Tiga Ayat Toleransi Beragama dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya

Islam merupakan agama yang dibangun di atas rahmat dan kasih sayang serta toleransi. Dalam banyak hal, termasuk di dalamnya ialah perihal toleransi antar keyakinan tiap umat beragama, merupakan salah satu bentuk “sikap” Islam terhadap pemeluk agama lain. Nah berikut ada tiga ayat toleransi beragama dalam Al-Qur’an dan tafsirnya.

Hal tersebut tercermin oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengarahkan bagaimana Allah menuntun Nabi Muhammad Saw (yang juga termasuk umatnya tentunya) untuk bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain.

Ayat Toleransi Beragama dalam Al-Qur’an

Ada banyak ayat al-Qur’an yang dapat menjadi tendensi atas toleransi keberagaman tersebut di antaranya, berikut penulis hadirkan beserta tafsirnya.

PertamaQ. S. Yunus: ayat 40, ketika Allah memberikan penjelasan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa tidak semua umat manusia yang ia ajak akan beriman dan mengikutinya. Hal tersebut sudah menjadi ketentuan yang digariskan oleh Allah dan tidak bisa diganggu gugat. Agama dan keyakinan tidak bisa dipaksakan kepada setiap manusia.

وَمِنْهُمْ مَّنْ يُّؤْمِنُ بِهٖ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّا يُؤْمِنُ بِهٖۗ وَرَبُّكَ اَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِيْنَࣖ

Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitabnya “Safwat at-Tafasir Juz I” hal 585 dalam menafsiri ayat tersebut memberikan penjelasan demikian:

“Di antara mereka orang-orang yang engkau diutus kepada mereka wahai Muhammad, ada yang beriman dengan al-Qur’an ini dan mengikutimu serta mengambil kemanfaatan terhadap yang engkau bawa.

Di antara mereka (juga) ada yang tidak mengimaninya, mereka mati dengan membawa keyakinan mereka dan juga akan dibangkitkan. Sedang Allah mengetahui terhadap mereka yang berbuat kerusakan (Allah mengetahui mereka yang berhak mendapatkan hidayah sehingga Allah memberi mereka hidayah dan Allah mengetahui (pula) mereka yang berhak mendapatkan dhalal sehingga Allah memberikan dhalal kepada mereka)”,

Ayat tersebut selain memberikan penjelasan mengenai “ketentuan Allah” terhadap keberagaman keyakinan agama manusia juga tak lain merupakan “tasliyah”, penghibur bagi Nabi, serta “tanbih” atau pengingat bahwa tugas Nabi Saw hanyalah mengajak umat manusia. Sedang memberi hidayah ialah bagian Allah Swt.

Oleh karenanya, pada ayat setelahnya Allah memerintahkan kepada Nabi untuk melepas diri terhadap amal perbuatan mereka, karena Nabi Saw sendiri telah melaksanakan tugasnya sebagai pembawa risalah.

Kedua, Q.S. Yunus: ayat 99, ketika Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa jika Ia menghendaki, Ia akan membuat seluruh umat manusia yang ada di muka bumi beriman. Hal tersebut mudah saja bagi Allah.

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?

Ayat tersebut secara tidak langsung menjelaskan kepada kita akan pentingnya bersikap “toleran” terhadap umat agama lain. Semuanya telah digariskan oleh Allah, tidak boleh ada paksaan dalam beragama.

Hal tersebut sebagaimana sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad Ali Al-Shabuni dalam menafsiri ayat tersebut yang kira-kira sebagai berikut:

“Jika Allah menghendaki maka seluruh umat manusia bisa saja beriman, akan tetapi Allah tidak menghendaki hal tersebut karena hikmah yang terkandung di dalamnya. Allah menginginkan keimanan secara sukarela dari hambanya, bukan keimanan yang timbul dari paksaan.

Apakah engkau wahai Muhammad akan memaksa mereka untuk beriman dan masuk ke dalam agamamu?”

Ketiga, Q.S. Hud: ayat 118, dalam ayat ini Allah juga menjelaskan kepada Nabi Saw bahwa keberagaman agama umat manusia merupakan ketetapan yang digariskan.

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat)”.

Dalam menafsiri ayat tersebut, syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitabnya “Safwat at-Tafasir Juz II” hal 37 menjelaskan dengan “gamblang” bagaimana Allah memberi ketetapan keberagaman keyakinan kepada umat manusia. Ia menjelaskan sebagai berikut:

“Jika Allah mengendaki, Ia dapat menjadikan seluruh umat manusia beriman dan beragama Islam, akan tetapi Allah tidak melakukannya karena hikmah.

Mereka (umat manusia) akan terus beragam dalam agama yang berbeda-beda, keyakinan yang berbeda-beda: antara Yahudi, Nasrani, Majusi. Kecuali mereka (umat manusia) yang Allah dengan anugerah-Nya beri hidayah..”

