mualaf jepang

Ahmad Victor Menangis Saat Mendengar Kumandang Azan

Sebelum bersyahadat Ahmad Victor Ary Subekti mengaku begitu menganggap Islam rendah, terutama pemeluknya. Alasannya apa?

Pria kelahiran Jakarta, 26 September 1975 ini menceritakan kisahnya kepada Republika di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta.

Pemilik nama asli Victor Ary Subekti ini menceritakan, bagaimana dulu ia memandang rendah orang Islam yang hanya berbekal ucapan salam, demi memungut sumbangan dari pemilik rumah mewah di Sumurbatu, Kemayoran, Jakarta Pusat.

“Islam menurut saya dulu adalah agama yang penganutnya seperti pengemis,” katanya mengenang sikapnya yang apriori terhadap agama samawi ini. Tidak hanya itu, Victor, begitu akrab disapa, juga menilai pemeluk Islam juga berperangai kasar dan (maaf) biadab. Anggapannya itu berangkat dari pengalamannya semasa di bangku SD. Bersama sang kakek yang seorang polisi dan ayahnya, seorang wartawan, berusaha menyelamatkan tetangganya yang etnis Tionghoa pada kerusuhan Tanjung Priok.

“Di situ saya liat Islam juga galak dan anarkis,” katanya mengenang. Victor yang terlahir dari keluarga Katolik ini bahkan mengaku, saking bencinya terhadap Islam, ia selalu berupaya mencari pasangan kekasih yang beragama Islam. Tujuannya satu, agar sang pacar bisa diajak pindah ke agamanya.

Akan tetapi, tidak pernah ia menyangka, justru keadaan berubah ketika Victor berkuliah di Universitas Trisakti. Ia mulai kritis terhadap Alkitab. Ia menemukan keraguan.

Victor mengonsultasikan kegamangannya itu kepada pastur. Ia berharap, menemukan jawaban yang logis dan rasional terkait konsep teologi yang ia yakini, terutama soal doktrin trinitas.

“Saya tanya begitu malah dimarahin sama pastur, ujarnya. Victor didesak melakukan pengakuan dosa. Tapi pertanyaan saya tidak bisa dijawab,” katanya mengisahkan cerita yang terjadi antara tahun 1993-1996-an itu.

Victor ingat betul, bagaimana ia pernah memutuskan belajar ke Seminari Xaverian, semacam ‘pesantren’ khusus generasi muda Katolik, hanya untuk menghilangkan keraguannya itu.

Namun, insiden yang terjadi antara dirinya dan sang pastur, membuatnya kecewa. Bukannya mendapat jawaban, ia malah mendapat cemoohan. Victor hilang selera.

“Setelah dimarahin pastor ya saya nggak pernah ke gereja lagi dan malas lagi berdoa, akhirnya hilang kepercayaan,” katanya.

 

Victor mengalami goncangan yang begitu dahsyat. Ia lebih suka menyendiri di kantornya daerah Batam, peristiwa itu berlangsung sekira 1997-an. Di tengah kesendirian, bertepatan dengan waktu Shalat Maghrib, ia mendengar  tayangan azan di sebuah stasiun televisi.

“Saya menangis. Mungkin ini karena saya sendirian kali, ya jadi terbawa emosi,” katanya.

Kesendirian mulai hilang ketika temannya dari Jakarta datang dan tinggal di markas peristirahatan kantor. Di situlah Victor mulai banyak diskusi, terutama masalah agama. Setelah mendapatkan banyak pengetahuan tentang Islam.

“Saya mulai coba-coba belajar Islam,” katanya.

Di tengah-tengah proses belajarnya itu, ia mengaku pernah bermimpi bertemu dengan seseorang yang memiliki cahaya putih. “Dan bertanya agama kamu apa, siapa Tuhan kamu, dan apa kitab kamu,” katanya mengisahkan mimpinya tersebut.

