Jauh sebelum Hiromi Shinya mengungkapkan hal tersebut, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan umatnya untuk menjaga kesehatan pencernaan dengan mengatur pola makan. Beliau bersabda, ”Tidak ada tempat yang paling jelek pada diri anak Adam selain perut yang penuh (oleh makanan). Cukuplah baginya beberapa suap sekadar untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika ia bisa mengendalikan dirinya, cukuplah (perutnya terisi) sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiganya lagi untuk udara.” (HR Ibnu Majah).
Peribahasa, ”Mencegah lebih baik daripada mengobati” tecermin jelas dalam sabda Nabi itu. Untuk mencegah penyakit dalam, Nabi SAW mengajarkan supaya mengatur pola makan. Sedangkan untuk mencegah penyakit luar dengan cara menjaga kebersihan. Kewajiban wudhu sebelum shalat, sunah mandi sebelum shalat Jumat, juga sunah bersiwak menjadi bukti bahwa Nabi menganjurkan kebersihan diri.
Beberapa abad kemudian, Ibnu Butlan dalam kitabnya Taqwin As-Shihha (Menjaga Kesehatan) menjelaskan enam langkah menjaga kesehatan badan. Boleh dikata, enam langkah ini merupakan penjabaran dari hadis di atas dan sunah Nabi SAW sehari-hari. Karena, langkah hidup sehat yang diungkap lebih menekankan pencegahan daripada pengobatan.
Pertama, menghirup udara yang bersih, karena ini punya efek yang baik bagi kesehatan jantung. Kedua, mengatur pola makan dan minum secara baik. Ketiga, menjaga keimbangan antara aktivitas dan istirahat. Keempat, mengatur pola tidur. Kelima, membiasakan diri dengan relaksasi dan suasana humor. Dan keenam tidak berlebihan dalam meluapkan emosi ketika senang, marah, sedih, dan takut.
Karena ada kesadaran yang tinggi akan kesehatan itulah, kajian-kajian tentang kesehatan dalam dunia sudah berkembang pesat sejak awal. Sarjana-sarjana Muslim sedari awal melakukan penelitian ilmu kedokteran dan berhasil menemukan bermacam jenis penyakit dan obat-obatan.
Tak hanya itu, lembaga-lembaga kesehatan, klinik, dan rumah sakit, didirikan di setiap kota atas biaya pemerintah. Bahkan, berdasarkan catatan Afzalur Rahman dalam Muhammad sebagai Pecinta Ilmu, pada abad ke-11 M sudah ada rumah sakit keliling di kota-kota Islam.
Etika dokter
Spirit ajaran Nabi SAW tidak hanya menginspirasi umat Islam dalam ilmu medis, tetapi juga etika pengobatan pasien. Perumusan etika kedokteran dilakukan secara matang pada zaman Turki Usmani.
Akdeniz dalam karyanya Dokter Ottoman dan Etika Kedokteran menyebutkan, secara garis besar ada empat hal yang harus dipegang teguh seorang dokter di era kekhalifahan Turki Usmani, yakni; kesederhanaan/kesopanan, kepuasan, harapan, dan kesetiaan. Seorang dokter yang baik, lanjutnya, akan mematuhi keempat aturan dalam menjalankan praktiknya.
Para dokter di zaman Turki Usmani bersama-sama menyusun kode etik kedokteran. Mereka mengusulkan apa yang harus dilakukan serta yang harus dihindari saat menjalankan praktik medis. Menurut Akdeniz, berdasarkan catatan para dokter di zaman itu, etika kedokteran mengatur perilaku dokter saat berinteraksi dengan pasiennya.
Dalam hal kesopanan/kesederhanaan, seorang dokter harus menyadari bahwa dia sebagai khalifah Tuhan yang bertugas menolong proses penyembuhan pasien. Seorang dokter hanyalah sarana, sedangkan penyembuh nyata adalah Allah SWT.
Di samping itu, seorang dokter harus melawan uang yang bukan haknya dengan alasan pengobatan. Etika yang ditetapkan menuntut agar seorang dokter menahan diri, tidak menjadi ambisius, dan tekun mengumpulkan uang. Dalam sikap yang demikian, seorang dokter juga diwajibkan melanjutkan pengobatan kepada pasiennya selama dia mampu; merawat pasiennya secara jujur, dan tidak mengenal putus asa.
Akan tetapi, spirit modernitas mendorong terjadinya perubahan etika kedokteran yang begitu besar,. Akibatnya, nilai-nilai moral yang menjadi pegangan para dokter terdahulu terkikis dan tergantikan dengan nilai-nilai baru yang lebih pragmatis. ”Kebaikan telah mengalami kemunduran,” papar Prof Nil Sari dalam karyanya berjudul Tip Deontolojisi.