Dari ketiga ayat tersebut, dapat dipaham bahwa hidayah adalah hak prerogratif Allah sebagai Tuhan sekalian alam, bukan hak manusia untuk ikut campur di dalamnya. Apalagi memaksa umat agama lain untuk masuk ke dalam Islam.

Dan dari pemahaman tersebut pula seharusnya umat Islam sadar bahwa jika memang keberagaman sudah digariskan, maka seyognyanya bagi umat Islam untuk bersikap toleran terhadap keyakinan agama lain.

Demikian, di antara ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan terkait toleransi beragama dan keyakinan. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Tafsir Surah al-Mumtahanah Ayat 8: Anjuran Toleransi terhadap Non Muslim

Tak bisa dipungkiri, bahwa toleransi merupakan sebuah keniscayaan. Dalam Islam, toleransi sangat dianjurkan untuk pemeluknya. Islam, sangat menganjurkan sikap berbuat baik, tolong menolong, hidup harmonis, tanpa memandang agama, suku, budaya, dan ras manusia.

Anjuran berbuat baik pada orang lain, merupakan ajaran Islam. Hal itu ada panduannya dalam Al-Qur’an. Hal itu berlaku sekalipun pada orang yang berbeda agama; Yahudi, Kristen, Budha, Zoroaster, Ateis, dan Hindu. Hal itu sesuai firman Allah dalam Q.S al Mumtahanah/60;8;

Allah berfirman:

 لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Imam Jalaluddin Asy Suyuthi dan Mahalli dalam kitab Tafsir Jalalin, menjelaskan bahwa ayat ini memiliki pengertian, Allah tiada melarang orang Islam berbuat kebajikan pada orang yang kafir— yang tidak memerangi dan mengusir orang Islam.

Sementara itu Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Quran Al-Azhim, menjelaskan hal yang sama, bahwa umat Islam diperbolehkan berbuat baik pada pemeluk non muslim. Ibnu Katsir menyatakan kebolehan tersebut berlaku selama orang kafir tersebut tidak memerangi non muslim.

Untuk itu, umat Islam diperkenankan berbuat baik pada wanita dan orang yang lemah di antara pemeluk agam lain. Allah sangat menganjurkan umat Islam untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun, tanpa memandang latar belakang manusia tersebut.

Pada sisi lain,sebagaimana dijelaskan oleh KH. Profesor Ali Musthafa Yaqub, dalam at Tasamuh baina ad Diyanat, dengan menukilkan pendapat Imam Syaukani dalamkitab Fathul Qadir, bahwa ayat ini dimaksudkan Allah tidak melarang berbuat baik pada kafir dzimmi.

Dalam Islam, kafir dzimmi didefinisikan sebagai orang-orang yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lain untuk memerangi umat Islam. Ayat ini juga menjalaskan Allah tidak melarang untuk bersikap adil dan bermuamalah dengan orang kafir.

Demikian penjelasan Tafsir surah Q.S Mumtahanah/60;8. semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Batasan Toleransi dalam Agama yang Boleh Syariat Islam

Kata “toleransi” berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata “tolerare”, berarti : menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, berhati lapang terhadap orang-orang yang berlainan aliran. Toleransi sejati bukan sikap acuh tak acuh atau yang menyamakan semua aliran yang berbeda, tanpa menghormati atau mencari kebenaran; bukan laksana kopi susu yang mencampurkan bagian-bagian yang dianggap cocok dari macam-macam aliran (sinkretisme); bukan sikap mengorbankan prinsip sendiri dalam hal-hal asasi. (Lihat, Yayasan Cipta Loka Caraka, “Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila” 4 : 272 – 273).

TOLERANSI DI DALAM ISLAM

Di dalam Islam kata “toleransi” itu sebanding dengan kata “tasamuh”. Dalam pandangan Islam, toleransi beragama itu dapat diwujudkan dalam 2 bentuk, yaitu :

  1. Toleransi intern kaum muslimien, saling menghargai antara sesama kaum muslimien yang berbeda pendapat wajib diwujudkan, karena :
  2. Kaum mu’minien / muslimien itu bersaudara sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadiets.

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. 49 : 10-12)

– المسلم اخو المسلم (د) عن سويد بن حنظلة (ح) ؛ الجامع الصغير ٢ : ١٨٦

– المسلمون اخوة لا فضل لأحد على أحد إلّا بالتقوى (طب) عن حبيب بن حراش (ح) ؛ الجامع الصغير ٢ : ١٨٦

Oleh karena itu janganlah setiap kelompok menganggap kelompoknya yang paling benar dan kelompok yang lain salah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat

فَتَقَطَّعُوٓاْ أَمۡرَهُم بَيۡنَهُمۡ زُبُرٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٥٣

“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”. (QS. 23 : 53).

وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٣١ مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗاۖ كُلُّ حِزۡبِۢ بِمَا لَدَيۡهِمۡ فَرِحُونَ ٣٢

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS. 30 : 31-32)

فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ ٣٢

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS. 53 : 32)

  1. Rasulullah telah memberikan legalitas bagi perbedaan pendapat para mujtahid :

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران و إذا حكم فاجتهد فأخطأ فله أجر واحد (حم ق د ن) عن عمرو بن العاص (حم ق ٤) عن أبي هريرة ؛ الجامع الصغير ١: ٢٤

Dalam hal ini tentu pendapat yang bisa ditolelir adalah yang tidak menyimpang dari ijma’ sahabat dan kaidah- kaidah yang telah disepakati dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut manhaj as-salafus salih sebagaimana yang tersurat dalam firman Allah :

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. 9 : 100).

  1. Toleransi antara kaum muslimien dengan penganut agama lain. Dalam hal ini yang bisa ditolelir bukan faham agamanya tetapi penganutnya, sedangkan faham agamanya harus kita sikapi dengan semangat dakwah sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an :

قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ كَلِمَةٖ سَوَآءِۢ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمۡ أَلَّا نَعۡبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشۡرِكَ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِۚ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقُولُواْ ٱشۡهَدُواْ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ ٦٤

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. 3 : 64)

فَمَنۡ حَآجَّكَ فِيهِ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡاْ نَدۡعُ أَبۡنَآءَنَا وَأَبۡنَآءَكُمۡ وَنِسَآءَنَا وَنِسَآءَكُمۡ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمۡ ثُمَّ نَبۡتَهِلۡ فَنَجۡعَل لَّعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَى ٱلۡكَٰذِبِينَ

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”. (QS. 3 : 61)

Mengenai toleransi terhadap penganut agama lain, Al-Qur’an menyebutkan :

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨ إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٩

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. 60 : 8-9).

Kalau mereka berbuat makar terhadap islam dan kaum muslimien maka sikap kita adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah :

مُّحَمَّدٞ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ تَرَىٰهُمۡ رُكَّعٗا سُجَّدٗا يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗاۖ سِيمَاهُمۡ فِي وُجُوهِهِم مِّنۡ أَثَرِ ٱلسُّجُودِۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِۚ وَمَثَلُهُمۡ فِي ٱلۡإِنجِيلِ كَزَرۡعٍ أَخۡرَجَ شَطۡ‍َٔهُۥ فَ‍َٔازَرَهُۥ فَٱسۡتَغۡلَظَ فَٱسۡتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعۡجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلۡكُفَّارَۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِنۡهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمَۢا ٢٩

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku´ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. 48 : 29).

Sejarah telah membuktikan bahwa Yahudi dan Nasrani telah banyak membuat makar terhadap Islam dan kaum muslimien sejak masa Rasulullah saw. sampai zaman kita sekarang ini. Hal ini terjadi akibat ajaran kitab suci mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama :

“Beginilah firman Tuhan semesta alam : Aku akan membalas apa yang dilakukan orang Amalek kepada orang Israel, karena orang Amalek menghalang-halangi mereka ketika orang Israel pergi dari Mesir. Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai.” (I Samuel 15 : 2-3).

Jika mereka menyerang islam tidak terang-terangan secara fisik, tetapi dengan cara menghujat islam, Al-Qur’an dan Rasulullah maka sikap kita adalah sebagaimana firman Allah :

فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَٱعۡتَدُواْ عَلَيۡهِ بِمِثۡلِ مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ ١٩٤

“Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (QS. 2 : 194)

Bongkar kebatilan agama mereka, bongkar kepalsuan “kitab suci” mereka, bongkar kedustaan pendiri agama mereka !

Al-Qur’an dan Al-Hadiets telah menunjukkan kepada kita bahaya yang ditimbulkan oleh mereka. Firman Allah :

وَدَّ كَثِيرٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدٗا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّۖ فَٱعۡفُواْ وَٱصۡفَحُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ١٠٩

“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. 2 : 109)

وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS. 2 : 120)

Di dalam hadiets disebutkan :

لتتّبعنّ سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر و ذراعا بذراع حتّى لو دخلوا في حجر ضبّ لاتّبعتموهم. قلنا يا رسول الله أٰليهود و النصارى؟ قال : فمن (رواه مسلم ؛ صحيح مسلم بشرح النووى ٤ : ٢٠٥٤)

Oleh karena itu kita harus hati-hati terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh orang-orang yang benci terhadap Islam, diantaranya adalah program nativisasi dari nativisme zionis / Yahudi, yang memunculkan local wisdom (kearifan lokal) dalam bentuk :

  1. Pakaian adat daerah yang bertentangan dengan agama Islam.
  2. Etika adat yang bertentangan dengan Islam.
  3. Upacara adat yang bertentangan dengan Islam.

