الناس في زمان عمر – رضي الله تعالى عنه – بعشرين ركعة  وجمع عمر الناس على هذا العدد من الركعات جمعا مستمرا

Pada zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu umat Islam melaksanakan salat Tarawih dengan dua puluh rakaat. Dan Umar sendiri yang mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan jumlah rakaat tersebut secara berjemaah. Dan ini menjadi praktik yang berkelanjutan.” [10]

Setelah memahami istilah-istilah di atas dengan baik, kita mengerti bahwa maksud dari “Tarawih adalah dua puluh rakaat” adalah tanpa menghitung witir. Jadi, menjadi dua puluh tiga rakaat dengan witir, sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya umat Islam saat ini. Wallahu a’lam.

Contoh Kasus II: Tarawih dan Witir di akhir malam

Dalam situs islamqa, terdapat artikel dengan judul, “Ingin Menunaikan Salat Tahajud di Akhir Malam, Apakah Tetap Salat Witir Bersama Imam dalam Salat Tarawih?”

Di dalamnya, terdapat pembahasan:

Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian orang ketika salat witir bersama imam (dalam salat Tarawih), ketika imamnya salam, dia berdiri dan menambahkan satu rakaat agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Apa hukumnya perbuatan semacam ini? Apakah orang tersebut dapat dikatakan salat bersama imam hingga selesai?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Kami memandang tidak ada masalah dalam hal ini. Para ulama telah menetapkan demikian. Tidak mengapa dia melakukannya agar witirnya dapat dilaksanakan di akhir malam. Dan dia dapat digolongkan orang yang salat bersama imam hingga selesai. Karena dia salat dengan imam sampai imam selesai. Dan menambah satu rakaat karena ada tujuan syar’i, (yaitu) agar witirnya dapat dilakukan di akhir malam. Maka, hal ini tidak mengapa. Dan dengan itu, dia tidak dianggap keluar dari kriteria salat bersama imam hingga selesai. Dia telah salat bersama imam hingga selesai, hanya saja dia tidak selesai bersamaan dengan imam, hanya sedikit menundanya.”  (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11: 312) [11]

Dengan memahami istilah-istilah di atas, insyaAllah kita bisa memahami artikel, dan fatwa Syekh Bin Baz rahimahullah dengan benar.

Demikian penjelasan ringkas tentang istilah-istilah terkait dengan istilah salat Tarawih. Semoga Allah memberikan taufik-Nya untuk kita semua, sehingga bisa maksimal dalam beribadah kepada-Nya di bulan Ramadan ini, dan bulan-bulan selainnya. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

***

1 Ramadan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Sumber: https://muslim.or.id/92545-memahami-istilah-salat-tarawih-qiyamul-lail-witir-dan-tahajud.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Witir, Sang Penutup Malam

Shalat Witir termasuk ke dalam sunnah muakad atau sunnah yang sangat dianjurkan.

Syahdunya malam menjadi momentum terbaik bagi hamba untuk mendekati Sang Khalik. Usai menunaikan shalat Isya dan shalat Tahajud, ada satu ritual shalat lainnya yang kerap menjadi penutup malam. Dialah shalat Witir.

Amat besar keutamaan shalat yang secara bahasa bermakna ganjil ini. Salah satunya yang termaktub dalam hadis riwayat Abu Dawud, “Sesungguhnya Allah yang Mahatinggi telah membekali kalian dengan satu shalat yang lebih baik bagi kalian dari binatang yang paling bagus, yaitu shalat Witir. Dia menjadikannya untuk kalian antara shalat Isya sampai terbit fajar.” 

Meski tak pernah mewajibkan, Rasulullah SAW memang memerintahkan dan mencontohkan shalat Witir. Karena itu, shalat Witir termasuk ke dalam sunnah muakad atau sunnah yang sangat dianjurkan.

