Selamat Datang, Wahai Para Malaikat Allah

ENGKAU telah menggapai kemuliaan dunia yang hakiki. Tak ada orang lain. Tak ada orang yang dapat mencapai derajat tertinggi itu. Engkau telah mencapai derajat yang paling puncak yang tidak dapat didaki, kecuali hanya oleh orang-orang yang ikhlas. Orang-orang banyak beribadah, bercita-cita luhur, dan meninggalkan dunia beserta kesenangannya.

Ia adalah orang yang paling dekat dengan sahabat Abdullah bin Masud radhiyallahu. Ia adalah orang yang paling wara. Ia adalah seorang pria yang hatinya sangat lembut. Suka menumpahkan air mata. Apabila salat ia lupa akan segala hal. Tak ingat lagi kehidupan dunia. Ia sangat mencintai Rabbnya. Ibadahnya tak pernah henti. Ada seorang pria Aslam, yang memberikan kesaksian, ketika melihat orang itu sedang salat, yang ia tak pernah melihat dilakukan oleh orang lain. “Apabila ia sujud, ia laksana kain yang dilempar dan dihinggapi oleh burung-burung”, ujar Aslam.

Saat menjelang malam ia jarang tidur. Ia tak memejamkan matanya. Saat orang lain sedang asyik dibuai mimpi-mimpi. Keluarganya pun kasihan kepadanya. Sampai seorang putrinya menegurnya. “Wahai ayah!. Mengapa selalu terjaga? Padahal orang-orang sedang asyik tidur?”. Orang itu menjawab pertanyaan putrinya. “Sesungguhnya neraka janaham terbayang di mataku!, ucap ayahnya. Suatu ketika. Orang itu berkata kepada putrinya yan ia cintai itu, dan berkata: “Aku sangat takut. Takut aku tergelincir ke dalam neraka”, kata ayahnya.

Para sahabat lainnya, ingin mengetahui, bagaimana lamanya salat tahajud di malam hari. Salah seorang sahabat, lalu menuturkan : “Mereka menaruh tanda di rambutnya, karena rambut orang itu tebal, untuk mengetahui orang itu tidak atau tidak? Ternyata tanda yang mereka taruh itu tidak berubah. Dari peristiwa itu, diketahui ia tidak membaringkan tubuhnya di malam hari”.

Bila pagi tiba. Ia berkata: “Selamat datang, wahai para malaikat Allah. Tulislah, Bismillaahir-Rahmanaanir-Rahim, subhanallah, wal-hamdulillah, laa Ilahaa illallaah wallaahu Akbar!”. Ia sangat meresapi makna Alquran, bila membacanya. Mengetahui apa yang diperintah dan larangannya. Mengenal betul janji dan ancamanNya. Suatu kali, ia melakukan salat tahajud, dan membaca ayat: “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu”. (al-Quran : 45:21) Ayat itu merasuk ke dalam pikirannya. Sampai tidak dapat melanjutkannya. Ayat itu diulang-ulang sampai pagi hari. Ia merasakan lezatnya, ketika membaca al-Quranul Karim.

Siapa orang itu? Ia tak lain adalah Rabi bin Khutsaim bin Aidz rahimahullah. Ia adalah murid Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, yang menjadi pewaris ilmunya, peneladan akhlaknya, imam dalam ibadah, zuhud, dan wara.

Rabi tak suka memperlihatkan amal ibadahnya. Ia bahkan berupaya menyembunyikan ibadahnya. Ketika ada orang menemuinya sedang ia sedang memegang mushaf Alquran, ia menutupinya dengan kain agar tak terlihat. Rabi tidak melakukan salat sunah di masjid jami. Ia hanya satu kali orang-orang melihatnya mengerjakan salat sunah. Rabi bin Khutsaim rahimahullah telah mencapai tingkat rasa takut kepada Allah Azza Wa Jalla yang sangat tinggi. Hatinya selalu dipenuhi oleh khasyatillah (takut kepada Allah). Orang yang keadaan seperti itu, pasti akan ringan bagi dari segala musibah dan ujian dunia.