Bahaya lain dari luar yang merusak kesucian agama islam adalah pengadopsian budaya agama lain, seperti pengadopsian kalender masehi dan hari libur Yahudi-Nasrani, padahal hari libur kaum muslimien adalah hari Jumat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Amirul Mu’minien ‘Umar bin Khaththab. (Lihat, Dr. H. Dedeng Rosyidin, M.Ag , “Konsep Pendidikan Formal Islam” : 32).

Sebagian dari budaya dan gaya hidup Yahudi dan Kristen juga telah berhasil menancap di jantung hati sebagian kalangan muslim berkat kelicikan mereka melalui kegiatan Westernisasi, termasuk Latinisasi. Hal ini sebagai akibat langsung dari ajaran kitab suci mereka, diantaranya :

  1. “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Matius 10 : 16).
  2. “Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya”. (I Korintus 9 : 20-23)

Padahal Al-Qur’an dan Al-Hadiets telah memberikan arahan kepada kita :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ بِطَانَةٗ مِّن دُونِكُمۡ لَا يَأۡلُونَكُمۡ خَبَالٗا وَدُّواْ مَا عَنِتُّمۡ قَدۡ بَدَتِ ٱلۡبَغۡضَآءُ مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَمَا تُخۡفِي صُدُورُهُمۡ أَكۡبَرُۚ قَدۡ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡقِلُونَ ١١٨

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” (QS. 3 : 118)

– من تشبّه بقوم فهو منهم (رواه أبو داود ا الطبرانى ؛ صحيح ؛ ترجمة الجامع الصغير ٥ : ١٨٦)

Oleh karena itu mari kita jaga diri kita, keluarga dan generasi kita dari pengaruh budaya dan agama kafir. Firman Allah :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. 66 : 6).

Wallau A’lam…(Abdullah Nasrullah)

Islam Kafah

Kehidupan Yang Damai dan Penuh Toleransi dalam Al-Qur’an

Salah satu bagian terpenting dari Al-Qur’an adalah bagaimana manusia dapat menjalin hubungan baik dengan seluruh lapisan masyarakat. Karena itu wajah Islam yang paling menonjol adalah tingginya toleransi didalamnya.

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hukum syariat didalam Islam semuanya mengatur bagaimana mewujudkan kehidupan damai diantara manusia. Islam membimbing secara detail bagaimana menjalin hubungan dan bertoleransi dengan sesama agama, bahkan dengan yang lain agama.

Pertama, kita akan menyaksikan bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an menjadikan asas persaudaraan dan kasih sayang sebagai pondasi hubungan diantara kaum mukminin.

Allah swt berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَة

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS.Al-Hujurat:10)

Kedua, Islam sangat anti terhadap pergaulan yang diwarnai dengan kebencian dan fanatisme golongan.

۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.An-Nahl:90)

Begitulah sejarah Rasulullah saw yang selalu memberi yang terbaik. Islam jauh dari kemarahan, kebencian dan kebengisan apalagi sikap rasis antar golongan.

Ketiga, Islam juga selalu mengajak kaum muslimin untuk menyelesaikan persoalan bersama-sama dan disertai gotong royong.

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS.Al-Ma’idah:2)

Keempat, Islam melarang keras untuk berbuat dzalim walau kepada musuh-musuh Islam sekalipun. Bahkan hanya menghina atau mencaci keyakinan orang lain juga tidak diizinkan sedikitpun dalam agama suci ini.

Allah swt berfirman,

وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” (QS.Al-An’am:108)

Islam selalu mengajak untuk hidup damai dengan siapapun. Walau dengan mereka yang tak seagama, walau dengan mereka yang tak sepemikiran. Kita dilarang untuk mengganggu kehidupan mereka.

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.Al-Mumtahanah:8)

Akan tetapi saat orang-orang kafir menyerang kaum muslimin, maka kita diperintahkan untuk melawan dan membela diri.

وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-Baqarah:190)

Hal ini tentu disepakati oleh semua orang yang berakal bahwa setiap ada serangan kita wajib membela diri. Namun lihatlah bagaimana Islam membimbing kita dengan mengakhiri ayat ini dengan kalimat “Tetapi jangan melampaui batas.!

Artinya perlawanan dan balasan kita pun bukan dengan menghalalkan segala cara. Semua ada aturannya.

Dan perlu kita pahami bahwa tidak semua orang dapat menyimpulkan bahwa Islam sedang diserang dan kita wajib melawan, prosedurnya telah disebutkan dalam buku-buku fikih tentang siapa yang disebut orang kafir yang melawan Islam.

