“Sekarang setannya tambah satu. Tadi Pak dokter, sekarang kamu, Bu,” ujarnya pelan sambil merapikan tas berisi buku-buku yang akan dipakainya untuk berceramah.
Sedianya dokter meminta sang istri untuk memastikan dia istirahat sementara waktu karena sakitnya. Namun, bukan KH Ahmad Dahlan namanya kalau larangan untuk berdakwah diiyakannya.
Sekalipun dalam keadaan sakit, ia tetap melakukan perjalanan ke Tretes, Malang, untuk menghadiri rapat tahunan Muhammadiyah 1923.
Sepulang dari Malang, kondisi kesehatannya kian menurun, hingga Dr. van De Burne, Dr. Ofringa dan Dr. Somowidagdo yang merawatnya meminta keluarga untuk membatasi tamu yang membezoeknya.
Di tengah perjuangannya memikirkan kondisi umat, Allah mencukupkan tugasnya di bumi dengan memanggilnya pada hari Jumat 23 Februari 1923, di usia yang masih relatif muda untuk ukuran umat Muhammad, 54 tahun.
Bumi menangis. Seorang mujahid berpulang, menyisakan duka yang mendalam. Kabar duka itu segera menyebar.
Inna lillahi wainna ilaihi radji’oen.
Kabar duka itu ditulis majalah Soewara Moehammadijah No. 2 dan 3., Tahun ke-4, Februari-Maret 1923, halaman 74-75.
Dengan hati jang sedih kami beritahoekan pada saudara-saudara teroetama kaoem Moehammadijah dan Sarikat Islam, bahwa pada hari Djoemoeah menghadap malam Saptoe 23/24 Februari 1923 kira poekoel 11.45 u, Kejahi Achmad Dachlan Ketib Amin, ketoea dari perserikatan Moehammadijah dan Adviseur Centraal Sarikat Islam telah berpoelang ke rachmatoellah.
Dari pada itoe, marilah kita bersama-sama memoedji kepada Allah moedah-moedahanlah arwach marhoem Kejahi A. Dachlan itoe dianoegerahi Sorga pahlanja.
Lagi poela dengan pengharapan sepenoeh-penoehnja soedikan apalah kiranja saudara-saudara sama bersolat Gaib adanja.
Setidaknya ada 4 koran berbahasa Belanda yang memuat berita itu. Yakni Soerabajasch Handelsblad, De Indische Courant, Bataviaasch Nieuwsblad, dan satu koran yang terbit di Belanda, Algemeen Handelsblad.
Ada manusia-manusia besar yang Allah takdirkan menuliskan narasi besar. Bisa jadi ia meninggal sebelum narasi itu selesai dituliskannya, namun pemikirannya melintasi zaman.
Kiai Dahlan adalah salah satunya. Berawal dari dari keprihatinannya akan kondisi umat yang berada dalam kebodohan dan kejumudan, ia didik murid-muridnya di langgar (mushala kecil) di halaman rumahnya di kampung Kauman, Yogya.
Dari satu sekolah, kini berkembang menjadi lebih dari 10.381 sekolah. 365 ponpes, 364 RS/klinik, 384 panti asuhan, dan banyak lagi asset lainnya. Dimulai dari Yogyakarta, kini menyebar ke 27 negara di dunia.
Hari ini, 99 tahun lalu jasadnya dikuburkan, namun pahala jariyah dan buah pikirnya tak akan lekang tergerus zaman.
Jakarta, 23/2/2022
Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller