Nabi-Nabi yang Tercatat Menunaikan Ibadah Haji

Setiap tahun puluhan juta umat Islam mendambakan dirinya pergi ke Tanah Suci (Makkah) untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan, saat ini sekitar empat hingga lima juta umat Islam dari berbagai negara di dunia sedang bersiap diri melaksanakan ibadah haji.

Pelaksanaan ibadah haji telah diperintahkan oleh Allah SWT sejak zaman Nabi Adam AS hingga nabi muhammad SAW. Dan, ibadah haji merupakan sebuah perjalanan ritual dalam menghayati hakikat hidup dan keimanan kepada Allah SWT. Demikian dikemukakan intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya, Al-Hajj.

Menurut Ali Syariati, ibadah haji adalah sebuah demonstrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya adalah sebuah pertunjukan akbar tentang hakikat penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi islam, dan ummah.

“Allah adalah sutradaranya. Sedangkan, skenario atau temanya adalah tentang perbuatan orang-orang yang terlibat dan para tokoh utamanya adalah Adam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail, dan iblis. Adapun lokasinya di Masjidil Haram (Ka’bah), Mas’a (tempat sai), Arafah, Masy’ar, dan Mina. Simbolnya adalah Ka’bah, Safa, Marwa, siang, malam, matahari terbit, matahari tenggelam, berhala, dan upacara kurban. Pakaiannya adalah ihram dan aktor dari peran-peran dalam pertunjukan itu adalah umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji,” kata Ali Syariati.

Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur mengenai ibadah haji dan umrah, pelaksanaan ibadah haji telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Adapun tata cara ibadah haji yang disyariatkan kepada para nabi dan rasul itu umumnya lebih banyak berkisar pada pelaksanaan tawaf atau mengelilingi Ka’bah. Berikut sejumlah tata cara ibadah haji yang dilaksanakan sejak zaman Nabi Adam AS hingga sekarang ini.

Nabi Adam AS

Setelah beberapa waktu sejak diturunkan ke bumi, Nabi Adam diperintahkan oleh Allah SWT pergi ke Baitullah di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Menurut sejumlah riwayat, Ka’bah dibangun oleh para malaikat. Dan selama lebih dari 2.000 tahun, malaikat sudah melaksanakan tawaf (mengelilingi Ka’bah). Nabi Adam AS kemudian mengikuti apa yang dilakukan malaikat.

Ka’bah awalnya telah dibangun oleh malaikat. Kemudian, Nabi Adam AS diperintahkan untuk membangun kembali Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS Ali Imran [3]: 96).

Nabi Hud dan Saleh

Para nabi setelah Adam AS juga melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Bidayah wa an-Nihayah, menyebutkan sebuah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ra, Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Nabi SAW sedang lewat di Lembah Usfan pada waktu berhaji, beliau berkata, ‘Wahai Abu Bakar, lembah apakah ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Lembah Usfan.’ Nabi Bersabda, ‘Hud dan Saleh AS pernah melewati tempat ini dengan mengendarai unta-unta muda yang tali kekangnya dari anyaman serabut. Sarung mereka adalah jubah dan baju mereka adalah pakaian bergaris. Mereka mengucapkan talbiyah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah’.”

Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS

“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang bertawaf dan orang-orang yang beribadah, dan orang yang ruku dan sujud. Dan, serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan’.” (QS al-Hajj [22]: 26-28).

Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk mengajak umat manusia mengerjakan ibadah haji ke Baitullah. Selanjutnya, nabi-nabi lainnya mengerjakan hal serupa.

Nabi Muhammad SAW

Ibadah haji disyariatkan pertama kali pada tahun keenam Hijriah. Sedangkan, Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji pada tahun kesembilan Hijriah.

Banyak ayat Alquran yang memerintahkan Nabi SAW dan umat Islam untuk melaksanakan haji, sebagaimana tuntunan Allah dalam Alquran (QS 3: 97, 22: 27, 2: 196, 9: 2-3, 9: 17, 9: 28, dan 22: 27).

Adapun tuntunan yang mesti dilaksanakan adalah tawaf (QS 22: 29 dan 2: 125), sai antara Safa dan Marwa (QS 2: 158), wukuf (QS 85: 3, 89: 2, dan 2: 198-199), berkurban (QS 89: 2, 22: 28, dan 22: 36), dan tahalul atau mencukur rambut (QS 48: 27, 2: 196, dan 22: 29).

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka, barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah tidak ada dosa baginya mengerjakan sai di antara keduanya. (QS 2: 158).

IHRAM

Bagaimana Mungkin Ahli Maksiat Bisa Bangga dengan Dosanya?