Dan ketika peperangan berkecamuk, tetaplah Islam memberi jalan untuk berdamai. Bukankah Allah swt berfirman,

۞وَإِن جَنَحُواْ لِلسَّلۡمِ فَٱجۡنَحۡ لَهَا وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

“Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS.Al-Anfal:61)

Dari ayat-ayat diatas kita akan mendapat gambaran wajah Islam yang menginginkan kedamaian dan penuh toleransi. Walaupun kedzaliman harus dilawan, tapi tetap ada prosedur dan tata caranya.

Dalam peperangan pun kita melihat keindahan Islam dalam menjaga peperangan itu agar jangan menyakiti orang tua, wanita dan anak-anak, jangan memutilasi musuh, jangan memutus air, jangan menghancurkan tempat ibadah dan sebagainya.

Inilah Islam yang selalu mengajak menuju kedamaian hidup dan selalu mempermudah hal-hal yang sulit.

Semoga bermanfaat

 

KHAZANAHALQURAN

Menyoal Kembali Arti Toleransi dalam Momentum Perayaan Natal

Di bulan Desember ini, persoalan toleransi kembali menemukan momentum untuk dibicarakan. Seolah menjadi ajang diskusi rutin tahunan, isu-isu yang bertemakan toleransi beragama menjadi topik hangat yang mengundang komentar dan sikap dari banyak kalangan. Hal itu karena di bulan Desember ini, Umat Kristiani merayakan hari natal pada tanggal 25 Desember.

Sebenarnya, garis toleransi dalam Islam telah demikian jelas. Ia terangkum dalam firman Allah, “Lakum diinukum wa liya diin.” (untukmu agamamu dan untukku agamaku).

Ulama asal Tunisia, Samahatu al Ustadz Muhammad Thahir Asyur rahimahullah dalam Tafsirnya yang fenomenal, “Tafsiru al Tahrir wa al Tanwir” berkata mengenai ayat diatas, “Dalam kedua kalimat diatas, nampak didahulukan musnad (lakum/liya) atas musnad ilaihnya (diinukum/diin), untuk menegaskan pembatasan. Artinya, agamamu, hanya terbatas untukmu, tidak melampauimu sehingga menjadi milikku. Dan agamaku juga terbatas untukku, tidak melampauiku sehingga menjadi milikmu. Maksudnya, karena jelas mereka tidak menerima Islam. Al Qashr (pembatasan dalam ayat ini) termasuk qashr ifraad. Dan huruf ‘laam’ dalam kedua kalimat diatas bermakna kepemilikan, yaitu keshususan dan keberhakan.

Adapun ‘Diin’ bermakna akidah dan millah, ia adalah hal-hal yang diketahui dan diyakini oleh seseorang, dimana amal perbuatan dilandaskan kepadanya.” (vol. 30, hal. 648)

Dari ayat ini, toleransi seharusnya dimaknai sebagai sikap mengakui dan menghargai eksistensi non-muslim dan agama yang dianutnya, tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam karena tidak ada paksaan dalam agama, memberi kebebasan kepada pemeluknya untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya, tidak mengganggu dan mengusik ketenangan pemeluk agama lain, namun juga mengambil sikap tegas untuk berlepas diri dalam urusan-urusan yang termasuk ranah akidah dan agama mereka.

Penting untuk dicermati, toleransi tidak boleh dimaknai sebagai upaya mencampuradukkan keyakinan, ritual ibadah, tradisi dan simbol-simbol antar agama-agama. Karena itu berarti menghancurkan sendi-sendi agama. Toleransi hendaknya dilandaskan pada pengakuan terhadap keberagaman (pluralitas), bukan dibasiskan pada pengakuan ideologi semua agama adalah sama dan benar (pluralisme).

Dengan demikian, seorang muslim tidak dibenarkan meyakini hal-hal yang ada dalam keyakinan agama lain, melakukan ritual ibadah agama lain, ikut serta meramaikan tradisi agama lain, urun rembuk mensukseskan perayaan hari besar agama lain dan mengenakan simbol-simbol serta atribut-atribut agama lain. Menjadi haram hukumnya dan berdampak serius pada akidah seorang muslim, jika ia melakukan hal-hal seperti itu.

