Abu Lahab, Paman Nabi SAW yang Dilaknat Allah

Surah al-Lahab turun sebagai peringatan dan mukjizat

 

Dukungan tidak selalu datang dari seluruh keluarga terdekat. Hal itu pula yang dialami Rasulullah SAW. Ketika menerima risalah kenabian, beliau SAW justru merasakan permusuhan dari pamannya sendiri yang bernama Abu Lahab.

Abu Lahab bin Abdul Muthalib bin Hasyim merupakan salah satu paman Nabi SAW. Nama aslinya adalah Abdul Uzza. Lahab berarti ‘yang menyala-nyala.’ Sebutan itu disematkan karena waktu kecil dia dikenal dari wajahnya yang tampak cerah.

Allah SWT melaknat Abu Lahab. Namanya bahkan diabadikan melalui surah al-Lahab yang terdiri atas lima ayat. Asbabun nuzul surah itu diterangkan Imam Bukhari yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Konteksnya adalah sesudah Nabi SAW menerima wahyu pertama. Awalnya, beliau SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Selang waktu kemudian, turun surah asy-Syu’ara’ ayat ke-214 yang artinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” Maka, beliau SAW pun mulai menyebarkan risalah Islam secara terbuka.

“Suatu hari, Rasulullah SAW naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil orang-orang Quraisy untuk berkumpul. Pada saat mereka telah berkumpul, Rasulullah lalu berkata, ‘Sekiranya saya sekarang mengatakan kepada kalian bahwa pasukan musuh akan menyerang kalian di pagi ini atau sore ini, apakah kalian akan mempercayainya?’

Mereka serentak menjawab, ‘Ya.’

Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Sesungguhnya saya sekarang memberi peringatan kepada kalian terhadap akan datangnya azab yang pedih.’

Mendengar ucapan Nabi SAW tersebut, Abu Lahab langsung menyahut, ‘Celaka engkau, apakah hanya untuk menyampaikan hal ini engkau mengumpulkan kami!?’

Allah SWT melalui Jibril AS lalu menurunkan ayat ini (surah al-Lahab) kepada Nabi SAW.”

Surah al-Lahab sendiri secara harfiah berarti ‘gejolak api’ atau ‘sabut.’ Pada ayat keempat dan kelima, disebutkan firman Allah SWT yang artinya: “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”, “Yang di lehernya ada tali dari sabut.”

Maknanya, istri Abu Lahab kelak juga akan merasakan siksa api neraka. Riwayat Ibnu Jarir yang sampai pada Yazid bin Zaid menyebutkan, suatu ketika istri Abu Lahab menebarkan duri-duri ke jalan yang biasa dilalui Nabi SAW. Tidak lama kemudian, turunlah surah al-Lahab, ayat kesatu hingga keempat.

Untuk diketahui, surah al-Lahab turun 10 tahun sebelum matinya Abu lahab. Karena itu, banyak ulama yang berpendapat, turunnya firman Allah SWT itu sebagai salah satu mukjizat.

Kematian Abu Lahab terjadi setelah Perang Badar. Waktu itu, dia tidak mengikuti pertempuran tersebut. Dengan menyetor 4.000 dirham, dia meminta seorang temannya, al-Ashi bin Hisyam, untuk menggantikannya di medan perang.

Perang Badar berakhir dengan kekalahan yang memalukan dari pihak musyrikin Quraisy. Sepekan setelah itu, Abu Lahab menderita sakit parah. Dia pun meregang nyawa dan tewas.

Jasadnya diabaikan orang-orang tiga hari berturut-turut. Bau busuk menyeruak. Para tetangganya memutuskan untuk menggali sebuah lubang besar dan memasukkan mayat Abu Lahab ke dalam boks kayu. Dimasukkanlah peti kayu dan isinya itu ke dalam lubang tersebut.

Cara menguburkannya begitu merepotkan. Orang-orang tidak tahan dengan bau busuk yang keluar dari jasad Abu Lahab, sehingga mereka memasukkan peti tadi dari kejauhan. Sesudah itu, lubang tadi dilempari dengan kerikil dan tanah sampai rata. Demikianlah akhir hayat sang penentang dakwah Nabi SAW.

 

Abu Lahab, Paman Nabi SAW yang Dilaknat Allah

Dukungan tidak selalu datang dari seluruh keluarga terdekat. Hal itu pula yang dialami Rasulullah SAW. Ketika menerima risalah kenabian, beliau SAW justru merasakan permusuhan dari pamannya sendiri yang bernama Abu Lahab.