Allah SWT memeringatkan hamba-Nya tidak bangga dengan dosa.

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan dengan berbuat dosa. Ketika berbuat dosa, seorang Muslim harus langsung melakukan taubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Namun, ada sebagain orang yang justru bangga ketika berbuat dosa.

Lalu, apa konsekuensi bagi orang yang bangga atas dosa yang dilakukannya? Dalam kitabnya yang bejudul Nashaihul ‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa sebagian ahli zuhud, yakni orang yang tidak begitu memperdulikan kehidupan dunia dan hanya mengambil cukup pada apa yang sangat mereka butuhkan saja, berkata:

“Barang siapa yang berbuat dosa sementara dia tertawa atau merasa senang dan bangga dengan dosa yang dia tanggung, maka kelak Allah akan memasukkannya ke neraka dalam keadaan menangis. Karena seharusnya dia menyesal dan beristighfar pada Allah SWT karena dosanya itu.

Dan barang siapa yang taat kepada Allah, sementara dia menangis karena malu dan takut kepada Allah atas kelalaiannya dalam ketataan itu, maka kelak Allah akan memasukkannya ke surga dalam keadaan tertawa atau sangat bahagia, sebab ia telah memperoleh apa yang ia inginkan, yakni ampunan Allah.”

Suatu hari, Rasulullah SAW juga telah mengingatkan bahwa umat Islam akan mendapatkan ampunan, kecuali yang bangga berbuat dosa.  

 كُلُّ أَمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ “Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali  orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa.”

Namun, sayangnya di zaman media sosial ini masih banyak orang justru bangga dalam berbuat dosa. Mereka bahkan tak malu mempertontonkan auratnya. Padahal, perbuatan mereka sama saja dengan menantang hukum Allah, dan itu akan mempercepat turunnya azab Allah.

ما ظهرَ في قومٍ الزِّنا والرِّبا ؛ إلَّا أحلُّوا بأنفسِهِم عذابَ اللهِ 

“Tidaklah perbuatan zina dan riba itu telah tampak secara terang-terangan di suatu kaum, kecuali mereka telah menghalalkan azab Allah bagi mereka sendiri.” (HR Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud).

KHAZANAH REPUBLIKA


Allah SWT Hamparkan Solusi Hidup Manusia, Tapi Mereka Abai

Allah SWT pada dasarnya memberikan solusi untuk hidup manusia.

Allah SWT memang menciptakan alam semesta beserta makhluk-makhluk-Nya bersumber dari sifat kasih dan sayang-Nya.

Oleh karena itu alam ini dirancang sedemikian rupa sebagai ciptaan terbaik-Nya, namun bukan berarti manusia tidak diberikan cobaan.

Pakar Tasawuf Haidar Bagir dalam bukunya berjudul Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan menyebut, sifat asli Allah adalah memberikan kebaikan setinggi-tingginya dan kebahagiaan bagi penghuni alam semesta. Sebagai konsekuensinya, Dia membentangkan juga kemungkinan jalan, termasuk jalan keluar, dari cobaan-cobaan yang diberikan.

Alam ini, kata dia, adalah himpunan jalan-jalan dan kesempatan ke arah kebaikan tertinggi, kesempurnaan, dan kebahagiaan manusia. Maka jika suatu saat manusia sedang menjalani suatu keadaan melalui salah satu jaannya, maka yang perlu diingat adalah satu di antara banyak jalan-Nya yang terbatas.

Jika melalui jalan tersebut manusia dapat melaluinya, maka bersyukurlah. Namun jika tidak, jangan putus asa. Sebab Allah masih menyediakan jalan-jalan lainnya yang dapat dilalui untuk menyelesaikan cobaan dan menujua kebahagiaan. 

Manusia, kata dia, hanya butuh pindah lintasan jika tidak berhasil dengan satu jalan. Sebab Allah menyediakan beragam jalan untuk dilalui dan disediakan kepada hamba-hamba-Nya. 

Barangkali di jalan pertama yang dilalui dan tidak berhasil itu, Allah telah sisipkan hikmah sehingga di jalan atau pintasan lain lah manusia dapat mendapatkan solusi dari setiap cobaan yang mendera. 

KHAZNAH REPUBLIKA


Syekh Ali Jaber, Usia 11 Tahun Sudah Hafal al-Qu`an

Satu hal yang menyebabkan Syekh Ali Jaber memilih tetap berdakwah di Indonesia. “Islam di Indonesia kebanyakan hanya sebuah nama, sementara perilaku sehari-hari masih jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri,” katanya.