Syekh Abdul Aziz bin Baaz menjelaskan, shalat Witir dilakukan minimal satu rakaat yang dilakukan antara shalat Isya dan shalat Subuh. Shalat ini dianjurkan karena Allah itu bersifat ganjil dan menyukai segala sesuatu yang sesuai dengan sifat-sifat-Nya.

Kapan kiranya shalat Witir dilaksanakan? Apakah setelah tidur atau sebelum tidur?

Mengenai perkara tersebut, Dr Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani dalam Ensiklopedi Shalat menjelaskan tentang sebuah hadis yang bersumber dari Abu Hurairah Ra. “Dia bercerita, Kekasihku SAW telah mewasiatkan tiga hal kepadaku (yang aku tidak akan meninggalkannya sampai aku mati kelak), yaitu puasa tiga hari pada setiap bulan, dua rakaat Dhuha, dan mengerjakan Witir sebelum tidur.” 

Meski demikian, al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, dalam hadis tersebut terkandung pengertian disunnahkannya mendahulukan shalat Witir sebelum tidur. Dalil tersebut berlaku bagi orang yang yakin untuk tidak bangun sebelum Subuh. Berlaku juga untuk orang yang mengerjakan shalat antara dua tidur.

Karena itu, ada hadis lain yang menjelaskan tentang keutamaan shalat Witir bagi mereka yang yakin bangun pada akhir malam. “Barang siapa yang khawatir tidak bangun pada akhir malam maka hendaklah dia mengerjakan Witir pada permulaan malam. Dan barang siapa yang berkeinginan untuk bangun pada akhir malam maka hendaklah dia mengerjakan Witir pada akhir malam karena pada akhir malam itu disaksikan (oleh para malaikat) dan yang demikian itu lebih baik (afdhal).” (HR Muslim).

Al-Qahthani juga membagi shalat Witir berdasarkan jumlah rakaatnya. Di antaranya yakni satu rakaat Witir yang menutup shalat malam sebelas dan 13 rakaat. Lima rakaat Witir yang menutup shalat malam 13 rakaat. Dalam shalat lima rakaat ini, diriwayatkan jika Rasulullah SAW shalat tanpa duduk pada kelima rakaat tersebut kecuali pada rakaat terakhir.

Rasulullah SAW juga pernah melakukan shalat sembilan rakaat tanpa duduk kecuali pada rakaat delapan. Kemudian, beliau SAW baru mengerjakan rakaat kesembilan.

Rasulullah SAW juga pernah shalat tujuh rakaat tanpa duduk kecuali rakaat terakhir. Contoh lainnya, Rasulullah SAW pernah shalat tujuh rakaat tanpa duduk kecuali rakaat keenam.

Selain itu, shalat tiga rakaat berturut-turut tanpa duduk kecuali pada rakaat terakhir. Pada praktik tiga rakaat ini, Rasulullah memiliki komentar khusus, “Janganlah kalian mengerjakan shalat Witir dengan tiga rakaat, shalatlah lima rakaat, atau tujuh rakaat, dan jangan pula kalian menyerupai shalat Witir seperti shalat Maghrib.” (HR Ibnu Hibban).

Doa qunut juga lazim dibaca pada rakaat terakhir shalat Witir. Membaca qunut diyakini sebagai hal yang sunnah. Rasulullah SAW pernah membaca doa qunut pada sebelum dan sesudah rukuk. Meski demikian, Al-Qahthani berpendapat, lebih afdhal doa qunut setelah rukuk karena lebih sering disebutkan dalam sejumlah hadis.

Setelah menunaikan shalat penutup ini, Rasulullah pun membaca zikir “subhanal malikil quddus” yang berarti “Mahasuci Raja yang kudus” sebanyak tiga kali. Sesudah itu, Beliau SAW pun memanjangkan suaranya saat memasuki bagian akhir. ”Rabbul Malaikati war Ruh” yang artinya “Rabb malaikat dan ruh”.

Wallahu a’lam.

OLEH A SYALABY ICHSAN

REPUBLIKA ID