“Anak-anak yang Mati Rasa”

KELAK  akan tiba masanya, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, orangtua berpayah-payah mendidik anak, tetapi anaknya memperlakukan emaknya seperti tuan memperlakukan budaknya. Dan aku takut peristiwa itu akan terjadi di masa ini, masa ketika anak-anak tak mengenal pekerjaan rumah-tangga, dan pesantren maupun sekolah-sekolah berasrama lainnya tak lagi menjadi tempat bagi anak untuk belajar tentang kehidupan. Anak-anak itu belajar, tetapi hanya mengisi otaknya dari pengetahuan yang dapat diperoleh dari Google.

Sementara tangannya bersih tak pernah mencuci maupun melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik lainnya, sehingga empati itu mati sebelum berkembang. Tak tergerak hatinya bahkan di saat melihat emaknya kesulitan bernafas seumpama orang hampir mati disebabkan ketuaan atau sakitnya kambuh, tetapi anak tak bergeming membantunya. Apalagi berupaya melakukan yang lebih dari itu.⁣

Aku termangu mengingat nasehat Rasulullah Muhammad ﷺ mengenai tanda-tanda hari kiamat, salah satunya dari hadis panjang yang kali ini kita nukil ringkasnya:⁣

سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ رَبَّتَهَا⁣

 “Aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya; jika seorang (sahaya) wanita melahirkan tuannya.” (Muttafaqun ‘Alaih).⁣

Ibunya bukanlah seorang budak. Bukan. Ibunya orang merdeka. Tetapi anak-anak itu tak tersentuh hatinya untuk cepat tanggap membantu ibunya. Padahal membantu saat diminta adalah takaran minimal bakti kepada orangtua.

Takaran di atas itu, tanpa diminta pun ia sudah tergerak membantu. Dan di atasnya lagi masih bertingkat-tingkat kebaikan maupun kepekaan seorang anak tentang kebaikan apa yang sepatutnya ia perbuat terhadap kedua orangtuanya.⁣

Ada yang perlu kita renungi. Ada airmata yang perlu mengalir, menadahkan tangan mendo’akan anak-anak dan keturunan kita, menangisi dosa-dosa, berusaha memperbaiki diri dan tetap tidak meninggalkan nasehat bagi anak kita karena ini adalah haknya. Nasehat.

Ia adalah kewajiban kita untuk memberikannya meskipun mereka tak memintanya. Kitalah yang harus tahu kapan saat tepat memberikan nasehat sebab semakin memerlukan nasehat, justru kerapkali semakin merasa tak memerlukan nasehat.⁣

Hari ini, betapa banyak anak yang di sekolah berasrama tak diajari mengurusi kehidupan pribadinya karena makanan siap saji setiap waktu makan, hanya perlu berbaris untuk mengambilnya. Sedangkan pakaian pun tak perlu ia menyempatkan waktu mengatur jadwal agar bersih saat mau digunakan, sementara tugas sekolah tetap tertunaikan. Tidak terbengkalai.

Maka di saat mereka pulang, kita perlu melatih tangan dan juga hatinya agar tanggap. Bukan menyerahkan begitu saja kepada pembantu. Tampaknya ini hanya urusan pekerjaan rumah-tangga yang sepele, tetapi di dalamnya ada kecakapan mengelola diri, mengatur waktu dan lebih penting lagi adalah empati.⁣

Apakah tidak boleh kita menggembirakan mereka dengan sajian istimewa saat mereka pulang dari pesantren? Boleh. Sangat boleh. Tetapi hendaklah kita tidak merampas kesempatan mereka untuk belajar mengenal pekerjaan rumah-tangga, menghidupkan empati dan mengasah kepekaannya membantu orangtua.

Liburan adalah saat tepat belajar kehidupan. Bukan saat untuk libur menjadi orang baik sehingga seluruh kebaikan yang telah biasa mereka jalani di sekolah, sirna saat liburan tiba. Mereka seperti raja untuk sementara, sebelum kembali ke penjara suci.⁣

Diam-diam saya teringat, konon di sebuah sekolah bernama Eton College, semacam Muallimin di Inggris tempat anaknya raja maupun anak orang sangat kaya bersekolah, para siswa diharuskan mencuci dan menyeterika bajunya sendiri. Bukan bayar laundry.

Ini bukan karena orangtua mereka fakir miskin. Bukan. Tetapi karena dalam urusan sederhana itu ada kebaikan yang sangat besar bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang, termasuk dalam hal kepemimpinan. Mereka menjadi lebih peka tentang apa yang seharusnya dilakukan saat menjadi pemimpin perusahaan, termasuk dalam mengelola waktu.⁣

Apa yang dilakukan di Eton College sebenarnya bukan barang baru. Pesantren tradisional telah melakukannya sudah lebih dari satu atau dua abad yang lalu. Tetapi saya merasa perlu menghadirkan kisah ini selintas hanya untuk menggambarkan betapa anak-anak memerlukan latihan untuk mengasah kepekaannya, menghidupkan empatinya dan meringankan langkahnya membantu orangtua.

