Ketua PBNU Robikin Emhas mengatakan, sebutan ulama pada orang tidak sekadar yang bersangkutan menguasai disiplin ilmu tertentu. Ulama juga mempraktikkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.
“Penguasaan ilmu agama, konsisten, kredibel, dan panutan adalah kata kuncinya. Tidak semua orang yang menguasai ilmu agama layak disebut alim atau ulama,” katanya, Rabu (19/9).
Dalam perjalanan kebudayaan, kata Robikin, predikat alim atau ulama dilekatkan kepada orang yang menguasai di bidang ilmu agama dan secara sosial layak menjadi panutan masyarakat. Ia dinilai kredibel dan konsisten dalam mengamalkan ilmu agamanya.
Robikin lantas mencontohkan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda dan ahli politik imperialis pada era kolonial yang dikenal sebagai pembelajar dan menguasai Alquran. “Kalau dasarnya hanya penguasaan ilmu, Snouck Hurgronje pun layak disebut ulama,” ujar Robikin.
Namun, lanjut dia, tak seorang pun yang menyebut Snouck Hurgronje sebagai pribadi yang alim sebagai ulama. Apalagi, menjadikannya sebagai panutan.
“Karena ia tidak mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. Bahkan, mempelajari Alquran untuk maksud dan tujuan yang berbeda sehingga tidak menunjukkan adanya konsistensi pada dirinya,” katanya.
Hal lain yang tak kalah penting, kata Robikin, predikat alim atau ulama dalam sejarahnya tidak lahir dari rekayasa sosial, apalagi dimaksudkan demi kepentingan duniawi berupa pencitraan politik.
Selain itu, predikat alim atau ulama adalah status sosial, bukan jabatan politik atau gelar akademik produk lembaga atau forum tertentu.
“Predikat alim atau ulama secara alamiah lahir dari rahim sosial, bukan dilahirkan atas dasar kesepakatan bersama dalam suatu forum permusyawaratan,” ujar Robikin.