ISLAM sebagai agama penutup yang sempurna dan paripurna, mengajarkan kepada pemeluknya untuk memiliki karakter “Izzah”. Dalam al-Qur`an misalnya –Surah Al-Munafiqun [63]: 8- termaktub bahwa Izzah itu milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Maka sudah seharusnya, setiap mukmin menjadikan Izzah sebagai karakter pribadinya. Bahkan, dalam Surah Al-Ma’idah [5] ayat 54, disebutkan bahwa ciri orang beriman adalah bersikap Izzah (tegas) kepada orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut dan kasih sayang kepada sesamanya.
Dalam bahasa Arab, kata “Izzah” mengandung beberapa makna, yaitu: kuat, keras, menang, tinggi, menahan diri dan unik atau langka (Murtadha, Tâj al-‘Arûs, XV/219) Di dalam bahasa Indonesia pun, rupanya kata ini sudah masuk idiom kamus bahasa Indonesia. Dalam kamus tersebut, ‘Izzah’ ditulis ‘izah’ yang bermakna: kehormatan, harga diri dan kekuasaan. Arti ini tentu tidak menyimpang dari bahasa asalnya.
Salah satu sosok legendaris yang patut diteladani dalam masalah Izzah adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab “al-Bidâyah wa al-Nihâyah” (1998: VII/70) mencatat dengan baik kata-kata bersejarah khalifah kedua ini yang menggambarkan kapasitas Izzahnya yang diilhami oleh Islam, “Kami adalah kaum yang dimuliakan (diberikan Izzah) oleh Allah dengan Islam. Maka, kami tidak akan mencari alternatif (Izzah) selain (yang dianugerahkan) Allah.”
Semua orang mengenal ‘Umar bin Khattab, salah satu Khulafa’ ar-Rasyidin. Keadilan dan ketegasannya dalam menjalankan pemerintahan sangat masyhur.
Umar bin Khattab terkenal dengan keadilannya ketika menjabat Khalifah ar-Rasyidin kedua. Semasa kekuasaanya wilayah Islam sudah meliputi seluruh wilalah Jazirah Arabiyah, sebagian Asia kecil, Afrika Utara, bahkan sampai ke Eropa.
Namun siapa sangka, bahwa suatu kali Umar pernah tertipu saat berbicara dengan Raja Persia yang bernama Hurmuzan.
Tiga orang kepercayaan Khalifah Umar –Anas Bin Malik, Mughirah bin Syu’bah dan Ahnaf bin Qais– mendatangi negeri Hurmuzan dan berhasil menangkapnya atas permintaan Khalifah Umar.
Dikisahkan bahwa dalam salah peperangan pasukan Islam berhasil menaklukkan Persia dan menangkap Hurmuzan. Dia kemudian dibawa ke kota Madinah untuk dihadapkan kepada Umar bin Khattab.
Menjelang tiba di Kota Madinah, mereka memakaikan Hurmuzan baju kebesarannya yang terbuat dari sutra yang telah dipenuhi dengan perhiasan emas, permata, dan mutiara. Setelah itu barulah mereka masuk ke kota Madinah bersama Hurmuzan dengan pakaian lengkapnya dan langsung mencari rumah Amirul Mukminin.
Sepanjang perjalanan, sang tawanan membayangkan alangkah megah dan hebatnya istana Umar mengingat daerah kekuasaannya yang begitu luas meliputi dua pertiga dunia. Fikirannya sang Kisra merasa rendah diri (inferor) ketika hendak menemui sang Khalifah.
Kisah pertemuan antara Hurmuzan dan Umar bin Khattab berikut adalah di antara contoh nyata bagaimana karakter Izzah ini benar-benar tercermin dalam diri sahabat yang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dijuluki Al-Faruq ini.
