Rumah tangga yang harmonis dan penuh kedamaian tak selalu soal harta
Setiap orang pasti mendambakan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Adakalanya, mereka berpikir kebahagiaan itu diperoleh dengan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Kekayaan melimpah diimpikan sebagai puncak kebahagiaan.
Kenyataannya, rumah tangga yang mengacu pada materi sebagai sandaran hidupnya, tanpa mengedepankan nilai-nilai agama, ternyata diambang bencana. Buruknya moral suami, istri, atau anak-anak, kegelisahan hidup, kecemasan mendalam, kebenciaan di antara anggota keluarga, bahkan permusuhan dan berbagai permasalahan yang membelit serta tak kunjung padam.
Rumah tangga yang harmonis dan bahagia tidaklah bersandar pada materi semata, justru terletak pada sejauh mana peran nilai-nilai agama mendominasi eksistensi rumah tangga itu. Kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW yang penuh berkah, ketenteraman, dan kebahagiaan, selayaknya menjadi panutan kaum Muslimin.
Semasa hidup Rasulullah SAW tidak pernah memiliki rumah mewah dan harta berlimpah. Bahkan, ketika Umar bin Khathab mengunjungi beliau suatu hari, didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas pelepah daun kurma. Hingga punggung beliau tergores saking kerasnya pelepah daun kurma itu.
Tetapi, dari kondisi yang sangat sederhana itu, beliau selalu mengucapkan baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Itulah ciri rumah tangga yang dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT.
Dalam rumah tangga Islami, seluruh anggota keluarga memiliki peran dan fungsi yang jelas. Masing-masing mereka menghormati perannya. Suami adalah pemimpin yang berakhlak shodiqul wa’di (selalu menepati janji baik pada Allah SWT maupun masyarakat), dapat menegakkan keadilan dan kasih sayang dalam memimpin keluarga. ”Dan dia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (QS Maryam [19]: 55).
Istri berfungsi menaati suami dan bekerja sama dengannya dalam kebajikan dan takwa, sehingga mampu mengayomi keluarga dengan kasih sayangnya yang tulus ikhlas. Anak-anak pun menjadi cahaya mata karena ketaatan dan kesalehan mereka.
”Wahai Rabb kami, karuniakanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak keturunan kami sebagai cahaya mata (penyenang hati) bagi kami, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Furqan [25]: 74).
Dengan iman, dia membedakan yang benar dari yang salah. Dengan iman pula ia memahami baik dan buruk untuk kemudian berpihak pada yang baik. Bahkan dengan iman itu, setiap anggota keluarga mampu bersyukur manakala mendapatkan keberuntungan betapapun kecilnya. Rumah tangga yang dibangun dengan landasan keimanan, pada dasarnya telah membangun surga di dunia.
Oleh: Arlina