Di antara tidak dikabulkan doa seseorang adalah berdoa untuk perbuatan dosa, memutuskan tali silaturrahim dan tergesa-gesa
KITA diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari doa yang tidak dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu perlu diterangkan penyebab tidak terkabulkannya doa.
Dari dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, sesungguhnya Rasulullah ﷺbersabda,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR: Muslim)
Di dalam riwayat lain disebutkan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، ومِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، وَمِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الأَرْبَعِ
(HR: at-Tirmidzi, 3482, Abu Daud, 1549, an-Nasai, 5470).
Pada bab ke-9 ini fokus pada pembahasan berlindung dari doa yang tidak dikabulkan.
دَعْوَةٍ لا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Doa yang tidak dikabulkan”
Di antara tidak dikabulkan doa adalah:
Sebab Pertama: Harta Haram
Harta yang dimakannya berasal dari sumber yang haram. Ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya berkata: Rasulullah ﷺbersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى : (( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا )) وَقَالَ تَعَالَى : ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ )) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ: أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ (QS: al-Mu’minun: 51) dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian.” (QS: al-Baqarah: 172) kemudian Rasulullah ﷺmenyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa,‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR: Muslim).
Sebab Kedua: Hati yang Lengah Berdzikir
Ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR: at-Tirmidzi dan al-Hakim. Di dalam hadist terdapat perawi yang bernama Shalih al-Murri, salah seorang ahli zuhud.
Menurut adz-Dzahabi orangnya termasuk matruk (ditinggalkan). Berkata al-Bazzar: Orang ini sibuk dengan ibadahnya, sehingga tidak menghafal hadits. At-Tirmidzi mengatakan: Hadist ini Gharib.
Sebagian ulama, seperti Ibnu Rajab di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam menyimpulkan dari hadist di atas, bahwa salah satu syarat diterimanya doa adalah hadirnya hati ketika berdoa.
Bahkan Ibnu al-Qayyim di dalam al-Jawab al-Kafi mengibaratkan doa dari hati yang tidak hadir atau hati yang lemah, seperti busur yang sudah rusak sehingga anak panah yang keluar darinya sangat lemah melesatnya.
Sebab Ketiga: Tidak Serius dalam Berdoa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺbersabda,
لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ : اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ ، ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ، ارْزُقْنِي إِنْ شِئْتَ، وَليَعْزِمْ مَسْأَلَتَهُ، إِنَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ ، لاَ مُكْرِهَ لَهُ
“Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan: ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki, dan rahmatilah aku jika Engkau berkehendak, dan berilah aku rezeki jika Engkau berkehendak’. Akan tetapi hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam meminta, karena Allah sama sekali tidak ada yang memaksa.” (HR: al-Bukhari)
Larangan mengucapkan ‘insya Allah’ ketika berdoa sebagaimana yang disebutkan hadits di atas, karena dua alasan:
Pertama, mengesankan bahwa orang yang berdoa tidak membutuhkan apa yang dia minta. Padahal kenyataannya tidak begitu. Dan ini bertentangan dengan prinsip tauhid, bahwa setiap hamba sangat membutuhkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, mengesankan bahwa Allah kadang memberi sesuatu karena terpaksa, bukan karena kehendak-Nya sendiri. (‘Abdullah al-Gunaiman, Syarah Kitab at-Tauhid min Shahih al-Bukhari: 2/256)
Inilah dua kesan yang tidak baik, manakala seseorang mengucapkan ‘insya Allah’ di dalam doa-doanya, sehingga ucapan seperti ini dilarang. Oleh karena itu di akhir hadits disebutkan bahwa: “karena Allah sama sekali tidak ada yang memaksa.”
Pertanyaannya, bagaimana dengan hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menyebutkan;
عن ابن عباس رضي الله عنهما؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل على أعرابي يعوده، قال: وكان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل على مريض يعوده قال: لا بأس طهور إن شاء الله فقال له: لا بأس طهور إن شاء الله قال: قلت: طهور؟ كلا، بل هي حمى تفور – أو تثور – على شيخ كبير، تُزِيرُهُ القبور. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: فنعمْ إذًا.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad ﷺ mengunjungi seorang Badui yang sedang sakit. Dan setiap mengunjungi orang sakit, beliau mengucapkan: ‘Tidak apa, insya Allah menjadi penghapus dosa’. Begitu juga beliau ucapkan kepada orang Badui tersebut. Sang Badui pun berkata: ‘Penghapus dosa? Sekali-kali tidak, penyakit (yang saya derita) ini berupa panas bergejolak yang menimpa orang tua lanjut usia, yang mengantarkannya ke alam kubur.’ Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda: ‘Iya, kalau begitu’.” (HR: al-Bukhari)
Jawabannya:
Konteks hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas adalah pernyataan dan pemberitaan. Oleh karena itu, disunnahkan menambah di akhirnya dengan lafadh ‘insya Allah’. Adapun konteks hadist yang kita bicarakan sebelumnya adalah doa, sehingga dilarang untuk disisipi dengan lafadh ‘insya Allah’.
