Syukur adalah mengetahui dan merasakan nikmat dengan hati dan ungkapkan dengan lisan.
Syukur adalah mengetahui dan merasakan nikmat dengan hati dan mengungkapkannya dengan lisan. Menurut Ibnu Athaillah, syukur terbagi tiga.
Pertama, syukur dengan lisan, mengungkapkan secara lisan atas nikmat yang diperoleh. Kedua, syukur dengan anggota badan, syukur yang diungkapkan melalui anggota badan untuk menaati perintah-Nya.
Terakhir syukur dengan hati, mengakui bahwa hanya Allah SWT sebagai pemberi nikmat dengan segala bentuk kenikmatan yang diperoleh hambanya semata-mata dari Allah SWT.
Bersyukur sangat erat berhubungan dengan nikmat yang diberikan Allah SWT. Adapun nikmat tersebut terbagi dalam tiga golongan, yakni:
Orang yang gembira dan senang menerima nikmat. Menikmati kelezatannya dan memuaskan hawa nafsunya, maka ia termasuk golongan orang yang lalai (ghafil).
Orang yang gembira dengan nikmat karena ia merasa bahwa dengan nikmat itu adalah karunia yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Orang yang hanya bergembira dengan Allah SWT bukan karena karunia-Nya. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh kelezatan lahir dan batin nikmat itu, karena ia sibuk memperhatikan Allah SWT sehingga ia tercukupi dari segala hal selain-Nya. Dengan demikian tiada yang terlihat padanya, kecuali Allah.
Golongan pertama penerima nikmat Allah SWT yang betul-betul menikmati seperti makan minum tanpa mengingat Tuhannya. Golongan ini layaknya seperti hewan dan setiap kali diberi nikmat akan selalu lalai dan tidak pernah bersyukur. Akibatnya akan menerima siksa Allah SWT dengan tiba-tiba.
Golongan kedua, masih lebih baik dari yang pertama. Namun mereka ini belum sempurna karena masih menoleh ke arah nikmat itu dan masih merasa bahagia dengannya. Ia masih merasa senang dengan nikmat meski menyadari bahwa nikmat itu dari Allah SWT.
Golongan ketiga, mereka hanya bergembira dengan Allah SWT bukan karena karunia-Nya. Mereka tidak terdorong menikmati kelezatan lahir nikmat itu. Kelezatannya hanya terdapat pada kedekatan pada-Nya.
Ingatlah pesan utusan-Nya bahwa syukur kita jadikan sebagai kekayaan akhirat, pengganti kekayaan di dunia. Umar bin Khathab bertanya pada Tsauban, “Apa yang akan kita jadikan kekayaan?” Tsauban menjawab, “Lisan yang senantiasa berdzikir dan hati yang selalu bersyukur.”
Bersyukur atas nikmat merupakan sikap pengakuan seorang hamba atas nikmat yang diberikan-Nya. Nikmat paling besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia berupa akal. Nikmat akal ini yang membedakan dari makhluk lain, sehingga dengan akal manusia bisa menyikapi nikmat menuju golongan manusia penerima nikmat yang tertinggi.
Namun dengan akal manusia bisa berpikir dan berangan-angan dan menginginkan suatu kenikmatan lain. Inilah yang harus dihindari.
Orang bijak mengatakan, syukur adalah pengikat nikmat yang telah diperoleh dan penarik nikmat yang belum didapat. Sebagian ulama mengatakan, siapa saja diberi nikmat tapi tidak mau bersyukur, maka secara tidak sadar membiarkan nikmat itu pergi.
Di sini penulis menekankan rasa syukur terhadap nikmat yang kita peroleh, nikmat bernafas, nikmat mendengar, melihat, mencium yang membedakan bau dan lain-lain.
“Fa biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdziban” (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?). Ayat ini diulang sebanyak 31 kali dalam surah ar-Rahman. Hal ini menandakan karena sangat sayangnya Allah SWT mengingatkan pada hambanya.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa syukur adalah pengabdian penuh kepada Allah SWT sebagai Zat pemberi nikmat. Allah SWT juga berjanji kepada para hamba-Nya untuk menambah nikmat jika mereka mau bersyukur.
Ingatlah janji-Nya pada surah Ibrahim ayat 7 yang berbunyi, “Apabila kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian. Namun, jika kalian mengingkari (nikmat-Ku) maka azab-Ku sangat pedih.”
Adapun tingkatan syukur manusia terbagi tiga. Pertama, awam. syukur yang dilakukan karena mendapatkan anugerah. Kedua, khawash. Syukur yang dilakukan karena mendapat anugerah maupun musibah. Ketiga, khawashul khawash. Syukur terhadap anugerah, musibah, dan sekaligus mampu menyadari bahwa di balik anugerah dan musibah ada Allah Yang Mahakuasa.
Banyak manusia yang lalai atas nikmat tersebut, apalagi tatkala kewalahan dalam pengendalian nafsu, maka mereka menjadi orang-orang yang terhina. Sifat manusia yang mempunyai kebutuhan cukup besar jika diimbangi dengan sikap sedikit kebutuhan, maka selamatlah ia dari kehancuran.
Penulis menutup dengan syair dan semoga kita selalu bersyukur atas seluruh nikmat dari-Nya.
Kau diberi mata untuk melihat.
Namun kau tidak ingat bahwa Allah Maha Melihat.
Diberi telinga untuk mendengar.
Kau lupa kalau Allah Maha Mendengar.
Bisa bicara karena diberikannya lidah.
Lupa akan adab bicara.
Lantas apa bedanya organ pemberian-Nya dengan sepotong daging di pasar?
Nasihat Maulana Rumi, “Allah menyematkan diri-Nya dengan sifat al-bashir (Maha Melihat) agar kau takut menghadapi hal-hal yang merusak. Dia menyematkan as-sami’ (Maha Mendengar) agar kau menahan mulutmu dari segala hal yang merusak. Allah menyatakan diri-Nya adalah al-‘alim (Maha Mengetahui), memberitahu kepadamu tentang pengetahuan-Nya atas dirimu dan mengingatkanmu dari pikiran yang rusak.”
Tidakkah pemberian-pemberian ini merupakan nikmat dari-Nya. Syukur adalah sikap yang tepat.
Masihkah kau mau dusta atas nikmat ini? Tidak sadarkah yang kau hirup udara juga pemberian-Nya.
Semoga kita ternasuk golongan yang mensyukuri nikmat-Nya.
Oleh: Aunur Rofiq,Ketua Dewan Pembina Hipsi (Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)