Syukur merupakan salah satu sifat seorang mukmin. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda tentang keadaan seorang mukmin, “Sungguh menakjubkan keadaan (urusan) seorang mukmin. Semua urusannya baik baginya. Dan yang demikian itu tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 7692)
Syukur mempunyai banyak buah (faedah) yang dapat dipetik. Semuanya kembali kepada hamba dan tiada satu pun yang kembali kepada Allah. Apabila seorang hamba bersyukur, maka sejatinya dia telah bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri.
Sebaliknya, apabila seorang hamba kufur (mengingkari) nikmat, maka kekufurannya itu akan merugikan dirinya sendiri pula. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam pernah berkata sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur’an,
“Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia”. (QS. An-Naml: 40)
Buah-buah dari syukur antara lain adalah sebagai berikut:
Selamat dari azab (siksa) Allah
Allah tidak akan mengazab seseorang selama ia mau beriman dan bersyukur. Allah Ta’ala berfirman,
“Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa’: 147)
Ibnu Jarir rahimahullah berkata, ”Sesungguhnya Allah Jalla Tsanaauhu tidak akan menyiksa orang yang bersyukur dan beriman.” (Tafsir Ath-Thabari, 4: 338)
Mendapatkan rida Allah
Buah syukur yang kedua sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dari sahabat Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu bahwa akan mendapatkan rida dari Allah Ta’ala. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Sungguh Allah benar-benar rida kepada seorang hamba yang memakan suatu makanan, lalu mengucapkan alhamdulillah atas makanan tersebut, atau meminum suatu minuman, lalu mengucapkan alhamdulillah atas minuman tersebut.” (HR. Muslim no. 2734)
Dikhususkan dengan nikmat dan anugerah hidayah
Sungguh Allah telah mengabarkan kepada hamba-Nya yang senantiasa bersyukur dengan dikhususkan sebagai hamba yang mendapat hidayah.
“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah (hidayah) Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?’” (QS. Al-An’am: 53)
Ibnu Jarir rahimahullah berkata, “Allah lebih mengetahui mana di antara hamba-hamba-Nya yang bersyukur maupun kufur. Dan nikmat hidayah diberikan kepada mereka yang senantiasa bersyukur.” (Tafsir Ath-Thabari, 5: 204)
Terpelihara dan terjaganya nikmat
Syukur adalah penjaga (pengawal) nikmat dari segala sebab yang mengakibatkan hilangnya nikmat tersebut. Oleh karena itu, sebagian ulama menamakan syukur itu sebagai pengikat nikmat karena syukur itu mengikat nikmat sehingga tidak lepas dan kabur.
Umar bin Abdul Azis rahimahullah berkata, ”Ikatlah nikmat-nikmat Allah dengan bersyukur kepada Allah.” (Syu’abul Iman, no. 4546)
Ditambahkannya nikmat
Allah Ta’ala telah menjanjikan dalam kitab-Nya yang mulia bahwa Allah akan memberikan tambahan nikmat kepada orang-orang yang bersyukur. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)
Mungkin ada orang-orang di sekitar kita yang usahanya tidak sekeras kita, namun Allah berikan nikmat yang banyak kepadanya. Hal ini bisa jadi disebabkan karena besarnya rasa syukurnya kepada Allah.
Balasan syukur tidak terikat kehendak Allah
Allah Ta’ala menggantungkan banyak balasan (pahala) suatu amal dengan kehendak, seperti firman Allah,
“(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki.” (QS. Al-An’am: 41)
يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ
“Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Ali Imran: 129)
وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah: 212)
وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ
“Dan Allah menerima tobat orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. At-Taubah: 15)
Adapun syukur, maka Allah tidak gandengkan dengan kehendak, tetapi langsung Allah balas. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144)
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145).
Dikabulkannya doa
Ibrahim bin Adham, seorang tokoh tabi’in pernah ditanya,“Mengapa kami berdoa, namun tidak dikabulkan?” Dia menjawab,
“Karena kalian mengenal Allah, tetapi tidak menaati-Nya.”
“Kalian mengenal Rasulullah, tetapi kalian tidak mengikuti sunnahnya.”
“Kalian mengetahui Al-Quran, tetapi tidak mengamalkannya.”
“Kalian memakan nikmat-nikmat Allah, namun kalian tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.”
“Kalian mengetahui surga, namun tidak memburunya. Dan kalian mengetahui neraka, namun tidak berlari darinya.”
“Kalian mengetahui setan, namun tidak memeranginya malah menyepakatinya.”
“Kalian mengetahui kematian, namun tidak bersiap untuknya dan kalian menguburkan orang mati, namun tidak mengambil pelajaran dan kalian meninggalkan aib-aib kalian sendiri, namun sibuk dengan aib-aib orang lain.” (Tafsir Ath-Thabari, 2: 303)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan kita dan seluruh kaum muslimin untuk bisa menjadi hamba yang bersyukur dan menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hamba yang pandai bersyukur. Aamiin.
Manusia sebagai makhluk sosial pastilah tak akan pernah lepas dari bantuan dan pertolongan orang lain, selain tentunya semuanya tak pernah lepas dari karunia dan pertolongan dari Allah Ta’ala.
Semenjak masih bayi, ada orang tua yang rela mengorbankan dua puluh empat jam kehidupannya untuk merawat dan menemani bayi tersebut berkembang dan bertumbuh dewasa. Fase berikutnya, seorang manusia akan memasuki kehidupan sekolah, di mana di dalamnya terdapat guru-guru dan pengajar yang akan membantunya memahami kehidupan atau bahkan mengajarkan kepadanya hal-hal wajib dan mendasar terkait agama Islam yang kita butuhkan.
Beranjak di dunia pernikahan, seseorang akan memiliki pendamping hidup yang rela menemaninya dalam suka maupun duka, pasangan hidup yang agama seseorang bergantung erat dengannya.
Lalu, pernahkan terbetik dalam hati kita untuk barang sekali mengucapkan “jazakumullahu khairan” atau “terima kasih” kepada orang-orang yang telah banyak berjasa kepada kita?
Mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua kita, terutama ibu yang sudah mengandung kita ataupun bapak yang rela berkendara dalam hujan, menerjang panasnya kota untuk menghidupi kita? Kepada guru yang telah begitu banyak mengajarkan kebaikan dan kebenaran kepada kita? Kepada suami atau istri yang telah rela hidup bersama kita hingga saat ini?
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya di antara bentuk syukur yang paling besar terhadap nikmat dan rezeki yang kita dapatkan di kehidupan dunia ini adalah bersyukur dan berterima kasih kepada orang-orang yang menjadi perantara terwujudnya kenikmatan dan karunia tersebut.