Syaikh al ‘Allamah Muhammad al Amin Asy Syanqithi rahimahullah ketika menafsirkan surat al Kafirun berkata, “Dalam surat ini terkandung sebuah garis tegas reformasi; yaitu sikap menolak segala bentuk pencampuradukkan (agama). Karena mereka (orang-orang kafir) sebelumnya menawarkan opsi untuk melakukan serikat dalam ibadah, yang dalam logika mereka, merupakan solusi pertengahan, karena masing-masing agama memiliki kemungkinan benar. Sehingga datanglah sebuah counter yang tegas melarang, karena dalam opsi itu termuat penyamaan antara yang benar dan salah, penggantungan masalah, pengakuan atas kebatilan, jika beliau menyepakati mereka walau pun hanya sesaat. Surat ini menjadi garis pembeda antara kedua belah pihak, akhir dari rekonsiliasi, sekaligus awal perseteruan.” (Tatimmah Ahdwaa` al Bayaan, vol. 9, hal. 585)

Diantara prinsip seorang muslim adalah, meyakini bahwa Islam satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah (lihat: QS. Ali Imran: 19). Siapa saja yang beragama dengan selain Islam, maka agamanya akan tertolak (lihat: QS. Ali Imran: 85). Hal ini sangat gamblang diterangkan dalam Kitab suci umat Islam, al Qur`an al Karim. Prinsip ini kemudian terformulasi dalam konsep al Wala (loyalitas) dan al Bara (antiloyalitas) dalam akidah Islam. Loyal kepada Islam dan kaum muslim, serta antiloyal kepada agama selain Islam dan non-muslim. Dan diantara perwujudannya, adalah hanya membatasi diri dalam soal keyakinan, ritual ibadah, perayaan, tradisi, simbol dan atribut Islam, serta menjauhkan diri dari semua yang ada pada agama lain dalam urusan-urusan tersebut, tanpa menghalangi untuk saling berinteraksi, bermasyarakat, bekerjasama dalam kebaikan, hidup berdampingan dan bahkan memperlakukan mereka dengan cara yang baik selama dalam koridor urusan dunia.

Toleransi dalam wujud ini, diantaranya Allah terangkan dalam firman-Nya (yang artinya),

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Itulah kiranya pula yang menjadi alasan para ulama melarang umat Islam mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani, apalagi menghadiri perayaannya, membantu mereka dalam urusan agama mereka dan memakai atribut-atribut agama mereka seperti memakai baju atau topi sinterklas pada momen natal seperti sekarang ini yang sangat disayangkan, atas nama toleransi beragama, sejak beberapa tahun kebelakang telah ditradisikan oleh sejumlah perusahaan pada para karyawan dan karyawati mereka, khususnya para pelayan toko, restaurant dan mall, yang notabene beragama Islam.

Untuk itu, penulis mengajak kepada segenap kaum muslimin, agar kembali mengokohkan jati diri kita sebagai umat Islam. Ikut-ikutan meramaikan tradisi dan perayaan agama lain adalah sikap imperior yang seharusnya tidak eksis dalam dada-dada kita. Karena kita yakin, sekali lagi, agama yang benar dan kelak akan mengantarkan kita ke surga hanyalah Islam. Wallahu a’lam.

Penulis: Ust. Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/23963-menyoal-kembali-arti-toleransi-dalam-momentum-perayaan-natal.html

Jangan Ragukan Toleransi Islam, Barat Pun Mengakuinya

Toleransi berarti menenggang pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Khotimah dalam artikelnya pada Jurnal Ushuluddin (2013) menjelaskan, istilah bahasa Arab untuk kata toleransi adalah at-tasamuh, yang berarti ‘bermurah hati’.

Dalam konteks hubungan antarumat beragama, toleransi bermakna membiarkan situasi tetap tenang dan rukun, sehingga setiap orang dapat menjalankan ibadah atau ajaran agamanya masing-masing tanpa disertai konflik.

Prinsip serupa sesungguhnya juga berlaku di internal umat suatu agama. Perbedaan antar-mazhab, umpamanya, seyogianya dihadapi dengan penuh toleran agar tidak menjurus pada kekerasan.

Toleransi mengandaikan kemajemukan di tengah masyarakat. Alquran telah mengisyaratkan adanya kuasa Allah SWT di balik fakta tersebut. Misalnya, surah Yunus ayat 99 yang artinya, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Maka dari itu, tidak ada gunanya memaksakan penyeragaman (homogenisasi) karena keberagaman justru merupakan sunnatullah yang sepatutnya disyukuri.

Sepanjang sejarah, sikap toleran sudah mewarnai hubungan antara kaum Muslimin dan non-Muslim.  Sir Thomas Walker Arnold dalam The Preaching of Islam. A History of Propagation of the Muslim Faith mengomentari besarnya penghargaan Islam terhadap prinsip toleransi.

Bahkan, menurutnya, kaum non-Muslim menikmati toleransi yang begitu besar di bawah aturan penguasa Muslim. Padahal, di saat yang sama, Eropa masih belum mengenal toleransi sama sekali. Barat baru menyemarakkan tenggang rasa antar-dan-internal umat beragama belakangan ini pada zaman modern.

Lebih lanjut, Sir Thomas mengungkapkan, ketika berabad-abad lamanya dinasti-dinasti Muslim berkuasa, banyak sekte Kristen yang dibiarkan hidup, berkembang, dan bahkan dilindungi aturan negara.

