Dunia bukanlah taman surga. Bukan pula istana dengan berbagai keindahan dan kenyamanan jiwa. Sedih dengan sesuatu yang telah terjadi, cemas dengan hal yang sedang terjadi, dan galau dengan sesuatu yang akan terjadi adalah menu harian manusia. Setiap hati berbeda tingkat kesedihan, kecemasan, dan kegalauannya. Sebab yang menjadikan hati tidak tenang pun berbeda-beda. Ada yang galau dengan masa depannya, kecilnya IPK, sidang skripsi tak kunjung tiba, mau nikah tak ada dana, ditinggal nikah orang yang disuka, tiap hari kesana-kemari melamar kerja, dan seterusnya. Ada yang cemas disebabkan karena menunggu hadirnya momongan begitu lama, hutang di mana-mana, pasangan tak setia, anak yang durhaka, juga belum punya uang makan di esok lusa. Ada yang sedih karena maksiat yang dilakukannya, merasa susahnya belajar ilmu agama, atau karena dakwah tak diterima. Banyak pula tetesan air mata karena bencana alam begitu banyaknya dan wabah yang melanda dunia.
Berikut adalah sedikit paparan dari jenis terapi kesedihan, kecemasan, dan kegalauan yang ada dalam syariat:
Keimanan dan amal salih
Allah Ta’ala beerfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّه حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Barangsiapa beramal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)
Orang yang beriman dengan keimanan yang benar akan membuahkan amal salih yang memperbaiki kondisi hati dan akhlaknya. Amalan salih tersebut juga akan memperbaiki keadaan dunia dan akhiratnya. Dia akan merespon kebahagiaan yang didapatkannya dengan rasa syukur dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat. Apabila seseorang melakukan hal tersebut, maka ia akan merasakan keindahan, menikmati kelanggengan, keberkahan, dan balasan dari syukurnya tersebut.
Seorang mukmin sejati juga akan merespon berbagai hal yang tidak menyenangkan, kesedihan, kecemasan, dan kegalauan dengan cara melawannya jika hal itu bisa dilawan, atau meminimalisir jika bisa diminimalisir, atau bersabar dengan sabar yang indah jika memang hal tersebut tidak bisa dilawan maupun diminimalisir. Dengan seperti itu, dia akan mendapatkan banyak manfaat, seperti kuatnya jiwa, besarnya kesabaran, dan balasan pahala dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat, dia bersyukur dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah, dia sabar dan itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)
Melihat apa yang didapatkan seorang muslim saat musibah menimpa; terhapusnya dosa, bersihnya hati dan diangkat derajat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ.
“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa keletihan, rasa sakit, kegalauan, kesedihan, gangguan, atau kecemasan sampai pun duri yang melukainya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5641)
Dalam riwayat Muslim,
ما يُصِيبُ المُؤْمِنَ مِن وصَبٍ، ولا نَصَبٍ، ولا سَقَمٍ، ولا حَزَنٍ حتَّى الهَمِّ يُهَمُّهُ، إلَّا كُفِّرَ به مِن سَيِّئاتِهِ
“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), keletihan, rasa sakit, kesedihan, dan kegalauan yang menerpanya, melainkan dosa-dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim no. 2573)
Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya menyadari bahwa kegalauan dan musibah yang menimpanya tidak pergi dengan sia-sia. Musibah tersebut meninggalkan manfaat besar bagi mukmin berupa ampunan terhadap dosa-dosanya. Seorang muslim hendaknya juga menyadari bahwa jikalau bukan disebabkan musibah yang menimpanya, maka dia akan menjadi orang yang bangkrut di hari kiamat nanti, sebagaimana disebutkan oleh sebagian salaf. Karena hal inilah, seharusnya seorang mukmin gembira dengan masalah yang dijumpainya sebagaimana dia gembira saat mendapatkan nikmat.
Apabila seorang hamba menyadari bahwa musibah yang menimpanya akan menghapus dosa, maka dia akan gembira dan merasa senang, apalagi balasan tersebut disegerakan setelah seorang hamba melakukan suatu perbuatan dosa, sebagaimana kisah salah seorang sahabat.
أنَّ رجلًا لقيَ امرأةً كانت بغيًّا في الجاهلية، فجعل يلاعِبُها حتى بسَطَ يدَه إليها، فقالت: مه! فإنَّ الله عز وجل قد ذهب با لشرك وقال عفان مرة ذهب بالجاهلية وجاءنا بالإسلامِ، فولى الرجل فأصاب وجهه الحائِطُ فشجه ثم اتى النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فأَخبَرَه فقال: أنت عبدٌ أراد اللهُ بك خيرًا. إذا أراد الله عز وجل بعبد خيرا عجل له عقوبة ذنبه وإذا أراد بعبد شرا أمسك عليه بذنبه حتى يوفى به يوم القيامة كأنه عيرِ.
“Ada seorang lelaki menjumpai wanita mantan pelacur di masa jahiliyah, ia menggodanya hingga menjulurkan tangan kepadanya (mengajak berzina). Perempuan itu berkata, Tahan! Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah menghilangkan kesyirikan (dalam riwayat lain dari Affan: telah menghilangkan jahiliyah dan menghadirkan Islam untuk kita), maka ia berbalik dan saat berbalik wajahnya menabrak tembok sampai luka di kepalanya. Lelaki tersebut mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengkisahkan ceritanya.
Rasulullah bersabda, ‘Engkau adalah hamba yang diinginkan kebaikan oleh Allah untukmu. Apabila Allah ‘azza wa jalla menginginkan kebaikan bagi hamba, maka Dia akan mensegerakan hukuman atas dosa yang telah dilakukannya. Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi hamba, maka Dia akan tahan azab atas dosanya tersebut hingga nantinya dibalas di hari kiamat, seakan-akan (dosanya tersebut) kafilah (karena banyaknya)’.” (HR. Ahmad dalam Musnad 4: 87 dan Hakim dalam Mustadrak 1: 349, di dalam sanadnya terdapat Al-Hasan, dari ‘Abdullah bin Mughaffal dan Al-Hasan adalah seorang mudallis yang di sini menggunakan riwayat ‘an’an, akan tetapi Shalih bin Ahmad bin Hambal mengatakan, “Ayahku mengatakan, ‘beliau mendengar Al-Hasan dari Anas bin Malik dan dari Ibnu Mughaffal -yakni ‘Abdullah bin Mughaffal-‘.” demikian di dalam kitab Marasil milik Ibnu Abi Hatim).
إن الله إذا أراد بعبد خيرا عجل له العقوبة في الدنيا، وإذا أراد بعبد شرا أمسك عنه حتى يوفى يوم القيامة بذنبه
“Sesungguhnya apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba, maka Dia akan menyegerakan hukuman (atas dosa yang telah dilakukannya) di dunia. Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi hamba, maka Dia akan tahan (azab atas dosanya) tersebut hingga nantinya dibalas di hari kiamat dengan sebab dosanya.” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya no. 2396 )
Mengenal hakikat dunia
Hendaknya seorang mukmin menyadari bahwa dunia ini fana, kesenangannya sedikit, kelezatannya terkotori, dan tidak jernih bagi siapa pun. Saat dunia membuatmu tertawa sebentar, dia akan membuatmu menangis lebih lama. Saat dia memberimu sesuatu yang sedikit, dia akan menahan sesuatu yang banyak untukmu. Seorang mukmin akan ‘terpenjara’ di dunia ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,
الدُّنْيا سِجْنُ المُؤْمِنِ، وجَنَّةُ الكافِرِ.
“Dunia itu penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2956)
Maksud ‘penjara’ bagi orang beriman adalah adanya batasan-batasan bagi orang beriman, sedangkan orang kafir tidak memiliki batasan. Makna lainnya yaitu sebahagia apapun seorang mukmin di dunia, kebahagiaan itu ibarat penjara baginya. Hal ini karena di akhirat nanti, dia akan mendapatkan kebahagiaan yang jauh lebih besar. Sebaliknya, sesengsara apapun orang kafir di dunia, kesengsaraan itu ibarat surga baginya. Hal ini karena di akhirat nanti dia akan mendapatkan kesengsaraan yang jauh lebih besar.
