AWALNYA saya tidak begitu perhatian pada perilaku Mat Kelor dalam kaitannya dengan makanan. Baru pada hari ketiga saya sadari mengapa ruang makan selalu saja agak ramai kalau dia datang. Dia antri dengan taat dan rapi di antara jamaah haji yang juga antri makan. Saat sampai di meja prasmanan, selalu saja ada yang tertawa senyum-senyum.
Apa pasalnya? Pertama, Mat Kelor selalu berkata: “Kok selalu ayam goreng ya, kapan bebek gorengnya?” Kedua, tiap hari bertanya pada pramusaji: “Mengapa telur ayam terus, kapan telur bebek?” Para jamaah bertanya-tanya dalam hati mengapa Mat Kelor selalu bertanya tentang bebek. Mengapa dia fanatik betul dengan bebek. Tak ada yang berani bertanya karena takut menyinggung rasa.
Pak Edi, saudara saya yang rutin haji tiap tahun, memberanikan diri bertanya. Saya hanya pendengar saja karena tak enak sesama Madura bertanya hal pribadi yang sangat tak umum. Pak Suliman (nama Asli Mat Kelor), mengapa Anda fanatik telor bebek dan bebeknya sekalian. Mengapa tak suka ayam dan telur ayam?”
Mat Kelor menjawab: “Saya berusaha hidup syar’i Bapak. Semua harus ikut syari’ah. Begini ini adalah fanatik yang diharuskan demi agama. Ayam itu tidak syar’i, bebek itu syar’i. Lihatlah saat ayam jantan bercinta dengan ayam betina, dua-duanya langsung pergi mencari makan. Lihatlah bebek, setelah bercinta pastilah mereka mandi wajib, menenggelamkan tubuhnya dalam air. Karena itu telur bebek adalah produk halal, sementara telur ayan adalah haram karena tak pakai mandi wajib.”
Kami semua tertawa ngakak. Fanatiknya Mat Kelor tak beralasan dan tak ilmiah. Mengapa dia juga tidak bertanya siapa yang menikahkan ayam dan bebek itu. Namun, semangat Mat Kelor perlu diacungi jempol. Jangan dipatahkan. Dia butuh diajari dan dibimbing. Fanatik tanpa dasar itu berbahaya. Semangat tanpa pengetahuan itu bisa membuat derita, derita pada diri sendiri dan derita pada orang lain. Teruslah belajar dan buka wawasan. Salam, AIM. [*]
Oleh :Â KH Ahmad Imam Mawardi