Bermacam Doa dalam Surat Al-Qashas

Doa adalah sebuah ekspresi rasa lemah, hina dan miskin dihadapan Allah Swt.

Sebenarnya manusia memang tidak memiliki apa-apa. Semua urusannya berada ditangan Allah, maka karenanya Rasulullah Saw menjadikan doa sebagai inti ibadah dan senjata bagi orang mukmin.

Di dalam Surat Al-Qashas kita temukan banyak doa yang menemani Nabi Musa as sepanjang perjalanan hidupnya, sebelum beliau menjadi Nabi dan sesudahnya.

Doa-doa ini adalah pegangan bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan. Khususnya para aktivis dan pejuang di jalan kebenaran agar memperoleh kekuatan, kesabaran dan keselamatan.

Nah berikut ini adalah doa-doa yang di abadikan di dalam Surat Al-Qashas :

(1).

قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي

Musa mendoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. (QS.al-Qashas:16)

Pengakuan dihadapan Allah bahwa diri kita serba kurang dan sering berbuat dzalim kepada diri sendiri.

(2).

قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

dia berdoa: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu”. (QS.al-Qashas:21)

Memohon keselamatan dari orang-orang dzalim

(3).

قَالَ عَسَىٰ رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ

ia berdoa : “Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar”. (QS.al-Qashas:22)

Memohon kekuatan dan petunjuk dalam setiap kondisi kehidupan.

(4).

فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (QS.al-Qashas:24)

Adab yang begitu luar biasa, Nabi Musa as tidak membatasi apapun dalam doanya. Karena beliau merasa membutuhkan secara total dengan seluruh kebaikan yang diberikan oleh Allah Swt, apapun bentuknya.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Ketika Kebatilan Tampak Seperti Kebenaran

Tidak ada sesuatu yang lebih sesat dan lebih merugi dari orang yang berada dalam kebatilan namun ia selalu merasa di jalan yang benar. Berada dalam kesesatan namun ia selalu merasa dalam hidayah. Berada dalam kesalahan namun ia selalu merasa sedang berbuat kebaikan.

Dia menggali air dan merasa sedang menggali tanah. Dia melukis di atas pasir dan merasa sedang memahat bebatuan.

Hasilnya? Dia lelah melakukan banyak hal yang sia-sia. Berjuang meraih sesuatu yang tidak nyata. Beramal tanpa pahala. Bahkan dia hanya akan mendapatkan efek negatif dari kesalahan yang ia lakukan, yang nantinya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.

Karena ketulusan niat tidak akan berarti bila ditujukan untuk selain kebenaran. Setulus apapun niatmu akan sia-sian bila kau salah dalam menentukan antara kebenaran dan kebatilan.

Allah Swt berfirman tentang mereka yang punya niatan baik namun amalnya buruk :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا- الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS.Al-Kahfi:103-104)

Dari sini kita bisa memahami begitu pentingnya hidayah dan petunjuk bagi manusia. Kita juga akan memahami mengapa kita diwajibkan dalam setiap sholat kita untuk mengulang kalimat :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus (QS.Al-Fatihah:6)

Karena kondisi yang paling berbahaya bagi seorang hamba adalah ketika hatinya berbalik. Dia melihat keburukan amalnya sebagai kebaikan. Dia melihat kebatilan sebagai kebenaran. Dia melihat kesesatan sebagai hidayah. Dan dia melihat kesalahan sebagai sesuatu yang indah.

Oleh karena itu, kita harus selalu memohon kepada Allah agar ditetapkan di jalan kebenaran, mencintai kebaikan dan menbenci keburukan. Dan satu-satunya jalan untuk menemukan kebenaran adalah mengikuti para utusan Allah Swt.

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. (QS.al-Hujurat:7)

Allah Swt menjelaskan bahwa Dia akan memperindah keimanan dalam hati kaum mukminin dan membuat mereka tidak menyukai kekufuran, kemaksiatan dan keburukan. Dan sebaliknya, siapa yang berpaling dari Allah dan lebih menuruti hawa nafsunya, maka setan akan menjadikan amal buruknya terasa indah di matanya, hingga ia merasa sedang melakukan kebaikan disaat ia melakukan keburukan.

أَفَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ فَرَءَاهُ حَسَنًا ۖ

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik.” (QS.Fatir:8)

Maka setan pun mulai menguasainya sehingga ia melihat keburukan sebagai kebaikan, kebatilan sebagai kebenaran dan kesesatan sebagai hidayah.