Ia punya perhatian khusus kepada pera penghafal al-Qur`an. Sayangnya, katanya, Indonesia yang Muslimnya terbesar di dunia, sedikit penghafal al-Qur`annya

Nama Syekh Ali Jaber naik ke permukaan beberapa hari ini. Baik di media maupun medsos. Itu terkait dengan penusukan yang dilakukan seorang pemuda, saat ia berceramah di sebuah acara di Lampung, Sabtu lalu.

Sebagai pendakwah nama Syekh Ali cukup di kenal di Nusantara, walau ia bukan warga negara Indonesia. Wajahnya kerap nongol di layer kaca, karena ia menjadi salah satu dewan juri kompetisi penghafal al-Qur`an di sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia.

Syekh Ali memang punya perhatian khusus kepada al-Qur`an. Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, katanya, namun masih banyak yang belum bisa membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. “Itulah salah satu sebab yang membuat saya lebih fokus memperhatikan para penghafal al-Qur’an di Indonesia, termasuk juga tunanetra,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, masih sedikit sekali jumlah para penghafal al-Qur’an di Indonesia. Bahkan mereka yang mengajar al-Qur’an rata-rata juga belum hafal al-Qur’an hingga 30 juz. “Ketika ada sebuah lembaga Islam dari negara Arab datang ke Indonesia untuk mencari penghafal al-Qur’an itu susah. Padahal, calon yang sesuai untuk dijadikan imam dan pemimpin adalah para penghafal al-Qur’an,” ungkap lelaki yang hafal al-Qur’an 30 juz pada usia 11 tahun.

Syekh Ali lahir di Madinah, Arab Saudi. 3 Februari 1976. Ia putra pertama dari 12 bersaudara.

Datang ke Indonesia pada 2008, sebenarnya Syekh Ali bukan ingin berdakwah, melainkan mencari informasi sebagian keluarganya yang ada di Indonesia.

“Keluarga besar saya ada yang berasal dari Indonesia, seperti Lombok, Surabaya, dan Jakarta,” katanya dikutip dari majalah Suara Hidayatullah.

Suatu kali ia diajak saudaranya shalat Maghrib di Masjid Agung Sunda Kelapa. Ia dikenalkan kepada ketua takmirnya. Tak disangka, ia langsung diminta menjadi imam shalat Maghrib itu.

Ketua takmir merasa senang bisa mendengar bacaan al-Qur’an khas dari Madinah yang dilantunkan Syaik Ali. Dari situ, ketua takmir memintanya untuk menjadi imam shalat Tarawih dan penceramah di Masjid Agung Sunda Kelapa selama bulan Ramadhan.

“Dari situlah saya mulai kenal Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sering datang untuk shalat Tarawih, berbuka puasa, dan i’tikaf,” kenangnya. Melalui JK pula Ali Jaber mendapatkan ijin tinggal di Indonesia.

Sejak mendapat ijin tinggal itu, Ali Jaber sering diminta ceramah, baik di mimbar maupun dalam forum majelis taklim. Padahal, saat itu ia belum mahir berbahasa Indonesia.

Karena kerap diminta ceramah, ia kemudian menyempatkan diri untuk belajar bahasa Indonesia. “Alhamdulillah, saya belajar dengan mendengar orang bicara kemudian saya praktikkan langsung, begitu seterusnya,” ucapnya.

Awalnya, dirinya sering ditertawakan ketika mencoba bicara bahasa Indonesia, tetapi ia tidak pernah mempedulikannya. “Kalau pengucapannya salah baru saya minta dikoreksi,” imbuhnya.

Syekh Ali meyakini bahwa kemudahan dalam berbahasa itu diperoleh dari keberkahan menghafal al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an itu menjadi sumber kemudahan untuk belajar apa saja. Maka, sambungnya, ketika ia mulai belajar bahasa Indonesia, tidak ada kesulitan yang membuatnya putus asa untuk belajar.

“Pertama, kalau kita sudah belajar al-Qur’an, maka saya yakini akan mudah. Kedua, yang memudahkan saya selain al-Qur’an, adalah tauhid yang kuat,” kata pria yang kini telah mahir berbicara bahasa Indonesia tanpa mengikuti kursus.

Satu hal yang menyebabkan Syekh Ali Jaber memilih tetap berdakwah di Indonesia. “Islam di Indonesia kebanyakan hanya sebuah nama, sementara perilaku sehari-hari masih jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri,” katanya.* Bambang Subagyo

HIDAYATULLAH




Penyesalan Orang-orang Kafir di Akhirat

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah.

