Ada Alasan Kaarem Abdul Jabbar Memilih Islam

Meski sudah 40 tahun memeluk Islam, hingga saat ini masih banyak pihak yang menanyakan alasan mengapa pria berdarah Afrika ini memilih agama Muhammad SAW ini sebagai jalan hidupnya.
Ia memutuskan menjadi mualaf pada 1971.

Keputusan pemilik nama Islam Kareem Abdul Jabbar menganut Islam bukan perkara ringan. Ia tengah berada dalam puncak karier di dunia perbasketan. Ia termasuk tim basket perguruan tinggi terbaik di Amerika, yakni UCLA.

Ia begitu terkenal dan selalu menjadi sorotan media. Namun, meski berada di puncak popularitas mantan pemain terbaik National Basketball Association (NBA) ini menemukan ketidaknyamanan.

Terinspirasi Malcom X

Pria 68 tahun ini tidak mengetahui alasan yang menyebabkan perasaan itu berkecamuk dalam dirinya. Kegundahan itu membuncah dalam hatinya, terutama setelah membaca The Autobiography of Malcolm X.

Ia mengaku terpukau dengan kisah Malcolm yang menyadari bahwa ia adalah korban rasisme institusional. “Itulah bagaimana saya merasa dipenjara oleh diri saya seharusnya,”  ujar Kareem Abdul Jabbar seperti dilansir aljazeera.com. Kisah Malcolm X begitu menginspirasinya.

Transformasi Malcolm X dari pidana menjadi pemimpin politik mengilhami dirinya untuk melihat lebih dekat tentang identitas diri sendiri.  Islam membantu Abdul Jabbar, begitu akrab disapa, menemukan jati dirinya dan memberinya kekuatan untuk menjalani kehidupan.

Salah satunya untuk menghadapi permusuhan antara kulit hitam dan putih dan juga memperjuangkan keadilan sosial.  Perlahan, akhirnya ia mantap beralih ke Islam saat ia berusia 24 tahun. Menurutnya, tidak mudah menjadi Muslim di Amerika Serikat.

 

Transformasi Spiritual

Namun, baginya, proses yang ia lalui merupakan bagian dari transformasi spiritual.
Hal pertama yang dilakukan pria kelahiran Lew Alcindor, New York, ini adalah keluar dari agama Baptis orang tuanya, yakni Katolik, lalu belajar Islam.

Baginya, Kristen adalah dasar bagi budaya kulit putih untuk memperbudak orang kulit hitam dan mendukung rasisme yang meresap masyarakat. Konsekuensi Akibat keputusan yang fenomenal itu, Abdul Jabbar harus menanggung konsekuensi yang tak ringan.

Ia sadar betul pilihannya itu dapat membuat ia jauh dari keluarga, teman, dan lingkungan sosial. Apalagi, ia terlahir dari keluarga yang taat dan menghormati aturan.  Khususnya, aturan dari orang tua, guru, pengkhotbah, dan pelatih.

Orang tuanya tidak setuju dengan jalan hidupnya itu meski keduanya bukanlah Katolik yang taat. Mereka berdua kecewa. Orang tuanya menginginkan Abdul Jabbar menjadi penginjil.

 

Pertanyaan

Banyak pertanyaan yang muncul mengapa ia beralih Muslim dan mengubah namanya. Bagi orang terdekatnya, nama tersebut sulit diucapkan oleh warga Amerika. Beberapa penggemar bertanya langsung seolah-olah ia adalah pelaku pengeboman tempat ibadah yang tidak memiliki rasa nasionalis.

Puncak ketidaksetujuan publik atas keislaman mantan pebasket profesional ini mengkristal ketika keluarganya diserang oleh Kristen semburan Ku Klux Klan dan rumahnya dibakar oleh kelompok sempalan KKK Black Legion.
Kendati begitu, banyak halangan yang dihadapi Abdul Jabbar, tetapi ia tidak pernah goyah atau menyesali keputusannya.

Bahkan, jika waktu bisa diputar, ia berharap bisa menjadi mualaf dengan cara yang lebih pribadi, tanpa ada publisitas dan komentar dari banyak orang. Dengan demikian, tidak akan ada pihak yang mencela keputusannya dan mengaitkannya dengan ras ataupun kelompok tertentu.

Menurut pria yang bermain di 20 musim liga basket ini, kebanyakan orang terlahir dengan agama yang telah dianut oleh orang tuanya.  Mereka menganggap agama adalah warisan dan kenyamanan. Keyakinan hanya didasarkan pada iman, bukan karena pemahaman akan ajaran agama. Sehingga, agama diterima dari keluarga dan sebagai bagian dari budaya.

Namun, baginya, agama merupakan masalah keyakinan yang begitu dalam. Keyakinan yang ia rasakan didasari pada kombinasi iman dan logika karena perlu alasan kuat untuk meninggalkan tradisi keluarga dan masyarakat. Untuk itu, menjadi mualaf dapat mengakibatkan kehi lang an keluarga, teman, dan dukungan masyarakat.

 

Berguru

Perjalanan Abdul Jabbar untuk belajar Islam berlika-liku. Pemilik nama asli Ferdinand Lewis Alcindor ini sempat belajar ke Abdul Khalis dari Hammas. Dari sang guru itulah, ia memperoleh nama Islamnya yang berarti orang yang mulia hamba dari Sang Mahakuasa.

Dalam proses belajar tentang Islam, Abdul Jabbar setuju untuk dinikahi dengan seorang wanita yang disarankan oleh guru spiritualnya tersebut meski ia mengaku memiliki pujaan hati yang lain.

Ia juga mengikuti nasihat sang guru untuk tidak mengundang orang tuanya menghadiri resepsi pernikahannya. Ia menyadari ini merupakan kesalahan sehingga ia memer lukan waktu selama satu dekade untuk memperbaiki silaturahim dengan orang tuanya.

Tidak puas untuk menerima semua pengetahuan agama hanya dari satu orang, ia memutuskan untuk belajar sendiri. Dalam proses tersebut, pemain terbaik National Basketball Association (NBA) ini menemukan kenyataan bahwa ada hal yang tidak dapat ia ikuti terkait dengan beberapa ajaran Abdul Khalis tentang Alquran. ehidupannya.

 

Baca Alquran

Abdul Jabbar memutuskan berpisah dari ajaran sang guru. Dan, pada 1973, ia berangkat ke Libya dan Arab Saudi untuk belajar bahasa Arab agar dapat mempelajari Alquran langsung.

Sebenarnya, ia menolak agama yang asing bagi budaya Amerika. Ia sempat dituduh bergabung dengan Nation of Islam, se buah gerakan Islam Amerika yang didirikan di Detroit pada 1930. Meskipun ia sangat terinsipirasi oleh Malcolm X, pemimpin Nation of Islam, ia memilih untuk tidak bergabung dengan organisasi tersebut karena ingin lebih fokus pada spiritual daripada aspek politik.

Menurutnya, beberapa fan masih memanggilnya dengan nama masa kecilnya, yakni Lew. Ia mengaku kesal ketika masih ada orang yang memanggilnya dengan nama tersebut. Ia menganggap mereka tidak menghargai keyakinan yang ia anut saat ini.

Baginya, penggemar yang masih memperlakukannya demikian hanya melihat ia sebagai mainan action figure untuk menghiasi dunia mereka seperti yang mereka mau. Dan, bukan menilai ia sebagai individu dengan kehidupannya.