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ زَيَّنَّا لَهُمْ أَعْمَالَهُمْ فَهُمْ يَعْمَهُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka mereka bergelimang (dalam kesesatan). (QS.an-Naml:4)

Ketika seorang hamba telah sampai pada kondisi melihat keburukan sebagai kebaikan, maka itulah adzab terbesar dari Allah swt karena ia telah berpaling dan menentang-Nya.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Berikut Doa Bulan Syakban dan Malam Nisfu Syakban

Berikut penjelasan Amalan Doa Bulan Syakban dan Malam Nisfu Syakban.

Syahdan, saat ini kita tengah berada di bulan Syakban. Bulan yang sangat mulia dan penuh berkah. Pada bulan ini Rasulullah mengisinya dengan memperbanyak puasa dan beramal kebajikan. Pasalnya, menurut hadis Nabi Muhammad, pada bulan ini amal manusia diangkat oleh Allah. Untuk itu, seharusnya manusia mengisinya dengan amal kebaikan.

Di bulan Syakban manusia dianjurkan untuk memperbanyak berdoa. Nah, menurut Dar Ifta Mesir berikut doa yang dianjurkan dibaca ketika  bulan Syakban.

Berikut doa bulan Syakban;

اللَّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْهِ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ، يَا ذَا الطَّوْلِ وَالإِنْعَامِ. لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ظَهْرَ اللَّاجِئينَ، وَجَارَ الْمُسْتَجِيرِينَ، وَأَمَانَ الْخَائِفِينَ. اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُومًا أَوْ مَطْرُودًا أَوْ مُقَتَّرًا عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ، فَامْحُ اللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَطَرْدِي وَإِقْتَارَ رِزْقِي، وَأَثْبِتْنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ سَعِيدًا مَرْزُوقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ، فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِي كِتَابِكَ الْمُنَزَّلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ: ﴿يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ﴾، إِلَهِي بِالتَّجَلِّي الْأَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ، الَّتِي يُفْرَقُ فِيهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ وَيُبْرَمُ، أَنْ تَكْشِفَ عَنَّا مِنَ الْبَلَاءِ مَا نَعْلَمُ وَمَا لَا نَعْلَمُ وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Artinya; Ya Tuhan ku yang Maha Pemberi,  dan Engkau Tuhan tak butuh. Wahai Tuhan  yang memiliki memiliki keagungan dan kemuliaan. Wahai Tuhan pemberi segala kekayaan dan segala kenikmatan. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Engkau Tuhan tempat minta pertolongan, dan tempat berlindung orang orang yang dari ketakutan, dan engkau adalah tempat aman dari rasa takut.

Ya Allah, jika  engkau menuliskan catatan ku di sisi-Mu pada Lauh Mahfuzh sebagai orang celaka,  atau orang  sial, atau  yang celaksa, dan orang yang sempit rezeki, maka aku mohon hapuskanlah itu Ya Allah.

Ya Allah hapuslah segera di Luh Mahfuz  dengan kemuliaan mu akan kecelakaan, kesialan, dan kesempitan rezeki ku. Catatlah aku di sisi-Mu sebagai orang yang mujur, murah rezeki, dan taufiq untuk berbuat kebaikan

Ya Allah, jika Engkau berkata, maka pasti perkataan Mu adalah suatu kebenaran sebagaimana kitab yang diturunkan  melalui ucapan Rasul utusanMu (Muhammad), (Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki).

Ya Allah dengan tajalli mu yang mulia di malam Nisfu syakban yang mulia ini, yang semua amal kebajikan diangkat pada bulan ini, bahwa engkau jauhkan dari kamu dari segala bala (musibah) dari yang kami ketahui dan yang tak kami ketahui, dan tak ada yang mengetahuinya kecuali Engkau. Engkaulah yang maha agung dan mulia.

Semoga Allah memberikan salawat kepada Sayyidina Muhammad SAW dan keluarga beserta para sahabatnya. Segala puji bagi Allah Ta’ala.

Dan juga baca tambahan doa bulan Syakban berikut

اللهم أحيينا حياة السعداء وأمتنا ممات الشهداء ، واحشرنا في زمرة الأنبياء والأصفياء إنك أنت الغفور الرحيم وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين ، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Allohumma ahyina hayata as sua’da wa amitna ma matas asy syuhada, wah syurna fi dzumroti al aulia, wal ashfia , innaka anta al ghofurul rohimi , wa so lallohu a’la alihi wa ashabihi ajma’in. wa akhiru dakwana anil hamdulillahi robbil a’lamin.

Artinya: Ya Allah hidupkanlah aku dalam kebahagiaan dan matikanlah aku dalam keadaan mati oran-orang yang syahid, dan kumpulkanlah daku di akhirat dengan  barisan para nabi dan kekasih Mu. Sesungguhnya engkau pengampun dan pengasih. Dan shalawat atas nabi Muhammad dan sahabat dan keluarganya. Dan demikian pinta ku pada Mu ya Allah, segala puji bagi Mu. Tuhan sekalian alam.

