Memutuskan menjadi Muslim, Amelian Dinisiah menyadari bahwa Islam adalah agama yang paling hak. Dari hal kecil sampai besar diatur dan tidak pernah mengajarkan hal yang buruk. Jadi, jika ada oknum Muslim yang berperilaku tidak sesuai dengan ajaran agama, itu ulah pelaku tersebut dan bukan sebab Islam.
Amelian, begitu ia akrab disapa, memutuskan menjadi mualaf pada 14 Juni 2013. Ia masih teringat betul, peristiwa itu berlangsung pada Jumat, tepat pukul 10.00 pagi sebelum shalat. Sesaat setelah bersyahadat, ia langsung belajar bacaan shalat melalui catatan yang diberi teman, bahkan ia tak menunggu lama untuk memutuskan berhijab.
Perjalanannya menuju Islam bermula saat ia melanjutkan studi S-2 di salah satu universitas negeri di Kota Bogor. Saat berkuliah di Bogor, Amelia hidup mandiri dan jauh dari orang tua. Kesendirian ini membuatnya merasa bosan dengan kegiatan yang ia lakukan sehari-hari.
Ia mulai merasa ada yang salah dengan aktivitas yang ia lalui setiap hari. “Bangun pagi, aktivitas, makan, dan tidur. Masa saya cuma lahir, makan, tidur, terus mati,” ujar Amelian.
Sosok yang semula menganut Protestan itu akhirnya mulai merasa bingung dengan keyakinan yang ia anut. Ia sering mempertanyakan beberapa hal yang terdapat di Alkitab, namun belum menemukan jawaban yang membuat dirinya merasa puas. Keraguan terhadap keyakinan yang ia amini, sudah lama ia rasakan, namun ia tidak terlalu banyak bertanya.
Akhirnya, ia terus melakukan pencarian tanpa memberi tahu siapa pun terkait kebimbangan yang ia rasakan. Ia sendiri masih belum mengetahui apa yang dicari. Namun, satu yang pasti, ia merasa tidak puas dengan hidup dan merasa monoton, nihil makna.
Perempuan berusia 30 tahun ini menjelaskan, dalam masa pencarian tentang kebenaran agama, ia sempat menjadi ketua dalam acara seminar internasional yang dilaksanakan kampusnya. Kesibukan ini membuat ia lupa dengan pencarian yang sedang ia lakukan.
Namun, ia sering melamun dan sulit tidur. Bahkan, sewaktu-waktu ia sempat bermimpi sedang di dorong ke jurang yang di bawahnya terdapat semburan api, ya, neraka. Mimpi membuatnya semakin mencari tahu tentang kebimbangan yang ia rasakan.
Saat menjadi ketua seminar, ia bekerja sama dengan beberapa teman Muslim. Amelina mulai tertarik dengan Islam saat melihat ketaatan mereka menjalani shalat lima waktu di tengah kesibukan. “Saya saja yang ke gereja sepekan sekali jarang sekali. Ada saja alasan jika ingin ke gereja,” katanya.
Setelah selesai kegiatan seminar, ia memutuskan bertanya kepada teman Muslim terkait Islam. Mereka kaget karena Amelian mantan aktivis gereja. Ia bertanya kepada teman Muslim terkait shalat, hijab, pertemanan dengan lawan jenis yang terkesan ada jarak, bahkan bertanya tentang Islam yang dituduh teroris.
Perempuan kelahiran Ambon ini juga menanyakan perihal surga dan neraka. Jawaban-jawaban yang ia terima begitu merasuk pikirannya. Ia seperti menemukan jawaban yang membuatnya merasa bimbang. Akhirnya, ia merenung dan menemukan bahwa Islam merupakan agama yang benar dan yang ia cari selama ini.
Dalam perenungannya, ia memperoleh petunjuk bahwa Islam merupakan agama yang terbaik bagi dirinya. Ia berdoa agar diberi petunjuk. Ia sempat bermimpi tentang satu cahaya yang membuatnya menangis saat terbangun.