Perbedaaan keduanya bisa diperjelas dengan contoh di bawah ini:
Bila seseorang mendoakan kepada temannya dengan berkata: “Mudah-mudahan Allah merahmatinya” atau “Mudah-mudahan Allah menyembuhkannya dari berbagai penyakit”, maka tidak boleh menambahinya dengan lafadh ‘insya Allah’.
Sebaliknya jika dia menyatakan untuk temannya: “Dia akan sembuh, insya Allah” atau “Dia akan menjadi ahli surga, insya Allah”, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan.
Sebab Keempat: Berdoa untuk Maksiat
Ini sesuai dengan hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا . قَالُوا : إِذًا نُكْثِرُ . قَالَ : اللهُ أَكْثَرُ)
“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturrahim kecuali Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga (pilihan); (1) segera dikabulkan permohonannya, (2) disimpan permohonannya (diberikan) di Akhirat, (3) dipalingkan dengan doa itu keburukan sebesar apa yang dia minta. Mereka berkata, ‘Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa’. Beliau bersabda, ‘Allah akan memperbanyak’.” (HR: Ahmad. Al-Mundziri di dalam at-Targhib wa at-Tarhib menyatakan sanadnya jayyid. Ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda;
لا يزال يُستجابُ للعبد ما لم يدعُ بإثم، أو قطيعةِ رَحِمٍ، ما لم يستعجل))، قيل: يا رسول الله، ما الاستعجال؟ قال: ((يقول: قد دعوتُ، وقد دعوتُ، فلم أرَ يستجيبُ لي، فيستحسر عند ذلك ويَدَعُ الدعاء
“Doa seseorang di antara kalian, senantiasa akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk perbuatan dosa ataupun untuk memutuskan tali silaturahim dan tidak tergesa-gesa. Seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa?’ Rasulullah ﷺmenjawab, ‘Yang dimaksud dengan tergesa-gesa adalah apabila orang yang berdoa itu mengatakan; ‘Aku telah berdoa dan terus berdoa tetapi belum juga dikabulkan’.’ Setelah itu, ia merasa putus asa dan tidak pernah berdoa lagi.” (HR: Muslim).
Sebab Kelima: Tidak Tergesa-gesa dalam Berdoa
Tergesa-gesa di dalam doa ada dua macam, yang terpuji dan yang tercela.
(a) Tergesa-gesa yang terpuji, yaitu meminta dipercepat sesuatu yang diminta. Karena ini masuk dalam katagori bersungguh-sungguh di dalam berdoa dan sangat berharap kepada pertolongan Allah dan rahmat-Nya. Ini sesuai dengan hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi Muhammad ﷺ berdoa ketika meminta hujan;
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا ، مَرِيئًا ، مَرِيعًا ، نَافِعًا ، غَيْرَ ضَارٍّ ، عَاجِلًا ، غَيْرَ آجِلٍ . قَالَ : فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ السَّمَاءُ)
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, yang menolong, mudah, menyuburkan, bermanfaat, tidak memberikan madharat, yang segera dan tidak terlambat.” Maka turunlah hujan lebat kepada mereka.” (HR: Abu Daud. Hadist ini dishahihkan an-Nawawi di dalam al-Adzkar hlm. 230)
(b) Tergesa-gesa yang tercela dan dilarang, yaitu merasa tidak sabar dengan keterlambatan terkabulnya doa yang dia panjatkan, marah dengan kondisi yang dirasakan, seakan-akan tidak ridha dengan takdir dan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala.