Demikian amalan doa bulan Syakban dan sekaligus doa malam Nisfu Syakban

BINCANG SYARIAH

Sudah Gajian? Jangan Lupa Sisihkan untuk Membayar Zakat Penghasilan

Zakat adalah salah satu bentuk ajaran dalam kehidupan sosial dari agama Islam untuk kemaslahatan umat. Dalam ketentuan fiqih, ada zakat fitrah, zakat mal dan zakat profesi atau zakat penghasilan. Pengertian zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap muslim sebagai santunan kepada orang-orang miskin, tanda berakhirnya bulan Ramadhan sebagai pembersih dari hal-hal yang mengotori puasa. Sedangkan zakat mal atau zakat harta adalah zakat yang wajib dikeluarkan jika harta telah mencapai lebih dari satu nisab.

Lalu, bagaimana dengan zakat profesi atau zakat penghasilan?

Apabila ada seorang muslim yang telah mempunyai penghasilan bulanan, maka ia wajib membayar zakat penghasilan. Sebab, zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu, sesuai dengan ketentuannya sebagai wujud kepatuhan seorang hamba kepada Allah SWT.

Persoalan zakat penghasilan memang tidak ditemukan penjelasannya dalam ketentuan fiqih klasik. Meskipun tidak ada keterangan dalam ketentuannya dalam fiqh klasik, bukan berarti bahwa gaji tidak wajib dizakati. Ada beberapa ulama seperti Syekh Muhammad al-Ghazali, Dr. Yusuf al-Qaradlawi yang telah melakukan upaya untuk memecahkan persoalan ini dengan mencari rujukan dalam fiqh klasik.

Sebagai misal, ijtihad yang dilakukan Syaikh Muhammad al-Ghazali bahwa orang yang bekerja dengan penghasilan yang melebihi petani wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Hal ini berarti, zakatnya gaji diqiyaskan dengan zakatnya pertanian.

Berikut penjelasannya:

إن مَنْ دَخْلُهُ لَا يَقِلُّ عَنْ دَخْلِ الْفَلَّاحِ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةً؛ فَالطَّبِيْبُ، وَالْمَحَامِي، وَالْمُهَنْدِسُ، وَالصَّانِعُ، وَطَوَائِفُ الْمُحْتَرِفِيْنَ وَالْمُوَظَّفِيْنَ وَأَشْبَاهُهُمْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، وَلَابُدَّ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَخْلِهِمْ الكَبِيْرِ –محمد الغزالي، الإسلام وأوضاعنا الإقتصادية، مصر-دار النهضة، الطبعة الأولى، ج، 1، ص. 118 

“Sesungguhnya orang yang pemasukkannya tidak kurang dari petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Karenanya, dokter, pengacara, insinyur, pengrajin, para pekerja professional, karyawan, dan sejenisnya, wajib zakat atas mereka. Dan zakatnya harus dikeluarkan dari pendapatan mereka yang besar”. (Muhammad al-Ghazali, al-Islam wa Audla’una al-Iqtishadiyyah)

Apabila pendapatan bersih seorang pekerja selama setahun seperti dokter atau karyawan sebuah perusahaan atau pegawai pemerintahan mencapai nishab yang telah ditentukan, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerima pendapatan tersebut. Sebagai misal, jika seseorang selama setahun memperoleh pendapatan bersih sekitar 48 juta, dengan asumsi ia menerima pendapatan bersih setiap bulan 4 juta. Ia wajib mengeluarkan zakat setiap bulannya 2,5 % dari 4 juta tersebut, yaitu sebesar 100 ribu. Apabila dijumlahkan, maka selama setahun ia mengeluarkan zakat sebesar 1,2 juta.

Zakat penghasilan ini bisa langsung diberikan kepada golongan yang berhak menerima zakat sesuai dengan firman Allah SWT:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ–التوبة: 60

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. At-Taubah [9]: 60)  

Sudah seyogyanya kita sebagai seorang muslim yang ta’at kepada Allah SWT untuk menyisihkan rezeki untuk orang-orang yang membutuhkan. Bukankah Allah SWT sudah berjanji akan menambah rezeki kita apabila kita membagikannya kepada orang yang membutuhkan? Seharusnya, jangan ada lagi keraguan bagi kita untuk mengeluarkan zakat penghasilan terutama bagi kita seorang muslim yang penghasilannya memenuhi ketentuan untuk mengeluarkan zakat.