Abu Lahab bin Abdul Muthalib bin Hasyim merupakan salah satu paman Nabi SAW. Nama aslinya adalah Abdul Uzza. Lahab berarti ‘yang menyala-nyala.’ Sebutan itu disematkan karena waktu kecil dia dikenal dari wajahnya yang tampak cerah.

Allah SWT melaknat Abu Lahab. Namanya bahkan diabadikan melalui surah al-Lahab yang terdiri atas lima ayat. Asbabun nuzul surah itu diterangkan Imam Bukhari yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Konteksnya adalah sesudah Nabi SAW menerima wahyu pertama. Awalnya, beliau SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Selang waktu kemudian, turun surah asy-Syu’ara’ ayat ke-214 yang artinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” Maka, beliau SAW pun mulai menyebarkan risalah Islam secara terbuka.

“Suatu hari, Rasulullah SAW naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil orang-orang Quraisy untuk berkumpul. Pada saat mereka telah berkumpul, Rasulullah lalu berkata, ‘Sekiranya saya sekarang mengatakan kepada kalian bahwa pasukan musuh akan menyerang kalian di pagi ini atau sore ini, apakah kalian akan mempercayainya?’

Mereka serentak menjawab, ‘Ya.’

Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Sesungguhnya saya sekarang memberi peringatan kepada kalian terhadap akan datangnya azab yang pedih.’

Mendengar ucapan Nabi SAW tersebut, Abu Lahab langsung menyahut, ‘Celaka engkau, apakah hanya untuk menyampaikan hal ini engkau mengumpulkan kami!?’

Allah SWT melalui Jibril AS lalu menurunkan ayat ini (surah al-Lahab) kepada Nabi SAW.”

Surah al-Lahab sendiri secara harfiah berarti ‘gejolak api’ atau ‘sabut.’ Pada ayat keempat dan kelima, disebutkan firman Allah SWT yang artinya: “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”, “Yang di lehernya ada tali dari sabut.”

Maknanya, istri Abu Lahab kelak juga akan merasakan siksa api neraka. Riwayat Ibnu Jarir yang sampai pada Yazid bin Zaid menyebutkan, suatu ketika istri Abu Lahab menebarkan duri-duri ke jalan yang biasa dilalui Nabi SAW. Tidak lama kemudian, turunlah surah al-Lahab, ayat kesatu hingga keempat.

Untuk diketahui, surah al-Lahab turun 10 tahun sebelum matinya Abu lahab. Karena itu, banyak ulama yang berpendapat, turunnya firman Allah SWT itu sebagai salah satu mukjizat.

Kematian Abu Lahab terjadi setelah Perang Badar. Waktu itu, dia tidak mengikuti pertempuran tersebut. Dengan menyetor 4.000 dirham, dia meminta seorang temannya, al-Ashi bin Hisyam, untuk menggantikannya di medan perang.

Perang Badar berakhir dengan kekalahan yang memalukan dari pihak musyrikin Quraisy. Sepekan setelah itu, Abu Lahab menderita sakit parah. Dia pun meregang nyawa dan tewas.

Jasadnya diabaikan orang-orang tiga hari berturut-turut. Bau busuk menyeruak. Para tetangganya memutuskan untuk menggali sebuah lubang besar dan memasukkan mayat Abu Lahab ke dalam boks kayu. Dimasukkanlah peti kayu dan isinya itu ke dalam lubang tersebut.

Cara menguburkannya begitu merepotkan. Orang-orang tidak tahan dengan bau busuk yang keluar dari jasad Abu Lahab, sehingga mereka memasukkan peti tadi dari kejauhan. Sesudah itu, lubang tadi dilempari dengan kerikil dan tanah sampai rata. Demikianlah akhir hayat sang penentang dakwah Nabi SAW.

REPUBLIKA

Abu Lahab

Bagi penduduk Makkah jahiliyah, Abu Lahab adalah salah seorang sosok idaman, idola, sekaligus panutan. Ia memiliki segalanya, harta hasil bisnisnya melimpah, dan kedudukannya terhormat. Ia terlahir dari kalangan nasab (leluhur) pilihan. Selain pebisnis ulung, pemimpin idaman, Abu Lahab juga dikenal luwes bergaul.

Ia orang pertama yang menyambut kelahiran seseorang dengan menyembelih unta, ia juga memberi hadiah ibu susuan untuk anak yang baru lahir itu. Anak yang lahir dan diberi hadiah ibu susuan itu tiada lain adalah Muhammad bin Abdullah, keponakannya.

