KATA para pengamat: “Ini fakta yang unik bahwa salah satu yang seringkali membuat seorang pemudi itu marah adalah membiarkannya tanpa cermin dalam sehari penuh.”
Kaidah ini juga berlaku pada wanita berumur tapi masih merasa muda atau memang yang ingin memudakan diri lagi. Para pembaca setuju dengan pengamat di atas? Berkaca atau bercermin sebenarnya bernilai netral kok, bisa baik dan bisa juga tidak baik, tergantung kapan dimana dan bagaimananya.
Ada banyak cermin di rumah kita, di kamar mandi, di kamar tidur, di ruang tamu, bahkan di dalam mobil dan di sepeda motor kita. Kadang, dalam tas atau dompetpun ada cermin. Untuk apa cermin itu? Jawabannya semua sama, tidak usah saya perpanjang.
Namun, pernahkah kita merenungkan nilai yang sesungguhnya tertanam dalam cermin itu? Ternyata cermin memberikan pelajaran yang luar biasa kepada kita, yaitu kejujuran melihat orang lain. Cermin tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurangi apapun dari obyek yang ingin ditunjukkan wajah aslinya. Yang putih ditampilkan putih, yang hitam ditampakkan hitam. Obyektif apa adanya.
Yang menarik dari cermin ini ialah bahwa walau ia tahu kekurangan atau aib yang dimiliki oleh manusia yang di depannya, kemudian memberitahukannya apa adanya, cermin tak pernah menghina, mencemooh dan menyakiti. Cermin diam saja tanpa mengomentarinya
Berbeda dengan sebagian besar manusia yang begitu mudah menyakiti orang lain saat mendengar sesuatu cela atau aib yang dimiliki orang lain. Disampaikannya dan disebarkannya aib itu dengan kritik dan komentar yang menyakitkan walau pengetahuannya tentang aib itu belum tentu benar, alias sebatas duga.
Tetua Madura berkata: “Akaca ka kaca, jha’ acaca ta’ nyaman bab kakoranganna orng.” Bahasa Indonesianya: “Belajarlah ke cermin, tahu kekurangan orang, tapi tak melukainya”. Menjadi bijak itu perlu. Salam, AIM. [*]
Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi