Contoh Tawakal yang Benar untuk Keberangkatan Haji

Syariat telah menegaskan haji adalah bagi orang yang memiliki bekal. Dalam surat Albaqarah ayat 197 sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi menuliskan daman kitabnya Fadhilah Haji bagaimana contoh bekal takwa yang benar. Untuk menguraikan contoh ini Syekh Maulana menuliskan kisah ketakwaab Abu Bakar Siddiq.

Ketika perang tabuk, Rasulullah SAW menyuruh para sahabat untuk membantu tentara Islam yang hendak berangkat ke medan perang. Abu Bakar ra membawa apa saja yang ada di rumahnya.”Tidak ada sesuatu pun yang tinggal di rumahnya,” tulis Syekh Maulana Muhammad Zakariyya.

Kisah yang kedua menceritakan tentang seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa sepotong emas sebesar telur ayam. Sambil menyerahkannya kepada Rasulullah SAW berkata. “Saya sedekahkan dan saya sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.” 

Rasulullah memalingkan wajahnya dari orang itu, dan dia datang di depan Rasulullah lagi dan berkata seperti semula. Namun demikian Rasulullah memalingkan wajahnya dari orang itu, dan orang itu datang berulang kali di depan Rasulullah  sambil berkata seperti semula.

Pada kedatangan yang keempat kalinya Rasulullah mengambil potongan emas tersebut kemudian melemparkannya dengan keras. Andai saja terkena pemiliknya pasti akan melukainya.

Kemudian Rasulullah bersabda. “Sebagian orang menyedekahkan semua apa yang ia miliki lalu meminta-minta kepada manusia.”

Syekh Maulana Muhammad Zakariyyah mengatakan, dari dua kisah ini bisa diketahui dengan benar kapan tawakal itu dibenarkan. 

Barang siapa yang dalam keadaan tangan kosong mampu bersabar, tidak mengadukan keadaannya kepada manusia, dan tidak meminta-minta kepada orang lain, maka yang pasti dibolehkan untuk pergi haji dengan bertawakal.

Dan barangsiapa yang tidak seperti itu, tetapi menjadi beban bagi orang lain, tidak mampu bersabar, dan tidak pandai bersyukur, maka tidak patut baginya untuk pergi haji dengan bertawakal saja tanpa membawa bekal.

IHRAM

Pandemi: Kepastian Janji Allah dan Ujian bagi Orang-Orang Sabar

Ajaran Islam yang paripurna telah mengakomodir seluruh lini kehidupan untuk menjadi pedoman dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak terkecuali dengan kondisi umat manusia dewasa ini yang sedang dihadapkan dengan sebuah musibah besar yang bernama Covid-19.

Sudah satu tahun lebih pandemi ini membersamai kehidupan manusia. Wabah yang kemudian menjelma menjadi musibah yang sangat berat bagi sebagian besar manusia. Dua aspek pokok kehidupan yang paling terkena imbas covid-19 adalah kesehatan dan perekonomian. Seluruh dunia saat ini fokus untuk memperbaiki kondisi kesehatan dengan melakukan berbagai ikhtiar agar terhindar dari virus serta melakukan berbagai upaya agar kondisi perekonomian kembali stabil.

Sebab, kesehatan dan perekonomian bisa menjadi washilah menuju kematian. Orang yang tidak menjaga kesehatan dan orang yang tidak mendapatkan jalan untuk bertahan hidup di tengah-tengah kesulitan ekonomi masa pandemi ini juga rentan terhadap kematian baik yang disebabkan oleh penyakit maupun akibat kelaparan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 155)

Dalam tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa musibah/cobaan telah menjadi keharusan untuk ditimpakan kepada manusia untuk diuji dan memperjelas beda antara orang-orang yang benar dan orang yang berdusta serta antara orang yang sabar dan orang kufur.

Apabila kita telisik lebih rinci bentuk-bentuk musibah tersebut. Maka dapat kita simpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi ujian bagi manusia, yaitu: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa, serta kekurangan buah-buahan. Berbagai ujian tersebut saat ini sedang kita hadapi bersama. Bagaimana cara kita menyikapi berbagai cobaan itu kemudian yang akan menjadi ukuran kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala.

Ujian Ketakutan dan Kematian

Banyak informasi yang kita dengar tentang perkembangan Covid-19 melalui berbagai sumber media. Umumnya kita ketahui bahwa varian virus yang bermutasi semakin cepat dan lebih menular. Maka berbagai perilaku manusia pun ikut berubah menyesuaikan dengan dinamisnya perkembangan virus mulai dari pengetatan protokol kesehatan, pembatasan kegiatan masyarakat, hingga penggunaan double mask yang kini menjadi tren.

Mari sejenak kita renungkan, bukankah kondisi demikian menjadi bukti bahwa manusia saat ini sedang dalam ketakutan? Apakah yang ditakuti sebenarnya?

Tentu saja, kematian. Kekurangan jiwa pada ayat di atas juga dimaknai sebagai hilangnya jutaan nyawa akibat dari Covid-19. Upaya dilakukan oleh manusia agar terhindar dari serangan virus yang mematikan itu merupakan hal yang wajar dan memang kita dianjurkan untuk melakukannya. Namun, tentu saja jika upaya yang dilakukan dengan niat untuk menghindar dari kematian adalah hal yang keliru. Sebab kematian merupakan sesuatu yang pasti. Allah Ta’ala telah menegaskan tentang kematian dalam firman-Nya,

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An-Nisa : 78)

Artinya bahwa dalam kondisi apapun tetap saja kematian menjadi hal yang niscaya bagi umat manusia. Namun, segala ikhtiar untuk menggapai suatu akhir kehidupan yang husnul khotimah sudah barang tentu menjadi inti doa orang-orang yang beriman.

Meletakkan rasa takut di kala musibah yang sedang menimpa semestinya dikuatkan dengan keyakinan bahwa Allah sedang memberikan ujian kepada manusia melalui pandemi ini. Ketakutan yang kita rasakan kiranya merupakan manifestasi dari kekhawatiran akan pahala amal ibadah kita yang masih kurang, sedangkan dosa dan kemaksiatan kita banyak sehingga bekal untuk menghadapi kematian amatlah sedikit.

Oleh karenanya, ketakutan dan kekhawatiran terhadap pandemi kini kiranya dapat membawa kita untuk lebih dekat dengan Allah Ta’ala. Sebab, dalam keadaan yang serba kritis ini, notifikasi kematian dari orang-orang yang kita kenal semakin intens yang semestinya menggerakkan jiwa dan raga ini untuk lebih taat kepada-Nya.

Kelaparan, Kekurangan Harta dan Jiwa

Kondisi pandemi ternyata juga memberikan dampak terhadap hilangnya banyak lapangan pekerjaan. Para pekerja yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kerja serta merta mendapati perputaran roda perekonomian semakin perlahan bahkan ada yang terhenti. Ancaman kelaparan pun menjadi permasalahan baru sebab sumber-sumber ekonomi semakin sulit untuk dicari. Maka, statistik angka kemiskinan di berbagai belahan bumi pun menanjak naik yang dibarengi pula dengan semakin bertambahnya masyarakat miskin sebab pandemi.

Oleh karenanya, tidak jarang kita melihat bendera putih di beberapa rumah sengaja diletakkan di depan halaman pertanda bahwa ahlul bait di dalamnya sedang mengalami permasalahan serius yang berkaitan dengan pangan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS. an-Nahl : 112)

Ayat yang agung ini sangatlah bermakna. Maha Benar Allah, bukankah sebelumnya kita merasakan aman dan tenteram?. Tetapi, tiba-tiba kita menghadapi suatu cobaan kelaparan dan ketakutan melalui musibah wabah yang mematikan yang bahkan hingga saat ini pun kita belum berada pada titik aman. Allah menegaskan alasannya, tiada lain adalah sebab kekufuran kita terhadap nikmat-nikmat Allah Taala dengan kalimat فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ .

Hikmah Mulia di Balik Musibah

Manusia memang cenderung dekat dengan kesalahan dan kekhilafan. Sebagaimana janji Iblis yang senantiasa menggoda manusia hingga hari kiamat.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS, Al-A’râf:16-17)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. (HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244)).

Maka dengan ke-Mahamurahan-Nya, Allah Ta’ala memberikan kepada kita kesempatan untuk mendapatkan pahala yang besar dan ampunan yang melimpah dari-Nya. Di antara cara Allah dalam memberikan pahala dan ampunan tersebut kepada hamba-Nya adalah diberikannya ujian yang berat. Ujian tersebut pula menjadi pertanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Oleh karenanya, kesabaran dalam menghadapi setiap musibah dan ujian yang melanda merupakan ikhtiar untuk mendapatkan rida Allah. Sedangkan orang yang tidak sabar dan tidak rida terhadap ketetapan Allah dalam musibah ini, Allah pun akan murka kepadanya. Naudzubillah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, dihasankan oleh Syekh Al-Albani).

Ujung dari pada memahami hakikat musibah pandemi covid-19 ini tiada lain adalah kesabaran. Sabar pula yang dapat menuntun kita agar mendapatkan rida dan ampunan dari Allah Ta’ala. Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk mengetahui cara bagaimana agar kita dapat mengaplikasikan kesabaran dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam menghadapi wabah ini.

Berkaitan dengan kesabaran, Imam al-Ghazali rahimahullah pernah berkata,

والصبر على اوجه صبر على طاعة الله وصبر على محارمه وصبر على المصيبة

Sabar terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam menjahui larangan-larangan Allah,  (3) sabar dalam menerima musibah. (Mukasyafatul Qulub Hlm 10).

Sabar dalam Melakukan Ketaatan kepada Allah

Umumnya pengertian terhadap sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah mengandung makna bahwa hendaklah kita melaksanakan segala perintah Allah dengan rasa sabar tanpa rasa mengeluh sedikit pun. Akan tetapi, dalam situasi pandemi seperti ini ketika sebelumnya kita sudah mulai merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah di masjid, menghadiri majelis ilmu dan berbagai ibadah syar’i yang bersifat jamaah serta merta kenikmatan ibadah tersebut dengan berat hari harus kita tinggalkan demi keselamatan jiwa dari keganasan virus. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kondisi dan keadaan yang mengharuskan kita melakukannya. Sebagaimana kaidah,

درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح

Menolak sesuatu yang mendatangkan kerusakan didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat.

Maka level kesabaran kita kiranya lebih ter-upgrade dengan sendirinya. Kita harus bersabar untuk tetap taat kepada Allah Ta’ala dalam kondisi apapun. Ibadah di rumah, mengikuti kajian Islam secara online serta melakukan berbagai amaliah lainnya yang lebih individualistik sesuai dengan anjuran para ulama kita hafidzahumullah.

Sabar dalam Menjahui Larangan-Larangan Allah

Begitu juga kesabaran dalam menjauhi larangan-larangan Allah mengandung makna bahwa dalam keadaan perekonomian yang cukup sulit saat ini. Celah-celah untuk berbuat dosa seperti penipuan, pencurian, perjudian dan berbagai bentuk dosa lainnya tetap saja terbuka lebar. Oleh karenanya, kita dituntut untuk menahan diri dan bersabar tidak melakukan kekeliruan itu semua. Masih banyak cara lain yang halal dan lebih berkah untuk mencari nafkah. Kita harus yakin bahwa kasih sayang Allah Ta’ala terhadap orang yang menjaga kesuciannya amatlah besar, bagaimana mungkin pula Allah menelantarkannya?!

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37).

Sabar dalam Menerima Musibah

Adapun kesabaran dalam menghadapi musibah dapat kita wujudkan dengan memahami dengan baik bahwa di balik wabah yang Allah timpakan ini, terdapat pahala yang besar dan ampunan yang luas dari Allah kepada kita. Allah Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk mendapatkan pahala dan ampunan tersebut tanpa batas. Di sisi lain, dengan memahami bahwa notifikasi kematian dalam pandemi ini adalah hal yang nyata. Kita pun wajib bersyukur karena dengannya akan mendorong diri kita untuk senantiasa instrospeksi dalam meningkatkan perbekalan menuju Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita kekuatan sabar, baik dalam ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya, maupun dalam menjauhi larangan-larangan-Nya, serta kesabaran dalam menghadapi musibah, khususnya pandemi covid-19 yang sedang melanda. Semoga dengan seiring berjalannya waktu, kita semakin dekat dalam ketaatan kepada Allah, sehingga dengannya Allah Ta’ala dengan ke-Mahamurahan-Nya mengakhiri ujian musibah ini. Amin.

Sumber: https://muslim.or.id/67693-pandemi-kepastian-janji-allah-dan-ujian-bagi-orang-orang-sabar.html

Nasihat Kematian di Tengah Pandemi

INNALILLAHI WA ILAIHI RAJIUN. Sebulan terakhir ini seringkali kita mendapatkan berita dukacita dari media sosial, online, televisi, dan pengumuman lewat pengeras suara di masjid atas meninggalnya seseorang. Sebenarnya ada ataupun tidak ada pandemi, bahwa kematian itu akan senantiasa ada. Berita tersebut sejatinya sebagai sebuah nasihat tentang kematian.

Kematian akan menyambangi siapa saja yang bernyawa (QS Ali Imran [3]:185), tidak ada tawar menawar, dan masing-masing memiliki batasan waktunya (QS al-A’raf [7]: 34).  Kematian datang bersifat memaksa dan menghampiri setiap manusia meskipun berusaha menghindarinya (QS Ali Imran [3]: 154), mengejar siapapun meski berlindung di balik benteng yang kokoh (QS an-Nisa [4]: 78), mengejar siapapun meskipun lari menghindar (QS al-Jumu’ah [62]: 8), datang secara tiba-tiba (QS Luqman [31]: 34), dan tidak dapat ditunda dan dipercepat (QS al-Munafiqun [63]: 11).

Kematian tidak mengenal syarat, misalnya, yang paling tua, atau yang paling lama sakit, atau yang sudah menikah. Seringkali kita melayat orang yang meninggal dunia, usianya masih muda, atau dalam keadaan tidak sakit, dan atau belum menikah.

Tidak seorang pun tahu kapan datangnya kematian. Manusia dituntut mempersiapkan diri menghadapinya. Nabi ﷺ bersabda;

“Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR Tirmidzi).

Ketika Nabi ﷺ ditanya oleh seorang dari Anshar, “Wahai Nabi, siapakah orang yang paling cerdas dan mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan siap menghadapinya. Mereka orang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan di dunia dan kehormatan di akhirat.” (HR Tirmidzi).

Terkait dahsyatnya kematian (sakaratul maut), Nabi ﷺ bersabda, “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” (HR Tirmidzi). Dalam hadis lain, “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang tersobek?” (HR Bukhari).

Dalam atsar (pendapat) para sahabat Nabi ﷺ. Seperti Ka’ab al-Ahbar berpendapat: “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Lalu, seorang laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itu pun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa.”

Kemudian, Imam Ghozali berpendapat: “Rasa sakit yang dirasa kan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke selu ruh anggota tubuh sehingga bagi orang yang sedang sekarat merasa kan dirinya ditarik-tarik dan dicerabuti dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki.”

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tetapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah ﷺ mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan. (HR Tirmidzi).

Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Semoga saudara-saudara kita yang meninggal dunia, baik sebab Covid-19 maupun tidak, diampuni salah dan dosanya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan. Amin.

*/H. Imam Nur SuharnoPengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Bolehkah Menghina Covid-19 dengan Kata-Kata Kasar?

Bismillahirrahmanirrahim

Wabah Covid-19 telah melumpuhkan ekonomi dunia dan jutaan nyawa melayang melalui sebabnya. Sebagian ada merasa sangat geram dengan pandemi ini. Sehingga munculah ucapan-ucapan serapah atau hinaan kepada virus ini. Di dalam Islam, ternyata hal sedetail ini telah diatur. Menunjukkan kepada manusia bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi etika atau adab.

Dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu’anhu, beliau bercerita,

“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam rumah Ummu Saib atau Ummu Musayyib, kemudian beliau bertanya,

“Mengapa kamu menggigil ya Ummu Saib?”

الحمى لا بارك الله فيها

“Sakit panas, semoga Allah tak memberkahinya.” Jawab Ummu Saib.

Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda,

لا تسبي الحمى فإنها تذهب خطايا بني آدم كما يذهب الكير خبث الحديد

“Janganlah kamu cela penyakit panas. Karena sesungguhnya ia dapat menghilangkan dosa-dosa anak cucu Adam sebagaimana tiupan api pandai besi dapat menghilangkan karat-karat besi” (HR. Muslim).

Hadis di atas menunjukkan larangan mencela penyakit, termasuk dalam hal ini adalah wabah Covid-19. Mengapa hal tersebut bisa dilarang?

Pertama, adanya keberkahan di balik penyakit.

Seperti yang dikabarkan pada hadis di atas, penyakit demam dapat menggugurkan dosa. Bukan hanya demam, bahkan semua penyakit dan musibah dapat menjadi sebab penggugur dosa. Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما أصاب المسلم من همٍّ ولا غم ولا نصب ولا وصب ولا حزن ولا أذى إلا كفَّر الله به من خطاياه حتى الشوكة يشاكها

“Semua kecemasan, kegalauan, rasa capek, sakit, kesedihan dan gangguan yang dialami oleh seorang muslim sampai-sampai duri yang menusuk kakinya adalah penyebab Allah akan menghapus dosa-dosanya” (HR. Bukhori, dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu’anhu).

Kedua, tujuan dari adanya musibah dan penyakit adalah, memberi peluang kepada orang-orang mukmin agar mengamalkan sabar, yang pahalanya tanpa batas (lihat Quran surat Az-Zumar ayat 10). Inilah perintah Allah dan Rasul-Nya. Mencela penyakit sangat bertentangan dengan tujuan ini.

Ketiga, wabah ini adalah bagian dari takdir Allah. Maka menghinanya, sama saja menghina takdir Allah. Dan itu dosa besar.

Tindakan seperti itu bisa berhadapan dengan hadis yang mulia ini,

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء ، وإن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فله السخط

“Sesungguhnya besarnya ganjaran itu sesuai besarnya ujian. Dan sungguh bila Allah Ta’ala mencintai suatu kaum, maka Allah akan mengujinya. Siapa yang rida akan ujian itu, maka baginya keridaan Allah, dan siapa yang marah atau benci terhadap ujian itu, maka baginya kebencian Allah” (HR. Turmudzi, beliau menilai hadis ini Hasan).

Syekh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya tentang hukum ucapan, “Semoga Allah melaknat penyakit ini. Ia telah membuatku tak bisa apa-apa.”

Beliau Rahimahullah menjawab,

وأما من يلعن المرض وما أصابه من فعل الله عز وجل فهذا من أعظم القبائح – والعياذ بالله – لأن لعنه للمرض الذي هو من تقدير الله تعالى بمنزلة سب الله عزوجل فعلى من قال مثل هذه الكلمة أن يتوب إلى الله، وأن يرجع إلى دينه، وأن يعلم أن المرض بتقدير الله، وأن ما أصابه من مصيبة فهو بما كسبت يده، وما ظلمه الله، ولكن كان هو الظالم لنفسه

“Mencela penyakit atau musibah yang mana itu terjadi atas perbuatan Allah Azza wa jalla, ini adalah dosa yang paling besar -semoga Allah melindungi dari dosa seperti ini-. Karena celaannya kepada penyakit yang mana itu terjadi karena perbuatan Allah, itu sama dengan mencela Allah Azza wa jalla. Oleh karena itu, siapa yang pernah mencela penyakit atau musibah, hendaklah bertaubat kepada Allah, kembalilah kepada ajaran agama, serta meyakini bahwa musibah yang menimpanya adalah karena sebab dosanya. Allah sama sekali tidak zalim, namun ia sendiri yang menzolimi dirinya” (Majmu’ Fatawa War Rosa-il As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin 3/126, fatwa nomor 492).

Keempat, celaan tak akan mengubah nasib.