Dalam buku “Nizhâm al-Hukûmiyah al-Nabawiyyah” (II/250) Muhammad Abdul Hayyi Al-Kattani menulis sepenggal kisah antara Umar bin Khattab dan Hurmuzan. Kisah ini ditulis dalam bab “Fîman Kâna Yudhrabu bihi al-Matsal fi al-Haibah min al-Shahâbah” (Bab tentang orang yang dijadikan percontohan dari kalangan sahabat terkait masalah kemuliaan).
Menukil cerita Sya’bi, dikisahkan bahwa tongkat kecil Umar bin Khattab –karena begitu hebat Izzah beliau- lebih ditakuti daripada pedang Hajjaj. Suatu hari saat Hurmuzan (Raja Khurasan) menjadi tawanan yang dibawa beberapa sahabat –di antaranya Anas- untuk menemui langsung orang nomer satu umat Islam kala itu (‘Umar).
Kebetulan, saat sampai di Madinah, Umar tidak ada di rumah. Kemudian beliau dicari hingga ditemukan di salah satu masjid Madinah. Saat itu posisinya sedang tidur bersandar tongkatnya. Melihat fenomena demikian, Hurmuzan berseloroh, “Ini -demi Allah- adalah raja yang baik. Anda telah berbuat adil, sehingga bisa tidur (dengan nyenyak). Demi Allah, sesungguhnya aku telah melayani empat Raja Kisra (Persia) yang memiliki mahkotah, tidak ada satu pun di antara mereka yang aku rasakan kehebatan –Izzah nya- melebihi orang yang sedang tidur beralas tongkat ini.”
Izzah yang dimiliki Umar benar-benar membuat Hurmuzan terkagum-kagum. Sosok nomer satu yang memimpin pasukan hebat yang bisa mengalahkan Imperium Persia ini ternyata jauh dari yang dibayangkannya. Dalam benaknya, ‘Umar ini pasti raja hebat yang memiliki istana mega, harta melimpah, penjagaan yang super ketat dan lain sebagainya.
Hurmuzan tidak yakin berhadapan dengan seorang pria sederhana, khalifah besar, pemimpin pasukan Islam yang menguasai Timur dan Barat, yang mampu menjatuhkan dua raksasa super power dunia kala itu, kekuasaan Persia dan Byzantium (Rum/Romawi Timur).
Terkejutnya Hurmuzan, pemimpin besar umat Islam ini gaya hidupnya begitu bersahaja dan tanpa penjagaan. Sebuah fenomena aneh yang belum pernah Hurmuzan dapati sebelumnya. Namun, Hurmuzan menyadari bahwa salah satu kunci yang bisa membuka rasa penasaran terkait kehebatan dan izzah Umar adalah keadilan yang ditegakkan oleh Umar bin Khattab.
‘Umar baru bisa tidur nyenyak ketika keadilan ditegakkan dan didistribusikan secara merata kepada rakyatnya. Sebuah tipikal pemimpin yang lebih mementingkan kehidupan rakyat daripada diri dan kerabat; lebih memilih hidup melarat demi terciptanya keadilan untuk rakyat.
Senada dengan kisah Hurmuzan, Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhâj al-Muslim” (1964: 126) menceritakan bagaimana utusan Kaisar Romawi yang kagum kepada Umar bin Khattab. Saat sampai Madinah, dia bertanya kepada para penduduk, “Dimana raja kalian?” Oleh penduduk dijawab, “Kami tidak memiliki raja, tapi Amir (Pemimpin). Ternyata setelah dicari-cari, Umar ditemukan sedang tidur di atas pasir berbantalkan tongkat kecilnya.
“Orang yang seluruh raja goncang kerajaannya karena kehebatannya ternyata keadaannya seperti ini. Tapi, wahai Umar engkau telah berbuat adil, sehingga bisa tidur (nyenyak). Sedangkan raja kami berbuat zalim. Tidak mengherankan jika (raja kami) selalu merasa takut dan tidak bisa tidur malam.” Demikianlah contoh dari izzah Umar bin Khattab. Bagi para pemimpin yang ingin memiliki izzah seperti Umar, maka jadikanlah keadilan sebagai pusat perhatian.