Mereka sangat perlu memiliki semua itu karena dua alasan. Pertama, ketiganya (kepekaan, empati dan kemauan untuk meringankan langkah) sangat mereka perlukan dalam menjalani kehidupan bersama orang lain, baik ketika berumah-tangga maupun berdakwah dan mengurusi ummat.

Artinya, minimal semua itu mereka perlukan untuk meraih kehidupan rumah-tangga yang baik, tidak terkecuali dalam mendidik anak. Kedua, ketiganya mereka perlukan untuk dapat berbuat kebajikan bagi kedua orangtua (birrul walidain) dengan sebaik-baiknya. Dan birrul walidain merupakan salah satu kunci kebaikan yang dengan itu anak dapat berharap meraih ridha dan Surga-Nya Allah ‘Azza wa Jalla.⁣

Jadi, urusan terpentingnya bukan karena kita kewalahan lalu perlu bantuan mereka. Bukan. Bukan pula karena kita repot sehingga memerlukan kesediaan mereka untuk meringankan tugas-tugas kita. Tetapi hal terpenting dari melibatkan anak membantu pekerjaan di rumah dan tanggap terhadap orangtua justru untuk keselamatan dan kebaikan anak kita di masa-masa yang akan datang.

Kejamlah orangtua yang tak melatih anaknya untuk berbakti kepadanya hanya karena merasa orangtua tak perlu menuntut anak membantunya. Ingatlah, kita latih, dorong dan suruh mereka agar cepat tanggap dan ringan membantu bukanlah terutama untuk meringankan beban orangtua, tetapi justru agar anak-anak kita memperoleh kemuliaan dan kebaikan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dengan birrul walidain. Sekurang-kurangnya tidak menyebabkan mereka terjatuh pada perbuatan mendurhakai orangtua. Dan ini merupakan serendah-rendah ukuran.⁣

Apakah ini hanya terjadi pada anak-anak yang dimasukkan pondok pesantren alias boarding school? Tidak. Sama sekali tidak. Bahkan sangat banyak anak yang tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren sama sekali dan mereka tidak memperoleh pendidikan adab (ta’dib) yang baik di rumah maupun sekolahnya. Sebaliknya kita dapati banyak pesantren, khususnya pesantren tradisional yang akarnya kuat (catat: akarnya kuat) memberi tempaan pendidikan adab yang sangat kokoh pada santrinya.⁣

Ada yang perlu kita khawatiri jika lalai menyiapkan mereka.

Pertama, anak-anak merasa berbuat kebajikan kepada kedua orangtua, termasuk membantu pekerjaan di rumah, bukan sebagai tugasnya. Mereka tak membangkang, tetapi lalai terhadap apa yang sepatutnya mereka kerjakan. Ini merupakan akibat paling ringan.

Kedua, anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang durhaka kepada orangtua. Dan karena kedurhakaan itu bersebab kelalaian orangtua dalam mendidik, maka di Yaumil Qiyamah mereka menjatuhkan orangtua di mahkamah Allah ‘Azza wa Jalla sehingga justru orang yang merasakan azab akhirat.

Ketiga, sebagaimana disebut dalam hadis di atas, anak-anak berkembang menjadi pribadi yang memperbudak orangtua, bahkan setelah mereka mempunyai anak. Na’udzubiLlahi min dzaalik.

Ada yang perlu kita renungkan tentang bagaimana kita mendidik anak-anak kita. Saatnya kita kembali kepada tuntunan agama ini, bertaqwa kepada-Nya dalam urusan mendidik anak dan berusaha menggali tentang apa saja yang harus kita bekalkan kepada mereka.*

Penulis Buku ‘Saat Berharga untuk Anak Kita’ dan Guru Motivasi Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu

HIDAYATULLAH

Hukum Mertua Mencuci Pakaian Menantu

Dalam keadaan tertentu, terkadang ada mertua yang mau mencuci pakaian menantunya. Ini biasanya dilakukan jika menantunya lagi lahiran, atau dalam keadaan sakit, atau mertuanya tinggal bersama menantunya. Dalam Islam, bagaimana hukum mertua mencuci pakaian menantu, apakah boleh?

Pada dasarnya, dalam Islam tidak ada larangan bagi seseorang untuk berbuat baik kepada orang lain, termasuk mertua kepada menantunya. Mertua boleh membantu menantunya, terutama jika menantunya dalam keadaan kesulitan dan sedang membutuhkan bantuan.

Oleh karena itu, jika ada mertua yang mau mencucikan pakaian menantunya atas dasar kerelaan dan hendak membantu menantunya, terutama jika menantunya dalam keadaan kesulitan, seperti lagi lahiran, sedang sakit, dan lainnya, maka hal itu tidak masalah, hukumnya diperbolehkan.