PECIHITAM

Adakah Doa Khusus Saat Malam Nisfu Sya’ban?

Sebagian umat Islam membaca Yaasin di malam nisfu Sya’ban.

Pada pertengahan bulan Sya’ban, sebagian umat Islam memperingati malam nisfu Sya’ban. Pada malam itu, mereka membaca Yaasin menjelang bulan suci Ramadhan.

Selain membaca Yaasin, adakah doa khusus yang diucapkan ketika malam nisfu Sya’ban? Pendiri Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Sarwat mengatakan dalam situs resminya, anjuran berkumpul di malam nisfu Sya’ban memang ada.

Akan tetapi dari haditsnya, para ulama umumnya menilai hadits tentang hal tersebut dhaif. Adapun haditsnya yaitu:

Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu’ bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila datang malam nisfu Sya’ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasalah siangnya. Sesungguhnya Allah turun pada malam itu sejak terbenamnya matahari ke langit dunia dan berkata, “Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya rizki. Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya sampai terbit fajar,” (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif).

Sementara itu, ritual yang dilakukan oleh umat Islam selama ini seperti berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus pada malam nisfu Sya’ban di masjid-masjid belum ditemui saat zaman Rasulullah maupun zaman sahabatnya. Ritual ini baru ditemukan pada zaman Tabi’in, yakni zaman satu lapis generasi setelah generasi para sahabat.

Shaikh al-Qasthalani menjelaskan dalam kitabnya Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhlul telah berjuhud atau mengkhususkan ibadah pada malam nisfu Sya’ban. Oleh karena itu, orang-orang mencontoh mereka.

Dikutip situs NU Online, Rabu (24/3), pada malam nisfu Sya’ban umat Islam membaca surat Yaasin sebanyak tiga kali di sela doa. Sayyid Utsman bin Yahya menyebutkan doa yang dibaca saat malam nisfu Sya’ban yang tercantum dalam Kitab Maslakul Akyar karya Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Yahya.

اللَهُمَّ يَا ذَا المَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْكَ يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا ذَا الطَوْلِ وَالإِنْعَامِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ظَهْرَ اللَّاجِيْنَ وَجَارَ المُسْتَجِيْرِيْنَ وَمَأْمَنَ الخَائِفِيْنَ.

اللَهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِي عِنْدَكَ فِي أُمِّ الكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُومًا أَوْ مُقْتَرًّا عَلَيَّ فِي الرِزْقِ، فَامْحُ اللَّهُمَّ فِي أُمِّ الكِتَابِ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَاقْتِتَارَ رِزْقِي، وَاكْتُبْنِي عِنْدَكَ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الحَقُّ فِي كِتَابِكَ المُنْزَلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ المُرْسَلِ “يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ” وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

Allahumma ya dzal manni wa la yumannu ‘alaik, ya dzal jalali wal ikram, ya dzat thawli wal in‘am, la ilaha illa anta zhahral lajin wa jaral mustajirin wa ma’manal kha’ifin. Allahumma in kunta katabtani ‘indaka fi ummil kitabi syaqiyyan aw mahruman aw muqtarran ‘alayya fir rizqi, famhullahumma fi ummil kitabi syaqawati wa hirmani waqtitara rizqi, waktubni ‘indaka sa‘idan marzuqan muwaffaqan lil khairat. Fa innaka qulta wa qawlukal haqqu fi kitabikal munzal ‘ala lisani nabiyyikal mursal, “yamhullahu ma yasya’u wa yutsbitu, wa ‘indahu ummul kitab” wa shallallahu ‘ala sayyidina muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallama, walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.

“Wahai Tuhanku yang maha pemberi, engkau tidak diberi. Wahai Tuhan pemilik kebesaran dan kemuliaan. Wahai Tuhan pemberi segala kekayaan dan segala nikmat. Tiada tuhan selain Engkau, kekuatan orang-orang yang meminta pertolongan, lindungan orang-orang yang mencari perlindungan, dan tempat aman orang-orang yang takut. Tuhanku, jika Kau mencatatku di sisi-Mu pada Lauh Mahfuzh sebagai orang celaka, sial, atau orang yang sempit rezeki, maka hapuskanlah di Lauh Mahfuzh kecelakaan, kesialan, dan kesempitan rezekiku. Catatlah aku di sisi-Mu sebagai orang yang mujur, murah rezeki, dan taufiq untuk berbuat kebaikan karena Engkau telah berkata–sementara perkataan-Mu adalah benar–di kitabmu yang diturunkan melalui ucapan Rasul utusan-Mu, ‘Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki. Di sisi-Nya Lauh Mahfuzh.’ Semoga Allah memberikan shalawat kepada Sayyidina Muhammad SAW dan keluarga beserta para sahabatnya. Segala puji bagi Allah SWT.” 

https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-1211-hadits-tentang-nisfu-syaban-dan-dalil-dalilnya.html

https://islam.nu.or.id/post/read/89717/doa-malam-nisfu-syaban

KHAZANAH REPUBLIKA

Menelisik Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban

Tahun ini, malam nisfu Sya’ban jatuh pada Ahad (28/3).

Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan yang memiliki keistimewaan di antara bulan-bulan lain. Terlebih, menjelang bulan suci Ramadhan, biasanya umat Muslim di beberapa negara merayakan malam nisfu sya’ban yang terjadi pada pertengahan Sya’ban.

Biasanya, nisfu sya’ban jatuh pada tanggal ke-15 sebelum bulan suci Ramadhan. Tahun ini, malam nisfu Sya’ban jatuh pada Ahad (28/3).

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Sarwat menjelaskan dalam situs resminya, bulan Sya’ban mempunyai kekhususan sendiri yang didapat berdasarkan hadits-hadits shahih. Di antaranya, pada bulan ini amal shaleh setiap hamba akan diangkat ke langit.

Dari Usamah bin Zaid berkata, saya bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban.” Rasulullah menjawab, “Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa,” (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’I, dan Ibnu Huzaimah).

Selain itu, bulan Sya’ban seolah menjadi awal mula untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Jadi, kita perlu menyiapkan bekal ibadah untuk menyambut bulan Ramadhan.

Dalam hal ini, Rasulullah mencontohkan untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah. Aisyah berkata, “Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban,” (HR Muslim).

Terkait dengan keutamaan malam pertengahan Sya’ban atau nisfu Sya’ban, para ulama berbeda pendapat tentang kekuatan derajat periwayatannya dari dalilnya. Sebagian kalangan menggunakan hadits dhaif dengan alasan jika hadits tersebut tidak terlalu parah kelemahannya boleh digunakan untuk landasan ibadah yang bersifat keutamaan. Sementara yang lain, bersikap agak ketat dalam menyeleksi hadits-hadits yang dianggap dhaif.

Di antara hadits-hadits yang dianggap dhaif misalnya. “Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan doa mereka, kecuali sebagian ahli maksiat.”

Riwayat hadits tersebut tidak mencapai derajat shahih. Beberapa kalangan ulama memberi derajay hasan dan yang lainnya tegas memberi derajat dhaif. Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan tidak ada satu hadits shahih pun mengenai keutamaan malam nisfu Sya’ban. Begitu pula Ibnu Katsir telah mendhaifkan hadits yang menjelaskan tentang malam nisfu Sya’ban, ajal manusia ditentukan dari bulan pada tahun itu sampai bulan Sya’ban tahun depan.

Sedangkan amaliyah yang dilakukan secara khusus pada malam nisfu Sya’ban, seperti yang kerap kali umat Islam lakukan, yaitu rangkaian ritual, tidak ada satu petunjuk pun yang memiliki dasar yang kuat. Seperti yang diketahui, sebagian umat Islam mengkhususkan malam itu dengan membaca surat Yasin atau melakukan sholat sunnah dua rakaat. Praktik tersebut dilakukan juga selain di Indonesia, contohnya Mesir dan Yaman. 

https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-573-amalan-nisfu-syaban.html

KHAZANAH REPUBLIKA

Tafsir Surah Hud Ayat 15-16: Jangan Terburu-buru Meminta Balasan Amal Baik

Surah Hud ayat 15-16 pada dasarnya berbicara mengenai tuntunan dari Allah agar kita tidak meminta balasan amal baik secara terburu-buru. Ilustrasinya itu seorang karyawan yang telah menjalankan tugas dan pekerjaannya merupakan orang yang memiliki hak berupa upah atas pekerjaannya. Andai haknya berupa upah itu dijanjikan setelah pekerjaannya selesai, katakanlah diberikan di akhir bulan, maka ia akan menerima hak itu di akhir bulan. Berbeda halnya apabila ia telah meminta haknya terlebih dahulu sebelum saat yang ditentukan, seperti memintanya di awal bulan atau di pertengahan bulan, maka ia tak akan memperoleh haknya lagi di akhir bulan.

Uraian tersebut juga dapat dijadikan sebagai perumpamaan atas tugas kehambaan kita kepada Allah Swt. Sekadar sebagai gambaran untuk memudahkan pemahaman kita atas konsep ganjaran amal baik ketika menghambakan diri kepada Allah Swt. Apabila seorang hamba hanya meminta kenyamanan hidup di dunia sebagai balasan atas amal baik yang telah dilakukannya, maka bisa saja Allah memberikan hal itu secara kontan dan tanpa pengurangan sedikit pun. Akan tetapi mungkin saja ia tidak akan memanen amal-amalnya baiknya yang dilipat-gandakan itu ketika di akhirat.

