Karena itulah, menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia. Penegasannya terdapat di hadis Abu Hurairah. Diam juga menjadi identitas yang membedakan kualitas dan kepribadian seseorang. Sebuah riwayat dari Abu Abdullah bin Muhriz bin Zahir al-Aslami menegaskan, diam adalah perhiasan bagi mereka yang berilmu dan kamuflase bagi orang yang bodoh. Karena itulah, diam adalah pamung kas akhlak, demikian ditegaskan Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik.
Diam, seperti yang dikemukan di berbagai riwayat di atas, merupakan etika yang sangat dianjurkan. Lantas, apakah ini berarti seseorang dilarang ber bicara? Tentu saja tidak. Berbi caralah, tetapi membicarakan kebaikan. Dan, berdiamlah bila menyangkut keburukan atau topiktopik yang tak patut dibicarakan.
Suatu saat, seperti diriwayat kan Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bepergian bersama Mu’adz bin Jabal. Dalam perjalanan itu, sahabat yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam hukum itu bertanya kepada Rasulullah, “Amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawabnya dengan memberikan isyarat menujuk ke bibirnya, “Diam, kecuali dari (hal) kebaikan.”
Lalu, apakah hikmah di balik tuntunan yang diserukan Rasulullah untuk berdiam kecuali dalam hal kebaikan? Riwayat lain yang dinukil dari sahabat Abu Dzar mengungkapkan maksud dan man faat yang bisa diambil dari etika ini. Sikap diam dan berbicara hanya terkait dengan perkara yang baik bisa membantu seseorang menghindari godaan setan dan membantu menjaga agamanya.
Selain itu, diam dengan pengecualian seperti ini merupakan bentuk dari kebijaksanaan. Karena itu, Rasulullah menyebutkan di hadis riwayat Abu Hurairah bahwa kebijaksanaan itu terdiri atas 10 ba gian. “(Sebanyak) sembilan darinya berasal dari mengasingkan diri ( ‘uzlah). Sedangkan, satu lagi terdapat di sikap diam.” Merasa penasaran, seorang salaf yang ber n ama Wahib bin al-Ward pernah mempraktikkannya. Ia sudah mencoba diam dan tidak banyak berbicara, tapi masih saja gagal. Ternyata, diam saja tak cukup. Sikap itu harus ditopang dengan beruzlah. Akhirnya, usahanya pun berhasil.
Tuntunan untuk diam dan menjaga lisan inipun disebarluaskan oleh para sahabat. Mereka saling berwasiat agar tidak sembarangan bicara. Seorang laki-laki pernah meminta wasiat kepada Sa’id al- Khudri. Permintaan itu pun akhir nya dikabulkan. Said al-Khudri berkata, “Berdiamlah kecuali tentang kebenaran. Dengan sikap itu maka engkau akan mengalahkan setan.”
Tetapi, sayang, keutamaan diam ini tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Padahal, di balik sikap diam yang proporsional— berbicara ketika dibutuhkan soal kebaikan—terdapat segudang hikmah. “Hanya sedikit pelakunya,” demikian sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Anas bin Malik yang dinukil oleh Ibn ‘Addi, Baihaqi, dan Qudha’i.
Inilah salah satu alasan mengapa Rasulullah SAW menganjurkan agar diam dan menjaga lisan yang proporsional disosialisasikan dan ditradisikan di tengah masyarakat. Seseorang—dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud—mendatangi Ra sulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang paling ditaati di kaumku, perintah apa yang layak aku serukan ke mereka?” Rasulullah menjawab, “Serukan mereka menebar salam dan sedikit bicara kecuali berkaitan dengan perkara yang bermanfaat.”