Tragis. Itulah kata yang paling pantas disematkan untuk menggambarkan akhir kehidupan Abu Lahab. Ia mengembuskan napas terakhir di tengah derita nyeri yang menyelimuti setiap inci tubuhnya. Ia meregang nyawa dengan tubuh bau menyengat. Tak seorang pun teman, sahabat, kerabat yang ringan tangan menguburkan jenazahnya. Konon, jenazah Abu Lahab terkubur dalam tumpukan batu yang sengaja dilempar kan dari kejauhan ke arah jenazahnya untuk menghindari baunya itu. Tidak dikubur secara layak, apalagi ada upacara penghormatan terakhir. Harta yang berlimpah, kedudukan terhormat yang melekat pada Abu Lahab tak berarti apa-apa di hadapan Allah. “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.” (QS al-Lahab [111]: 2). Jika Allah sudah menghendaki, Allah berkuasa untuk mengambil setiap apa yang diberikan-Nya, tidak mungkin ada yang bisa mengelak.

Tidak terkecuali dengan kedudukan, jabatan, dan kehormatan serta kekuasaan yang dimiliki seseorang. Apalagi kalau kedudukan dan kekuasaan itu hanya dipergunakan sebagai panggung dagelan untuk memperkaya diri, menzalimi orang lain, mengempaskan kemakmuran, menyemai penderitaan, berkelit dari sanksi, menyiasati keadilan dengan berbagai sandiwara tidak elok yang justru mengundang kegaduhan, kefrustrasian, bahkan kebencian publik.

Kegaduhan publik mungkin bisa diredam, kebencian orang sangat mungkin juga bisa diatasi, tetapi Allah tak pernah tidur, bahkan mengantuk sekalipun (QS 2: 255). Allah yang memberi dan melapangkan seseorang untuk mendapatkan kekuasaan. Namun, harus diingat, Allah berkuasa pula mencabut kekuasaan yang sedang melekat pada seseorang.

Menurut para mufasir, ketika seseorang sedang memiliki kekuasaan, kecenderungannya memang susah untuk menyerahkannya kepada orang lain. Kalaupun diserahkan, pasti kepada keluarga, kroni atau koleganya. Oleh karena itu, fenomena yang sering terjadi, kekuasaan itu kebanyakan memang harus dicabut secara paksa, dimakzulkan.

Ironisnya, sekalipun sudah berada di ujung tanduk, si pembangkang tak jera menggelar drama untuk menumpulkan penegakan hukum, melumpuhkan taring sang pengadil yang justru semakin membuka borok, menambah derita, nestapa, bahkan kehinaan sang pemegang kekuasaan.

Apa yang menimpa Abu Lahab, menimpa pula kepada Fir’aun, Namrudz, Qarun, dan sederet nama lainnya. Mereka diberi kekuasaan oleh Allah dan oleh Allah pula kekuasaan itu dicabut secara paksa kemudian dihinakan secara tiba-tiba. Bahkan, kehinaan mereka berlaku sepanjang masa, beratus-ratus kali lipat dari masa kekuasaan dan kejayaannya.

Pantas Allah mengajarkan doa yang sangat indah kepada Rasulullah terkait dengan kekuasaan ini: “… Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran [3]: 26).

Dicabutnya kekuasaan dan gemerlap hidup Abu Lahab, kemudian ditenggelamkan secara tiba-tiba dengan paksa dalam kehinaan yang tak berujung, tentu bukan tanpa alasan. Gara-garanya hanya satu, yakni sesaat setelah keponakannya (Muhammad bin Abdullah) itu mengikrarkan diri sebagai Rasul, rasa sayang yang dipupuknya bertahun-tahun itu berubah menjadi kebencian. Abu Lahab juga menolak karasulannya.

Permusuhannya ditularkan kepada seluruh keluarga dan kaumnya. Seluruh aktivitas Rasulullah yang menyangkut risalah dan kenabiannya selalu dihalangi-halangi, diteror, diboikot, dan digagalkan. Bisa dipahami kalau Allah marah kepada Abu Lahab karena telah mengusik utusan-Nya yang sedang bertugas menyampaikan risalah.

Abu Lahab memang sudah tiada, tetapi orang-orang seperti Abu Lahab berpotensi besar untuk lahir dan berketurunan sampai akhir zaman. Jadi, siapa yang hendak menjadi Abu Lahab esok lusa dengan segala kehinaannya, silakan bermain api dengan Allah.

 

Oleh: Didik Dahlan Lukman

REPUBLIKA