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang penyesalan orang-orang kafir di akhirat, ketika sudah terlambat pintu taubat itu bagi mereka. Allah berfirman:

رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ كَا نُوْا مُسْلِمِيْنَ

“Orang kafir itu kadang-kadang (nanti di akhirat) menginginkan, sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang muslim.” (QS. Al-Hijr 15: Ayat 2)

Dan firman-Nya:

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوْا وَيَتَمَتَّعُوْا وَيُلْهِهِمُ الْاَ مَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” (QS. Al-Hijr 15: Ayat 3)

Orang-orang kafir itu berangan-angan seandainya mereka diberi kesempatan untuk bisa kembali ke dunia, lalu mereka akan beramal shalih. Allah berfirman:

وَلَوْ تَرٰۤى اِذِ الْمُجْرِمُوْنَ نَا كِسُوْا رُءُوْسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَاۤ اَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَا رْجِعْنَا نَعْمَلْ صَا لِحًـا اِنَّا مُوْقِنُوْنَ

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS. As-Sajdah 32: Ayat 12)

Namun itu semua hanya angan-angan yang tidak akan pernah terjadi. Lalu Allah menghukum mereka atas kekafiran mereka. Allah berfirman:

وَ لَوْ شِئْنَا لَاٰ تَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدٰٮهَا وَلٰـكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّيْ لَاَ مْلَئَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَا لنَّا سِ اَجْمَعِيْنَ

“Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuk (bagi)nya, tetapi telah ditetapkan perkataan (ketetapan) dari-Ku, Pasti akan Aku penuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia bersama-sama.” (QS. As-Sajdah 32: Ayat 13)

Mereka pun mendapat azab pedih yang abadi (kekal) di dalam neraka jahannam. Allah berfirman:

فَذُوْقُوْا بِمَا نَسِيْتُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هٰذَا ۚ اِنَّا نَسِيْنٰكُمْ وَذُوْقُوْا عَذَا بَ الْخُلْدِ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Maka rasakanlah olehmu (azab ini) disebabkan kamu melalaikan pertemuan dengan harimu ini (hari Kiamat), sesungguhnya Kami pun melalaikan kamu dan rasakanlah azab yang kekal, atas apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. As-Sajdah 32: Ayat 14)

Semoga Allah mewafatkan kita di atas ajaran Islam (tauhid) serta menjaga diri dan keluarga kita dari kekafiran dan azab kekal di neraka jahannam.

Semoga menjadi bahan renungan untuk kita semua akan bahayanya kekufuran dan kesyirikan.

***

Disusun oleh:
Ustadz Haris Hermawan, M.A. (Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Fakultas Dakwah)

KONSULTASI SYARIAH

Milikilah Sifat Malu

Seorang muslim adalah orang yang selalu menjaga harga dirinya dan pemalu.

Dalam kitab Hadist Ar’abain,  Imam an-Nawawi menuliskan hadis dari  Dari Abu Mas’ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari)

Hadist ini dikeluarkan oleh Imam bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mu’tamar dari Rib’iy bin Hirasyi danri Abu Mas’ud  dari Hudzaifah dari Nabi Salallahu Alaiwassalam. Para ulama ahli hadis memiliki perbadaan dalam sanad hadist ini. Namun sebagian besar ahli hadis menyatakan bahwa ini adalah perkataan dari Abu Mas’ud. Yang mengatakan demikian adalah Imam al-Bukhari, Abu Zur’ah, Ar-Riaziy, Ad-Daruquthniy. Yang menunjukan kebenaran tentang hal ini yaitu telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan juga oleh Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Rasullullah Juga.

Hadits diatas ini sangat penting artinya dan mesti menjadi perhatian yang sangat serus  bagi setiap Muslim, karena dalam hadis ini putaran-putaran ajaran Islam semuanya bertumpu. Hadits ini singkat redaksinya, tapi padat maknanya dan sarat akan pesan moral, karena didalamnya Rasulullah SAW mengingatkan kita akan pentingnya rasa malu, sebagai suatu sifat bagi bersandarnya akhlak-akhlak Islami.

Seorang muslim adalah orang yang selalu menjaga harga dirinya dan pemalu. Sifat malu wajib hukumnya dimiliki oleh seorang muslim. Ia merupakan akhlak yang mulia, agung, dan  sifat inimerupakan sifat yang selalu diseru oleh syariat dalam al-qur’an. Ibnu Qoyyim juga mengatakan; “sifat malu merupaka sifat khusus bagi kemanusiaan. Orang yang tidak memiliki sifat malu, berarti tidak ada dalam dirinya sifat khusus ini dalam dirinya kecuali hanya sekedar bentuk daging,  darah dan sifatnya. Selain itu dia tidak memiliki kebaikan apapun pada dirinya. Selain itu sifat malu juga  merupakan benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk, jika rasa malu telah hilang pada seseorang maka berbagai keburukan akan ia lakukan, seperti membunuh, zina, durhaka pada kedua orang tua dan lain-lain.

