Antara Gadget dan Kekhusyukan Ibadah Haji

AZAN Magrib mulai berkumandang. Masjid Nabawi begitu sesak oleh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia sore itu. Riuh ramai Kota Madinah sejenak hening dan toko-toko pun mulai menutup gerainya untuk sesaat.

Kehadiran jamaah haji dari berbagai penjuru dunia mulai dirasakan sejak tiga pekan ini. Padatnya jamaah pun membuat polisi setempat harus bekerja ekstraketat. Pemandangan di area Masjid Nabawi ini memang tidak seperti biasanya. Mereka juga tak segan-segan menegur jamaah bandel karena tidak menghiraukan panggilan salat.

Di saat Muslim lainnya tengah beribadah, ada seorang jamaah yang harus berurusan dengan pihak keamanan setempat lantaran bandel kedapatan sedang membeli pulsa ponsel di salah satu gerai sekitaran masjid.

Ia terlihat panik bukan karena terlambat salat berjamaah, tetapi karena handphone (HP) miliknya tidak bisa digunakan, sementara panggilan salat sudah di depan mata. Tentu ini bukanlah pemandangan elok ketika berada di Tanah Haram.

Itulah potret nyata yang terjadi ketika berada di Tanah Suci. Banyak jamaah Indonesia ketika beribadah justru menyibukkan diri dengan gadget-nya. Bahkan, tidak sedikit jamaah Indonesia yang harus rela berjam-jam ikut antrean di gerai pulsa untuk isi ulang paket data.

Ada juga yang datang ke gerai untuk minta diaktifkan nomor lokal Arab Saudi hingga mencari petugas haji Indonesia untuk menjadi penerjemah bahasa ke toko milik orang Arab.

Karmudin, jamaah asal Tasikmalaya, contohnya. Ketika ditemui petugas, ia tampak bingung. Ponsel yang baru saja dibeli dari salah satu toko dekat Masjid Nabawi tidak berfungsi dengan baik.

Dia mencari petugas untuk meminta bantuan agar ponselnya berfungsi dengan baik. Menurut pengakuannya, setiba di Tanah Suci, ia belum juga memberi kabar ke kampung halaman. Aplikasi WhatsApp-nya tidak bisa digunakan.

Perkaranya, ponsel yang dibeli itu tidak memiliki e-mail atau surat elektronik. Sehingga harus terlebih dahulu mengunduh di Google Playstore.

“Bapak mau pakai WA, harus punya e-mail dulu,” kata Firzan Syahroni, petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Daker Madinah, “Email-nya kayak apa itu? E-mail itu, cewek atau laki?” tanya Karmudin.

Mendengar kepolosan jamaah tersebut, petugas hanya tersenyum sambil menjelaskan apa itu e-mail yang dimaksud. Terlihat sekali jamaah ini belum pernah menggunakan gadget, bahkan ketika di Tanah Air.

Berbeda ketika di Tanah Suci, menurut dia, gadget menjadi begitu penting. Sehingga, ia harus merelakan uangnya Rp1,6 juta untuk membeli ponsel yang tidak diketahui keasliannya.

Berbeda dengan Karmudin, jamaah lain asal Malang yakni Sugeng mengaku sudah menggunakan gawai (gadget) sejak di Tanah Air. Dia pun tidak mengalami kesulitan menggunakannya. Sugeng memanfaatkan gadget untuk sekadar berfoto-foto atau berbicara dengan keluarga melalui layanan voicecall dan videocall.

Potret manusia modern yang menganggap gadget sebagai bagian dari jiwanya bukan hanya dari jamaah Indonesia. Negara lain seperti India, Turki, Bangladesh, Malaysia, Afrika, Thailand, Filipina, dan China juga tidak mau ketinggalan berebut posisi berlomba-lomba mengabadikan foto mereka alias selfie. Ada juga yang sibuk membalas pesan WhatsApp, videocall, bahkan mendengarkan musik di dalam masjid.

Fenomena ini bukanlah hal baru, bagaimana gadget menjadi sebuah kebutuhan yang hampir tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sehari-hari. Bahkan, gadget seperti menjadi ketergantungan para jamaah ketika berada di Tanah Suci.