Dunia berisi keletihan, gangguan, dan kesengsaraan. Oleh karenanya, seorang mukmin akan beristirahat saat ia pergi meninggalkan dunia sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abi Qatadah bin Rib’iy Al-Anshari,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَّ عَلَيْهِ بِجَنَازَةٍ فَقَالَ مُسْتَرِيحٌ وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ َقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَمَا الْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ قَالَ الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dilewati pengiringan jenazah. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Ada orang yang mendapatkan kenyamanan (istirahat) dan ada pula yang orang lain menjadi nyaman (istirahat) karena ketiadaannya.’
Para shahabat bertanya,
‘Wahai Rasululullah, siapa itu orang yang mendapatkan kenyamanan (istirahat) dan orang yang orang lain menjadi aman (istirahat) karena ketiadaannya?’
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
‘Seorang hamba yang mukmin adalah orang yang beristirahat dari keletihan dunia dan kesulitannya. Sedangkan seorang hamba yang fajir/gemar bermaksiat, maka hamba Allah yang lain, negeri dan pepohonan serta hewan yang beristirahat dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6512)
Kematian orang beriman merupakan peristirahatan dari kecemasan, kegalauan, dan rasa sakitnya di dunia, sebagaimana disebutkan dalam hadis,
إذا حُضِرَ المؤمنُ أتتهُ ملائِكَةُ الرَّحمةِ بحريرةٍ بيضاءَ ، فيقولونَ : اخرُجي راضيةً مرضيًّا عنكِ إلى رَوحِ اللَّهِ، ورَيحانٍ ، وربٍّ غيرِ غضبانَ فتخرجُ كأطيَبِ ريحِ المسكٍ حتَّى إنَّهُ ليُناولُهُ بعضُهُم بعضًا حتَّى يأتون بِهِ بابَ السَّماءِ فيقولونَ : ما أطيَبَ هذِهِ الرِّيحَ الَّتي جاءتْكم منَ الأرضِ فيأتونَ بِهِ أرواحَ المؤمنينَ فلَهُم أشَدُّ فرحًا بِهِ مِن أحدِكُم بِغائبِهِ يقدمُ علَيهِ فيَسألونَهُ ماذا فَعلَ فلانٌ ماذا فعلَ فلانٌ ، فيقولونَ : دَعوهُ فإنَّهُ كانَ في غَمِّ الدُّنيا
“Jika dihadirkan orang yang beriman, datanglah malaikat rahmah kepadanya dengan membawa sutra putih, lantas mengatakan, ‘Keluarlah dalam keadaan senang dan disenangi kepada karunia Allah dan bau wanginya surga, dan menuju Rabb yang tidak akan marah.’
Keluarlah nyawa orang yang beriman sebagaimana parfum kasturi yang paling wangi. Sampai sebagiannya menerima dari sebagian yang lain, sampai mereka datang dengan membawanya ke pintu langit.
Kemudian mereka (malaikat penghuni pintu langit) mengatakan, ‘Betapa harumnya bau ini, yang kalian bawa dari bumi.’
Mereka lantas menjumpai nyawanya orang-orang yang beriman. Sungguh mereka sangat gembira karenanya dibandingkan dengan gembiranya kalian dengan kepulangan saudaranya yang safar. Lantas mereka akan menanyainya, ‘Apa yang telah dilakukan si fulan, apa yang telah dilakukan si fulan?’
Mereka menjawab, ‘Tinggalkanlah dia, sesungguhnya dulu dia dalam keadaan kegalauan dunia …’.”
(Shahih An-Nasa’i no. 1832)
Seorang mukmin yang mengetahui hakikat dunia akan mendapatkan pengaruh sangat besar pada hatinya dalam menyikapi berbagai masalah hidup. Dia menyadari bahwa musibah, rasa sakit, penderitaan, dan kesusahan merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan dunia. Dia juga menyadari bahwa dengan musibah tersebut, Allah Ta’ala akan mengampuni dosa dan mengangkat derajatnya.
[Bersambung]
Penulis: apt. Pridiyanto
Sumber: https://muslim.or.id/67268-mengobati-kegalauan-bag-1.html