Dalam Al-Quran, Allah memerintahkan untuk saling membantu dalam kebaikan kepada siapapun untuk siapapun, termasuk kepada mertua untuk menantunya. Allah berfirman  dalam surah Al-Maidah ayat 2 berikut;

وَتَعَاوَنُوۡا عَلَى الۡبِرِّ وَالتَّقۡوٰى‌ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوۡا عَلَى الۡاِثۡمِ وَالۡعُدۡوَانِ‌

Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Saw sangat menganjurkan kepada umatnya untuk saling membantu satu sama lain dan meringankan beban orang lain. Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Nabi Saw bersabda;

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Barangsiapa melapangkan dari seorang beriman sebuah kesulitan dunia, niscaya Allah lapangkan atasnya dari kesulitan hari kiamat, siapa yang memudahkan seorang yang sulit bayar hutang, niscaya Allah akan mudahkan atasnya kesulitan di dunia dan akhirat, siapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah tutupi aibnya di dunia dan akhirat, dan Allah selalu menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya.

Meski boleh mertua mencuci pakaian menantu jika hal itu dilakukan atas dasar kerelaan, namun sebaiknya menantu tidak minta bantuan mertuanya untuk mencucikan pakaiannya. Hal ini karena dalam Islam, kedudukan mertua sama seperti kedudukan orang tua sendiri yang harus selalu dihormati.

BINCANG SYARIAH

Percayalah, Tidak Ada Sesuatu yang Mustahil!

Ada salah satu kalimat dalam Al-Qur’an yang tak asing ditelinga kita yaitu kalimat (كُن فَيَكُونُ) “Kun Fayakun”. Ketika Allah telah berkehendak untuk jadi maka terjadilah.

Kalimat ini disebutkan 8 kali didalam Al-Qur’an dan pengulangan ini bertujuan untuk menunjukkan dan meyakinkan kita tentang luasnya kekuasaan Allah swt.

وَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ

“Apabila Dia hendak Menetapkan sesuatu, Dia hanya Berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah sesuatu itu.” (QS.al-Baqarah:117)

Namun yang dimaksud dengan perkataan Kun Fayakun dalam ayat-ayat ini bukanlah perkataan verbal yang keluar dari lisan. Perkataan Kun Fayakun maksudnya adalah kehendak Allah swt untuk mewujudkan sesuatu. Jika Dia berkehendak untuk terwujud, maka terwujudlah. Bukan berarti sebuah perkataan yang harus terucap.

Dan kalimat ini termuat dalam 8 tempat berikut ini :

QS.al-Baqarah 117, QS.Ali Imran 47, QS.Ali Imran 59, QS.al-An’am 73, QS.an-Nahl:40, QS.Maryam 35, QS.Yasiin 82, QS.Ghofir 68.

Lalu apa pelajaran penting yang dapat kita ambil dari ayat diatas?

Jika kekuasaan dan kemampuan Allah meliputi segala sesuatu dan segala sesuatu akan terjadi dengan kehendak-Nya, lantas kenapa kita masih bersedih dan mudah putus asa? Ketahuilah bahwa seorang yang memiliki Allah tidak menyimpan kata mustahil dalam kamus hidupnya.

Ketika putus asa itu datang dan berkata, “Mustahil keinginanmu akan terwujud !”. Maka ceritakan kepadanya tentang kebesaran dan kekuasaan Tuhan Pemilik Alam Semesta.”

وَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ

“Apabila Dia hendak Menetapkan sesuatu, Dia hanya Berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah sesuatu itu.” (QS.al-Baqarah:117)

Tidak ada sesuatu yang mustahil. Semua akan terjadi dengan kehendak-Nya. Maka dekatkan diri kepada Allah swt. Karena Allah berfirman dalam Hadist Qudsi-Nya,

“Hamba-Ku taatlah kepada-Ku maka kalian akan menjadi seperti-Ku. Ketika berkata (كُن) terjadi ! maka terjadilah (فَيَكُونُ).”

KHAZANAH ALQURAN

Cukup Allah sebagai Tempat Mengadu, Bukan Makhluk

Nabi Saw. bersabda, “Di antara gudang perbendaharaan ‘Arsy adalah menyembunyikan beberapa musibah.”

Dari sabda Rasul tersebut hendaknya kita memahami untuk tidak suka mengadukan musibah kepada manusia. Tidak ada gunanya mengadukan musibah kepada makhluk yang tidak bisa memberi manfaat atau bahaya. Seorang hamba harusnya memprioritaskan Allah dalam segala urusan, karena Allah adalah Rabnya yang telah menciptakan dan memberikan segalanya.

Ketika mendapatkan masalah dan musibah, hendaknya ia langsung mengadu kepada Allah pertama kali. Sebagaimana teladan dari para Nabi dan orang saleh. Nabi Ya’qub as. ketika mendengar berita sangat menyedihkan, yaitu anak kesayangannya Nabi Yusuf diberitakan telah dimakan oleh serigala, langsung mengadu kepada Allah dan berkata,

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

Ya’qub menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS Yusuf: 86)

Demikian juga Nabi Ayyub as., kita ketahui mendapatkan cobaan yang sangat berat menimpa beliau bertubi-tubi, ia sangat sabar dan mengadu kepada Allah SWT. Allah berfirman,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-sebaik hamba, Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya.” (QS Sad: 44)