Hal ini tentu saja bukanlah perkara yang mudah, seringkali manusia melupakan dan menganggap remeh bersyukur dan berterima kasih kepada manusia. Sampai-sampai Allah Ta’ala berfirman,
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)
Hal ini tentu saja bukan tanpa sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا يَشْكُرُ اللهَ مَن لا يَشْكُرُ الناسَ
”Tidak akan terwujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala dari seseorang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud no. 4811)
Para ulama mengatakan,
“Makna hadis tersebut adalah sesungguhnya siapa yang tabiat dan kebiasaannya masa bodoh, tidak peduli dan mengingkari kebaikan orang lain, serta tidak berterima kasih kepada mereka, maka ia pun dengan mudahnya juga tidak bersyukur dan berterima kasih serta mengingkari kebaikan-kebaikan dan nikmat Allah Ta’ala.”
Hubungan rasa syukur kepada Allah Ta’ala dan rasa syukur kepada manusia
Asalnya, sebagaimana Allah-lah yang telah menciptakan kita, maka semua kenikmatan dan rezeki yang sampai pada diri kita sumbernya pun dari Allah Ta’ala. Manusia dituntut dan diperintahkan untuk senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Allah Ta’ala dengan beribadah, beramal, menjauhkan diri dari dosa, serta memanfaatkan kenikmatan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Rezeki yang Allah Ta’ala berikan ini seringkali akan melalui perantara seorang manusia. Sebut saja ilmu yang bermanfaat, hidayah, dan amal-amal kebaikan, semuanya itu bisa kita kenal dan kita pelajari melalui perantara para nabi dan orang orang saleh. Oleh karena itu, kita harus bersyukur kepada Allah Ta’ala karena telah mengutus para nabi-Nya serta memperbanyak orang saleh di antara kita, selain kita juga harus bersyukur kepada para rasul dan perantara tersebut. Karena rasa syukur dan terima kasih kita kepada mereka merupakan realisasi rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala.
Beberapa orang yang terkemuka mengatakan,
“Jikalau setan mengetahui ada jalan yang lebih utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala selain rasa syukur, pastilah ia akan mencegatnya. Tidakkah kalian menyaksikan apa yang ia ucapkan?
‘Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (hamba-hamba Allah) bersyukur.’ (QS. Al-A’raf: 17)
Mereka tidak mengatakan, ‘Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka (hamba-hamba Allah) bersabar.’” (Faidhul Qaadir karya Imam Al-Munawi, 1: 341)
Bahaya tidak bersyukur dan berterima kasih kepada manusia
Tidak bersyukur dan tidak berterima kasih kepada manusia sangatlah berbahaya, sampai-sampai perbuatan ini dicap sebagai bentuk kekafiran. Hanya saja kekafiran yang dimaksud di sini bukanlah kekafiran yang akan mengeluarkan pelakunya dari agama Islam secara khusus. Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai para wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristigfar (mohon ampun kepada Allah). Karena sungguh aku melihat kalian sebagai penghuni neraka yang paling banyak.” Seorang wanita yang cerdas di antara mereka berkata, “Mengapa kami sebagai penghuni neraka yang paling banyak, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Karena kalian sering melaknat dan sering mengingkari kebaikan suami.” (HR. Muslim no. 79 dan Ibnu Majah no. 4003)
Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, karena mereka kufur.” Beliau ditanya, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka kufur kepada suami dan mengingkari kebaikan. Andaikan engkau berbuat baik kepada seorang istri sepanjang waktu, kemudian sekali saja ia melihat kesalahanmu, maka ia mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Nabi khususkan kufur kepada suami di antara dosa-dosa lain yang begitu banyak karena begitu agungnya kedudukan suami bagi seorang istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
لو كنتُ آمُرُ أحَدًاأنْ يَسجُدَ لأحَدٍ، لأمَرتُ المرأةَ أنْ تسجُدَ لزَوجِها، ولا تُؤدِّي المرأةُ حَقَّ اللهِ عزَّ وجلَّ عليها كلَّه، حتى تُؤدِّيَ حَقَّ زَوجِها عليها كلَّه
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya kuperintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri (dianggap) telah menunaikan hak Rabb-nya seluruhnya, kecuali dia telah menunaikan hak suaminya seluruhnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1853 dan Ahmad no. 19403)
Dua panduan dalam bersyukur kepada manusia yang sesuai syariat
Pertama: Bersyukur dan berterima kasih tanpa memandang status orang yang memberikannya. Dengan adanya kebaikan dari orang lain, maka harus senantiasa dibarengi juga dengan rasa syukur dan terima kasih.
Dikisahkan dari Abu Isa ia berkata,
كان إبراهيم بن أدهم إذا صَنَعَ إليه أحدٌ معروفًا، حرَصَ على أنْ يُكافِئَه، أو يتفضَّل عليه، قال أبو عيسى: فلَقِيَني وأنا على حمار، وأنا أُريد بيتَ المقدس، وقد اشترى بأربعة دوانيق تُفاحًا وسفرجلًا وخوخًا وفاكهةً، فقال: يا أبا عيسى، أُحِبُّ أنْ تَحمِل هذا، قال وإذا عجوز يَهوديَّة في كوخ لها، فقال: أُحِبُّ أنْ تُوصِّل هذا إليها، فإنني مرَرتُ وأنا مُمسٍ فبيَّتَتني عندها، فأُحِبُّ أن أُكافِئها على ذلك
“Ibrahim bin Adham, jika seseorang berbuat baik kepadanya, maka dia ingin sekali membalas dan memberinya hadiah, atau bersikap baik padanya. Abu Isa berkata, ‘Suatu saat ia bertemu denganku, sedang aku berada di atas keledai, dan aku sedang menuju Baitul Maqdis, sedangkan dia baru saja membeli apel, quince, buah persik, dan buah-buahan lainnya seharga empat daniq (salah satu mata uang perak jaman dahulu). Kemudian dia berkata, ‘Wahai Abu Isa, saya sangat senang bila engkau mau membawakan ini.’ Abu Isa melanjutkan, ‘Hingga kami melihat seorang wanita tua Yahudi berada di gubuknya, kemudian (Ibrahim bin Adham) berkata, ‘Saya ingin Anda mengirimkan ini kepadanya. Pernah suatu kali saya melewatinya sedang saya sudah kemalaman, kemudian wanita tua tersebut menyuruhku untuk bermalam di rumahnya. Saya sangat senang bila bisa menghadiahi dan membalas untuk kebaikan yang telah ia lakukan tersebut.”” (Raudhatul Uqala’ Wa Nuzhatu Al-Fudhalaa karya Ibnu Hibban hal. 266)
Kedua: Membalas kebaikan orang tersebut semampunya. Jika tidak mampu, maka cukup dengan memuji dan menyebutkannya. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أُتِيَ إليهِ معروفٌ فلِيكافئَ بهِ ، و مَنْ لمْ يستطعْ فلِيذكرْهُ ، فإنَّ مَنْ ذكرَهُ فقد شكرَهُ
“Barangsiapa yang diberikan kebaikan, maka hendaknya membalasnya. Jika tidak mampu, maka hendaknya menyebut kebaikan itu. Dan siapa yang menyebutnya, maka dia telah bersyukur kepadanya.” (HR. Ahmad no. 24593 dan disebutkan oleh Syekh Albani dalam Shahih At-Targhib hal. 972).
Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini kami akan mencoba membahas terkait hamba yang bersyukur. Berikut pembahasan lengkapnya.
Apakah Makna Syukur?
Syukur secara bahasa,
الثناء على المحسِن بما أَوْلاكَهُ من المعروف
“Syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari). Atau dalam bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih.
Sedangkan istilah syukur dalam agama, adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Ibnul Qayyim:
الشكر ظهور أثر نعمة الله على لسان عبده: ثناء واعترافا، وعلى قلبه شهودا ومحبة، وعلى جوارحه انقيادا وطاعة
“Syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada dirinya. Dengan melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberi nikmat. Dengan melalui hati, berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah. Melalui anggota badan, berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah” (Madarijus Salikin, 2/244).
Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu enggan menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah Ta’ala. Semisal Qarun yang berkata,
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Sungguh harta dan kenikmatan yang aku miliki itu aku dapatkan dari ilmu yang aku miliki” (QS. Al-Qashash: 78).
Syukur Adalah Salah Satu Sifat Allah
Ketahuilah bahwa syukur merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat Allah yang husna. Yaitu Allah pasti akan membalas setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh hamba-Nya, tanpa luput satu orang pun dan tanpa terlewat satu amalan pun. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya Allah itu Ghafur dan Syakur” (QS. Asy-Syura: 23).
Seorang ahli tafsir, Imam Abu Jarir Ath-Thabari, menafsirkan ayat ini dengan riwayat dari Qatadah, “Ghafur artinya Allah Maha Pengampun terhadap dosa, dan Syakur artinya Maha Pembalas Kebaikan sehingga Allah lipat-gandakan ganjarannya” (Tafsir Ath Thabari, 21/531).
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Allah itu Syakur lagi Haliim” (QS. At-Taghabun: 17).
Ibnu Katsir menafsirkan Syakur dalam ayat ini, “Maksudnya adalah memberi membalas kebaikan yang sedikit dengan ganjaran yang banyak” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 8/141).
Sehingga orang yang merenungi bahwa Allah adalah Maha Pembalas Kebaikan, dari Rabb kepada Hamba-Nya, ia akan menyadari bahwa tentu lebih layak lagi seorang hamba bersyukur kepada Rabb-Nya atas begitu banyak nikmat yang ia terima.
Syukur Adalah Sifat Para Nabi
Senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas limpahan nikmat Allah, walau cobaan datang dan rintangan menghadang, itulah sifat para Nabi dan Rasul Allah yang mulia. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh ‘Alaihissalam,
ذرية من حملنا مع نوح إنه كان عبدا شكور
“(Yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Nuh adalah hamba yang banyak bersyukur” (QS. Al-Isra: 3).
Allah Ta’ala menceritakan sifat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam:
إن إبراهيم كان أمة قانتا لله حنيفا ولم يك من المشركين* شاكرا لأنعمه اجتباه وهداه إلى صراط مستقيم
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik, Dan ia senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus” (QS. An-Nahl: 120-121).
Dan inilah dia sayyidul anbiya, pemimpin para Nabi, Nabi akhir zaman, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak luput dari syukur walaupun telah dijamin baginya surga. Diceritakan oleh Ibunda ‘Aisyah Radhiallahu’anha,
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، إذا صلَّى ، قام حتى تفطَّر رجلاه . قالت عائشةُ : يا رسولَ اللهِ ! أتصنعُ هذا ، وقد غُفِر لك ما تقدَّم من ذنبك وما تأخَّرَ ؟ فقال ” يا عائشةُ ! أفلا أكونُ عبدًا شكورًا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no. 1130, Muslim no. 2820).
Syukur Adalah Ibadah
Allah Ta’ala dalam banyak ayat di dalam Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka syukur adalah ibadah dan bentuk ketaatan atas perintah Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون
“Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah ingkar” (QS. Al Baqarah: 152)
Allah Ta’ala juga berfirman,
يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا لله إن كنتم إياه تعبدون
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” (QS. Al Baqarah: 172).
Maka bersyukur adalah menjalankan perintah Allah dan enggan bersyukur serta mengingkari nikmat Allah adalah bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah.
“Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (HR. Muslim no.7692).
Merupakan Sebab Datangnya Ridha Allah
Allah Ta’ala berfirman,
وإن تشكروا يرضه لكم
“Jika kalian ingkar, sesungguhnya Allah Maha Kaya atas kalian. Dan Allah tidak ridha kepada hamba-Nya yang ingkar dan jika kalian bersyukur Allah ridha kepada kalian” (QS. Az-Zumar: 7).
Merupakan Sebab Selamatnya Seseorang Dari Azab Allah
Allah Ta’ala berfirman,
ما يفعل الله بعذابكم إن شكرتم وآمنتم
“Tidaklah Allah akan mengadzab kalian jika kalian bersyukur dan beriman. Dan sungguh Allah itu Syakir lagi Alim” (QS. An-Nisa: 147).
Merupakan Sebab Ditambahnya Nikmat
Allah Ta’ala berfirman,
وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim: 7).
Ganjaran Di Dunia dan Akhirat
Janganlah Anda menyangka bahwa bersyukur itu hanya sekedar pujian dan berterima kasih kepada Allah. Ketahuilah bahwa bersyukur itupun menuai pahala, bahkan juga membuka pintu rezeki di dunia. Allah Ta’ala berfirman,
وسنجزي الشاكرين
“Dan sungguh orang-orang yang bersyukur akan kami beri ganjaran” (QS. Al Imran: 145).
Imam Ath Thabari menafsirkan ayat ini dengan membawakan riwayat dari Ibnu Ishaq, “Maksudnya adalah, karena bersyukur, Allah memberikan kebaikan yang Allah janjikan di akhirat dan Allah juga melimpahkan rizki baginya di dunia” (Tafsir Ath Thabari, 7/263).