Musthafa Murad dalam Minhajul Mukmin menuliskan, sifat malu merupakan salah satu dari tujuh puluh cabang iman. Hal ini disebabkan kerena keduanya (iman dan malu) sama-sama menyeru dan mendorong seseorang kepada kebaikan dan menjauhkannya dari kejahatan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebuah  hadist yang diriwayat Ibnu Majjah juga disebutkan ;”Malu termasuk bagian dari iman dan iman balasannya di surga.

Imam Nawawi dalam riyadhus shalihin menuliskan, hakikat sifat malu merupakan sebuah budipekerti yang menyebabkan yang menyebabkan seseorang meninggalkan perbuat yang buruk dan dia tidak mau lenggah menunaikan hak seseorang yang mempunyai hak. Sebuah riwayat dari Abul Qasim juga mengatakan ;”malu merupakan perpaduan antara melihat berbagai macam kenikmatan  atau karunia dan melihat adanya kelengahan, kemudian tumbuhlah diantara kedua macam sifat itu suatu keadaan yang dinamakan malu.   

Secara umum, para ulama seperti Ibnu Rajab Al-Hambali membagi sifat malu kepada dua macam yaitu malu sebagai sebuah tabiat atau pembawaan yang dianugerahkan Allah SWT sejak manusia lahir. Kedua, malu yang tumbuh sebagai hasil usaha.  Sabda Rasulullah SAW dalam hadits ini lebih merujuk pada malu dalam bentuk kedua. Bila demikian, kita wajib merawat dan mengembangkan rasa malu ini dengan berusaha mengenal siapa Allah dan siapa diri kita.

Sedangkan tingkatannya, Ibnu Qoyyim dalam kitab Mijkrajul Muslimim membagi sifat malu kepada tiga tingkatan yaitu: pertama sifat malu yang muncul karena seorang hamba  tahu bahwa Allah  melihat dirinya, sehingga dia terdorong untuk selalu bermujahadah, mencela keburukan dirinya, dan dia tidak pernah merasa mengeluh.

Selagi seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan membuatnya malu terhadap Allah, lalu mendorongnya untuk semakin taat. Hal ini seperti hamba yang bekerja di hadapan tuannya, tentu akan semakin giat dalam bekerja dan siap memikul bebannya, apalagi jika tuannya berbuat baik kepadanya dan dia pun mencintai tuannya. Keadaan ini berbeda dengan hamba yang tidak ditunggui dan dilihat tuannya. Sementara Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Jika hati merasa bahwa Allah tidak melihatnya, maka ia tidak merasa malu kepada-Nya.

Kedua sifat Malu yang muncul karena merasakan kebersamaan dengan Allah, sehingga menumbuhkan cinta, merasakan kebersamaan dan tidak suka bergantung kepada makhluk. Kebersamaan dengan Allah ada dua macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu dan keikutsertaan, seperti firman-Nya, “Dan, Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadid: 4). Sedangkan kebersamaan yang khusus ialah kedekatan bersama Allah, seperti firman-Nya, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan mereka yang berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 138). “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).

Ketiga Malu yang muncul karena melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada kekhawatiran, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti untuk mencapai tujuan. Jika ruh dan hati bersama Pencipta semua makhluk, maka ia akan merasakan kedekatan dengan-Nya dan seakan bisa menyaksikan-Nya secara langsung, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran untuk berpisah dengan-Nya. Di dalam hati itu juga tidak ada sesuatu selain Allah.

Akibat Hilangnya Sifat Malu

Ibnu Abid Dunyam menulis dalam Makarimil Akhlaq bahwa Umar bin Khatab perna berkata; ’Barang siapa yang rasa malunya sedikit mala sifat waro’nyapun berkurang dan barang siapa yang sifat wara’nya berkurang maka hatinya pasti akan mati.

Sebuah riwayat dari Salman Alfarisi menuliskan; ”Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”

Ibnu Abbas mengatakan; “Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath).

Perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.

Ibnu Qoyyim juga berkata : salah satu sebab merajalelanya kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu sebagai unsur utama hidupnya hati, dia adalah pondasi setiap kebaikan, mak hilangnya rasa malu seseorang berasti sirnanya seluruh kebaikan.

Oleh: Mubhalig dan Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Kepulauan Anambas, Deri Adlis SHi

sumber: Suara Muhammadiyah

KHAZANAH REPUBLIKA


Hukum Gratis Ongkir dan Cashback dari Marketplace Dalam Islam

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang hukum gratis ongkir dan cashback dari markerplace dalam islam.
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz, saya ingin bertanya, saya dapat voucher gratis ongkir dan cashback dari markerplace, lalu apakah ini masuk dalam perkara riba ustadz?
Syukron.

