Memang aku tahu engkau hanyalah batu, ucap sahabat Umar ibn Khattab sekali waktu. Tidak dapat mendatangkan manfaat dan bahaya. Jika bukan karena aku melihat Nabi Muhammad menciummu, aku tentu tidak akan kulakukan hal yang serupa.
Inilah sepenggal gambaran ihwal kemuliaan sebuah batu yang terletak di sudut selatan sebelah kiri pintu Kakbah di Mekkah Al-Mukarramah. Hajar Aswad, bukan sembarang batu. Ia diyakini jutaan umat Muslim yang datang berhaji sebagai batu dari surga. Warnanya yang hitam kemerah-merahan, menjadi rebutan jemaah haji usai tawaf untuk mencium atau sekadar mengelusnya.
Hajar Aswad diletakkan di ketinggian 1,10 meter. Di masa lampau, jauh sebelum terjadi beberapa kali pemugaran Kakbah dan sekitarnya, Hajar Aswad merupakan satu batu dengan diamter lebih dari 30 centimeter. Namun karena sebab-sebab tertentu, termasuk pencongkelan paksa oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, Hajar Aswad kini hanya berupa kepingan-kepingan yang direkatkan dalam satu bingkai cekung seukuran kepala manusia.
Berdesak-desakan
Mencium Hajar Aswad bukan termasuk rukun haji. Ia hanyalah bagian dari sunah yang pernah dilakukan Nabi. Kala ribuan jemaah melakukan tawaf mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali putaran, beberapa puluh orang di antaranya tampak memilih berhenti, berdesakan, dan secara bergiliran untuk mengecup batu ini.
Hajar Aswad tak pernah sepi dikerumuni jemaah haji. Bahkan sesekali terlihat aksi saling dorong. Untuk bisa turut mencium batu yang dalam sebuah hadis diceritakan sebelumnya berwarna putih bening ini, jemaah haji kerap terlihat melakukan beberapa cara dan strategi.
Sebagian dari mereka rela berbaris menunggu giliran. Secara perlahan barisan itu bertambah maju hingga tepat di mulut Hajar Aswad. Akibat antrean ini pula, tak jarang arus tawaf yang berdekatan dengan Kakbah tersendat dan menambah suasana saling berdesakan.
Di sisi lain, ada beberapa orang yang memanfaatkan momentum tersebut dengan menawarkan jasa mengantar seorang haji agar bisa dengan cepat sampai di muka Hajar Aswad. Para “calo” itu biasanya menerapkan ongkos paling tidak 40 hingga 100 riyal, setara dengan 350 ribu rupiah. Mereka biasanya bertransaksi untuk memuluskan jalan dengan sedikit menghambat arus tawaf. Tak jarang di sekali waktu, pelaku yang berasal dari ragam negara itu diamankan para petugas.
Aksi berdesakan dan sesekali terjadi saling dorong ini bukan lantas melulu bisa diterjemahkan darisudut negatif. Di sekelilingnya tak henti menggema lafaz-lafaz yang memuji keagungan Tuhan. Setiap bibir dari mereka melantunkan zikir tiada henti, menunjukkan keikhlasan, menambah nilai keimanan.
Hikmah
Mencium Hajar Aswad tidak pula hanya bisa ditafsirkan secara kasat mata. Mengecup batu yang dimuliakan Rasul ini adalah sekadar perlakuan simbolik. Di dalamnya dipercaya mengandung banyak ragam pesan. Hal ini bisa diukur dari sejarah panjang keberadaan Hajar Aswad dari masa ke masa.
Keberadaan Hajar Aswad di sisi Kakbah diyakini bermula pada masa Nabi Ibrahim. Sewaktu membangun rumah Tuhan itu, ia menyuruh putranya, Ismail untuk mengumpulkan batu-batu dariberbagai bukit dan gunung guna meninggikan bangunan Kakbah. Setelah keseluruhan proses hampir rampung, Ibrahim menganggap masih membutuhkan satu batu sebagai penanda. Kemudian Nabi Ismail menghadirkan Hajar Aswad. Nabi Ibrahim lantas mengecup batu itu, sebagaimana juga kemudian dilakukan Rasulullah Muhammad.
Kisah lain diceritakan pada masa pemugaran Kakbah pra-kerasulan Muhammad. Meletakkan Hajar Aswad kembali ke tempatnya adalah salah satu bentuk kehormatan dan kebangaan seseorang maupun kelompok. Atas keyakinan ini, tak jarang puluhan suku besar di sekitaran Kakbah saling berselisih dan berebut kepercayaan. Hingga hadir Muhammad muda, ia mengidekan agar batu itu diletakkan di atas serban, lalu perwakilan dari setiap suku dipersilakan memegang masing-masing ujung kemudian secara bersamaan menggotongnya. Inilah peristiwa kali pertama Nabi digelari “Al-Amin”, sosok yang paling patut dipercaya.
Kelanjutan kisah kemuliaan Hajar Aswad juga berlanjut hingga masa sahabat. Disebutkan bahwa Umar ibn Khattab adalah orang yang pertama kali mengecualikan Hajar Aswad dari batu-batu yang pernah dijadikan sebagai simbol kemusyrikan. Umar meyakinkan dirinya bahwa mencium Hajar Aswad adalah bagian dari kesunahan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad setiap usai bertawaf.
Ada hikmah besar dalam tradisi mencium Hajar Aswad. Ia dipercaya sebagai salah satu tempat di sekitar Kakbah yang mustajabah. Doa-doa akan mudah terkabul. Di sisi lain, mencium Hajar Aswadjuga diyakini sebagai simbol pelepasan dosa-dosa. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai hikmah, bahwa batu yang dulu warnanya mengalahkan putinya susu itu berubah menjadi hitam karena dosa-dosa manusia.
Hajar Aswad menjadi sumbu atas dimulai dan diakhirinya tawaf. Di sanalah kerelaan penghambaan kepada Allah SWT bermula dan menyempurna. Hajar Aswad adalah saksi atas jutaan orang yang tengah memuji ke-Esaan Tuhan, berpasrah, juga dengan sepenuh hati mengharapakan keridaanNya.