Apakah dengan mengucapkan “Corona b*ngs*t.” “corona anj**g,” virus ini akan mati? Pandemi akan berakhir? Kan tidak!

Maka tak ada gunanya ucapan-ucapan serapah seperti itu. Malah akan mengisi jiwa dengan kemarahan, yang malah berdampak tidak baik bagi kesehatan.

Bukankah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah mengatakan,

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai rahmat.”

Beliau juga bersabda,

مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ

“Diantara tanda baiknya kualitas Islam seseorang  adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi).

Maka daripada menghina, mending berdoa yang baik-baik, agar badai ini segera berlalu, semoga Pandemi berakhir, yang sakit disembuhkan Allah, yang tidak sakit dijaga Allah. Itu lebih bermanfaat, berkhasiat dan mendatangkan energi yang positif.

Wallahul muwaffiq.

***

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/67320-bolehkah-menghina-covid19-dengan-kata-kata-kasar.html

Hukum Memakai Masker Saat Berpuasa

Di antara fungsi dari pemakaian masker adalah agar terlindungi dari pengaruh negatif dari partikel polusi, virus, kuman dan lainnya. Biasanya masker digunakan ketika hendak bepergian. Namun dalam kondisi tertentu, seperti ketika terjadi wabah virus corona, maka masker harus digunakan setiap saat, termasuk ketika sedang berpuasa. Bagaimana hukum memakai masker saat berpuasa?

Memakai masker saat kita sedang berpuasa, hukumnya adalah boleh, tidak masalah. Memakai masker tidak menyebabkan puasa batal atau mengurangi pahala puasa. Bahkan jika memakai masker bisa menghindarkan diri dari masuknya debu ke dalam mulut, atau benda-benda lainnya, maka menutup mulut dengan memakai masker atau lainnya hukumnya dianjurkan, meskipun tidak wajib.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّهُ لَوْ طَارَتْ ذُبَابَةٌ فَدَخَلَتْ جَوْفَهُ أَوْ وَصَلَ إلَيْهِ غُبَارُ الطَّرِيقِ أَوْ غَرْبَلَةُ الدَّقِيقِ بِغَيْرِ تَعَمُّدٍ لَمْ يُفْطِرْ قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَا يُكَلَّفُ إطْبَاقَ فَمِهِ عِنْدَ الْغُبَارِ وَالْغَرْبَلَةِ لان فِيهِ حَرَجًا فَلَوْ فَتْحَ فَمَهُ عَمْدًا حَتَّى دخله الغبار ووصل وجهه فَوَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْبَغَوِيّ وَالْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُمَا قَالَ الْبَغَوِيّ (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ لِأَنَّهُ مَعْفُوٌّ عَنْ جِنْسِهِ (وَالثَّانِي) يُفْطِرُ لِتَقْصِيرِهِ

Ulama Syafiiyah sepakat bahwa jika ada lalat terbang kemudian masuk ke lubang tubuh, atau yang masuk ke lubang tubuh adalah debu jalanan atau ayakan tepung, semuanya tanpa disengaja, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

Ulama Syafiiyah berkata; Orang yang berpuasa tidak dituntut selalu menutup mulutnya ketika ada debu atau ayakan tepung karena hal itu menyulitkan. Jika dia membuka mulutnya dengan sengaja sehingga ada debu yang masuk sampai rongganya, maka ada dua pendapat dalam hal ini, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Baghawi dan Al-Mutawalli dan lainnya.

Imam Al-Mutawalli berkata; Yang paling shahih dari pendapat tersebut adalah tidak batal karena dimaafkan. Kedua, membatalkan karena terjadi kelalaian.

Dengan demikian, memakai masker saat sedang berpuasa hukumnya boleh. Ini apalagi bila memakai masker tersebut sangat dibutuhkan, itu malah dianjurkan. Misalnya, memakai masker dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari masuknya benda-benda ke dalam mulut, menghindarkan diri dari penyakit dan lainnya.

BINCANG SYARIAH

Kapan Pandemi Ini Berakhir?

