Riya disebut dekat dengan syirik. Rasulullah SAW sampai- sampai takut umatnya akan terjatuh dalam kubangan sikap yang diistilahkan dengan syirik kecil itu. Padahal, tiada sesuatu yang berhak untuk dijadikan sandaran perbuatan melainkan Allah SWT.
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 22).
Dalam menjelaskan ayat ini, sahabat Ibnu Abbas atau Abdullah bin Abbas menjelaskan, yang dimaksud dengan sekutu-sekutu bagi Allah adalah berbuat syirik.
Dia pun menjelaskan, syirik itu merupakan perbuatan dosa yang lebih sulit dikenali ketimbang jejak semut yang merayap di batu hitam di tengah kegelapan malam.
Imam al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddinyang saripatinya diringkas oleh Syeikh Jamaluddin al-Qasimi menjelaskan, riya ada yang samar-samar dan terang- terangan.
Riya terang-terangan adalah riya yang membangkitkan suatu perbuatan dan mengan- tarkan pada suatu perbuatan, wa laupun pada mulanya ia bermaksud untuk mendapatkan pahala. Ini adalah riya yang paling terang-terangan.
Sedikit lebih samar adalah riya yang tidak mengantarkan pada suatu perbuatan tersendiri, tetapi perbuatan yang sudah biasa dilakukan dengan tujuan untuk mengharap keridhaan Allah SWT menjadi ringan.
Contohnya, orang yang shalat tahajud tiap malam dengan perasaan berat. Namun, apabila di rumahnya terdapat tamu ia menjadi giat dan ringan melakukan Tahajud.
Riya yang lebih samar lagi adalah riya yang tidak terpengaruh pada perbuatan dalam hal membuatnya terasa mudah dan tidak pula dalam hal membuatnya terasa ringan.
Riya itu menyusup ke dalam hati. Tanda-tandanya yang paling jelas adalah ia merasa bergembira manakala ada orang yang melihat ketaatannya.