Di bulan Desember ini, persoalan toleransi kembali menemukan momentum untuk dibicarakan. Seolah menjadi ajang diskusi rutin tahunan, isu-isu yang bertemakan toleransi beragama menjadi topik hangat yang mengundang komentar dan sikap dari banyak kalangan. Hal itu karena di bulan Desember ini, Umat Kristiani merayakan hari natal pada tanggal 25 Desember.
Sebenarnya, garis toleransi dalam Islam telah demikian jelas. Ia terangkum dalam firman Allah, “Lakum diinukum wa liya diin.” (untukmu agamamu dan untukku agamaku).
Ulama asal Tunisia, Samahatu al Ustadz Muhammad Thahir Asyur rahimahullah dalam Tafsirnya yang fenomenal, “Tafsiru al Tahrir wa al Tanwir” berkata mengenai ayat diatas, “Dalam kedua kalimat diatas, nampak didahulukan musnad (lakum/liya) atas musnad ilaihnya (diinukum/diin), untuk menegaskan pembatasan. Artinya, agamamu, hanya terbatas untukmu, tidak melampauimu sehingga menjadi milikku. Dan agamaku juga terbatas untukku, tidak melampauiku sehingga menjadi milikmu. Maksudnya, karena jelas mereka tidak menerima Islam. Al Qashr (pembatasan dalam ayat ini) termasuk qashr ifraad. Dan huruf ‘laam’ dalam kedua kalimat diatas bermakna kepemilikan, yaitu keshususan dan keberhakan.
Adapun ‘Diin’ bermakna akidah dan millah, ia adalah hal-hal yang diketahui dan diyakini oleh seseorang, dimana amal perbuatan dilandaskan kepadanya.” (vol. 30, hal. 648)
Dari ayat ini, toleransi seharusnya dimaknai sebagai sikap mengakui dan menghargai eksistensi non-muslim dan agama yang dianutnya, tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam karena tidak ada paksaan dalam agama, memberi kebebasan kepada pemeluknya untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya, tidak mengganggu dan mengusik ketenangan pemeluk agama lain, namun juga mengambil sikap tegas untuk berlepas diri dalam urusan-urusan yang termasuk ranah akidah dan agama mereka.
Penting untuk dicermati, toleransi tidak boleh dimaknai sebagai upaya mencampuradukkan keyakinan, ritual ibadah, tradisi dan simbol-simbol antar agama-agama. Karena itu berarti menghancurkan sendi-sendi agama. Toleransi hendaknya dilandaskan pada pengakuan terhadap keberagaman (pluralitas), bukan dibasiskan pada pengakuan ideologi semua agama adalah sama dan benar (pluralisme).
Dengan demikian, seorang muslim tidak dibenarkan meyakini hal-hal yang ada dalam keyakinan agama lain, melakukan ritual ibadah agama lain, ikut serta meramaikan tradisi agama lain, urun rembuk mensukseskan perayaan hari besar agama lain dan mengenakan simbol-simbol serta atribut-atribut agama lain. Menjadi haram hukumnya dan berdampak serius pada akidah seorang muslim, jika ia melakukan hal-hal seperti itu.
Syaikh al ‘Allamah Muhammad al Amin Asy Syanqithi rahimahullah ketika menafsirkan surat al Kafirun berkata, “Dalam surat ini terkandung sebuah garis tegas reformasi; yaitu sikap menolak segala bentuk pencampuradukkan (agama). Karena mereka (orang-orang kafir) sebelumnya menawarkan opsi untuk melakukan serikat dalam ibadah, yang dalam logika mereka, merupakan solusi pertengahan, karena masing-masing agama memiliki kemungkinan benar. Sehingga datanglah sebuah counter yang tegas melarang, karena dalam opsi itu termuat penyamaan antara yang benar dan salah, penggantungan masalah, pengakuan atas kebatilan, jika beliau menyepakati mereka walau pun hanya sesaat. Surat ini menjadi garis pembeda antara kedua belah pihak, akhir dari rekonsiliasi, sekaligus awal perseteruan.” (Tatimmah Ahdwaa` al Bayaan, vol. 9, hal. 585)
Diantara prinsip seorang muslim adalah, meyakini bahwa Islam satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah (lihat: QS. Ali Imran: 19). Siapa saja yang beragama dengan selain Islam, maka agamanya akan tertolak (lihat: QS. Ali Imran: 85). Hal ini sangat gamblang diterangkan dalam Kitab suci umat Islam, al Qur`an al Karim. Prinsip ini kemudian terformulasi dalam konsep al Wala (loyalitas) dan al Bara (antiloyalitas) dalam akidah Islam. Loyal kepada Islam dan kaum muslim, serta antiloyal kepada agama selain Islam dan non-muslim. Dan diantara perwujudannya, adalah hanya membatasi diri dalam soal keyakinan, ritual ibadah, perayaan, tradisi, simbol dan atribut Islam, serta menjauhkan diri dari semua yang ada pada agama lain dalam urusan-urusan tersebut, tanpa menghalangi untuk saling berinteraksi, bermasyarakat, bekerjasama dalam kebaikan, hidup berdampingan dan bahkan memperlakukan mereka dengan cara yang baik selama dalam koridor urusan dunia.
Toleransi dalam wujud ini, diantaranya Allah terangkan dalam firman-Nya (yang artinya),
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Itulah kiranya pula yang menjadi alasan para ulama melarang umat Islam mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani, apalagi menghadiri perayaannya, membantu mereka dalam urusan agama mereka dan memakai atribut-atribut agama mereka seperti memakai baju atau topi sinterklas pada momen natal seperti sekarang ini yang sangat disayangkan, atas nama toleransi beragama, sejak beberapa tahun kebelakang telah ditradisikan oleh sejumlah perusahaan pada para karyawan dan karyawati mereka, khususnya para pelayan toko, restaurant dan mall, yang notabene beragama Islam.
Untuk itu, penulis mengajak kepada segenap kaum muslimin, agar kembali mengokohkan jati diri kita sebagai umat Islam. Ikut-ikutan meramaikan tradisi dan perayaan agama lain adalah sikap imperior yang seharusnya tidak eksis dalam dada-dada kita. Karena kita yakin, sekali lagi, agama yang benar dan kelak akan mengantarkan kita ke surga hanyalah Islam. Wallahu a’lam.
—
Penulis: Ust. Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/23963-menyoal-kembali-arti-toleransi-dalam-momentum-perayaan-natal.html