Orang yang sabar dan tidak menceritakan masalah atau musibah pada orang lain akan mendapatkan keutamaan yang besar. Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi,

“Jika Aku (Allah) memberikan cobaan (musibah) kepada hamba-Ku yang beriman sedang ia tidak mengeluh kepada orang yang mengunjunginya, Aku akan melepaskannya dari tahanan-Ku (penyakit) kemudian Aku gantikan dengan daging yang lebih baik dari dagingnya juga dengan darah yang lebih baik dari darahnya. Kemudian dia memulai amalnya (bagaikan bayi yang baru lahir).” (HR Al Hakim)

Jika ingin meminta nasihat dari orang-orang salih atas musibah yang menimpa tak mengapa. Namun, jika kita merasa kesulitan dalam membedakan antara orang saleh dengan orang munafik, hendaknya kita mengerjakan salat malam dua rakaat kemudian berdoa,

“Tunjukkanlah kepadaku orang-orang salih, wahai Tuhanku. Pertemukanlah aku dengan orang yang menunjukkanku ke jalan-Mu dan memberi makanan dan minuman kepadaku dari-Mu. Dan hiasilah mataku dengan cahaya kedekatan dengan-Mu, dan ia bisa menceritakan kepadaku apa yang nyata-nyata ia lihat bukan hanya cerita.”

Semoga Allah angkat segala ujian, cobaan, dan musibah yang menimpa kita. Apalagi musibah pandemi yang belum juga berakhir dari negeri ini. Allah berikan segera pertolongan-Nya dengan berakhirnya wabah dan kita semakin bertakwa pada-Nya. Aamiin. [MNews/Rnd]

MUSLIMAH NEWS

Mengadu kepada Allah, bukan kepada Makhluk

Salah satu pelajaran tauhid yang luar biasa adalah mengajarkan kita agar tidak mudah mengeluh atau curhat kepada manusia. Mengeluh dan curhat itu hanya kepada Allah Ta’ala. Sedangkan kepada manusia, itu lebih ke arah musyawarah dan diskusi mengenai masalah kita untuk mencari jalan keluar terbaik. Itu pun tidak semua manusia bisa diajak musyawarah dan diskusi, melainkan manusia yang berilmu serta mau membantu kita.

Salah satu contoh mengadu kepada Allah Ta’ala adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam. Beliau berkata dan tertulis dalam Al-Qur’an,

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku” (QS. Yusuf: 86).

Ibnul Jauzi Rahimahullah menjelaskan bahwa mengeluh kepada makhluk adalah suatu hal yang dibenci. Beliau rahimahullah berkata,

وقد كان السَّلَفُ يكرهون الشَّكوَى إِلَى الخَلقِ. وَالشَّكوَى وَإِن كان فيها رَاحَةٌ إِلا أَنَّـهَا تَدُلُّ عَلَىٰ ضَـعـفٍ وَذُلٍّ. وَالصَّبرُ عنها دَلِيلٌ عَلَى قُـوَّةٍ وَعِزٍّ.

“Para salaf membenci mengeluh kepada makhluk, meski ketika mengeluh tersebut mendatangkan ketenangan. Hal tersebut menunjukkan lemahnya iman dan kerendahan. Bersabar atas musibah menunjukkan kuatnya iman dan kemuliaan seseorang” (Ats-Tsabaat ‘Inda Al-Mamat, hal. 55).

Mengapa dibenci? Karena mengeluh kepada makhluk seolah-olah menunjukkan seorang hamba “mengeluhkan perbuatan (takdir) Rabb-nya kepada sesama makhluk”. Jelas semua yang terjadi adalah perbuatan dan takdir Alah Ta’ala. Kita harus rida dengan semua takdir Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Barangsiapa yang ridha (menerimanya), maka Allah akan meridhainya. Dan barangsiapa yang murka (menerimanya), maka Allah murka kepadanya” (HR. Tirmidzi).

Hal ini pun dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ada masalah berat, beliau mengadukan kepada Allah Ta’ala dengan mendirikan shalat.

Sahabat Hudzaifah Radhiallahu ‘anhu berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى

“Apabila ada masalah berat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan salat” (HR. Ahmad, lihat Shahih Sunan Abi Dawud).

Orang yang segera kembali kepada Allah ketika ada masalah berat, maka hatinya akan kembali tenang. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. ar-Rad: 27-28).

Tidak hanya masalah berat saja baru kita mengadu kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, apa pun masalahnya kita meminta kepada Allah Ta’ala dan memohon kepada Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan kesempurnaan tauhid seorang hamba.

Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah menjelaskan hendaknya kita meminta meskipun masalah remeh sekalipun seperti tali sandal yang putus. Beliau rahimahullah berkata,

” وفي الحديث دليل على أن الله يحب أن يسأله العباد جميع مصالح دينهم ودنياهم من الطعام والشراب والكسوة وغير ذلك ، كما يسألونه الهداية والمغفرة ، وفي الحديث : ( ليسأل أحدكم ربه حاجته كلها حتى شسع نعله إذا انقطع ) ، وكان بعض السلف يسأل الله في صلاته كل حوائجه حتى ملح عجينه وعلف شاته ، وفي الإسرائيليات : أن موسى عليه الصلاة والسلام قال : يا رب ! إنه ليعرض لي الحاجة من الدنيا فأستحي أن أسألك . قال : سلني حتى ملح عجينك وعلف حمارك .

“Pada hadits terdapat dalil bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang meminta kepada-Nya semua maslahat agama dan dunia, baik berupa makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain sebagaimana mereka meminta hidayah dan ampunan. Dalam hadits disebutkan, ‘hendaklah setiap kalian meminta kepada Rabb-nya semua kebutuhan, sampai-sampai ketika tali sandalnya lepas’” (Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam, 2: 48).

Apabila ada masalah kita tidak mengadu kepada makhluk, tetapi kita diskusikan dan cari jalan keluarnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَ شَاوِرْهُمْ في الأَمْرِ

“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Al-Imran: 159).

Tentu tidak semua manusia bisa kita ajak musyawarah dan diskusi, tetapi orang yang berilmu dan berpengalaman dalam hal ini.

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Tanyalah kepada ahlinya (orang yang berilmu) jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43).

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

13 Amalan yang Biasa Dilakukan di Bulan Rajab

Amalan yang bisa dilakukan di bulan rajab.

Bulan Rajab termasuk bulan-bulan yang dihormati, atau dalam Alqur’an disebut sebagai Asyhurul Hurum. Pada tahun ini, tanggal 1 Rajab 1442 Hijriyah jatuh pada Sabtu 13 Februari 2021, sehingga umat Islam banyak yang mengerjakan amalan-amalan. 

Dalam buku “Masuk Neraka Gara-Gara Puasa Rajab?“, pendiri Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Sarwat menjelaskan, sudah menjadi kebiasaan sejak lama di tengah sebagian umat Islam untuk menghormati bulan 

Rajab ini dengan berbagai jenis peribadatan dan ritual, seperti shalat, puasa dan lainnya. Dia pun mengungkapkan 13 amalan yang biasa dilakukan umat Islam di bulan Rajab, yaitu:

1. Mengadakan shalat khusus pada malam pertama bulan Rajab.

2. Mengadakan shalat khusus pada malam Jum’at minggu pertama bulan.

3. Shalat khusus pada malam Nisfu Rajab (pertengahan atau tanggal 15 Rajab).

4. Shalat khusus pada malam 27 Rajab (malam Isra’ dan Mi’raj).

5. Puasa khusus pada tanggal 1 Rajab.

6. Puasa khusus hari Kamis minggu pertama bulan Rajab.

7. Puasa khusus pada hari Nisfu Rajab.

8. Puasa khusus pada tanggal 27 Rajab.

9. Puasa pada awal, pertengahan dan akhir bulan Rajab.

10. Berpuasa khusus sekurang-kurang-nya sehari pada bulan Rajab.

11. Mengeluarkan zakat khusus pada bulan Rajab.

12. Umrah khusus di bulan Rajab.

13. Memperbanyakkan Istighfar khusus pada bulan Rajab.

Namun, menurut Ustaz Sarwat, tidak ada satu pun ulama yang berpendapat untuk mewajibkan semua amalan tersebut. Maka, diskusinya hanya sebatas apakah mengamalkan amalan-amalan ini punya landasan secara langsung dari praktik Rasulullah SAW atau pun para shahabat? 

Dan kalau tidak ada contoh atau perintah secara khusus dari Rasulullah, apakah jatuhnya jadi bid’ah yang diharamkan, ataukah tetap diperbolehkan atau malah tetap disunnahkan?. Dalam hal ini, Ustadz Sarwat menemukan bahwa ternyata para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat akan masalah ini.

Menurut dia, ada ulama yang cukup berpendapat bahwa hal ini tidak diperintahkan, tapi ada juga yang sampai membid’ahkannya. Lalu ada juga yang memakruhkan. Namun, ternyata sebagian ulama yang lain ada yang justru malah menyunnahkannya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Berbenah Diri Menyambut Bulan Ramadhan

Allah Ta’ala telah mengutamakan sebagian waktu (zaman) di atas sebagian lainnya, sebagaimana Dia mengutamakan sebagian manusia di atas sebagian lainnya dan sebagian tempat di atas tempat lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ

Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (QS al-Qashash:68).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata, “(Ayat ini menjelaskan) menyeluruhnya ciptaan Allah bagi seluruh makhluk-Nya, berlakunya kehendak-Nya bagi semua ciptaan-Nya, dan kemahaesaan-Nya dalam memilih dan mengistimewakan apa (yang dikehendaki-Nya), baik itu manusia, waktu (jaman) maupun tempat”[1].

Termasuk dalam hal ini adalah bulan Ramadhan yang Allah Ta’ala utamakan dan istimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, sehingga dipilih-Nya sebagai waktu dilaksanakannya kewajiban berpuasa yang merupakan salah satu rukun Islam.