Akhirnya, ia menghubungi teman-teman dan mengutarakan niat untuk memeluk Islam. Amelian mendapat pelajaran dari Alquran. Dalam pembelajaran ini, ia merasa semakin yakin dengan kebenaran yang ia cari, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memeluk risalah Muhammad SAW yang agung.
Kabar soal Amelian yang memeluk Islam menyebar cepat ke kerabat dan koleganya yang tinggal di Papua. Informasi itu sampai ke orang tuanya setelah tiga hari ia menjadi mualaf.
Sulung dari lima bersaudara ini langsung disuruh pulang oleh orang tuanya ke Papua. Teman-teman Muslim yang membantunya mengucap syahadat menjadi khawatir dengan keputusan pulangnya Amelian ke Papua. Mereka khawatir Amelian akan dipaksa kembali ke agama semula.
Namun, keluarga yang di Papua mengabarkan bahwa bapaknya dalam kondisi sakit berat dan parah. Karena sayang kepada ayah, ia memutuskan pulang dengan membawa putranya yang berumur enam tahun. Dua bulan sebelum bersyahadat, Amelian telah bercerai dengan suaminya.
Saat menuju Papua menunggu penerbangan lanjutan di Makassar, ia terpaksa melepas kerudung. Ini akibat ia khawatir dengan kondisi ayahnya yang sedang sakit parah akan semakin memburuk jika melihat ia mengenakan hijab.
Sesampainya di rumah, ternyata ayahnya tidak sakit. Amelian dan putranya dilarang kembali ke Bogor dan dipaksa memeluk keyakinan sebelumnya. Awalnya, permintaan itu disampaikan melalui dialog, meski ia tolak. Penolakan tersebut berujung pada kekerasan fisik. Saat ia ketahuan sedang melaksanakan shalat, perempuan kelahiran Ambon ini sempat dipukul hingga diinjak.
Perlakuan kasar ini tidak membuatnya goyah. Setelah 13 hari berada di rumah. Ia memutuskan untuk hijrah secara kafah. Ia siap untuk kehilangan keluarganya demi keyakinan yang sedang ia jalani. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dari rumah dengan membawa serta putranya. Saat keluar rumah, ia beralasan ingin mengurus akta kelahiran sang putra.
Setelah keluar dari rumah, Amelian bertemu dengan seorang ustaz dan istrinya. Ia menginap selama tiga hari sampai ia mendapatkan tiket untuk kembali lagi ke Bogor.
Sampai di Bogor, ia harus hidup berpindah-pindah. Menumpang di satu tempat ke tempat lain. Ia bahkan sempat sakit hingga harus di opname di rumah sakit. Ujian tidak hanya sampai di sini. Seorang pria Muslim menikahinya pada 2014 lalu. Namun, pernikahan hanya bertahan empat bulan karena ia memperoleh perlakuan yang kasar dan tidak adil dari suami. Suami juga tidak menafkahinya.
Ia memutuskan bercerai kembali. Namun, ia terkejut, ternyata setelah perceraiannya itu, ia baru menyadari tengah mengandung. Ia melewati hari-hari hingga proses melahirkan tanpa didampingi suami. “Saya ikhlas karena saya yakin sahabat terdahulu juga tidak mudah ujiannya setelah berhijrah. Saya diuji karena Allah SWT sayang,” katanya.
Setelah dua tahun tidak berkomunikasi dengan keluarga besar, akhirnya sang adik menghubunginya kembali dan menyatakan keluarga besar merindukannya. Orang tuanya pun mengajak bertemu di Bogor. Ia diterima dengan baik oleh keluarga besarnya. “Ayah saya berkata silakan jalani agamamu dan bapak akan menjalani agama bapak,” katanya.
Sekarang silaturahimnya dan orang tua kembali normal. Bahkan, orang tua sempat mengunjunginya saat Lebaran. Ibu dua anak ini sekarang juga telah dipersunting kembali oleh teman semasa kuliahnya dahulu. Ia menikah sekitar dua pekan yang lalu.