Tanda-Tanda Hamba yang Bersyukur
Mengakui dan Menyadari Bahwa Allah Telah Memberinya Nikmat
Orang yang bersyukur senantiasa menisbatkan setiap nikmat yang didapatnya kepada Allah Ta’ala. Ia senantiasa menyadari bahwa hanya atas takdir dan rahmat Allah semata lah nikmat tersebut bisa diperoleh. Sedangkan orang yang kufur nikmat senantiasa lupa akan hal ini. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata,
“Ketika itu hujan turun di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Nabi bersabda, ‘Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata, ‘Inilah rahmat Allah.’ Orang yang kufur nikmat berkata, ‘Oh pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu’” (HR. Muslim no.73).
Menyebut-Nyebut Nikmat yang Diberikan Allah
Mungkin kebanyakan kita lebih suka dan lebih sering menyebut-nyebut kesulitan yang kita hadapi dan mengeluhkannya kepada orang-orang. “Saya sedang sakit ini.” “Saya baru dapat musibah itu..” “Saya kemarin rugi sekian rupiah..”, dll. Namun sesungguhnya orang yang bersyukur itu lebih sering menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah berikan. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya” (QS. Adh-Dhuha: 11).
Namun tentu saja tidak boleh takabbur (sombong) dan ‘ujub (merasa kagum atas diri sendiri).
Menunjukkan Rasa Syukur dalam Bentuk Ketaatan kepada Allah
Sungguh aneh jika ada orang yang mengaku bersyukur, ia menyadari segala yang ia miliki semata-mata atas keluasan rahmat Allah, namun di sisi lain melalaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya, ia enggan shalat, enggan belajar agama, enggan berzakat, memakan riba, dll. Jauh antara pengakuan dan kenyataan. Allah Ta’ala berfirman,
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS. Ali Imran: 123).
Maka rasa syukur itu ditunjukkan dengan ketakwaan.
Tips Agar Menjadi Hamba yang Bersyukur
Senantiasa Berterima Kasih kepada Orang Lain
Salah cara untuk mensyukuri nikmat Allah adalah dengan berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لا يشكر الله من لا يشكر الناس
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Tirmidzi no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
“Barangsiapa yang telah berbuat suatu kebaikan padamu, maka balaslah dengan yang serupa. Jika engkau tidak bisa membalasnya dengan yang serupa maka doakanlah ia hingga engkau mengira doamu tersebut bisa sudah membalas dengan serupa atas kebaikan ia” (HR. Abu Daud no. 1672, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).
Oleh karena itu, mengucapkan terima kasih adalah akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
مَن صُنِعَ إليهِ معروفٌ فقالَ لفاعلِهِ : جزاكَ اللَّهُ خيرًا فقد أبلغَ في الثَّناءِ
“Barangsiapa yang diberikan satu kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan, ‘Jazaakallahu khair’ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupinya dalam menyatakan rasa syukurnya” (HR. Tirmidzi no.2167, ia berkata: “Hadits ini hasan jayyid gharib”, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Merenungkan Nikmat-Nikmat Allah
Dalam Al-Qur’an sering kali Allah menggugah hati manusia bahwa banyak sekali nikmat yang Ia limpahkan sejak kita datang ke dunia ini, agar kita sadar dan bersyukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl: 78).
Qana’ah
Senantiasa merasa cukup atas nikmat yang ada pada diri kita membuat kita selalu bersyukur kepada Allah. Sebaliknya, orang yang senantiasa merasa tidak puas, merasa kekurangan, ia merasa Allah tidak pernah memberi kenikmatan kepadanya sedikitpun. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
كن وَرِعًا تكن أعبدَ الناسِ ، و كن قنِعًا تكن أشْكَرَ الناسِ
“Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi hamba yang paling berbakti. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi hamba yang paling bersyukur”(HR. Ibnu Majah no. 3417, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Sujud Syukur
Salah satu cara untuk mengungkapkan rasa syukur ketika mendapat kenikmatan yang begitu besar adalah dengan melakukan sujud syukur.
عن أبي بكرة نفيع بن الحارث رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جاءه أمر بشر به خر ساجدا؛ شاكرا لله
“Dari Abu Bakrah Nafi’ Ibnu Harits Radhiallahu’anhu ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika menjumpai sesuatu yang menggemberikan beliau bersimpuh untuk sujud. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah” (HR. Abu Daud no.2776, dihasankan oleh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil).
Berdzikir
Berdzikir dan memuji Allah adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah. Ada beberapa dzikir tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah khusus mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
من قال حين يصبح: اللهم ما أصبح بي من نعمة أو بأحد من خلقك فمنك وحدك لا شريك لك، فلك الحمد ولك الشكر. فقد أدى شكر يومه، ومن قال ذلك حين يمسي فقد أدى شكر ليلته
“Barangsiapa pada pagi hari berdzikir: Allahumma ashbaha bii min ni’matin au biahadin min khalqika faminka wahdaka laa syariikalaka falakal hamdu wa lakasy syukru.” (Ya Allah, atas nikmat yang Engkau berikan kepada ku hari ini atau yang Engkau berikan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, maka sungguh nikmat itu hanya dari-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Segala pujian dan ucap syukur hanya untuk-Mu) Maka ia telah memenuhi harinya dengan rasa syukur. Dan barangsiapa yang mengucapkannya pada sore hari, ia telah memenuhi malamnya dengan rasa syukur” (HR. Abu Daud no.5075, dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Arnauth dalam tahqiqnya terhadap kitab Raudhatul Muhadditsin).
Cara Bersyukur yang Salah
Bersyukur kepada Selain Allah
Sebagian orang ketika mendapat kenikmatan, mereka mengungkapkan rasa syukur kepada selain Allah, semisal kepada jin yang mengaku penguasa lautan, kepada berhala yang dianggap dewa bumi, atau kepada sesembahan lain selain Allah. Kita katakan kepada mereka,
“Apakah engkau kufur kepada Dzat yang telah menciptakanmu dari tanah kemudian mengubahnya menjadi nutfah lalu menjadikanmu sebagai manusia?” (QS. Al-Kahfi: 37).
Allah Ta’ala yang menciptakan kita, menghidupkan kita, dari Allah sematalah segala kenikmatan, maka sungguh ‘tidak tahu terima kasih’ jika kita bersyukur kepada selain Allah. Dan telah kita ketahui bersama bahwa syukur adalah ibadah. Dan ibadah hanya pantas dan layak kita persembahkan kepada Allah semata. Tidak ada sekutu baginya. Allah Ta’ala juga berfirman,
بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Beribadahlah hanya kepada Allah dan jadilah hamba yang bersyukur” (QS. Az-Zumar: 66).
