Dalam benak seorang Muslim, mungkin pernah terlintas sekali-dua kali atau bahkan berkali-kali pertanyaan tentang keberadaan dan wujud Allah Swt. Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: katanya Allah dekat, lalu mengapa tidak terlihat?
Kita merasa Allah Swt. begitu dekat, bahkan sangat dekat, melebihi urat nadi kita sendiri. Tapi, sebagai manusia yang hanya memiliki lima indera yang sangat terbatas, perasaan dekat dengan Allah Swt. Tersebut kembali dipertanyakan mengingat wujud-Nya tak bisa dilihat dengan kasat mata.
Dalam sebuah video ceramahnya di Wamimma TV, Buya Syakur Yasin pernah memaparkan sebuah analogi: “Siapa orang yang paling paham dengan firman Tuhan? Ia adalah orang yang sudah paham (paling dekat) dengan Tuhan.”
Melalui analogi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa ada kesinambungan antara memahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an dengan baik sesuai kaidah tafsir dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya yakni Allah Swt.
Melihat Tuhan Perspektif Qur’an dan Hadits
Saat surat An-Nasr turun, diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali, Umar, dan Abu Bakar menangis. Turunnya ayat tersebut menandakan bahwa sebentar lagi mereka semua akan ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. Para sahabat pun paham makna ayat-ayat yang telah turun tersebut sebab merekalah yang paling dekat dengan Rasulullah Saw.
Dari peristiwa tersebut, muncul pertanyaan: apakah kedekatan dengan Allah Swt. juga berarti harus dekat dengan Nabi Muhammad Saw.? Lantas bagaimana dengan umat lslam yang hidup setelah Rasulullah Saw. wafat?
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, tercatat hanya ada dua ayat saja yang berkaitan dengan melihat atau bertemu dengan Allah Swt. Sebagai berikut:
Quran Surat Al-Qiyamah Ayat 22
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
Wujụhuy yauma`iżin nāḍirah
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.”
Quran Surat Al-Qiyamah Ayat 23
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Ilā rabbihā nāẓirah
Artinya: “Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Makna kalimat “dan wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri” berasal dari kata an-nadhaarah yang artinya rupawan, menawan, cemerlang lagi penuh kebahagiaan.
Sementara itu, makna “kepada Rabb-nyalah mereka melihat” adalah melihat dengan kasat mata.
Dalam riwayat al-Bukhari r.a., dalam Shahih-nya disebutkan: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan kasat mata.”
Dalam ayat tersebut ditegaskan tentang penglihatan orang-orang Mukmin terhadap Allah Swt. di akhirat kelak.
Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra., yang keduanya terdapat di dalam Kitab ash-Shahihain (Al-Mustadrak alaa al-Sahihain) tercantum bahwasanya ada beberapa orang bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari Kiamat kelak?”
Beliau menjawab, “Apakah kalian merasa sakit saat melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?”
Mereka menjawab, “Tidak.”
Beliaupun bersabda, “Sesungguhnya seperti itulah kalian akan melihat Rabb kalian.”
Masih dalam kitab yang sama, disebutkan bahwa dari Jarir ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. pernah melihat bulan pada malam purnama, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulan ini. Jika kalian mampu untuk tidak dikalahkan (oleh perasaan lelah/ngantuk) dari mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan tidak juga sebelum tenggelamnya, maka kerjakanlah.’”
Waktu matahari terbit dan tidak juga sebelum tenggelam dalam hadits tersebut yaitu waktu shalat Subuh di pagi hari dan shalat ‘Ashar di sore hari.
Dalam Kitab ash-Shahihain juga tercantum: dari Abu Musa, ia berkata: “Rasulullah Saw. telah bersabda: ‘Ada dua Surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari emas, dan ada dua Surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari perak. Tidaklah terdapat tirai antara suatu kaum dengan penglihatan mereka kepada Allah Swt. melainkan terdapat selendang kebesaran pada wajah-Nya di Surga ‘Adn.’”
Melihat Tuhan Perspektif Filsafat Islam
Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang eksistensi Tuhan dipaparkan dalam sebuah kalimat sebagai berikut: “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.”
