Bermula dari sebuah perintah, gerakan penerjemahan buku-buku kimia berlangsung masif. Khalid bin Yazid (meninggal pada 704 Masehi), pangeran dari Dinasti Umayyah, berada di balik titah penerjemahan itu. Ia sangat menyukai kimia, dan untuk memperdalamnya, ia menyerap buku-buku rujukan dari masa Yunani kuno.
Salah satu naskah penting yang turut diterjemahkan adalah De Materia Medica yang ditulis oleh Dioscorides. Karya ini menerangkan resep obat-obatan yang dihasilkan melalui proses kimiawi dan alamiah. Dengan pemahamannya yang mendalam pada bidang ini, kemudian Khalid dianggap sebagai pembuka pintu perkembangan farmasi.
Ilmuwan Muslim terus melaju dengan mempelajari dan menyempurnakan pengetahuan tentang farmasi. Mereka akhirnya mampu meracik dan menemukan beragam obat yang bermanfaat bagi masyarakat. Zakaria Virk dalam artikel Muslim Contribution in Pharmacy menggambarkan pencapaian-pencapaian Muslim.
Muslim yang pakar di bidang farmasi berhasil memetakan 600 jenis tumbuhan beserta khasiatnya. Virk menambahkan, pengetahuan mendalam tentang taksokologi, seperti racikan racun, obat anti racun, serta metode deteksi racun, merupakan dasar dari seni farmasi umat Islam.
Dari situ, mereka melakukan percobaan kimia untuk membuat obat mujarab. Virk menyebutkan bahwa farmasi yang ada di dunia Islam itu mencakup mereka yang ahli pengobatan herbal, pengumpul, serta penjual obat herbal dan rempah. Sejarawan sains, Ismail dan Lois Lamya al-Faruqi, meyakini keahlian di bidang kimia sangat berperan penting.
Berbekal kemampuan itu, Muslim menyiapkan formula kimia, semisal nitrat, asam sulfur, dan asam nitrohidoklorida, sebagai bahan campuran dalam proses pembuatan obat-obatan. Dalam buku Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, keduanya menerangkan bahwa kaum Muslim juga menyematkan nama Arab pada obat temuannya.
Kemajuan yang menggembirakan ini memicu kian banyaknya ahli farmasi. Mereka yang dianggap berkemampuan dalam farmasi mendapat julukan sebagai Saydalani. Zakaria Virk mengungkapkan, orang pertama yang menyandang julukan itu adalah seorang warga di Baghdad bernama Abu Quraysh al-Saydalani.
Selanjutnya, toko-toko obat dan apotek merebak di kota-kota Islam. Di Kota Baghdad, yang menjadi ibu kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah, apotek pertama berdiri. Biasanya, toko obat dan apotek dimiliki oleh para ahli farmasi. Mereka meracik sendiri obat-obatan yang dijual kepada masyarakat.