Sungguh Allah Ta’ala memuliakan bulan yang penuh berkah ini dan menjadikannya sebagai salah satu musim besar untuk menggapai kemuliaan di akhirat kelak, yang merupakan kesempatan bagi hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa untuk berlomba-lomba dalam melaksanakan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya[2].

Bagaimana Seorang Muslim Menyambut Bulan Ramadhan?

Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan, padanya dilipatgandakan amal-amal kebaikan, disyariatkan amal-amal ibadah yang agung, di buka pintu-pintu surga dan di tutup pintu-pintu neraka[3].

Oleh karena itu, bulan ini merupakan kesempatan berharga yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan ingin meraih ridha-Nya.

Dan karena agungnya keutamaan bulan suci ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan kabar gembira kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan kedatangan bulan yang penuh berkah ini[4].

Sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menyampaikan kabar gembira kepada para sahabatnya, “Telah datang bulan Ramadhan yang penuh keberkahan, Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya, pintu-pintu surga di buka pada bulan itu, pintu-pintu neraka di tutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam (kemuliaan/lailatul qadr) yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam itu maka sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung)”[5].

Imam Ibnu Rajab, ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya pintu-pintu surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan ingin bertobat serta kembali kepada Allah Ta’ala) tidak gembira dengan ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal tidak gembira ketika para setan dibelenggu?”[6].

Dulunya, para ulama salaf jauh-jauh hari sebelum datangnya bulan Ramadhan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar mereka mencapai bulan yang mulia ini, karena mencapai bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Alah Ta’ala. Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka (kerjakan)”[7].

Maka hendaknya seorang muslim mengambil teladan dari para ulama salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala kebaikan, pengampunan serta keridhaan dari Allah Ta’ala, agar di akhirat kelak mereka akan merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu Allah Ta’ala dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah[8].

Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti berbagai program acara Televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala dari pada manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya.

Tapi persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena balasan kebaikan/keutamaan dari semua amal shaleh yang dikerjakan manusia, sempurna atau tidaknya, tergantung dari sempurna atau kurangnya keikhlasannya dan jauh atau dekatnya praktek amal tersebut dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[9].

Hal ini diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh seorang hamba benar-benar melaksanakan shalat, tapi tidak dituliskan baginya dari (pahala kebaikan) shalat tersebut kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau seperduanya”[10].

Juga dalam hadits lain tentang puasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga saja[11].

Meraih Takwa dan Kesucian Jiwa dengan Puasa Ramadhan

Hikmah dan tujuan utama diwajibkannya puasa adalah untuk mencapai takwa kepada Allah Ta’ala[12], yang hakikatnya adalah kesucian jiwa dan kebersihan hati[13]. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi seorang muslim untuk berbenah diri guna meraih takwa kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah:183).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk (melaksanakan ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari makan, minum dan hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala (semata), karena puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa, serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah laku yang tercela”[14].

Lebih lanjut, Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa, sebagai berikut:

– Orang yang berpuasa (berarti) meninggalkan semua yang diharamkan Allah (ketika berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya, yang semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya dengan meninggalkan semua itu, ini adalah termasuk takwa (kepada-Nya).

– Orang yang berpuasa (berarti) melatih dirinya untuk (merasakan) muraqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala), maka dia meninggalkan apa yang diinginkan hawa nafsunya padahal dia mampu (melakukannya), karena dia mengetahui Allah maha mengawasi (perbuatan)nya.

– Sesungguhnya puasa akan mempersempit jalur-jalur (yang dilalui) setan (dalam diri manusia), karena sesungguhnya setan beredar dalam tubuh manusia di tempat mengalirnya darah[15], maka dengan berpuasa akan lemah kekuatannya dan berkurang perbuatan maksiat dari orang tersebut.

– Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada Allah Ta’ala), dan amal-amal ketaatan merupakan bagian dari takwa.

– Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan berpuasa) maka akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu menolong orang-orang miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari takwa[16].

Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya sifat sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau, “Sesungguhnya (kedudukan sifat) sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia) pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya”[17].

Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa, bahkan puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih menamakan bulan puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran)[18]. Bahkan Allah menjadikan ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda tanpa batas[19], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Semua amal (shaleh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan (pahalanya), satu kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas), karena sesungguhnya puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran (kebaikan) baginya[20].

Demikian pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak terbatas, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka tanpa batas” (QS az-Zumar:10).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan eratnya hubungan puasa dengan sifat sabar dalam ucapan beliau,“Sabar itu ada tiga macam: sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal yang diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginan (manusia). Ketiga macam sabar ini (seluruhnya) terkumpul dalam (ibadah) puasa, karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah, dan bersabar dari semua keinginan syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam (menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang yang berpuasa”[21].