Ritualiasasi Rasa Syukur yang Tidak Diajarkan Agama
Mengungkapkan rasa syukur dalam bentuk ritual sah-sah saja selama ritual tersebut diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Misalnya dengan sujud syukur atau dengan melafalkan dzikir. Andaikan ada bentuk lain ritual rasa syukur yang baik untuk dilakukan tentu sudah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabat. Lebih lagi sahabat Nabi yang paling fasih dalam urusan agama, paling bersyukur diantara ummat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, yang mereka jumlahnya puluhan ribu dan di antara mereka ada yang masih hidup satu abad setelah Rasulullah wafat, sebanyak dan selama itu tidak ada seorang pun yang terpikir untuk membuat ritual semacam perayaan hari ulang tahun, ulang tahun pernikahan, syukuran rumah baru, sebagai bentuk rasa syukur mereka. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
Segala anugerah yang Allah beri patutnya kita syukuri. Sebab syukur membuat hati senantiasa tenang dan membuat rezeki makin bertambah. Seperti yang Allah telah firmankan dalam Alquran surat Ibrahim ayat 7,
Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
Dalam sebuah Hadis disebutkan:
“Sesungguhnya seorang hamba itu dihalangi dari rizki ialah disebabkan dosa (yang ia perbuat)” (HR. Ahmad)
Kadang-kadang kita lebih mudah mengeluh daripada bersyukur disebabkan hanya melihat musibah yang menimpanya daripada nikmat yang Allah berikan yang justru lebih banyak. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk berdoa agar senantiasa hati kita terpaut pada Allah dan memanjatkan doa agar senantiasa bersyukur, dan memohon dituntun oleh Allah untuk berbuat kebaikan. Doa tersebut diajarkan oleh Nabi Sulaiman yang tercantum pada surat an-Naml: 19,
“Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”
Dalam Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Katsir bahwa doa ini dipanjatkan oleh Nabi Sulaiman saat melihat seekor semut tatkala ia dan pasukannya melewati segerombolan semut. Nabi Sulaiman memohon kepada Allah agar tetap menysukuri segala nikmat yang telah Allah berikan berupa kemampuan berbicara dengan hewan, dan nikmat atas iman. Nabi Sulaiman juga memohon kepada Allah agar senantiasa dituntun melakukan amal sholih, dan kelak di akhirat dikumpulkan bersama orang-orang yang sholih.
Doa ini bisa diamalkan siapa saja untuk memohon kepada Allah agar diberi ilham untuk senantiasa bersyukur, berbuat sholih dan dikumpulkan dengan orang-orang sholih.
Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan terus bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai, kadang kita malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang telah memberikan berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat ketika kita telah mencapai hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana ini.
Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya
Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat. Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman Allah Ta’ala,
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat: 49). Atau pada ayat lainnya,
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)
Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan atau kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai dari bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah hakku.”(QS. Fushshilat: 50)
Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan kesuksesan yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah. Bahkan ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia terjang). Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.[1]
Ucapkanlah “Tahmid”
Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Membicarakan nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jaami’ no. 3014).
Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia memperoleh anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau pun memperbanyak syukur pada Allah sebagaimana do’a beliau ketika itu,
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39).
Para ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah bagi Allah).”[2]
Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah melakukannya dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang tercela.[3]
Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan
Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di atas yaitu mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan menyebut-nyebutnya dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan yang satu ini yaitu nikmat tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat.
Contohnya adalah jika Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga. Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat, maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”[4]
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: [1] mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).
“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”[6]
Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri
Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai haditsnya. Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia mengatakan,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)
Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri walaupun itu sedikit. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Dan juga mesti kita yakini bahwa rizki yang Allah beri tersebut adalah yang terbaik bagi kita karena seandainya Allah melebihkan atau mengurangi dari yang kita butuh, pasti kita akan melampaui batas dan bertindak kufur. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh, tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.” Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[7]
Patut diingat pula bahwa nikmat itu adalah segala apa yang diinginkan seseorang. Namun apakah nikmat dunia berupa harta dan lainnya adalah nikmat yang hakiki? Para ulama katakan, tidak demikian. Nikmat hakiki adalah kebahagiaan di negeri akhirat kelak. Tentu saja hal ini diperoleh dengan beramal sholih di dunia. Sedangkan nikmat dunia yang kita rasakan saat ini hanyalah nikmat sampingan semata. Semoga kita bisa benar-benar merenungkan hal ini.[8]
Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur
Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imron: 145)
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim: 7)
Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang engkau beri.
Diselesaikan atas taufik Allah di Pangukan-Sleman, 23 Rabi’ul Akhir 1431 H
Syukur adalah mengetahui dan merasakan nikmat dengan hati dan ungkapkan dengan lisan.
Syukur adalah mengetahui dan merasakan nikmat dengan hati dan mengungkapkannya dengan lisan. Menurut Ibnu Athaillah, syukur terbagi tiga.
Pertama, syukur dengan lisan, mengungkapkan secara lisan atas nikmat yang diperoleh. Kedua, syukur dengan anggota badan, syukur yang diungkapkan melalui anggota badan untuk menaati perintah-Nya.
Terakhir syukur dengan hati, mengakui bahwa hanya Allah SWT sebagai pemberi nikmat dengan segala bentuk kenikmatan yang diperoleh hambanya semata-mata dari Allah SWT.
Bersyukur sangat erat berhubungan dengan nikmat yang diberikan Allah SWT. Adapun nikmat tersebut terbagi dalam tiga golongan, yakni:
Orang yang gembira dan senang menerima nikmat. Menikmati kelezatannya dan memuaskan hawa nafsunya, maka ia termasuk golongan orang yang lalai (ghafil).
Orang yang gembira dengan nikmat karena ia merasa bahwa dengan nikmat itu adalah karunia yang diberikan Allah SWT kepadanya.
Orang yang hanya bergembira dengan Allah SWT bukan karena karunia-Nya. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh kelezatan lahir dan batin nikmat itu, karena ia sibuk memperhatikan Allah SWT sehingga ia tercukupi dari segala hal selain-Nya. Dengan demikian tiada yang terlihat padanya, kecuali Allah.
Golongan pertama penerima nikmat Allah SWT yang betul-betul menikmati seperti makan minum tanpa mengingat Tuhannya. Golongan ini layaknya seperti hewan dan setiap kali diberi nikmat akan selalu lalai dan tidak pernah bersyukur. Akibatnya akan menerima siksa Allah SWT dengan tiba-tiba.
Golongan kedua, masih lebih baik dari yang pertama. Namun mereka ini belum sempurna karena masih menoleh ke arah nikmat itu dan masih merasa bahagia dengannya. Ia masih merasa senang dengan nikmat meski menyadari bahwa nikmat itu dari Allah SWT.
Golongan ketiga, mereka hanya bergembira dengan Allah SWT bukan karena karunia-Nya. Mereka tidak terdorong menikmati kelezatan lahir nikmat itu. Kelezatannya hanya terdapat pada kedekatan pada-Nya.
