PARA ulama berbeda pendapat dalam masalah keharusan berwudu untuk menyentuh mushaf. Sebagian ulama mensyaratkan namun sebagian lainnya tidak mensyaratkannya.
1. Yang Mengharuskannya. Di antara ulama yang mengharuskan berwudu sebelum menyentuh mushaf adalah Al-Imam Abu Hanifa, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah.
2. Yang Tidak Mengharuskannya. Sedangkan para ulama dari kalangan mahzab Zhahiri tidak mengharuskan berwudu untuk menyentuh mushaf.
Sebenarnya kedua kelompok yang berbeda pendapat ini sama-sama menggunakan dalil ayat Quran yang satu juga, yaitu: “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (QS. Al-Waqiah: 79)
Namun metode pendekatan masing-masing saling berbeda. Kelompok yang mengharuskan wudhu’ menafsirkan kata al-muthahharun (mereka yang disucikan) di dalam ayat di atas sebagai manusia. Dan lafadz laa yamassuhu bernilai larangan bukan sekedar kabar atau pemberitahuan belaka. Jadi kesimpulan hukumnya menurut kelompok ini adalah manusia tidak boleh menyentuh mushaf Al-Quran kecuali bila telah disucikan. Dan makna disucikan adalah bahwa orang itu sudah berwudhu.
Kelompok yang tidak mewajibkan wudhu’ menafsirkan kata al-muthahharun di dalam ayat di atas sebagai malaikat. Sehingga tidak ada kewajiban bagi manusia untuk berwudhu’ ketika menyentuh mushaf Al-Quran. Selain itu lafadz laa yammassuhu (tidak menyentuh Al-Quran) menurut mereka tidak bernilai larangan melainkan bernilai khabar (pemberitahuan) bahwa tidak ada yang menyentuh Al-Quran selain para malaikat. Maka tidak ada larangan apapun bagi seseorang untuk menyentuh mushaf meski tidak dalam keadaan suci.
Namun sumber perbedaan di antara keduanya memang bukan semata-mata perbedaan dalam memahami ayat di atas saja, tetapi memang ada dalil lainnya yang digunakan untuk menguatkan argumentasi masing-masing. Misalnya, mereka yang mengharuskan wudhu menambahi hujjah mereka dengan hadits berikut ini: “Dari Amru bin Hazm bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuliskan: Tidaklah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali dalam keadaan suci.” (HR Malik 1/199, Abdurrazzaq 1/341, Al-Baihaqi 1/87 dan Ad-Daruquthuni 1/121). Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan li ghairihi oleh para ulama. Namun sebagian orang tidak menerima hadits ini lantaran diriwayatkan lewat tulisan (mushahhafah).
Kemudian pertanyaan berikutnya adalah apakah mushaf yang ada terjemahannya itu terbilang sebagai mushaf juga atau bukan? Ada sebagian dari ulama yang memandang bahwa ketika sebuah mushaf tidak hanya terdiri dari lafadz Al-Quran, tetapi juga dilengkapi dengan terjemahan atau penjelasan-penjelasan lainnya, maka dinilai sudah bukan termasuk mushaf secara hukum. Namun umumnya ulama tetap tidak membedakan antara keduanya, meski telah dilengkapi dengan terjemahan, tetap saja ada lafadz arabnya. Sehingga identitas ke-mushafan-nya tetap lekat tidak bisa dipisahkan.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]