Ini sesuai dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda,
يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ ، يَقُولُ : دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
“Doa di antara kalian akan dikabulkan selama tidak tergesa-gesa dengan mengatakan: ‘Saya sudah berdoa, tetapi belum dikabulkan’.” (HR: al-Bukhari dan Muslim)
Ini dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda;
لا يزال يُستجابُ للعبد ما لم يدعُ بإثم، أو قطيعةِ رَحِمٍ، ما لم يستعجل))، قيل: يا رسول الله، ما الاستعجال؟ قال: ((يقول: قد دعوتُ، وقد دعوتُ، فلم أرَ يستجيبُ لي، فيستحسر عند ذلك ويَدَعُ الدعاء
“Doa seseorang diantara kalian, senantiasa akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk perbuatan dosa ataupun untuk memutuskan tali silaturrahim dan tidak tergesa-gesa.” Seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa?’ Rasulullah ﷺmenjawab, ‘Yang dimaksud dengan tergesa-gesa adalah apabila orang yang berdoa itu mengatakan, ‘Aku telah berdoa dan terus berdoa tetapi belum juga dikabulkan’. Setelah itu, ia merasa putus asa dan tidak pernah berdoa lagi.” (HR: Muslim).
Sebab Keenam: Berlebihan dalam Berdoa
Berlebihan dalam berdoa disebut al-I’tida. Larangan berlebihan di dalam berdoa merujuk kepada firman Allah,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS: Al-A’raf: 55).
Al-Mu’tadin pada ayat di atas diartikan berlebihan di dalam berdoa. Berlebihan di dalam berdoa terbagi menjadi beberapa bagian:
Pertama, Berdoa kepada selain Allah
Kedua, Berlebihan di dalam menyebut lafadh doa, seperti:
a) Terlalu merinci doa sampai pada hal-hal yang kecil dan remeh, seperti meminta HP merk Samsung yang terbaru, atau meminta mobil Rubicon warna hitam metallic.
Ini sesuai dengan hadist ‘Abdullah bin al-Mughaffal bahwasanya ia mendengar anaknya berdoa,
اللهم إني أسألك القصر الأبيض عن يمين الجنة إذا دخلتها ، فقال : أي بنيّ سل الله الجنة وتعوذ بالله من النار ، فإني سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول : إنه سيكون في هذه الأمة قوم يعتدون في الطهور والدعاء.
“Ya Allah, saya minta kepadamu istana yang berwarna putih di sebelah kanan Surga, jika saya masuk ke dalamnya.” Maka berkatalah bapaknya, “Wahai anakku, cukuplah engkau meminta kepada Allah surga dan meminta perlindungan dari api neraka karena sesungguhnya saya mendengar Rasulullah ﷺbersabda, ‘Sesungguhnya akan ada pada umatku suatu kaum yang berlebih-lebihan di dalam bersuci dan berdoa’.” (Hadits Shahih. HR: Abu Daud)
b) Terlalu berlebihan dan memaksakan penggunaan doa yang puitis yang dibuatnya sendiri.
Ketiga, Berlebihan dalam menyelisihi adab dan etika berdoa.
Seperti mengeraskan suara ketika berdoa dalam sujud pada shalat jama’ah sehingga mengganggu yang lainnya, dan mengeraskan doa di tempat dan waktu yang tidak disunnahkan. Ini sesuai dengan firman Allah,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS: al-A’raf: 55)
Keempat, Berdoa untuk sesuatu yang haram atau dilarang oleh Allah, seperti berdoa yang berisi maksiat dan memutus tali silaturrahim sebagaimana yang sudah dibahas di atas.
Sebab-sebab tidak terkabulnya doa ketujuh: Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hadist Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺbersabda,
الّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنّ بالمَعْرُوفِ ، وَلَتَنْهَوُنّ عَنِ المُنْكَرِ ، أو لَيُوشِكَنّ الله أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَ تَدْعُونَهُ فَلا يَسْتَجِيبُ لَكُمْ .
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (Hadits Hasan. HR: at-Tirmidzi dan Ahmad)
Ini juga dikuatkan dengan hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah ﷺbersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ لَكُمْ : مُرُوا بِالْمَعْرُوفِ ، وَانْهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ، قَبْلُ أَنْ تَدْعُونِي ، فَلا أُجِيبُكُمْ ، وَتَسْأَلُونِي فَلا أُعْطِيكُمْ ، وَتَسْتَنْصِرُونِي فَلا أَنْصُرُكُمْ
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala berfirman kepada kalian semua, ‘Perintahkan kepada kebaikan dan cegahlah kemungkaran sebelum kalian berdoa kepada-Ku tetapi tidak Aku kabulkan, dan kalian meminta kepada-Ku tetapi tidak Aku berikan, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku tetapi Aku tidak menolong kalian’.” (HR: Ahmad dan Ibnu Hibban). Wallahu A’lam.*/Dr Ahmad Zain Annajah, MA, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)
HIDAYATULLAH