Surah Hud ayat 15-16 yang dimaksud adalah sebagai berikut:

مَن كَانَ یُرِیدُ ٱلۡحَیَوٰةَ ٱلدُّنۡیَا وَزِینَتَهَا نُوَفِّ إِلَیۡهِمۡ أَعۡمَـٰلَهُمۡ فِیهَا وَهُمۡ فِیهَا لَا یُبۡخَسُونَ (15) أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ لَیۡسَ لَهُمۡ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِیهَا وَبَـٰطِلࣱ مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ (16)

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. (15) Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. (16)” [Q.S. Hud (11): 15 – 16]

Sebenarnya memang terdapat perbedaan pendapat di antara ulama ahli tafsir menyangkut siapa golongan yang dimaksud dalam kedua ayat di atas. Sebagian ahli tafsir berpandangan bahwa kedua ayat di atas menjelaskan tentang balasan bagi orang-orang kafir yang hanya mendapatkan kenikmatan di dunia tetapi dilanggengkan di neraka. Sebagian lain berpendapat bahwa kedua ayat di atas menjelaskan tentang balasan bagi orang yang riya’ dalam beramal baik.

Jika merujuk penjelasan Syekh Ahmad ash-Shawi dalam Hasyiyah ash-Shawi, mengarahkannya ke makna umum itu lebih utama, yakni diberlakukan ayat tersebut bagi pelaku riya’. Sehingga konsekuensi maknanya ialah keumuman cakupan ayat tersebut, yakni baik orang kafir, orang munafik, maupun orang beriman yang beramal disertai perasaan riya’, meski yang dilakukan merupakan amal ketaatan.

Lebih lanjut Syekh Ahmad ash-Shawi menjelaskan bahwa, dampak makna selanjutnya apabila ayat ini diarahkan hanya untuk orang kafir, maka ganjaran neraka sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 16 berlaku selamanya. Sedangkan apabila diarahkan untuk pelaku riya’ secara umum, maka bisa jadi ganjaran neraka itu hanya bersifat sementara selama orang yang dimaksud masih beriman kepada Allah Swt.

Berkenaan dengan ayat di atas, Imam al-Aufi meriwayatkan penjelasan Ibnu Abbas, sebagaimana yang dikutip Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, bahwa seorang hamba yang suka riya’ dan pamrih dalam beramal, maka pahala mereka hanya akan di berikan di dunia. Kemudian disebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi bahwa gambaran riya’ dan pamrih dalam beribadah itu sama halnya dengan menyekutukan Allah Swt., dalam hal ini sekala kecilnya ialah menyekutukan Allah dengan kepentingannya sendiri.

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang semisal dengan makna ayat di atas, seperti dalam surah Asy-Syura [42] ayat 20: “Barang siapa yang menginginkan keuntungan akhirat, Kami akan menambah keuntungan itu baginya. Dan barang siapa menginginkan keuntungan dunia,  Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”

Oleh karenanya, apabila seorang hamba terburu-buru meminta balasan dari amal kebaikannya secara kontan di dunia, maka itu sejatinya permintaan yang merugikan dirinya sendiri. Karena ketulusan dalam menjalankan ibadah dijanjikan oleh Allah Swt., suatu tambahan atau kelipatan dari amal yang diperbuatnya. Sedangkan jika meminta balasan di dunia, ia tidak dijanjikan bagian lagi di akhirat. Padahal normalnya seorang pekerja selain mengharapkan upah yang sesuai, tentu mengharapkan adanya bonus dari pekerjaannya.

Berdasar surah Hud ayat 15-16 itu kita juga mengetahui bahwa meski seorang hamba tidak tulus dalam melakukan ibadah, atau tidak sepenuh hati dalam menghambahakan diri, tetap saja Allah memberikan apa yang ia inginkan. Bahkan tanpa menguranginya sedikit pun. Meski dalam ayat di atas juga dinyatakan bahwa tiada ganjaran di akhirat bagi yang tak membawa ketulusan, bukan berarti Allah tak kuasa untuk memberinya kenikmatan di akhirat baginya. Karena selama seseorang masih memegang ketauhidan, selama itu pula Allah menjanjikan tempat kemuliaan. Wallahu a’lam bish shawab.