Penutup

Demikianlah nasehat ringkas tentang keutamaan bulan Ramadhan, semoga bermanfaat bagi semua orang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala dan mengharapkan ridha-Nya, serta memberi motivasi bagi mereka untuk bersemangat menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan mempersiapkan diri dalam perlombaan untuk meraih pengampunan dan kemuliaan dari-Nya, dengan bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah agung yang disyariatkan-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada setiap malam (di bulan Ramadhan) ada penyeru (malaikat) yang menyerukan: Wahai orang yang menghendaki kebaikan hadapkanlah (dirimu), dan wahai orang yang menghendaki keburukan kurangilah (keburukanmu)!”[22].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Sya’ban 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

Hukum Menceritakan Masalah Rumah Tangga Ke Orangtua

Dalam banyak kasus, banyak di antara pasangan suami dan istri yang mengalami masalah keluarga dan kemudian dia menceritakan masalah keluarga tersebut kepada orangtuanya. Sebenarnya, bagaimana hukum menceritakan masalah rumah tangga kepada orang tua dalam Islam, apakah dibolehkan?

Menceritakan masalah rumah tangga kepada orangtua, jika orangtua tersebut bisa dipercaya dan dinilai bisa memberikan solusi, maka hukumnya boleh. Tidak masalah dalam Islam menceritakan masalah keluarga kepada orangtua jika hal itu dilakukan demi kebaikan bersama antara suami dan istri.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa pada saat Sayidah Fatimah, putri Rasulullah, dan Sayidina Ali mengalami kesulitan ekonomi, maka Sayidina Ali menyuruh Sayidah Fatimah untuk menceritakan masalah keluarganya kepada Rasulullah agar beliau berkenan membantu dan memberikan solusi. Ini menunjukkan bahwa menceritakan masalah keluarga kepada orangtua untuk kebaikan bersama hukumnya adalah boleh.

Hadis dimaksud disebutkan oleh Imam Al-Dzahabi dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir, dari Suwaid bin Ghaflah, dia bercerita bahwa suatu ketika Fatimah dan Ali mengalami paceklik. Lalu Ali menyuruh Fatimah untuk mendatangi Rasulullah dan menceritakan masalah tersebut kepada beliau. Setelah Fatimah mendatangi dan menemui Rasulullah, Fatimah berkata;

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ الْمَلَائِكَةُ طَعَامُهَا التَّهْلِيلُ وَالتَّسْبِيحُ وَالْحَمْدُ فَمَا طَعَامُنَا ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ :وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالْحَقِّ نَبِيًّا مَا اقْتَبَسَ فِي آلِ مُحَمَّدٍ نَارٌ مُنْذُ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ، وَلَقَدْ أَتَيْنَا أَعْنُزًا فَإِنْ شِئْتِ أَمَرْنَا لَكِ بِخَمْسَةِ أَعْنُزٍ ، وَإِنْ شِئْتِ عَلَّمْتُكِ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ آنِفًا ، فَقَالَتْ : عَلِّمْنِي كَلِمَاتٍ عَلَّمَكَهُنَّ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، قَالَ قُولِي : يَا أَوَّلَ الْأَوَّلِينَ ، وَيَا آخِرَ الْآخِرِينَ ، وَيَا ذَا الْقُوَّةِ الْمَتِينَ ، وَيَا رَاحِمَ الْمَسَاكِينَ ، وَيَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ فَفَعَلْتُ ، قَالَ : فَانْصَرَفَتْ حَتَّى دَخَلَتْ عَلَى عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، فَقَالَ : مَا وَرَاءَكِ ؟ قَالَتْ : ذَهَبْتُ مِنْ عِنْدِكَ إِلَى الدُّنْيَا وَأَتَيْتُكَ بِالْآخِرَةِ ، فَقَالَ : خَيْرٌ أَيَّامُكِ خَيْرٌ أَيَّامُكِ

Wahai Rasulullah, makanan para malaikat hanya membaca tahlil, tasbih dan tahmid, namun bagaimana dengan makanan kami? Maka Nabi Saw berkata; Demi Dzat yang telah mengutusku sebagai nabi, api tidak pernah menyala di keluarga Muhammad selama tiga puluh hari. Kami hanya memiliki lima ekor kambing, jika kamu mau, kami akan menyuruh kamu membawa lima ekor kambing, dan jika kamu mau, aku ajarkan kamu beberapa kalimat yang telah diajarkan kepadaku oleh malaikat Jibril barusan. Fatimah berkata; Ajari aku kalimat yang diajarkan Malaikat Jibril kepada engkau. Kemudian Nabi Saw berkata, ‘Ucapkanlah; ‘Yaa awwalal awwaliin wa yaa aakhirol aakhiriina wa yaa dzal quwwatil matiin wa roohimal masakiin wa yaa arhamar roohimiin. Kemudian aku lakukan. Aisyah kemudian pergi menemui Sayidina Ali dan ia bertanya kepada Aisyah, ‘Apa yang engkau dapat? Aisyah menjawab, ‘Aku pergi dari sisimu untuk dunia dan aku sekarang kembali kepadamu dengan akhirat.’ Sayidina Ali berkata, ‘Sungguh baik harimu, sungguh baik harimu.

BINCANG SYARIAH

Jangan Malas Jalan ke Masjid untuk Sholat, Ini Pahalanya

Terdapat pahala melimpah jalan kaki ke masjid untuk sholat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Orang yang hatinya berdekatan dengan masjid pasti akan selalu melakukan ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah SWT. 