Perlu digarisbawahi di sini bahwa frasa “mengetahui Tuhannya” di sini bukan bermakna mengetahui bentuk secara harfiah dari sosok Tuhan tersebut, tapi lebih kepada kehadiran rasa ihsan dalam diri manusia saat menjalani kehidupan sehari-hari.
Ihsan di sini berarti bahwa di mana pun seorang Muslim berada, maka ia akan merasa melihat Tuhannya. Atau, di mana pun ia berada, ia selalu merasa dilihat oleh Tuhannya. Dua perasaan tersebut mengukuhkan bahwa Allah dekat dan mengetahui segalanya.
Dalam buku Filsafat Islam (1957), Hasyimsyah Nasution menuliskan bahwa terkait wujud atau zat Allah Swt., Imam Al-Ghazali menjelaskan dengan metodologi filsafat yang menitikberatkan “tidak ada sesuatupun yang ada kecuali ada yang mengadakan” Al-Ghazali juga tidak menyetujui pendapat yang menyebutkan bahwasannya Tuhan itu wujudnya sederhana, wujud murni, dan tanpa esensi.
Dari dua pijakan pemikiran tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali berpikir Tuhan adalah wajibul Wujud di mana akan dapat dirasakan kehadirannya jika benar-benar dapat mengetahui sebenarnya hakikat dari diri kita sendiri. Merasakan bahwa Allah dekat adalah karena seorang manusia telah memahami hakikatnya.
Kesekatan tersebut bukan berarti bahwa Tuhan dan hambaNya menjadi satu, tapi lebih pada praktik dalam menghadirkan sifat-sifat Tuhan, atau berusaha menerapkan sifat-sifat Tuhan kedalam diri seorang Muslim dalam menjalani kehidupan di dunia.
Sebagai misal, menerapkan sifar Ar-Rohman dan Ar-Rohiim yang berarti seorang Muslim mesti berusaha menjadi penyayang. Cara yang dipaparkan Al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Sang Kholiq, dan merasakan Sifat-Nya ada dalam diri manusia.
Bisakah Manusia Melihat Wujud Allah?
Dalam buku Etika Al-Ghazali, Etika Majemuk di Dalam Islam(1988), Kamil, Ph.D dan M.Abul Quasem, M.A. menyatakan bahwa untuk bisa mencapai wujud Allah Swt., Al-Ghazali tidak mengartikannya sebagai penyamaan dengan Allah Swt. atau Ittishol atau peleburan diri dengannya (Hulul) atau percampuran hakikat kemanusiaan (Nasut) dengan Hakikat Ilahiyah (Lahut).
Bagi Al-Ghazali, dekat dengan Allah dan melihat Allah bisa diwujudkan dalam konsep yang bernama Wahdatusy Syuhud yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Kesatuan Penyaksian. Sebab bagi Al-Ghazali, apa yang manunggal adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.
Melalui konsep tersebut, seorang Muslim yang mencapai Allah Swt. akan mampu menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat Allah yang tercantum dalam Asmaulhusna dan diterapkan dalam dirinya, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari selama ia hidup di dunia.
Al-Ghazali menambahkan bahwa Allah Swt. diketahui eksistensinya dengan akal. Allah Swt. terlihat zat-Nya dengan mata hati sebagai kenikmatan dari-Nya dan kasih sayang bagi orang-orang yang berbuat baik dan sebagai penyempuurnaan dari-Nya bagi kenikmatan yang memandangNya yang Mulia.
Analogi Buya Syakur Yasin tentang “siapa orang yang paling paham dengan firman Tuhan? Ia adalah orang yang sudah paham (paling dekat) dengan Tuhan” bisa kita pahami dengan pemikiran Al-Ghazali mengenai Tuhan lewat konsep Wahdatul Syuhud.
Perasaan dekat dengan Allah bisa jadi muncul karena seorang Muslim telah berusaha menerapkan sifat-sifat Allah Swt. dengan baik dalam hidupnya. Ia telah berlaku ihsan. Meski merasa dekat, seorang manusia tidak akan bisa melihat Tuhannya dengan kasat mata sebab Allah Swt. hanya bisa diketahui dengan akal dan dilihat dengan mata hati.[]