BINCANG SYARIAH

Anda Boleh Berbuat Dosa Asal Lima Ini Terpenuhi

SUNGGUH, apa pun yang telah, sedang dan bakal terjadi adalah bagian dari kehendak Allah. Tak ada daya maupun upaya makhluk untuk melawan atau mengelak dari kehendak dan kodrat-Nya. Tak ada atom atau partikel sekecil apapun yang bisa lolos dari kedaulatan mutlak pemerintahan Allah.
Siapa saja yang merasa mampu menipu atau lolos dari kehendak Ilahi sesungguhnya telah kehilangan akal sehat dan terjerat oleh ego. Iblis yang paling pendusta dan penipu sekali pun sudah mengakui berlakunya kehendak Allah dalam segala sesuatu di hadapan Baginda Nabi Muhammad. Makhluk terkutuk itu berkata, “Wahai Utusan Allah, aku hanya ingin kau tahu bahwa Allah menciptakanmu untuk memberi petunjuk, tapi kau sendiri tidak bisa memberikannya kepada seseorang; lalu Allah menciptakanku untuk menyesatkan, tapi aku sendiri tidak bisa menyesatkan.”

Allah menjalankan pemerintahan alam wujud ini tanpa saingan dan sandingan. Dia melakukan segalanya tanpa pertanggungjawaban. Allah berfirman, “Dia (yaitu Allah) tidak akan ditanya mengenai apa yang dilakukan-Nya, namun merekalah yang akan ditanya (QS 21: 23).

Suatu kali cucu Nabi, Hussein bin Ali melihat seseorang datang menemui ayahnya, Ali bin Abi Thalib dan berteriak, “Aku adalah pendosa, tapi aku sulit menepis rangsangan untuk melakukannya lagi. Berilah aku nasihat.”

Ali menasihatinya dengan perkataan berikut, “Bila kau bisa beroleh lima prasyarat ini, lakukan dosa sesuka hatimu: pertama, berhentilah mengambil rizki yang disediakan oleh Allah; kedua, keluarlah dari kerajaan Allah; ketiga, carilah tempat yang Allah tidak lihat; keempat, satukan daya untuk mencegah malaikat kematiaan mencabut nyawamu; dan kelima, kumpulkan kekuatan untuk melawan Malik, malaikat yang menjaga pintu neraka, agar dia tidak melemparmu ke dalamnya. Jika kau sempurnakan kelima prasyarat ini, berdosalah sesukamu.” [islamindonesia]

INILAH MOZAIK

Hukum Takbir Setelah Salam dalam Shalat

Pertanyaan:

Apa hukumnya takbir setelah salam pada salat fardhu?

Jawaban:

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ’ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ‘amma ba’du

Terdapat riwayat dalam Shahih Muslim, dan selainnya dari Tsauban Radhiyallahu’anhu, ia berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذا انصرف من صلاته، استغفر ثلاثًا، وقال: اللهم أنت السلام، ومنك السلام، تباركت ذا الجلال والإكرام. قال الوليد: فقلت للأوزاعي: كيف الاستغفار؟ قال: تقول: أستغفر الله، أستغفر الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar tiga kali, dan beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Artinya: Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian). Al-Walid berkata, ‘Aku berkata kepada Al-Auza’i, ‘Bagaimana cara beristighfar?’ Ia berkata, ‘Ucapkan: Astaghfirullah, astaghfirullah”” (HR. Muslim no. 591).

Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, mereka ditanya,

“Apakah disyariatkan bagi orang yang salat setelah salam membaca, ‘Allahu akbar‘ sebelum beristighfar tiga kali, berdasarkan pada lafaz (takbir) pada hadis ibnu abbas Radhiyallahu ’anhuma,

كنت أعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير

‘Aku mengetahui salat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berakhir dengan mendengar takbir’ (Muttafaq ‘alaih). Jika tidak boleh demikian, maka apa yang dimaksud dengan takbir pada hadis tersebut?”

Al Lajnah Ad Daimah menjawab,

“Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan beristighfar tiga kali, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Artinya: Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian). Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan dengan zikir-zikir yang lain.

Adapun takbir yang disebutkan dalam hadis tersebut, yang dimaksud adalah bacaan, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wallahuakbar’, yang dibaca setelah shalat sebanyak 33 kali. Dan demikianlah cara mengkompromikan hadis-hadis yang membahas hal tersebut.”

Di dalam syarah Sunan Abu Dawud karya Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, disebutkan,

“Abu Dawud membawakan lafaz hadis ini – yaitu hadis takbir setelah salat – maksudnya adalah bertakbir dan berzikir dengan mengeraskan suara. Karena dalam satu riwayat disebutkan ‘takbir’ dalam lafaz hadisnya, dan disebutkan ‘zikir’ di riwayat yang kedua. Dan zikir itu lebih umum daripada takbir. Karena zikir itu mencakup takbir dan juga yang selain takbir.