Amat jarang kasus persekusi yang dilakukan orang Islam terhadap komunitas non-Muslim. Menurut orientalis Inggris tersebut, keyakinan yang diajarkan Alquran, “Tidak ada paksaan dalam agama” berperan amat penting.

Reza Shah-Kazemi melalui karyanya, The Spirit of Tolerance in Islam, mengemukakan beberapa dinasti yang menunjukkan pentingnya toleransi dalam peradaban Islam. Ambil contoh Kekhalifahan Abbasiyah yang mempersembahkan kepada peradaban dunia Bait al-Hikmah.

Perpustakaan itu dibesarkan Sultan Harun al-Rasyid di Baghdad. Di dalamnya, berlangsung kegiatan-kegiatan ilmiah, mulai dari penerjemahan teks-teks asing ke dalam bahasa Arab hingga riset dan observasi. Sang sultan mengedepankan prinsip toleransi dan meritokrasi di atas identitas.

Buktinya, dia mengangkat I’yan Syu’ubi, seorang Persia yang anti-Arab, sebagai kepala perpustakaan. Hal itu disinggung Prof Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam. Tidak sedikit pula orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah teks-teks Yunani Kuno ke bahasa Ibrani dan Arab di Bait al-Hikmah. Ada juga sarjana-sarjana dari India yang aktif berkontribusi di sana.

REPUBLIKA

Toleransi dan Teladan Rasulullah

Toleransi antarumat beragama bukanlah produk masyarakat modern yang hidup dalam tingkat kera gaman yang tinggi. Meski baru menjadi kebijakan resmi di negara berbahasa Inggris pada 1999, toleransi telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada periode awal Islam.

Sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar menjelaskan hal itu. Ia berkata, “Dua orang Yahudi lelaki dan perempuan telah berzina dihadapkan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya, ‘Apakah hukum an kepada orang yang berzina se perti yang terkandung di dalam Taurat?’ Mereka (yang membawa orang Yahudi tersebut) menjawab, ‘Kami mencoreng muka mereka dengan warna hitam, dan menaikkan mereka ke atas kendaraan, lalu membawanya berkeliling.’ Rasulullah berkata, ‘Datang kanlah kitab Taurat itu sekiranya kamu berlaku jujur.’

Mereka pun mengambil Taurat dan membacanya. Ketika bacaan mereka sampai pada ayat rajam, tibatiba pemuda Yahudi itu meletakkan tangannya di atas ayat tersebut dan hanya membaca ayat yang sebelum dan setelahnya. Abdullah bin Salam yang turut bersama Rasulullah SAW berkata kepada beliau, ‘Perintahkanlah ia untuk mengangkat tangannya.’ Pemuda itu lalu mengangkat tangannya sehingga Rasulullah dan para sahabat segera mengetahui bahwa ayat yang berusaha ia tutupi ialah ayat tentang rajam. Kemudian Rasulullah memerintahkan agar kedua orang yang berzina tadi dihukum rajam.”

Dari hadis itu nampak jelas bahwa Rasulullah memerintahkan penjatuh an hukuman rajam pada umat Yahudi berdasarkan hu kum yang tertera pada kitab mereka dan bukan menurut ketentuan Alqur an. Maka, toleransi adalah perihal muamalah yang telah diterapkan se jak masa awal Islam, dengan cara pandang yang berasas kan multikulturalisme.

Sikap tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa menyakiti seorang dzimmi (kaum kafir yang tidak memusuhi Islam dan tunduk dalam pemerintahan Islam) maka sungguh ia menyakitiku. Dan, barang siapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah.” (HR Thabrani).

 

REPUBLIKA

Meski Dekat dengan Nasrani, Waspadai 4 Hal ini!

DI balik kedekatan-kedekatan secara sirah dan syariah, tetap saja ada garis yang tegas dan tegak, yang membedakan antara Islam di satu sisi dengan Kristiani di sisi yang lain.

1. Meski Dekat Tetapi Tetap Kafir

Di antara ketegasan itu adalah pandangan bahwa pemeluk agama masehi adalah orang kafir. Salah satu penyebab yang paling utama adalah apa yang telah disepakati oleh umat Kristiani sedunia bahwa mereka menyembah Nabi Isa, bahkan mengaku punya tiga tuhan (trinitas). Dalam hal ini Alquran secara tegas menyebut mereka sebagai kafir.

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam”, (QS. Al-Maidah: 72)
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”. (QS. Al-Maidah: 73)

2. Haram Menjadikan Wali

Syariat Islam melarang umat Islam menjadikan orang nasrani sebagai wali, khususnya wali dalam keluarga. Oleh karena itu bila seorang wanita muslimah punya ayah yang masih beragama Krsiten, maka ayahnya itu tidak sah untuk menjadi wali dalam pernikahan.

Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala berikut ini: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai wali. Sebagian menjadi wali buat sebagian yang lain.” (QS. Al-Maidah: 51)

Namun bila wanita yang dinikahi masih beragama nasrani dimana ayahnya juga nasrani, syariat Islam membolehkannya. Selain tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan, syariat Islam juga melarang orang nasrani dijadikan wali dalam arti pemimpin pemerintahan, khususnya dalam format negara Islam.

3. Dilarang Mengikuti Peribadatan Nasrani

Meski ada kedekatan antara nasrani dan Islam, namun dalam masalah ibadah tidak boleh terjadi campur baur. Syariat Islam melarang umat Islam beribadah bersama-sama dengan agama lain, termasuk nasrani juga. Dalam hal ini ada ketegasan dari Alquran:

Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun : 1-6)

4. Dilarang Meniru Penampilan Khas

Syariat Islam juga melarang umat Islam berpenampilan khas agama lain, termasuk agama Kristen. Penampilan itu misalnya lambang salib yang sudah khas di seluruh dunia. Termasuk juga jubah khas para pendeta, pastor dan sejenisnya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2347294/meski-dekat-dengan-nasrani-waspadai-4-hal-ini#sthash.Yt5zOyWu.dpuf

Rasulullah Larang Toleransi Kebablasan dalam Agama

SIKAP toleransi, ternyata sudah diajarkan dalam agama Islam. Kita harus menghargai perbedaan satu sama lain, terutama dalam hal yang berhubungan dengan keyakinan. Ya, setiap orang memiliki kepercayaannya tersendiri. Dan kita harus menghargai itu.

Tapi, banyak orang yang kebablasan dalam bertoleransi. Mereka cenderung melakukan hal yang diyakini oleh agama lain. Padahal, kita tahu bahwa ajarannya berbeda dengan kita. Dan seharusnya, kita tidak mengikuti apa yang dilakukan oleh non-Muslim, yang bertentangan dengan syariat Islam.

Ternyata, toleransi berlebihan ini, sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperjuangkan agama Islam.

Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka menawarkan toleransi kebablasan kepada beliau, mereka berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”

Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini, “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku,” (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Maka, dalam bertoleransi, kita pun harus memiliki sikap yang bijak. Toleransi bukan berarti kita mengikuti keyakinan non-Muslim. Tetapi, kita cukup menghargai saja apa yang mereka lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. [muslim.or.id]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2346285/rasulullah-larang-toleransi-kebablasan-dalam-agama#sthash.BZI2YhE9.dpuf

Tak Ada Perbedaan Kayakinan dalam Berbagi

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Irfan Genc, manajer Muslim sebuah restoran menawarkan makanan gratis kepada lansia pada hari Natal. Ia mengungkapkan bagaimana dirinya tidak memikirkan perbedaan keyakinan dalam berbagi. Poin tersebut menginspirasi sikapnya tersebut.

Genc mengungkapkan kepada The Independent bagaimana ide tersebut lahir dari pertemuan tak terduga dengan seorang wanita tua yang datang ke Shish Restaurant di Sidcup, London. Wanita itu meminta staf restaurant menutup jendela di rumahnya. Ia tak mampu menggapai lantaran ketinggian.

Staff melakukan perjalanan selama dua menit menuju rumah wanita tersebut. Usai masalah terselesaikan, ia mengucapkan terimakasih dan memeluk staf restaurant lantaran berhasil menutup jendela sehingga ia terhindar dari hawa dingin. Pada hari berikutnya, wanita itu kembali untuk memakan di restoran tersebut. Menurut Genc petugas restoran merasa iba, karena wanita itu mengaku kesepian.

“Dia (wanita tua) mengaku pasrah dan tidak ingin melakukan apa-apa selain menunggu kematian. Itu karena ia kehilangan suaminya yang meninggal setahun lalu sehingga tak ada yang merawatnya. Dia mengatakan ia akan sendirian pada hari Natal,” tutur Genc.

Sang manajer Muslim Restoran itu merasa iba setelah mendengar kisah wanita tua tersebut. “Tidak peduli apapun agama dan bahasa, kita di sini saling membantu dan mendukung di Hari Raya (Natal). Kami tidak ingin ada yang terlewatkan,” ujar Genc menjelaskan.

Genc dan para manajer lain memberi lampu hijau untuk berbagi. Mereka menggratiskan tiga jenis hidangan pada pukul 12.00 siang hingga pukul 06.00 malam. Tiga hidangan tersebut antara lain Sup dan Cacik sebagai pembuka, pilihan casserole ayam, casserole sayuran atau shish ayam sebagai hidangan utama dan puding beras untuk pencuci mulut.