Oleh karena itu, bekas telapak kaki seseorang yang berjalan ke masjid untuk beribadah tak akan sia-sia. Imam As-Suyuthi dalam kitab Asbabun Nuzul menceritakan tentang hadits yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dengan sanad hasan, dan Al-Hakim dengan sanad yang sahih, yakni dari Abu Sa’id Al-Khudri. 

إن بني سلمة شكوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد منازلهم من المسجد ، فنزلت : ( ونكتب ما قدموا وآثارهم ) ، فأقاموا في مكانهم  

Dia berkata: “Bahwa Bani Salamah yang bertempat tinggal di pinggiran Kota Madinah ingin berpindah ke dekat Masjid Nabawi.” Peristiwa ini kemudian menjadi sebab turunnya surat Yasin ayat 12, Allah berfirman: 

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ “Inna nahnu nuhyyil-mauta wa naktubu maa qaddamuu wa aatsarahum, wa kulla syaiin ahshainaahu fii imaamin mubinin.” 

Yang artinya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan, dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (lauh mahfuzh).” Sejak saat itu, mereka tidak jadi pindah dekat Masjid Nabawi. Kemudian, Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah RA:

  كلُّ خطوةٍ يخطوها أحدُكم إلى الصلاةِ يُكْتَبُ لَهُ [ بها ] حسنةٌ ويُمْحَى عنه بِها سَيِّئَةٌ  “Kullu khuthwaatin yakhthuuha ila as-shalaati yuktabu lahu biha hasanatun wa yumha anhu biha sayyi-atun.” 

Yang artinya: “Setiap langkah menuju tempat sholat (masjid) akan dicatat sebagai kebaikan dan akan menghapus kejelekan.” Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad.

Rasulullah dalam hadis serupa riwayat At-Thabarani dari Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya bekas telapak kaki kalian menuju masjid dicatat Allah, sebaiknya kalian jangan pindah dari tempat kalian,”.

Keutamaan orang yang berjalan kaki menuju masjid juga disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan   Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda: كُلُّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ “Wa kullu khuthwatin yakhthuha ila as-shalaati shadaqatun.” Yang artinya: “Setiap langah berjalan untuk menunaikan sholat adalah sedekah.”   

KHAZANAH REPUBLIKA

Tidak Boleh Sembarangan Mengkafirkan Seseorang

Di antara akidah ahlussunnah waljama’ah adalah membedakan antara takfīr muṭlaq dan takfīr mu’ayyan.

Pertama: al-Takfīr al-Muṭlaq (التكفير المطلق), yaitu menjatuhkan vonis kekufuran kepada suatu keyakinan, ucapan, atau perbuatan yang merupakan pembatal keislaman, atau menjatuhkan vonis kafir kepada pelakunya secara umum tanpa menunjuk pada orang tertentu.

Contoh:

  • Menyembah berhala adalah kekufuran.
  • Membenci syariat Allah dan tuntunan Nabi-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah kekufuran.
  • Barangsiapa yang meyakini bahwa shalat itu tidak wajib atau zina itu tidak haram adalah kafir.

Kedua: al-Takfīr al-Mu’ayyan (التكفير المعين), yaitu menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang tertentu karena dia telah melakukan suatu pembatal keislaman.

Contoh:

  • Si Fulan itu kafir.

Takfīr mu’ayyan tidak boleh diarahkan kepada seseorang kecuali jika telah terpenuhi syarat-syarat dan hilang penghalang-penghalang dari pengkafirannya. Oleh karena itu, yang hanya boleh melakukan takfīr mu’ayyan adalah para ulama’ besar atau mufti yang telah mengetahui apakah si Fulan yang melakukan pembatal keislaman tersebut telah terpenuhi syarat atau hilang penghalang dari kekafirannya.

Adapun tugas kita sebagai penuntut ilmu adalah mempelajari apa saja yang merupakan pembatal keislaman sehingga kita bisa menghindarinya dan memperingatkan orang lain darinya. Dengan kata lain, tugas kita adalah seputar takfīr muṭlaq, bukan takfīr mu’ayyan.

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita agar tidak sembarangan mengkafirkan seseorang secara mu’ayyan.

Dari Ibn ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā, bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما.

Artinya:

“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya.” [Hadis sahih, diriwayatkan oleh al-Bukhariy (no. 6104) dan Muslim (no. 60). al-Bukhariy juga meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu (no. 6103).]

Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud “tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya” bukan bermakna si penuding itu telah kafir dengan ucapannya. Akan tetapi, ini termasuk dalam bab memberikan ancaman yang keras kepada orang yang melakukan sebuah dosa yang besar di mata syariat.

Adapun jika Fulan tersebut telah tegas kekafirannya dalam dalil secara mu’ayyan, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafirannya. Contoh: Fir’aun, Abu Jahl, Abu Lahb, Abu Thalib, dll. Demikian pula orang-orang yang memang beragama selain Islam, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafiran mereka.

Penulis:Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id