Awal Fitnah
Apa yang disampaikan Hudzaifah bin al-Yaman kepada Umar menunjukkan bahwa para sahabat tahu dengan syahidnya Umar terbukalah pintu fitnah. Karena itulah, Amirul Mukminin Utsman bin Affan cenderung mengambil sikap toleran kepada orang-orang yang menyelisihinya. Banyak meng-iyakan orang-orang yang mengadukan pemimpin daerah mereka. Bahkan saat pemberontak mulai mengincar dirinya. Ingin memakzulkannya dari pucuk pimpinan negara Islam, Utsman berkata kepada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya lingkaran fitnah itu sesuatu yang tak berujung. Beruntunglah Utsman jika dia mati dalam keadaan tidak menggerakkannya. Menghalangi manusia, memberikan hak-hak mereka, dan memaafkan mereka. Dan apabila Anda adalah orang yang menjaga hak-hak Allah, janganlah Anda turut mengobarkan fitnah itu.” (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 2/471).
Para provokator membuat makar yang batil terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Mereka mulai memprovokasi masyarakat mencela kepemimpinanya. Namun Utsman tetap bersabar menghadapi mereka. Di tengah provokator tersebut terdapat seorang yang pandai memantik api. Bersabar menghidupkan amarah masa. Orang tersebut adalah Abdullah bin Saba. Atau yang dikenal dengan Ibnu as-Sauda. Ia menampakkan kesalehan. Namun di hatinya menyimpan kekufuran dan permusuhan terhadap Islam dan pemeluknya.
Abdullah bin Saba menyambangi Basrah. Kota besar di Irak yang dipimpin oleh Abdullah bin Amir. Ibnu Sauda datang menemuinya bersama beberapa orang. Abdullah bin Amir bertanya, “Kamu siapa”? Ibnu Sauda menjawab, “Aku seorang dari ahlul kitab yang tertarik pada Islam. dan aku juga ingin tinggal di kotamu.” Ibnu Amir menanggapi, “Tidak sampai kabar padaku. Usir dia.”
Abdullah bin Saba pun menuju Kufah. Di sana pun ia tertolak dan diusir darinya. Lalu ia berangkat ke Mesir dan menetap di sana. Ia berkorespondensi dengan penduduk setempat. Dan sebagian penduduk Mesir tidak sepakat dengan pemikirannya (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/4).
Abdullah bin Saba terus memprovokasi masa dengan mencela Utsman. Dan ia memuji-muji ahlul bait. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad akan kembali. Sebagaimana kembalinya Isa.” Dari sinilah keyakinan reinkarnasi muncul di tengah orang-orang Syiah. Ia menyebutkan bahwa Ali merupakan orang yang diberi wasiat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan wasiat tersebut disembunyikan. Utman itu menyandang kepemimpinan tanpa alasanyang dibenarkan. Lalu ia memprovokasi masyarakat untuk melakukan makar dan terus mencela para pemimpin (Tarikh Ibnu Khaldun, 2/586).
Abdullah bin Saba adalah tokoh nyata. Dialah yang menggerakkan pemberontakan ini. Kalau disebut sebagai tokoh fiktif, maka siapakah penggerak pemberontakan di zaman Utsman?
Para Pemberontak di Kota Madinah
Surat-menyurat antara para penyulut fitnah di Mesir, Basrah, dan Kufah terus saja berlangsung. Mereka saling menyemangati dan memanas-manasi untuk menentang Utsman. Sampai mereka sepakat untuk datang ke Madinah di musim haji. Di sana mereka akan menyuarakan perlawanan dan penentangan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Sebenarnya, Utsman bin Affan tahu apa yang direncakan para pembuat makar ini. Namun ia lebih memilih memaafkan dan senantiasa bersabar. Ia bantah semua tuduhan dan fitnah. Dan apa yang ia lakukan selalu didukung oleh Muhajirin dan Anshar. Hingga akhirnya para pembuat makar ini sepakat untuk membunuh Utsnam. Dan Utsman tetap pada pendiriannya. Tidak mau menjadi penyulut fitnah. Ia tetap tidak menumpas mereka dengan kekuatan militer. Pemberontak ini datang di musim haji. Mereka menyamar seolah hendak berangkat ke Baitullah menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Mereka berkoordinasi. Saling menyurati. “Waktu berkumpul kita adalah di bulan Syawwal di pinggiran Kota Madinah (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 4/438). Peristiwa ini terjadi pada tahun 35 H.