(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Ada 2 hal yang perlu diperhatikan untuk suatu bonus tertentu bagi pembeli (konsumen) dengan pihak marketplace;

Pertama; Voucher gratis dan Cashback tanpa syarat

Jika voucher gratis dan cashback (potongan harga) tidak mensyaratkan poin tertentu, misalkan tidak harus ada poin ini dulu, tidak harus punya deposit di payshop*e dulu atau deposit di marketplace, tidak harus jadi anggota member dulu, dan syarat lain-lain maka hal ini dibolehkan. ini adalah pendapat terkuat. Karena dikembalikan kepada hukum asal muamalah. Apatah lagi pembeli baru pertama kali melakukan transaksi di marketplace ini.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah pernah berfatwa tentang potongan harga (cash back) pada jual beli kredit (hutang),

لان هذا عكس الربا فإن الربا يتضمن الزيادة في احد العوضين في مقابلة الاجل وهذا يتضمن براءة ذمته من بعض العوض في مقابلة سقوط الاجل

“Karena kesepakatan ini kebalikan dari riba. Dalam transaksi riba, ada tambahan pembayaran sebagai ganti dari penundaan. Sementara kesepakatan ini (cashback) bentuknya mengurangi beban pembayaran, sebagai ganti dari pengurangan waktu pelunasan.”

Beliau melanjutkan,

فانتفع به كل واحد منهما ولم يكن هنا ربا لا حقيقة ولا لغة ولا عرفا فإن الربا الزيادة وهي منتفية ههنا

“Sehingga masing-masing mendapat manfaat, dan di sana tidak ada riba, baik secara hakiki, bahasa, maupun urf. Karena riba itu tambahan, dan di sini itu tidak ada.”
(lihat penjelasan panjang lebar Imam Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muwaqqi’in, 3/359)

Maka untuk jual beli pada prinsipnya penjual berhak menawarkan barangnya dengan harga sesuai yang dia inginkan. Karena barang yang dia jual adalah milik dia. Dan seseorang berhak untuk memberlakukan barangnya sesuai yang dia inginkan. Sehingga, penjual berhak menurunkan harga, memberi diskon atau potongan kepada konsumennya. Dia juga berhak menetapkan harga yang berbeda untuk konsumennya.

Kedua, Voucher gratis dan Cashback bersyarat khusus

Hanya saja jika voucher gratis dan cashback ini mensyaratkan poin tertentu yaitu berupa konsumen harus melakukan transaksi di marketplace ini sebanyak sekian, sehingga mendapatkan poin tertentu dan berhak klaim voucher, dan juga harus ada deposit (tabungan) di uang digital khusus pembayaran transaksi elektronik yang disyaratkan oleh pihak marketplace bagi pembeli, maka mengambil cashback atau voucher gratis ongkos kirim ini adalah tidak diperbolehkan dan terlarang, karena anda pada hakikatnya telah meminjamkan uang (menabung) di pembayaran elektronik tersebut dengan melakukan akad dengan pihak marketplace, buktinya anda tidak berhak mengklaim voucher gratis dan cashback sebelum mempunyai tabungan deposit di shoppypay atau pembayaran elektronik lainnya yang disyaratkan oleh pihak marketplace, maka inilah riba sebagaimana uang yang disetor (tabung) ke Bank juga akan ada bonus yang menanti akibat transaksi utang piutang tersebut. inilah pendapat yang dipilih oleh jumhur ulama.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Rabu, 27 Muharram 1442 H / 16 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Pikirkan Dirimu, Jangan Sibuk dengan Orang Lain!

Allah Swt Berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَيۡكُمۡ أَنفُسَكُمۡۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah diri kalian sendiri; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” (QS.Al-Ma’idah:105)

Ayat ini ingin mengajarkan kepada kita untuk fokus pada urusan dan tugas kita masing-masing. Jangan sibuk memperhatikan urusan orang lain, apakah mereka menjalankan tugas atau tidak, apakah mereka menunaikan tanggung jawab atau tidak. Itu bukan urusanmu !

Mengapa demikian ?

Karena kemalasan dan meremehkan tanggung jawab itu mudah menular. Sering ketika kita berhenti di lampu merah, apabila ada yang melanggar biasanya akan di ikuti oleh pengendara lainnya. Kenapa itu terjadi? Karena banyak orang yang fokus kepada perbuatan orang lain dan lupa bahwa tugasnya hanyalah berhenti ketika lampu berubah menjadi merah. Lakukan tugas kita dan jangan pedulikan perbuatan orang lain !

