Nabi Muhammad melarang sahabat melakukan korupsi dan mengambil suap.
Kasus korupsi yang menjerat pejabat publik kembali meramaikan pemberitaan. Padahal dalam agama Islam melalui Nabi Muhammad, korupsi berupa konflik kepentingan dan suap-menyuap merupakan hal yang dilarang keras.
Sebagaimana diketahui, Rabu (8/1) lalu, Komisioner pusat Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan (WS), terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). WS terjaring saat menerima suap untuk memuluskan proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P.
Dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi yang merupakan karya dari kumpulan bahtsul masail ulama-ulama NU disebutkan, hal paling mendasar dalam konflik kepentingan adalah adanya kepentingan kelompok maupun pribadi yang ingin berkesinambungan. Baik itu di lingkup pengusaha, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Dengan adanya fakta partai politik yang melahirkan para wakil rakyat dan pemimpin memiliki komitmen finansial tertentu, hal ini sangat besar memungkinkan terjadinya praktik korupsi. Namun begitu hingga saat ini, belum ada aturan yang tegas untuk mengatur bahwa seorang pengusaha harus lepas sama sekali dari partainya.
Penguasa sekaligus sebagai pengusaha dimungkinkan akan menimbulkan mudharat akibat kecenderungan munculnya konflik kepentingan. Ibnu Khaldun bahkan berpendapat, kedua profesi yang dijalankan beriringan ini dapat mengarahkan pelakunya untuk berusaha memperkaya diri atau kelompoknya.
Nabi Muhammad sedari dulu telah mengantisipasi umatnya untuk mencegah konflik kepentingan ini. Pada masa Rasul, terdapat contoh konflik kepentingan antara petugas pemungut zakat yang juga sekaligus pendakwah Islam di Yaman.
Kala itu, petugas tersebut ditugaskan di Yaman karena masyarakatnya sedang dibina mengenai zakat. Nabi kemudian mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman sebagai juru dakwah. Dalam pengakuan Mu’az bin Jabal, sesaat setelah Nabi melepasnya dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, Nabi ternyata melupakan satu wasiat penting. Hingga akhirnya, beliau mengutus kembali seseorang agar mereka kembali baru dilepaskan lagi.
Usai mereka kembali, peristiwa ini pun terekam dalam hadis shahih riwayat Ahmad: “Dari al-Hars bin Amr dari beberapa orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Nabi mengutus Mu’az dan beliau bertanya: ‘bagaimana kamu akan memutuskan hukum?’, Mu’az pun menjawab akan memutuskan hukum dengan dasar Kitabullah.
Kemudian, Rasulullah bertanya kembali: ‘Kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitabullah?’, Muaz menjawab akan merujuk dasar sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi: ‘Kalau tidak kau dapatkan dalam sunnah Nabi?’ Muaz menjawab akan melakukan ijtihad dengan pemikirannya. Mendengar ini, Rasulullah pun bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menolong utusan Rasulullah SAW,”.
Rasulullah juga berpesan kepada Mu’az untuk tidak melakukan korupsi terhadap apapun selama bertugas menjadi pendakwah dan pejabat di Yaman.
Berdasarkan hadis riwayat At-Tirmizi diceritakan:
“Dari Mu’az bin Jabal, ia berkata: Rasulullah mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau berkata: apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul. Dan barangsiapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu,”.
Atas dasar hadis tersebutlah, cakupan ghulul pada tahun ke-10 hijriah bukan hanya sebatas pada harta rampasan perang sebagaimana yang terjadi di tahun sebelumnya. Uang tip, pelicin, dan uang keamanan masuk dalam kategori tindakan korupsi. Dalam istilah Nabi, uang-uang ini disebut al-maksu atau pungutan liar.