KEMAJUAN teknologi yang menjadi fasililitas dan gaya hidup masyarakat modern, ternyata tidak selamanya memudahkan.
Terbukti tidak sedikit para orang tua yang justru merasa tidak berhasil mendidik anak-anaknya di zaman teknologi yang kian pesat ini.
Parahnya, ada sebagian orang tua yang menyerah dan pasrah. Urusan pendidikan pokoknya serahkan saja ke pihak sekolah.
Berdalih kesibukan kerja dan mengejar karir, tugas orang tua akhirnya beralih menjadi ATM berjalan dan pelunas biaya yang dibutuhkan. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan pendidikan anaknya.
Acapkali disoal masalah pendidikan, maka orang tua demikian itu langsung menyahuti dengan menyodorkan deretan nama-nama sekolah elit dan bergengsi.
Seolah mereka bertanya, mau sekolah yang paling mahal di mana?
Bagi mereka, pendidikan itu dihitung dari gedung dan fasilitas fisik yang ditawarkan sekolah atau kampus tersebut. Semuanya serba diukur dengan materi dan kebendaan.
Padahal budaya ilmu yang diwariskan para ulama dahulu adalah dengan melihat kepada siapa anak tersebut menimba ilmu dan adab.
Inilah prinsip utama dalam mendidik anak. Ia lebih daripada sekadar mengukur pendidikan dengan bangunan fisik semata.
Tolak ukur keberhasilan sebuah pendidikan adalah ketika mendapati seorang anak dari jenjang satu ke jenjang berikutnya mengalami perubahan kedewasaan.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, seperti dikutip oleh Muhammad Nur Abdul Hafidzh Suwaid dalam bukunya Manhaj at-Tarbiyah an-Nabawiyah li ath-Thifl berpesan kepada orang tua dan para pendidik, barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anak-anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar.
Disebutkan, kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orang tua yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama dan sunnah-sunnahnya.
Namun keadaan tersebut (meninggalkan anak) berbeda ketika meninggalkan atau menyerahkan kepada orang lain atau pihak lain untuk dididik dan dibina.
Seperti menitipkan anak kepada ulama atau kepada lembaga pendidikan yang teruji integritasnya dalam mendidik.
Karena kemampuan orang tua dalam mendidik sangat terbatas dalam keilmuan atau karena khawatir terkontaminasi oleh lingkungan.
Hal ini berbeda jika orang tua tersebut menyerahkan urusan pendidikan ke guru atau pihak sekolah karena ingin berlepas dari tanggung jawab mendidik anak.
Sebab idealnya orang tualah sebagai orang pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan dan perilaku anak-anak yang dilahirkan dari rahim ibu mereka.
Betapa banyak orang tua yang meninggalkan anak sejak Subuh buta hingga malam pekat untuk memenuhi kebutuhan anak tetapi sejatinya telah menelantarkannya.
Di antara persoalan pokok pendidikan adalah mengarahkan fitrah dan potensi anak menuju satu tujuan kepada kebaikan (a good man).
Inilah silang sengkarut tersebut. Bagaimana orang tua bisa mengarahkan fitrah seorang anak ketika sepanjang hari tidak punya waktu membersamai anak-anaknya?
Bagaimana orang tua dapat menunjukkan teladan kebaikan kepada sang anak jika ada batas dan sekat antara anak dan orang tua?
Indikasi ini belum terbaca ketika anak masih berumur balita bahkan sampai 8 tahun. Tetapi tanda kekeliruan itu mulai tampak ketika anak beranjak baligh.
Dalam ajaran Islam, obat penawar atas kegalauan dari pendidikan tersebut sudah dihadiahkan sejak awal oleh sang panutan terbaik, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw).
Dan seorang Muslim hendaknya tidak terjebak dengan metode-metode Barat yang terkesan menarik dan hebat namun asalnya justru bobrok dan menyesatkan.
Sebaliknya dia harus senantiasa mempelajari metode Nabi dalam mendidik anak, sebab segala petunjuk urusan kehidupan itu sudah ada dalam al-Quran dan sunnah-sunnah Nabi.
Beberapa tawaran solutif yang pernah diajarkan Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallamdalam perbaikan pendidikan khususnya perilaku sosial kepada anak-anak sebagai berikut;
Pertama: Menjadi Teladan
Cara yang paling efektif menularkan adab kepada anak adalah melalui pendidikan keteladanan.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata: Aku menginap di rumah bibiku Maimunah. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam biasa bangun kemudian berwudhu dengan wudhu yang ringan dari kendi yang digantung. Setelah itu, ia shalat. Akupun berwudhu sama seperti wudhu Nabi.
Kedua: Mencari waktu tepat dalam memberi pengarahan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sangat memperhatikan waktu dan tempat untuk membangun pola pikir anak dan menumbuhkan akhlak yang baik.
Pertama, dalam perjalanan. Diceritakan oleh Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh At-tirmidzi, aku di belakang Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pada suatu hari lalu Nabi bersabda: Hai anak kecil. Aku menjawab: Labbaik Ya Rasulallah. Nabi bersabda: Jagalah agama Allah niscaya Dia menjagamu.
Aecara psikologis, seorang anak dalam perjalanan biasanya siap menerima nasihat dan pengarahan karena dalam kondisi gembira didukung oleh suasana alam terbuka yang nyaman. >>> (BERSAMBUNG)
HIDAYATULAH