Dan Abu Dawud setelah membawakan riwayat pertama, beliau juga membawakan riwayat dari Ibnu Abbas,

كان يعلم انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير

‘Dia mengetahui salat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berakhir dengan mendengar takbir.’

Maksudnya adalah orang yang terlambat mendatangi shalat jamaah, dia akan mendengar takbir yang diucapkan imam. Dan penyebutan ‘takbir’ tidak disebutkan bahwasanya itu diucapkan setelah salam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah salam membaca, ‘Astaghfirullah, astaghfirullah’, kemudian dilanjutkan, ‘Subhanallah, walhamdulillah, wallahuakbar’. Inilah yang valid dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu takbir diucapkan bersamaan dengan tasbih dan tahmid.

Maka yang terdapat pada riwayat adalah,

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا سلم، استغفر ثلاثًا، ثم قال: اللهم أنت السلام، ومنك السلام، تباركت يا ذا الجلال والإكرام

‘Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai dari salat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan beristighfar tiga kali, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: /Allaahumma antassalaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaali wal ikraam/ (Ya Allah Engkau-lah As-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian).’

Kemudian riwayat kedua menyebutkan lafadz ‘zikir’ yang mencakup takbir dan selain takbir. Makna lafaz ‘zikir’ tersebut sesuai dengan yang terdapat pada riwayat-riwayat lainnya. Ini semua menunjukkan bahwa setelah salat, hendaknya berzikir. Yang diawali istighfar, kemudian ‘Allahumma antassalam wa minkas salam ….’ Dan pada riwayat ini terdapat penyebutan ‘takbir’ yang takbir ini dimaknai sebagai takbir yang ucapkan bersama dengan tasbih dan tahmid setelah salat” (selesai nukilan dari Syarah Sunan Abu Daud).

Kesimpulannya, amalan yang dibaca langsung setelah salat fardhu adalah membaca istighfra 3 kali, sebagaimana yang telah kita ketahui. Sedangkan takbir yang dibaca langsung setelah salam pada salat fardhu merupakan amalan yang tidak ditemukan petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahua’lam

***

Penerjamah: Rafif Zufarihsan

Artikel: Muslim.or.id

Bolehkah Suami Menikmati Penghasilan Istri?

Tanggung jawab terbesar suami yang menjadi hak istri adalah memberikan nafkah kepadanya. Oleh karena itu, Islam menuntut kepada para suami agar keluar rumah mencari rezeki untuk memenuhi tanggung jawab tersebut. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan tanggung jawab memberi nafkah istri ini, di antaranya:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS al-Baqarah: 233)

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS at-Thalaq: 6)

Di dalam hadis dari Muawiyah bin Haidah, beliau bertanya kepada Nabi saw: “ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?”

Nabi saw menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Sementara istri tidak diwajibkan kepadanya untuk memberi nafkah keluarga. Maka, tidak ada kewajiban baginya untuk bekerja mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika pun bekerja di luar rumah, istri tentu harus mendapat izin dari suaminya.

Penghasilan yang diperoleh dari hasil kerja istri itu bisa berdampak positif atau negatif terhadap keluarga. Artinya, penghasilan istri itu bisa menguatkan sendi-sendi perekonomian keluar atau bahkan sebaliknya, ia bisa menjadi ancaman.

Jika istri juga memiliki penghasilan dari usahanya sendiri, sejatinya itu adalah hak istri. Suami tidak mempunyai hak sedikitpun. Kelemahan fisik, atau statusnya sebagai istri tidak berarti boleh menikimati penghasilannya begitu saja.

Syekh Abdullah bin Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami yang mengambil uang (harta) milik istrinya, untuk digabungkan dengan uangnya (suami). Menjawab pertanyaan seperti ini, Syekh al Jibrin mengatakan, tidak disangsikan lagi, isteri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan pihak lainnya.

Karena penghasilan istri menjadi hak dia sepenuhnya, sehingga perlakuan kepadanya sama halnya dengan kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridaan dan kerelaannya. Demikian itu sama halnya ketika istri telah rela memberikan mahar kepadanya suaminya. Sebagaimana firman Allah:

وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS an-Nisa: 4)

Ayat di atas, ditujukan kepada para suami, bukan kepada para wali wanita. Inilah pendapat yang shahih.

Idealnya, antara suami dan istri terjalin kasih sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga keutuhan rumah tangga tidak bisa diukur dengan uang. Kerja sama dan saling mendukung antara suami istri harus tetap terjaga.

BINCANG SYARIAH