Ingatlah pesan utusan-Nya bahwa syukur kita jadikan sebagai kekayaan akhirat, pengganti kekayaan di dunia. Umar bin Khathab bertanya pada Tsauban, “Apa yang akan kita jadikan kekayaan?” Tsauban menjawab, “Lisan yang senantiasa berdzikir dan hati yang selalu bersyukur.”
Bersyukur atas nikmat merupakan sikap pengakuan seorang hamba atas nikmat yang diberikan-Nya. Nikmat paling besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia berupa akal. Nikmat akal ini yang membedakan dari makhluk lain, sehingga dengan akal manusia bisa menyikapi nikmat menuju golongan manusia penerima nikmat yang tertinggi.
Namun dengan akal manusia bisa berpikir dan berangan-angan dan menginginkan suatu kenikmatan lain. Inilah yang harus dihindari.
Orang bijak mengatakan, syukur adalah pengikat nikmat yang telah diperoleh dan penarik nikmat yang belum didapat. Sebagian ulama mengatakan, siapa saja diberi nikmat tapi tidak mau bersyukur, maka secara tidak sadar membiarkan nikmat itu pergi.
Di sini penulis menekankan rasa syukur terhadap nikmat yang kita peroleh, nikmat bernafas, nikmat mendengar, melihat, mencium yang membedakan bau dan lain-lain.
“Fa biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdziban” (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?). Ayat ini diulang sebanyak 31 kali dalam surah ar-Rahman. Hal ini menandakan karena sangat sayangnya Allah SWT mengingatkan pada hambanya.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa syukur adalah pengabdian penuh kepada Allah SWT sebagai Zat pemberi nikmat. Allah SWT juga berjanji kepada para hamba-Nya untuk menambah nikmat jika mereka mau bersyukur.
Ingatlah janji-Nya pada surah Ibrahim ayat 7 yang berbunyi, “Apabila kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian. Namun, jika kalian mengingkari (nikmat-Ku) maka azab-Ku sangat pedih.”
Adapun tingkatan syukur manusia terbagi tiga. Pertama, awam. syukur yang dilakukan karena mendapatkan anugerah. Kedua, khawash. Syukur yang dilakukan karena mendapat anugerah maupun musibah. Ketiga, khawashul khawash. Syukur terhadap anugerah, musibah, dan sekaligus mampu menyadari bahwa di balik anugerah dan musibah ada Allah Yang Mahakuasa.
Banyak manusia yang lalai atas nikmat tersebut, apalagi tatkala kewalahan dalam pengendalian nafsu, maka mereka menjadi orang-orang yang terhina. Sifat manusia yang mempunyai kebutuhan cukup besar jika diimbangi dengan sikap sedikit kebutuhan, maka selamatlah ia dari kehancuran.
Penulis menutup dengan syair dan semoga kita selalu bersyukur atas seluruh nikmat dari-Nya.
Kau diberi mata untuk melihat.
Namun kau tidak ingat bahwa Allah Maha Melihat.
Diberi telinga untuk mendengar.
Kau lupa kalau Allah Maha Mendengar.
Bisa bicara karena diberikannya lidah.
Lupa akan adab bicara.
Lantas apa bedanya organ pemberian-Nya dengan sepotong daging di pasar?
Nasihat Maulana Rumi, “Allah menyematkan diri-Nya dengan sifat al-bashir (Maha Melihat) agar kau takut menghadapi hal-hal yang merusak. Dia menyematkan as-sami’ (Maha Mendengar) agar kau menahan mulutmu dari segala hal yang merusak. Allah menyatakan diri-Nya adalah al-‘alim (Maha Mengetahui), memberitahu kepadamu tentang pengetahuan-Nya atas dirimu dan mengingatkanmu dari pikiran yang rusak.”
Tidakkah pemberian-pemberian ini merupakan nikmat dari-Nya. Syukur adalah sikap yang tepat.
Masihkah kau mau dusta atas nikmat ini? Tidak sadarkah yang kau hirup udara juga pemberian-Nya.
Semoga kita ternasuk golongan yang mensyukuri nikmat-Nya.
Oleh: Aunur Rofiq,Ketua Dewan Pembina Hipsi (Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)
Manusia umumnya kerap kali menghitung dan mengukur sesuatu berdasarkan kekayaan, seperti emas dan perak. Padahal, kekayaan dan modal manusia yang sebenarnya adalah kemampuan yang Tuhan berikan, seperti kecerdasan, kemampuan, dan kebebasan.
Namun, ada karunia tertinggi yang kadang kala luput dari rasa syukur manusia, sesuatu yang terkadang tak diperhitungkan dan dihargai, yakni tubuh yang sehat. Kesehatan tubuh, keutuhan organ-organ tubuh, dan kesempurnaan pancaindera adalah berkah yang tak ternilai.
Sebab, seberapa kaya pun seseorang, tidak akan ada yang bersedia untuk menjual kedua matanya atau organ tubuhnya yang lain. Hal-hal yang terkesan sepele seperti meneguk air minum pun sejatinya adalah nikmat dari Allah.
Seperti kisah Ibnu Samak, seorang ulama shalih, yang menghadiri undangan Khalifah Harun Al-Rasyid di istana di Baghdad untuk meminta fatwa dan nasihatnya. Di suatu hari yang sangat terik, khalifah meminta pelayannya untuk menyajikan minuman.
Sebelum meminum, Ibnu Samak bertanya kepada Khalifah, “Tuan, jika sekiranya seteguk air minum itu sulit diperoleh dan susah mencarinya, sedangkan tuan sudah sangat kehausan, berapakah kiranya seteguk air itu mau tuan hargai?”
“Biar habis setengah kekayaanku, aku mau membelinya,” ujar Khalifah Harun Al-Rasyid.
“Minumlah tuanku air yang seteguk itu yang kadangkala harganya lebih mahal daripada setengah kekayaan tuanku!” lanjut Ibnu Samak.
Setelah Khalifah minum, Ibnu Samak pun melanjutkan fatwanya. “Jika air yang tuan minum tadi tidak mau keluar dari diri tuan (tidak bisa buang air kecil), meski sudah bersusah payah berusaha tidak juga mau keluar, berapakah kiranya tuan mau membayar agar air itu dapat keluar?” tanya Ibnu Samak lagi.
Harun Al-Rasyid menjawab, “Kalau air itu tidak mau keluar lagi (tidak bisa buang air kecil), apalah gunanya kemegahan dan kekayaan ini. Biarlah habis seluruh kekayaanku ini untuk mengobati diriku sehingga air itu bisa keluar.”