Selama kita berada di jalan yang di Ridhoi Allah maka teruslah berjalan, lakukan tugas kita dan jangan sibuk mengintip tugas orang lain apakah selesai atau tidak, bagaimana hasilnya, itu semua tidak penting ! Karena setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Kita tidak akan ditanya tentang tugas orang lain.

Maka dari itu berbuat baiklah. Layani orang sekitarmu dengan kebaikan yang mengundang Keridhoan Allah. Bahagiakan mereka walau hanya dengan senyum dan sapa.

Jangan terlalu sibuk mengurusi hidup orang lain. Karena bayanganmu saja akan meninggalkanmu di tempat-tempat yang gelap.

Lalu bagaimana dengan perintah Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar?

Nah disinilah pentingnya keseimbangan dalam Islam. Kita fokus pada urusan kita bukan berarti menjadi egois dan tidak memikirkan orang lain. Fokuslah dengan tugas dalam hidupmu dan jangan menjadi lemah karena orang lain tidak menjalankan tugasnya.

Tegurlah saudaramu atas dasar kecintaanmu kepadanya, karena Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar harus tetap berjalan sesuai syarat-syaratnya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Kapan Pandemi Ini Berakhir?

Pertanyaan “kapan pandemi berakhir” mungkin salah satu hal yang selalu terngiang dalam benak kita. Sejak awal pandemi, seringkali kami mendapatkan pertanyaan semacam ini, entah itu ibu-ibu yang khawatir bagaimanakah anaknya bersekolah; atau para pekerja (pelaku usaha) sektor ekonomi yang khawatir dengan dampak pandemi; atau bahkan rekan sejawat yang juga mempertanyakan sampai kapan kita berada dalam kondisi semacam ini (memakai APD lengkap yang sangat merepotkan).

Berbagai analisis dan prediksi dikemukakan oleh para ahli di bidang ini. Berbagai macam upaya dilakukan untuk menghentikan pandemi ini. Meskipun demikian, sampai hampir tujuh bulan kita melewati hari demi hari pandemi ini, tampaknya belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini berakhir.

Bahkan sebaliknya, kita dapati jumlah kasus yang semakin meningkat, jumlah kematian yang semakin bertambah dari hari ke hari, termasuk kematian para tenaga medis, baik itu dokter umum, dokter spesialis, guru besar (profesor), perawat, dan yang lainnya. 

Sebagai seorang muslim, yang beriman kepada Allah Ta’ala, sudah selayaknya kita selalu introspeksi diri, mengapa musibah ini terus berlangsung? Setidaknya, ada dua hal yang patut kita jadikan sebagai bahan renungan dalam kesempatan kali ini:

Setiap musibah adalah karena dosa dan kesalahan kita, seberapa sungguh-sungguh kita istighfar dan taubat?

Allah Ta’ala berfirman,

وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ

“Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syuuraa: 30)

Betul, ilmu pengetahuan (sains) menjelaskan pandemi ini disebabkan oleh virus (SARS-CoV-2) dengan karakter tertentu yang muncul secara alamiah (natural evolution). Kemudian menular dengan cara tertentu pula (droplet, airborne, dan seterusnya). Ini adalah penjelasan dari sisi sains (biologi).

Akan tetapi, kita sebagai orang yang beriman, harus merenungi musibah ini berdasarkan firman Allah Ta’ala di atas. Bahwa setiap musibah yang Allah Ta’ala turunkan, disebabkan oleh dosa dan kesalahan kita sendiri. Sejak awal pandemi, seberapa kesungguhan kita untuk istighfar dan taubat atas dosa dan kesalahan kita sebelumnya? Atau justru kita semakin menambah maksiat kepada Allah Ta’ala di tengah-tengah situasi pandemi ini? 

Oleh karena itu, satu nasihat penting yang hendaknya kita selalu ingat adalah ungkapan,

ما نزل بلاء إلا بذنب ولارفع إلا بتوبة

“Tidaklah musibah itu turun (terjadi), kecuali karena dosa. Dan tidaklah akan diangkat, kecuali dengan taubat.”  

Mengapa kita menunda-nunda taubat di tengah musibah semacam ini, padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk segera bertaubat? Allah Ta’ala mengatakan,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nuur [24]: 31)

Sekali lagi, hendaknya kita renungkan dengan sungguh-sungguh, seberapa serius kita bertaubat kepada Allah Ta’ala sejak awal pandemi?

Jangan-jangan kita lebih bertawakkal kepada sebab (usaha lahiriyyah), bukan kepada Allah Ta’ala?

