FATWA yang dikeluarkan di suatu tempat oleh para ulama biasanya memang disesuaikan dengan kondisi real di lapangan. Sifatnya tidak selalu harus bersifat universal dan baku. Namun sangat mungkin untuk disesuaikan dengan keadaan lokal serta bersifat situasional. Terutama untuk masalah yang juga masih ada perselisihan di antara para ulama dalam hukumnya.
Misalnya fatwa boikot pruduk tertentu yang dikeluarkan oleh banyak ulama di Timur Tengah, sebelumnya pasti sudah dibahas tentang efektifitas dan dampaknya oleh para ulama. Sehingga begitu fatwa itu dikeluarkan, efeknya memang terasa. Namun belum tentu bila MUI di Indonesia mengeluarkan fatwa yang sama, akan menghasilkan hal yang sedahsyat di negeri sana.
Adapun masalah larangan nikah beda agama yang dikeluarkan MUI, tentu saja tidak sekedar dikeluarkan begitu saja. Pastilah sebelumnya sudah dibahas latar belakang, antisipasi dan dampak-dampak yang akan terjadi. Sehingga meski tidak terlalu mirip dengan apa yang dipegang oleh jumhur ulama, namun fatwa itu bisa agak sedikit lebih tetap untuk kondisi sosial agama di negeri kita. Jumhur ulama memang menghalalkan pernikahan beda agama, asalkan yang laki-laki muslim dan yang perempuan wanita ahli kitab (baca: Nasrani atau Yahudi). Adapun bila yang laki-laki bukan muslim dan yang wanita muslimah, hukumnya haram.
Di luar jumhur ulama, ada juga pendapat lain yang berbeda, tentu saja setelah dilihat manfaat dan mudaratnya. Salah satunya ketika Khalifah Umar melihat ada semacam kecenderungan para sahabat untuk ‘berlomba’ menikahi wanita ahli kitab, sehingga muncul dampak fitnah di tengah wanita muslimah. Sehingga beliau pernah berkirim surat kepada salah satu bawahannya yang isinya perintah untuk menceraikan istrinya yang wanita ahli kitab.
Tentu saja khalifah bukan mau melawan ayat Alquran yang secara tegas membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Namun saat itu beliau melihat gelagat yang kurang baik di dalam tubuh umat Islam dengan adanya pernikahan yang hukum asalnya halal itu. Kira-kira hal itulah yang bisa kita rasakan dari fatwa MUI yang mengharamkan nikah beda agama. Meski dengan latar belakang yang sedikit berbeda.
Mengapa Diharamkan?
Sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia menjadi sasaran kristenisasi sejak masa penjajahan Belanda. Angka grafik pertumbuhan penduduk yang beragama Kristen terus naik. Salah satu metode pemurtadan yang paling efektif ternyata lewat pernikahan beda agama. Di mana banyak pemuda dan pemudi muslim yang menikah dengan pasangan beda agama, tapi akhirnya anak-anak mereka menjadi non muslim.
Di sisi lain banyak sekali orang yang sekarang beragama Kristen, namun ketika diurutkan ke silsilah orang tua dan kakek neneknya, ternyata beragama Islam. Ini suatu bukti bahwa nikah beda agama di Indonesia justru kontra produktif. Bukannya berhasil meng-Islamkan orang kafir, justru orang-orang yang sudah muslim malah jadi murtad.
Maka wajar bila MUI merasa bertanggung-jawab untuk menahan laju grafik kemurtadan ini dengan melarang pernikahan beda agama secara keseluruhannya. Sebab meski laki-laki muslim menikahi wanita Kristen, kenyataannya yang kalah justru yang laki-laki, sehingga dengan mudah dia menjual iman dan agamanya, sekedar untuk bisa tetap mempertahankan istrinya yang kafir itu.
Fatwa Itu Tidak Berlaku di Eropa
Kenyataan yang sebaliknya justru terjadi di Eropa. Grafik laju pertumbuhan penduduk muslimin di sana mengalami laju yang tak terbendung. Bahkan boleh dibilang menjadi semacam ledakan jumlah penduduk yang muslim. Sampai-sampai para penguasa barat cemas melihat kenyataan ini.
Salah satu faktornya sudah bisa anda duga,yaitu karena adanya pernikahan campur antar agama. Data kependudukan membuktikan bahwa banyak sekali wanita Eropa yang menikah dengan pria muslim. Lalu anak-anak mereka memenuhi Islamic Center yang juga tumbuh menjamur di sana. Bahkan para wanita Perancis, Jerman, Inggris telah masuk ke pola trend kehidupan untuk menikah dengan pria muslim asal Timur Tengah, tidak sedikit dari mereka yang kemudian masuk Islam, memakai jilbab dan membangun rumah tangga Islami.
Trend yang terjadi di Eropa ini juga mulai menular ke benua lain seperti Amerika dan Australia. Di kedua peradaban barat itu kini sudah tidak asing lagi kita temukan wanita bule yang memakai jilbab dan bersuamikan laki-laki muslim yang sukses dalam kehidupannya. Maka alangkah tidak bijaksana bila para ulama di Eropa mengeluarkan fatwa model MUI di negeri kita. Sebab nikah beda agama di Eropa identik dengan proses Islamisasi yang luar biasa dahsyat. Sebaliknya, nikah beda agama di Indonesia identik dengan pemurtadan.
Di sini kita harus sedikit cerdas dalam menilai dan menganalisa situasi sosial masyarakat. Wallahu a’lam. Wassalamu ‘alaikum, warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341567/ulama-eropa-bolehkan-nikah-beda-agama-mui-tidak#sthash.lMa8Ddvf.dpuf