Tak masalah menyambut Muharram dengan lebaran anak yatim.
Sebagian Muslim mungkin ada yang menganggap bulan Muharram sebagai lebarannya anak yatim. Lantas bagaimana awal mulanya dan apa yang mendasari anggapan bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari lebaran untuk anak yatim. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis memberi penjelasan.
Kiai Cholil memaparkan, keidentikkan bulan Muharram dengan lebaran anak yatim didasarkan pada sebuah hadis yang disebut dalam kitab Tanbighul Ghafiliin. “Penyebutan tanggal 10 Muharram sebagai lebaran anak yatim karena ada hadis yang disebutkan dalam kitab Tanbighul Ghafiliin. Man masaha yadihi ala ro’si yatiim yaum asyuro rofa’allah ta’ala bi kulli sya’rotin darojah,” jelasnya.
Hadis tersebut menyampaikan, siapa yang menyantuni anak yatim pada hari Asyuro atau tanggal 10 Muharram, maka derajatnya akan dinaikkan oleh Allah SWT. Namun, hadis itu dianggap dhaif atau lemah oleh para ulama.
Sebagian ulama bahkan memberi penilaian bahwa hadis itu maudhu alias palsu. Sebab, di dalam sanad (jalur) hadisnya ada perawi yang kurang dipercaya. Meski dhaif atau bahkan palsu, hadis itu diposisikan untuk menjaga perilaku sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu mengasihi anak yatim.
“Sebagian ulama berpendapat ini (untuk) akhlak saja. Bahwa di hari Asyuro, hari yang baik bagi umat Islam, dijadikan momentum untuk kita mengenang dan mengikuti Rasulullah, yaitu menyayangi anak yatim,” paparnya.
Kiai Cholil pun mengingatkan, Rasulullah adalah sosok penyayang anak yatim. Karena itu pula, hari baik Asyuro dipakai sebagai momentum untuk menyantuni anak yatim. Hadis tersebut untuk mengasah akhlak umat Muslim agar senantiasa memberi kasih sayang kepada anak yatim.
Hadis yang disebutkan dalam kitab Tanbighul Ghafiliin itu, terang Kiai Cholil, sekadar untuk memotivasi sekaligus mengajarkan kepada setiap Muslim untuk berbuat baik kepada anak yatim dengan menyantuninya.
Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF, menjelaskan, amal saleh termasuk menyayangi anak yatim itu adalah sesuatu yang sangat dianjurkan. “Saya kurang tahu persis apa itu hadisnya. Tetapi yang namanya menyayangi anak yatim, kapan pun harinya, hari apapun, itu sesuatu perbuatan yang terpuji,” tutur dia.
Hasanuddin menambahkan, meski itu bersumber dari hadis dhaif, kandungan perbuatan baik yang ada di dalamnya tetap bisa dilakukan. Misalnya perbuatan baik yang hubungannya antara hamba dengan Allah SWT (hablumminallah), dengan manusia (hablumminannas), maupun dengan alam sekitar (hablumminal alam).
“Hadis dhaif sekalipun, karena dalam rangka fadhail a’mal, itu bisa diterima hadisnya, untuk meningkatkan amal kita, apalagi terhadap anak yatim. Ini amal saleh kalau kita berbuat sesuatu yang positif dan bermanfaat,” ujarnya.
Jadi, lanjut Hasanuddin, sikap seorang Muslim terhadap bulan Muharram yang diidentikkan dengan lebaran anak yatim itu tidak masalah meski didasarkan pada hadis dhaif. “Karena dalam rangka mendorong perbuatan amal baik. Itu suatu hal yang patut dilakukan, saya kira gak masalah,” ucapnya.