Sesampainya di Madinah, para pemberontak mengepung kota dan mengepung rumah khalifah. Mereka berdemonstrasi menyuarakan tuduhan dusta terhadap Utsman. Mereka menuntut apa yang mereka inginkan. Utsman dan penduduk Kota Madinah tidak menyangka hal ini terjadi. Ditambah sebagian dari mereka ada yang berangkat ke Mekah untuk berhaji.
Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu membantah tuduhan mereka. Namun api fitnah telah berkobar. Orang-orang yang tak mengerti sudah tersulut emosi. Ikut-ikutan menuntut sesuatu yang tidak mereka mengerti. Mereka lancang memberi pilihan. Lengser dari jabatan khalifah atau mati. Utsman menolak tuntutan mereka. Karena itu yang Nabi pesankan kepadanya. Ditambah lagi kalau keinginan pemberontak ini dituruti, ini akan menjadi tradisi. Setiap orang yang merasa tak cocok dengan khalifah akan menuntut mereka lengser dari jabatannya.
Sang Khalifah telah mendapat kabar, bahwa ia akan menyandang syahid di akhir hayatnya. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di kebun. Beliau duduk di sisi Sumur Aris. Kemudian datang seseorang mengetuk pintu. Abu Musa berkata, “Siapa?” Orang itu menjawab, “Utsman bin Affan.” Abu Musa berkata, “Tunggu. Lalu kutemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kusampaikan Utsman minta izin masuk. Beliau katakan, ‘Izinkan dia. Dan beri kabar gembira surge untuknya karena musibah yang ia hadapi’.” (HR. al-Bukhari (3471, 3492) dan Muslim (2403)).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya juga pernah berwasiat kepada Utsman.
فعن عائشة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دعا عثمان فناجاه فأطال، وإني لم أفهم من قوله يومئذٍ إلا أني سمعته يقول له: “ولا تنزعَنَّ قميص الله الذي قمَّصك”
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Utsman dengan doa yang panjang. kata Aisyah, “Saat itu aku tak memahami apa yang beliau katakan. Tapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Jangan sampai kau lepaskan pakaian yang telah Allah kenakan untukmu’.” (Zhilalul Jannah, 2/328).
Karena itulah, meskipun para demonstran menuntutnya untuk mundur disertai dengan ancaman, Utsman bergeming. Tak menuruti mereka. Beliau teguh dengan pesan nabi. Walaupun nyawa harus dipertaruhkan. Sangat pengepungan semakin ketat, Utsman memanggil Ali, Thalhah, dan Zubair. Utsman muliakan mereka. Lalu berkata, “Duduklah kalian semua.” Yang mau memberontak dan penduduk asli Madinah pun duduk. Utsman berkata, “Penduduk Madinah, aku titipkan kalian kepada Allah. Aku memohon kepada-Nya agar memilihkan khalifah yang berbuat baik kepada kalian sepeninggalku.” Utsman menegaskan, “Aku bersumpah atas nama Allah kepada kalian. Ingatkah kalian, kalian berdoa kepada Allah saat Umar wafat, agar Allah memilihkan untuk kalian dan mengumpulkan urusan kalian kepada orang yang terbaik di tengah kalian”?
“Apakah kalian akan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa kita’, lalu kalian menghinakan pilihan Allah itu, padahal kalian adalah orang yang patut menjaga haknya?
Atau kalian akan mengatakan, ‘Allah tidak peduli dengan agamanya. Dia tidak peduli siapa yang memimpin. Dan agama tidak memecah pemeluknya hari itu’.
Atau kalian akan mengatakan, ‘Ia tidak peduli dengan musyawarah. Ia seorang yang sombong. Allah pun membiarkan umat ini apabilah mereka bermaksiat. Dan mereka tidak bermusyawarah dalam menunjuk pemimpin’. Atau kalian akan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak tahu akhir dari urusanku’. (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).