Betapa teknologi ini mampu mengubah gaya hidup manusia. Tidak dimungkiri benda ini diciptakan tanpa kenal batas, baik batas usia maupun jenis kelamin. Siapa pun bisa memiliki gawai asal mampu membeli. Siapa saja bisa mengaksesnya asal bisa mengerti caranya.

Mudah dibawa ke mana-mana, disimpan dalam saku atau genggaman tangan pun akan terasa ringan. Sehingga, tidak heran bila anak-anak zaman sekarang banyak yang keranjingan benda tersebut.

Imam Masjidil Haram Menangis

Dalam sebuah kisah, Imam Besar Masjid Al Haram Syeikh Abdurrahman Assudais di suatu masa ketika mengimami salat berjamaah di depan Kakbah, Beliau mendengar suara alunan musik nada dering salah satu gawai milik seorang jamaah yang menjadi makmum di belakangnya.

Selesai salat, Beliau bangkit sambil menangis dan berkata kepada jamaah tersebut. “Saya belum pernah mendengar musik di rumah saya, tetapi kenapa hari ini saya mendengar musik di rumah Allah,” ujarnya sedih.

Dia mengibaratkan pemain sepakbola tidak ada satu pun yang membawa benda yang dinamakan gadget itu masuk lapangan ketika bertanding. Mereka para pemain hanya cukup fokus pada permainannya.

Apakah penting keberadaan handphone ketika memasuki rumah Allah atau masjid? Apakah juga lapangan bola lebih mulia daripada masjid? Atau, apakah bermain bola itu lebih fokus atau khusuk daripada salat?

Pertanyaan tersebut seharusnya bisa dijawab oleh jutaan umat Islam yang tengah beribadah di Tanah Haram. Sebab, tidak sedikit manusia di dunia ini yang ketika memasuki Masjidil Haram atau Masjid Nabawi justru sibuk dengan gawainya ketimbang khusyuk beribadah.

Dia mengibaratkan pemain sepakbola tidak ada satu pun yang membawa benda yang dinamakan gadget itu masuk lapangan ketika bertanding. Mereka para pemain hanya cukup fokus pada permainannya.

Apakah penting keberadaan handphone ketika memasuki rumah Allah atau masjid? Apakah juga lapangan bola lebih mulia daripada masjid? Atau, apakah bermain bola itu lebih fokus atau khusuk daripada salat?

Pertanyaan tersebut seharusnya bisa dijawab oleh jutaan umat Islam yang tengah beribadah di Tanah Haram. Sebab, tidak sedikit manusia di dunia ini yang ketika memasuki Masjidil Haram atau Masjid Nabawi justru sibuk dengan gawainya ketimbang khusyuk beribadah.

Pendapat Ulama

Sementara menurut pendapat Konsultan Pembimbing Ibadah Haji Akhmad Kartono, sah-sah saja orang beribadah membawa HP ke dalam masjid untuk sekadar eksis alias berfoto-foto. Akan tetapi secara hukum agama, jangan sampai kegiatan ibadah yang menjadi keutamaan dikalahkan dengan kegiatan dengan hal-hal yang justru tidak penting.

“Secara hukum dibolehkan, tidak ada masalah ya untuk kenang-kenangan. Tetapi, jangan menjadi tujuan utama, karena ini justru akan mengganggu dari kegiatan ibadah,” kata Kartono kepada Okezone di Madinah, Minggu (5/8/2018).

Menurut dia, Pemerintah Arab Saudi sendiri sulit mencegah maraknya teknologi. Walaupun sebelumnya memang ada larangan keras.

Namun demikian, hal ini harus menjadi perhatian semua pihak. “Satu hal yang harus dihindari adalah sifat ria. Karena apa? Rasulullah sendiri ketika niat untuk memasuki ihram, Beliau mengatakan, ‘Saya melaksanakan ibadah tidak untuk didengar orang lain, tidak untuk pamer-pamer ibadah, dan tidak untuk membangga-banggakan ibadah kita’,” tuturnya.

Saya secara pribadi mengimbau agar kegiatan ibadah menjadi keutamaan. Sementara kegiatan foto-foto jangan dijadikan tujuan utama dan jangan sampai mengganggu jamaah lain juga.

OKEZONE

 

 

Alhamdulillah, aplikasi cek porsi haji sudah aktif kembali. Cek informasi akomodasi haji tahun ini. Install dari HP Android Anda