Tak hanya sekali itu, ia bermimpi aneh. Pada tahun yang sama, dalam mimpinya, ia ditampakkan dengan lautan manusia berbaju serbaputih di padang luas.  “Kini saya tahu bahwa pakaian putih itu adalah kain ihram,” tuturnya.

 

Pada mimpi berikutnya, Victor tiba-tiba bisa mengucap kalimat syahadat. Meski saat hendak mengulangi kalimat itu saat terbangun, ia tak mampu.

Victor menceritakan kisah tersebut ke Ustaz Fanani, seorang tokoh agama di Masjid al-Falah yang berada dekat kantornya. “Beliau menangis dengar cerita saya, dan minta saya belajar Islam,” katanya.

Tidak menunggu lama, Victor pun belajar Islam lebih serius kepada Ustaz Fanani. Pelajaran pertama yang ia terima adalah bagaimana mengucapkan syahadat yang benar dan artinya. Ustaz Fanani sempat menanyakan, apakah dirinya sudah disunat apa belum? “Saya bilang karena saya orang Jawa, Yogyakarta, ya saya sunat,” katanya.

Setelah selesai belajar syahadat, Ustaz Fanani mengajarkan shalat dan membaca Alquran. Sedangkan pelajaran kedua ialah shalat. “Mualaf harus benar-benar diberikan bimbingan yang benar agar bisa shalat secara disiplin, teratur, dan khusyuk,” katanya.

Setelah belajar syahadat, shalat, dan membaca Alquran, tepat pada 1998 Victor masuk Islam. Sertifikat mualaf ia terima dari Masjid Sunda Kelapa, satu bulan sebelum menikah pada 2000.

 

Beberapa tahun menetap di Batam, Victor kembali ke Jakarta dengan membawa keislamannya. Ia pun aktif di berbagai majelis keagamaan. “Ikut ESQ, ikut pengajian salafi juga, sampai akhirnya kenal dengan dunia pesantren mulai dari Langitan, Nurul Haromain, Miftahul Huda sampai diajak Kiai Chalil (KH Chalil Nafis–Red)  main-main ke Sidogiri,” katanya.

Victor tak bisa sembunyi dari kenyataan. Ia memberi tahu kedua orang tuanya ihwal agama barunya tersebut. Kabar tersebut membuat kecewa keduanya. “Tapi saya bilang bahwa tanggung jawab akhirat hanya saya yang menanggungnya,” katanya.

Sejak saat itu, hingga dua bulan selanjutnya, ia memutuskan keluar dari rumah dan mengontrak tempat tinggal yang dekat dengan kediaman sang calon mertua.

Meski telah berbeda keyakinan, ayah dari Rafianda Subekti dan Dinar Daviana ini tetap menghormati kedua orang tuanya dengan tetap menjaga komunikasi. “Misalnya ketika Natalan, saya datang meski ketika Lebaran orang tua saya tidak pernah datang,” katanya.

 

Setelah menjadi Muslim, pemilik nama Islam Ahmad ini aktif di kegiatan dakwah dan beragam aktivitas keagamaan. Dia pernah bergabung dengan Gerakan Bebas Buta Alquran bersama KH Chalil Nafis.

Pengalaman itu mengantarkannya dipercaya menggawangi Program Quran On the Street di YMTV (Yusuf Mansyur TV ). “Di episode kedua, saya menjadi  host-nya juga,” katanya.

Namun, karena sibuk dengan pekerjaan barunya, di salah satu perusahaan penerbangan, kegiatan-kegiatan dakwah sementara diistirahatkan dulu. Akan tetapi, perjuangannya dalam  menyebarkan Alquran seluas-luasnya dengan Gerakan Bebas Buta Alquran masih tetap bertahan, meski dengan pola yang berbeda.

“Salah satunya, aktif di pelatihan dan distribusi Alquran gratis, tuturnya.

 

 

sumber:Republika Online