Utsman radhiallahu ‘anhu menjelaskan kepada mereka kemuliaan sesuatu yang ingin mereka bunuh. Utman berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah. Tidakkah kalian tahu, usaha kebaikan yang telah kuperbuat? Dan keutamaan yang telah Allah berikan padaku? Itu adalah sesuatu yang wajib bagi orang-orang yang setelahku mengetahui kemuliaanku. Karena itu, tahanlah diri kalian. Jangan sampai kalian membunuhku. Karena tidak halal membunuh kecuali pada tiga orang; seseorang yang telah menikah kemudian berzina, seseorang yang murtad, dan seseorang yang membunuh orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Apabila kalian membunuhku, itu artinya kalian telah menjatuhkan vonis hukuman mati untuk diri kalian sendiri. -Dan pembunuhanku akan mengakibatkan- Allah senantiasa membuat kalian berselisih selama-lamanya.” (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).
Setelah itu, Utsman tetap tinggal di rumahnya. Ia juga memerintahkan para penduduk Madinah untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka semua pun pulang. Kecuali al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Thalhah, Abdullah bin az-Zubair, dan yang sebaya dengan mereka. Pengepungan terhadap Utsman ini berlangsung selama 40 hari. Beberapa hari kemudian pengepungan kian ketat. Sampai-sampai mereka melarang Utsman untuk keluar rumah. Bahkan untuk mengambil air minum di sumur.
Secara rahasia, Utsman mengirim berita kepada Ali, Thalhah, az-Zubair, dan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para pemberontak ini melarangnya untuk ke mengambil air minum. Utsman meminta kepada mereka, kalau seandainya mereka mampu mengiriminya air, lakukanlah. Ali dan Ummu Habibah adalah orang pertama yang merespon permintaan Utsman. Ali datang di kegelapan malam. Ia berkata, “Hai kalian, apa yang kalian lakukan ini bukan seperti perbuatan orang-orang beriman. Bahkan bukan perbuatan orang kafir sekalipun. Janganlah kalian larang dia untuk mengambil air atau memenuhi kebutuhannya. Karena orang-orang Romawi dan Persia pun kalau mereka menawan seseorang, mereka memberi makan dan minum.”
Mereka menjawab, “Tidak demi Allah. Itu bukan usulan yang bagus.”
Kemudian datang Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menunggangi Bighal. Ia membawa sebuah wadah. Lalu orang-orang itu memukul wajah Bighalnya. Ummu Habibah dan Utsman sama-sama berasal dari Bani Umayyah. Ummu Habibah berkata, “Sesungguhnya wasiat Bani Umayyah ada pada Utsman. Aku ingin memintanya agar harta anak-anak yatim dan para janda tidak sirna.” Mereka berkata, “Engaku dusta.” Lalu mereka potong tali Bighal itu dengan pedang mereka. Bighal itu tersentak lari. Hampir saja Ummu Habibah terjatuh. Lalu orang-orang menjumpai Ummu Habibah dan mengantarkannya ke rumahnya (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).
Sungguh keterlaluan sekali perlakuan para pemberontak ini. Mereka telah menghina keluarga Rasulullah. Menghina kehormatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Utsman berusaha menasihati mereka. Mengingatkan mereka bahwa beliau adalah seorang yang pertama-tama memeluk Islam. Yang langsung disebutkan pujiannya di dalam Alquran. Ia juga jelaskan kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah sahabat utama Nabi sekaligus menantunya yang menikahir dua orang putri beliau. Utsman berkata, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu bahwa aku adalah orang yang membeli Sumur Rumah dengan hartaku sendiri. Agar orang-orang bisa menikmati airnya.”
Mereka menjawab, “Kami tahu.”
Utsman berkata, “Lalu mengapa kalian menghalangiku untuk minum darinya”?
Utsman kembali mengatakan, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu kalau aku membeli sebidang tanah. Lalu kuinfakkan untuk perluasan masjid”?
Mereka menjawab, “Kami tahu.”
Utsman berkata, “Apakah kalian tahu ada seseorang yang dilarang shalat di dalamnya sebelum diriku ini”?
Utsman berkata lagi, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang diriku demikian dan demikian”? Beliau menyebut pujian Nabi terhadap dirinya.
Para pemberontak ini pun berkata, “Bersikap lembutlah kepada Amirul Mukminin.”
Lalu salah seorang dari mereka yang bernama al-Asytar berkata, “Ia melakukan tipu daya pada kalian.” (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).
Al-Asytar inilah yang akhirnya membunuh Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Ia tetap menggembosi teman-temannya. Bahkan menghina orang-orang yang bertaubat. Tidak mau lagi terlibat dalam pengepungan.
Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)