MAT Kelor memang sudah menjadi kaya semenjak menekuni bisnis kelornya. Namun gaya hidupnya tetap saja gaya Suliman masa lalu, tak ada beda. Bahasanyapun tetap bahasa Madura, kecuali terpaksa maka dia berbahasa Indonesia dengan kosa kata terbatas.
Ada yang bertanya kepadanya kok bisa kaya padahal tak bisa bahasa Inggris. Dijawabnya: “Uang itu tak memakai bahasa mulut, melainkan bahasa hati.” Jawaban ini memiliki banyak tafsir. Kapan-kapan undanglah dia untuk bercerita tentang bahasa uang.
Hari kedua di Mekah, Mat Kelor dan isterinya terpisah dari jamaah seusai thawaf, sai dan cukur. Lama sekali tak pulang ke hotel. Sang pembimbing mencarinya dan akhirnya ketemu. Ditanyalah mereka berdua mengapa menghilang. Jawabnya: “Kami tak menghilang Ustadz. Kami keliling masjidil haram ini mencari posisi kotak amal. Tak nyaman hati ini pulang masjid sebelum meletakkan uang dalam kotak amal.”
Ternyata, orang kalau sudah biasa shadaqah merasa tak enak kalau tak shadaqah. Persis dengan orang yang tak biasa shadaqah pasti merasa tersiksa batinnya saat diminta sumbangan. Sang Pembimbing menjelaskan bahwa di Mekah ini tak ada masjid yang punya kotak amal. Toilet pun tak ada kotak amal. Mat Kelor kagum luar biasa. Sambil geleng kepala berkata: “Di Indonesia, kotak amal masjid biasa jalan ke rumah-rumah bahkan ke jalan raya.”Salam, AIM. [*]
Oleh :Â KH Ahmad Imam Mawardi