Abu Lahab

Bagi penduduk Makkah jahiliyah, Abu Lahab adalah salah seorang sosok idaman, idola, sekaligus panutan. Ia memiliki segalanya, harta hasil bisnisnya melimpah, dan kedudukannya terhormat. Ia terlahir dari kalangan nasab (leluhur) pilihan. Selain pebisnis ulung, pemimpin idaman, Abu Lahab juga dikenal luwes bergaul.

Ia orang pertama yang menyambut kelahiran seseorang dengan menyembelih unta, ia juga memberi hadiah ibu susuan untuk anak yang baru lahir itu. Anak yang lahir dan diberi hadiah ibu susuan itu tiada lain adalah Muhammad bin Abdullah, keponakannya.

Tragis. Itulah kata yang paling pantas disematkan untuk menggambarkan akhir kehidupan Abu Lahab. Ia mengembuskan napas terakhir di tengah derita nyeri yang menyelimuti setiap inci tubuhnya. Ia meregang nyawa dengan tubuh bau menyengat. Tak seorang pun teman, sahabat, kerabat yang ringan tangan menguburkan jenazahnya. Konon, jenazah Abu Lahab terkubur dalam tumpukan batu yang sengaja dilempar kan dari kejauhan ke arah jenazahnya untuk menghindari baunya itu. Tidak dikubur secara layak, apalagi ada upacara penghormatan terakhir. Harta yang berlimpah, kedudukan terhormat yang melekat pada Abu Lahab tak berarti apa-apa di hadapan Allah. “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.” (QS al-Lahab [111]: 2). Jika Allah sudah menghendaki, Allah berkuasa untuk mengambil setiap apa yang diberikan-Nya, tidak mungkin ada yang bisa mengelak.

Tidak terkecuali dengan kedudukan, jabatan, dan kehormatan serta kekuasaan yang dimiliki seseorang. Apalagi kalau kedudukan dan kekuasaan itu hanya dipergunakan sebagai panggung dagelan untuk memperkaya diri, menzalimi orang lain, mengempaskan kemakmuran, menyemai penderitaan, berkelit dari sanksi, menyiasati keadilan dengan berbagai sandiwara tidak elok yang justru mengundang kegaduhan, kefrustrasian, bahkan kebencian publik.

Kegaduhan publik mungkin bisa diredam, kebencian orang sangat mungkin juga bisa diatasi, tetapi Allah tak pernah tidur, bahkan mengantuk sekalipun (QS 2: 255). Allah yang memberi dan melapangkan seseorang untuk mendapatkan kekuasaan. Namun, harus diingat, Allah berkuasa pula mencabut kekuasaan yang sedang melekat pada seseorang.

Menurut para mufasir, ketika seseorang sedang memiliki kekuasaan, kecenderungannya memang susah untuk menyerahkannya kepada orang lain. Kalaupun diserahkan, pasti kepada keluarga, kroni atau koleganya. Oleh karena itu, fenomena yang sering terjadi, kekuasaan itu kebanyakan memang harus dicabut secara paksa, dimakzulkan.

Ironisnya, sekalipun sudah berada di ujung tanduk, si pembangkang tak jera menggelar drama untuk menumpulkan penegakan hukum, melumpuhkan taring sang pengadil yang justru semakin membuka borok, menambah derita, nestapa, bahkan kehinaan sang pemegang kekuasaan.

Apa yang menimpa Abu Lahab, menimpa pula kepada Fir’aun, Namrudz, Qarun, dan sederet nama lainnya. Mereka diberi kekuasaan oleh Allah dan oleh Allah pula kekuasaan itu dicabut secara paksa kemudian dihinakan secara tiba-tiba. Bahkan, kehinaan mereka berlaku sepanjang masa, beratus-ratus kali lipat dari masa kekuasaan dan kejayaannya.

Pantas Allah mengajarkan doa yang sangat indah kepada Rasulullah terkait dengan kekuasaan ini: “… Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran [3]: 26).

Dicabutnya kekuasaan dan gemerlap hidup Abu Lahab, kemudian ditenggelamkan secara tiba-tiba dengan paksa dalam kehinaan yang tak berujung, tentu bukan tanpa alasan. Gara-garanya hanya satu, yakni sesaat setelah keponakannya (Muhammad bin Abdullah) itu mengikrarkan diri sebagai Rasul, rasa sayang yang dipupuknya bertahun-tahun itu berubah menjadi kebencian. Abu Lahab juga menolak karasulannya.

Permusuhannya ditularkan kepada seluruh keluarga dan kaumnya. Seluruh aktivitas Rasulullah yang menyangkut risalah dan kenabiannya selalu dihalangi-halangi, diteror, diboikot, dan digagalkan. Bisa dipahami kalau Allah marah kepada Abu Lahab karena telah mengusik utusan-Nya yang sedang bertugas menyampaikan risalah.

Abu Lahab memang sudah tiada, tetapi orang-orang seperti Abu Lahab berpotensi besar untuk lahir dan berketurunan sampai akhir zaman. Jadi, siapa yang hendak menjadi Abu Lahab esok lusa dengan segala kehinaannya, silakan bermain api dengan Allah.

 

Oleh: Didik Dahlan Lukman

REPUBLIKA