Ibnu Simak melanjutkan pengajarannya, “Maka tidakkah tuan insyaf, betapa kecil dan lemahnya kita ini. Tibalah saatnya kita tunduk dan patuh serta bersyukur kepada-Nya dan menyadari akan kelemahan diri kita.” Mendengar fatwa itu Khalifah menangis tersedu.
Demikian kisah itu mengajarkan betapa nikmat Allah itu tidak boleh disepelekan. Bahkan meminum air dan membuangnya kembali dari tubuh pun adalah karunia Allah yang patut disyukuri.
Membiasakan hidup sehat terkadang membuat manusia lupa atau meremehkan betapa nikmatnya sehat itu. Tak jarang, manusia harus mengalami krisis atau kehilangan kesehatan untuk menghargainya. Meski di mata manusia hal itu seperti sepele, tetapi di hadapan Allah semua akan diperhitungkan.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seseorang akan datang pada hari kiamat dengan amal saleh yang jika diletakkan di atas gunung, akan membebaninya; maka hanya satu Nikmat Allah yang akan datang (dan mengambil apa yang layak dari perbuatan baik hamba) dan hampir menghabiskan semuanya, jika bukan karena Rahmat yang Allah berikan.” (Al-Tabarani)
Oleh karena itu, Allah berfirman dalam Alquran surat 16 ayat 18: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sheikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya berjudul Renew Your Life, seperti dikutip di laman About Islam menuliskan semua kehidupan adalah hadiah yang layak disyukuri karena Allah telah menganugerahkan manusia jiwa dan rasa. Seluruh alam semesta diciptakan dengan dilengkapi segala kebutuhan manusia, dan di dalamnya terdapat tanda-tanda yang menunjuk kepada Sang Pencipta.
Allah-lah yang memberi kehidupan ketika manusia awalnya tidak memiliki kehidupan. Allah juga yang mematikan makhluk ciptaannya, kemudian menghidupkannya kembali.
Sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat 2 ayat 28: “Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Pancaindera adalah alat agar manusia bisa berinteraksi dengan alam semesta ini, menjelajahinya, dan belajar darinya. Karena itu, sudah sepatutnya timbul rasa syukur dalam hati manusia atas berbagai anugerah Allah dalam kehidupan ini. Rasa syukur itu diwujudkan dalam bentuk ibadah dan menyembah hanya kepada Allah.
Allah berfirman dalam Alquran surat 16 ayat 78: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (kepada Allah).”
Terkadang kita mendapatkan ujian dari Allah berupa keadaan yang sulit atau susah, bahkan dalam keadaan stres. Sebagian orang ketika keadaan susah atau stres, mereka tidak memperhatikan keadaan diri. Ketika stress, mereka tidak memperhatikan makan-minumnya sehingga terlihat kurang gizi dan lemah, atau mereka tidak memperhatikan penampilan diri sehingga terlihat lusuh, kusut dan tidak terawat, atau bisa jadi tidak memperhatikan kesehatan diri.
Perhatikan kisah Maryam, beliau mendapatkan ujian berupa beberapa keadaan sulit yaitu mendapat fitnah bahwa ia wanita berzina, kemudian terpaksa menjauh dari kaumnya dan melahirkan sendiri tanpa ada bantuan siapapun dari keluarga dan orang dekatnya. Dalam keadaan sulit seperti ini, Maryam tetap diperintahkan untuk bersenang hati, makan dan minum, serta memperhatikan keutuhan hidup dan keadaan dirinya.
“Maka menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.” (QS:Maryam | Ayat: 24-26).
At-Thabari menjelaskan hal ini dan beliau berkata,
فكلي من الرطب الذي يتساقط عليك، واشربي من ماء السريّ الذي جعله ربك تحتك، لا تخشي جوعًا ولا عطشًا( وَقَرِّي عَيْنًا ) يقول
وطيبي نفسا وافرحي بولادتك إياي ولا تحزني
“Hendaknya Maryam makan kurma basah yang jatuh padanya dan minum air yang Allah jadikan muncul di bawah kakimu. Janganlah takut (susah) dalam keadaan lapar dan haus, bersenanglah hatimu dan bergembiralah dengan kelahiran bayimu dan jangan bersedih.” [Tafsir AT-Thabari]
Perhatikan juga cara agar bahagia adalah dengan mensyukuri nikmat Allah yang ada pada saat ini, karena nikmat Allah itu sangat banyak. Yang perlu kita ingat:
“Bersyukur dahulu baru bahagia, bukan menunggu bahagia dahulu baru bersyukur”
Artinya: “Ingatlah tatkala Rabb kalian menetapkan: jika kalian bersyukur niscaya akan Ku tambah (nikmatku) pada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih”. QS. Ibrahim (14): 7.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan bahwa bersyukur tersebut dengan menggunakan nikmat Allah untuk mencari ridha Allah. Beliau berkata,
والشكر: هو اعتراف القلب بنعم الله والثناء على الله بها وصرفها في مرضاة الله تعالى. وكفر النعمة ضد ذلك
“Bersyukur adalah mengakui dengan hati atas nikmat Allah, memuji Allah atas nikmat serta menggunakan nikmat untuk mencari ridha Allah. Kufur nikmat adalah kebalikan dari hal ini.” [Tafsir As-Sa’diy]
Setelah tahu bahwa bersyukur itulah yang membuat kita bahagia, lalu bagaimana cara kita agar bisa selalu bersyukur? Caranya adalah sering-sering melihat orang lain yang dunianya di bawah kita untuk memudahkan kita bersyukur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau lihat orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa) , maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Jadi termasuk orang yang tidak bersyukur adalah yang tidak menggunakan nikmat Allah berupa ketersediaan makanan dan minuman serta rasa aman tersebut. Jika keadaan susah atau stres kemudian ia tidak memperhatikan keadaan diri, maka termasuk yang kufur nikmat.
Semoga kita selalu bisa mensyukuri nikmat Allah agar kita selalu bahagia dengan ridha Allah.
Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar selalu bersyukur.
Syukur nikmat berarti berterima kasih dan memuji kepada yang telah memberi kenikmatan atau kebaikan. Orang yang bersyukur kepada Allah SWT berarti orang yang berterima kasih kepada-Nya dengan memuji-Nya atas kenikmatan yang telah diterima dari-Nya.
Syukur harus dilakukan dengan tiga hal, yaitu lisan, hati, dan anggota badan sebagaimana iman. Orang yang bersyukur kepada Allah SWT atas kenikmatan yang diterima maka ia harus mengakui kenikmatan itu dalam hatinya, kemudian lisannya mengucapkan kalimat hamdalah atau memberitahukannya kepada orang lain. (QS adh-Dhuha [93]:11). Dan, anggota badannya tergerak untuk lebih taat kepada Allah SWT dan memberikan sebagian kenikmatan itu kepada orang lain yang membutuhkan.
Dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar selalu bersyukur kepada-Nya. “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS al-Baqarah [2]:152).
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS al-Baqarah [2]:172).
Allah juga menegaskan, orang yang bersyukur kepada-Nya sebenarnya tidak akan berpengaruh sama sekali kepada Allah karena Allah Maha Kaya yang tidak butuh kepada siapa pun, tapi hasil syukur akan kembali kepada dirinya sendiri, begitu juga sebaliknya, orang yang kafir (tidak mau bersyukur), akibatnya akan kembali kepadanya. (QS al-Naml [27]: 40).
Bersyukur kepada Allah adalah sifat yang sangat terpuji dan orang yang bersyukur akan memperoleh hikmah yang banyak. Pertama, Allah akan melipatgandakan nikmat-Nya kepada orang yang mau bersyukur kepada-Nya. Sebaliknya, Allah akan memberikan azab-Nya yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau bersyukur kepada-Nya. “Dan, (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS Ibrahim [14]:7)
Kedua, Allah berjanji akan memberikan balasan kepada orang yang bersyukur. “Dan, Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali ‘Imran [3]:144).
Ketiga, Orang yang selalu bersyukur akan mendapatkan surga yang penuh dengan segala kenikmatan. Orang yang selalu bersyukur dalam keadaan apa pun, baik mendapat nikmat maupun musibah, dialah yang nantinya akan mendapatkan kenikmatan yang hakiki di surga.
Syukur nikmat merupakan sifat mulia yang harus dibiasakan sehingga menjadi karakter kita semua. Hanya dengan bersyukurlah, manusia akan dihargai oleh Allah dan juga oleh orang lain, sebaliknya tanpa syukur manusia tidak akan mendapatkan penghargaan dari orang lain, apalagi dari Allah SWT.
Karena itulah, marilah kita selalu bersyukur kepada Allah atas semua kenikmatan yang telah diberikan kepada kita semua. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita menjadi hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur kepada-Nya. Wallahu a’lam.
SAUDARAKU, bersyukur adalah jalan menjadikan karunia Allah SWT sebagai nikmat bagi kita. Karena karunia Allah sangat berlimpah di dunia ini, tapi hanya bagi orang-orang yang beriman dan bersyukur kepada-Nyalah segala karunia akan menjadi nikmat. Sedangkan bagi orang-orang yang kufur kepada Allah, maka berbagai karunia itu hanya menjadi sumber malapetaka saja.
Maka, tidak heran kalau ada orang yang diberi karunia yang sederhana dalam pandangan manusia, tapi dia sangat bahagia hidupnya. Itu karena ia mensyukuri setiap karunia yang ia terima, meski sekecil apa pun. Sebaliknya, ada orang yang Allah karuniai dengan harta kekayaan berlimpah, namun hidupnya penuh dengan keluh kesah, cemas, dan tidak bahagia. Ternyata karena ia tidak mensyukuri apa yang sudah didapatkan.
Oleh karena itu, mensyukuri karunia Allah yang sudah ada merupakan pengundang karunia Allah yang belum ada. Karunia Allah semakin berlipat-lipat, baik itu berupa lahir maupun batin, dan karunia berupa ketenangan adalah karunia yang sangat besar nilainya. Sedangkan mengkufuri karunia Allah adalah jalan pintas menuju jurang kemurkaan-Nya.
Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Saudaraku, semoga kita menjadi ahli syukur. Mengapa? Karena bersyukur adalah ciri dari orang beriman. Sedangkan orang beriman sebagaimana pesan Rasulullah adalah orang yang menakjubkan, karena ia tiada pernah rugi di dalam hidupnya.
Rasulullah saw bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan seorang yang beriman. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila ia mengalami kebaikan, dia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan, apabila ia tertimpa keburukan, maka dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Orang yang pandai bersyukur itu adalah orang yang sangat mengagumkan. Ia terampil melihat sesuatu yang lain di balik setiap kejadian. Bahkan dalam kejadian yang tidak enak sekalipun, ia tetap bisa menemukan kebaikan yang tersembunyi di baliknya. Inilah hebatnya orang yang pandai bersyukur. Selalu mudah menemukan alasan untuk berbaik sangka kepada Allah SWT.
Ketika Allah menakdirkannya ditimpa kesusahan, maka ia ingat bila kesusahan yang dialami bisa menghapuskan catatan dosanya, jika ia menghadapinya dengan berpegang teguh kepada Allah. Tidak ada satu pun peristiwa, bahkan sepahit apa pun yang datang kepadanya kecuali selalu ia sikapi dengan baik sangka kepada Allah, dan rasa optimis bahwa pertolongan Allah sangatlah dekat bagi orang-orang yang yakin kepada-Nya. Masya Allah!
Ketika ia ditimpa musibah kehilangan sesuatu barang, katakanlah kendaraan, maka ia menyempurnakan ikhtiar mencarinya, sembari tetap bisa bersyukur karena masih banyak karunia Allah yang ia miliki. Ia bersyukur bukan iman yang hilang dari hatinya.
Demikianlah istimewanya pribadi yang pandai bersyukur. Setiap babak hidup yang ia hadapi, kemudahan atau pun kesusahan, selalu bisa menjadi celah baginya untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Seperti perumpamaan satu biji benih yang tertimpa hujan, kemudian tumbuh dan semakin besar. Akarnya menghujam ke tanah, batangnya berdiri kokoh, rantingnya menjulang dan dedaunannya rimbun rindang menjadi tempat untuk berteduh berbagai makhluk. Atau, seperti anak sapi yang makan rumput, ia semakin besar dan menghasilkan susu yang bermanfaat bagi lebih banyak makhluk.
Masya Allah! Demikianlah gambaran orang yang bersyukur itu. Allah akan melipatgandakan karunia baginya hingga pelipatgandaan yang tiada pernah terperkirakan sebelumnya.
Oleh karena itu saudaraku, tidak perlu sibuk memikirkan nikmat yang belum ada. Karena nikmat yang belum ada itu sudah janji Allah, akan Ia berikan kepada kita kalau kita bersyukur kepada-Nya. Maka, sikap terbaik adalah mensyukuri nikmat-Nya. Seperti ada lemari yang terkunci dan di dalamnya ada makanan enak yang kita inginkan, lantas apa yang akan kita sibukkan? Apakah memikirkan makanan itu atau memikirkan untuk mencari kuncinya? Tentu kita akan sibuk mencari kuncinya. Nah, syukur adalah kunci!
Pribadi yang pandai bersyukur adalah dambaan kita semua. Semoga kita menjadi pribadi yang pandai bersyukur kepada Allah SWT. Aamiin. [*]