Hal lain yang juga patut kita renungkan adalah, jangan-jangan selama ini kita lebih bersandar kepada sebab (usaha) yang kita lakukan secara lahiriyyah? Dan kita melupakan pencipta sebab sesungguhnya, yaitu Allah Ta’ala? 

Kita lebih bersandar kepada usaha kita sendiri, semisal cuci tangan, memakai masker, menjaga jarak (social dan physical distancing), dan usaha-usaha sejenis itu. Lalu kita pun merasa aman, kemudian lupa menyandarkan hati kita kepada Allah Ta’ala. 

Padahal, Allah adalah Dzat Yang Maha kuasa, Allah-lah yang mentakdirkan apakah sebab atau usaha kita itu akan bisa mendatangkan manfaat yang kita inginkan? Inilah dua unsur tawakkal, yaitu (1) melakukan usaha lahiriyyah dan (2) menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Jika dia hanya melakukan nomor 1, tanpa nomor 2, berarti ada cacat dalam tauhidnya. Adapun jika hanya melakukan nomor 2, tanpa nomor 1, berarti dia telah kehilangan akal sehat.

Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya, lalu tawakkal kepada Allah ataukah saya lepas saja sambil bertawakkal kepada-Nya?” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Ikatlah dulu untamu itu, baru Engkau bertawakal!” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)

Cuci tangan, jaga jarak, dan memakai masker itu bagaikan “mengikat unta” dalam hadits di atas. Namun, jangan lupakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikutnya, yaitu,

وَتَوَكَّلْ

“Dan bertawakkal-lah!”

Artinya, sandarkanlah dirimu kepada Allah Ta’ala.

Orang yang hanya bersandar sebab (usaha lahiriyyah), kemudian lupa menyerahkan dirinya kepada Allah Ta’ala, adalah orang-orang yang kurang sempurna tauhidnya. Tauhidnya telah ternoda, karena dia lebih bersandar kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah Ta’ala. 

Sekali lagi, di tengah-tengah pandemi ini, kita pun merenungkan kembali, sudah benarkah tawakkal kita kepada Allah Ta’ala?

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Inilah Cara Musuh Menghancurkan Kaum Muslimin!

Allah Swt Berfirman :

وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS.Al-Baqarah:42)

Ayat ini ingin menjelaskan kepada kita bahwa bangsa Yahudi dan musuh-musuh Islam memiliki dua cara untuk merusak agama Islam, yaitu :

1. Mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan.

2. Menyembunyikan hakikat kebenaran yang sebenarnya.

(1). Bagaimana cara mereka mencampur adukkan kebenaran dengan kebatilan?

Mereka benar-benar bekerja keras untuk merusak Islam dari semua sisi. Dan salah satu caranya adalah dengan melakukan provokasi tentang ajaran Islam dengan syubhat-syubhat yang membuat orang ragu. Misalnya Islam dianggap agama yang kejam karena ada hukuman mati di dalamnya. Dan hal-hal lain yang membuat orang menjadi ragu dengan kebenaran Islam.

Kedua, mereka berusaha merubah wajah Islam dari yang sebenarnya. Wajah Islam yang ramah di buat seakan penuh amarah. Wajah Islam yang santun di buat seakan tak punya belas kasih. Wajah Islam yang penuh rahmat di buat seakan kasar dan jahat. Begitulah mereka berupaya sepanjang waktu untuk menciptakan kelompok-kelompok extrimis yang merubah wajah Islam yang hakiki. Cara ini juga sangat efektik untuk mencampur adukkan kebenaran Islam dengan cara-cara yang batil.

Ketiga, mereka berusaha untuk menghapuskan ajaran-ajaran Islam yang damai dan selalu berupaya menggiring opini masyarakat agar fokus pada hal-hal tertentu saja.

(2). Karena itulah, upaya untuk mencampur adukkan kebenaran Islam dengan kebatilan akan terus dilakukan dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat sebenarnya dari Islam itu sendiri.

Dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh musuh Islam yang nyata seperti Zionis dan antek-anteknya. Tapi ini semua juga sudah mengakar pada jiwa orang-orang munafik di tengah kaum muslimin.

Karenanya, bila kita menemukan ada dari kaum muslimin yang suka membawa-bawa tentang syubhat yang di tebarkan di tengah orang awam, membawa perpecahan dan permusuhan dan menampakkan wajah Islam yang indah dengan wajah yang penuh kekejaman, maka bisa dipastikan mereka disadari atau tidak adalah antek-antek musuh Islam dan setidaknya menyerupai sifat-sifat musuh Islam, walaupun mereka mengklaim dirinya paling beriman.

Semoga bermanfaat …

KHAZANAH ALQURAN