Suatu kali. Rabi pergi bersama dengan Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu. Mereka berdua melihat tukang besi. Mereka berdua melihat besi yang sedang menyala dan ditempa. Lalu, Ibnu Masud melanjutkan ke tempat lain. Sampai ditepian sungai Eufrat. Ditepian sungai yang membelah kota Bagdad itu, mereka bertemu dengan seorang pandai besi yang mengerjakan pembuatan perkakas. Saat melihat api yang menyala-nyala itu, Abdullah bin Masud membacakan ayat al-Quran : “Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan, apabila mereka dilemparkan ketempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan”. (al-Furqan :25:12-13).

Saat itu, tiba-tiba Rabi pingsan, dan digotong ke rumahnya. Abdullah bin Masud menunggui sampai dhuhur. Belum juga siuman. Sampai ashar belum juga siuman. Dilanjutkan sampai magrib. Belum juga siuman. Baru sesudah itu, Rabi siuman, kemudian Abdullah bin Masud meninggalkannya. Itulah kondisi orang-orang yang bertaqwa.

Seorang dari Bani Taymillah bercerita, dan pernah mendampingi Rabi selama dua tahun. Selama dua tahun itu, orang menceritakan, bahwa Rabi, hanya berbicara satu kali, yang berkaitan dengan dunia, dan dalam bentuk pertanyaan. “Apakah ibumu masih hidup? Berapa masjid dilingkunganmu?”. Orang yang hatinya sibuk dengan zikrullah, tak memiliki kesempatan menyebut-nyebut dunia.

Pernah Rabi terkena penyakit lumpuh dalam waktu yang lama. Suatu ketika ia ingin makan daging ayam. Namun, ia menahan keinginannya itu selama empat puluh hari. Baru, ia berkata kepada istrinya : “Aku ingin makan daging ayam sejak empat puluh hari yang lalu, agar keinginanku dapat diredam”, ucapnya. “Subhanllah.Mengapa itu tidak engkau lakukan?”, sahut istrinya. Maka, istrinya menyuruh seseorang pergi ke pasar membeli ayam. Lalu, disembelihnya ayam itu. Usai menyembelih ayamnya, lalu memasak ayam itu, dan dicampur dengan roti, kemudian istrinya menghidangkan masakan itu kepada suaminya.

Betapa. Saat Rabi akan makan hidangan ayam beserta roti, di depan pintu datanglah seorang pengemis dan meminta- “Berikanlah ini kepadanya. Semoga Allah Azza Wa Jalla memberkahi”, kata Rabi kepada istrinya. “Subhanallah”, sahut istrinya. “Sudahlah. Berikan kepada dia”, kata Rabi. Isterinya lalu berkata : “Kalau begitu aku akan melakukan hal-hal yang lebih baik”, tukas istrinya. “Apa?”, tanya Rabi kepada istrinya. “Aku akan memberikan uang seharga makanan ini”, jawab isterinya. Setelah isterinya menyerahkan uang itu kepada pengemis itu, lalu Rabi berkata :”Berikanlah uang berikut makanan itu seluruhnya”.

Suatu hari datang seoran laki-laki ke rumahnya meminta nasehat. Rabi rahimahullah mengambil kertas lalu menulsikan kata-kata : “Katakanlah, marilah kebucakan apa yang diharamkan Tuhanmu,yaitu : Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu (ibu-bapak), dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepada kamu dan mereka,dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, melainkan dengan sebab yang benar”.

Rabi bin Khutsaim telah memberikan teladan. Memberikan pelajaran. Memberikan arahan. Semua menjadi jalan menuju kehidupan yang diridhai Allah Azza Wa Jalla. Tak ingin mendapatkan murkaNya, kelak di akhirat nanti. Wallahu alam. [Eramuslim]