Pertanyaan “kapan pandemi berakhir” mungkin salah satu hal yang selalu terngiang dalam benak kita. Sejak awal pandemi, seringkali kami mendapatkan pertanyaan semacam ini, entah itu ibu-ibu yang khawatir bagaimanakah anaknya bersekolah; atau para pekerja (pelaku usaha) sektor ekonomi yang khawatir dengan dampak pandemi; atau bahkan rekan sejawat yang juga mempertanyakan sampai kapan kita berada dalam kondisi semacam ini (memakai APD lengkap yang sangat merepotkan).

Berbagai analisis dan prediksi dikemukakan oleh para ahli di bidang ini. Berbagai macam upaya dilakukan untuk menghentikan pandemi ini. Meskipun demikian, sampai hampir tujuh bulan kita melewati hari demi hari pandemi ini, tampaknya belum ada tanda-tanda kapan pandemi ini berakhir.

Bahkan sebaliknya, kita dapati jumlah kasus yang semakin meningkat, jumlah kematian yang semakin bertambah dari hari ke hari, termasuk kematian para tenaga medis, baik itu dokter umum, dokter spesialis, guru besar (profesor), perawat, dan yang lainnya. 

Sebagai seorang muslim, yang beriman kepada Allah Ta’ala, sudah selayaknya kita selalu introspeksi diri, mengapa musibah ini terus berlangsung? Setidaknya, ada dua hal yang patut kita jadikan sebagai bahan renungan dalam kesempatan kali ini:

Setiap musibah adalah karena dosa dan kesalahan kita, seberapa sungguh-sungguh kita istighfar dan taubat?

Allah Ta’ala berfirman,

وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ

“Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syuuraa: 30)

Betul, ilmu pengetahuan (sains) menjelaskan pandemi ini disebabkan oleh virus (SARS-CoV-2) dengan karakter tertentu yang muncul secara alamiah (natural evolution). Kemudian menular dengan cara tertentu pula (droplet, airborne, dan seterusnya). Ini adalah penjelasan dari sisi sains (biologi).

Akan tetapi, kita sebagai orang yang beriman, harus merenungi musibah ini berdasarkan firman Allah Ta’ala di atas. Bahwa setiap musibah yang Allah Ta’ala turunkan, disebabkan oleh dosa dan kesalahan kita sendiri. Sejak awal pandemi, seberapa kesungguhan kita untuk istighfar dan taubat atas dosa dan kesalahan kita sebelumnya? Atau justru kita semakin menambah maksiat kepada Allah Ta’ala di tengah-tengah situasi pandemi ini? 

Oleh karena itu, satu nasihat penting yang hendaknya kita selalu ingat adalah ungkapan,

ما نزل بلاء إلا بذنب ولارفع إلا بتوبة

“Tidaklah musibah itu turun (terjadi), kecuali karena dosa. Dan tidaklah akan diangkat, kecuali dengan taubat.”  

Mengapa kita menunda-nunda taubat di tengah musibah semacam ini, padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk segera bertaubat? Allah Ta’ala mengatakan,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nuur [24]: 31)

Sekali lagi, hendaknya kita renungkan dengan sungguh-sungguh, seberapa serius kita bertaubat kepada Allah Ta’ala sejak awal pandemi?

Jangan-jangan kita lebih bertawakkal kepada sebab (usaha lahiriyyah), bukan kepada Allah Ta’ala?

Hal lain yang juga patut kita renungkan adalah, jangan-jangan selama ini kita lebih bersandar kepada sebab (usaha) yang kita lakukan secara lahiriyyah? Dan kita melupakan pencipta sebab sesungguhnya, yaitu Allah Ta’ala? 

Kita lebih bersandar kepada usaha kita sendiri, semisal cuci tangan, memakai masker, menjaga jarak (social dan physical distancing), dan usaha-usaha sejenis itu. Lalu kita pun merasa aman, kemudian lupa menyandarkan hati kita kepada Allah Ta’ala. 

Padahal, Allah adalah Dzat Yang Maha kuasa, Allah-lah yang mentakdirkan apakah sebab atau usaha kita itu akan bisa mendatangkan manfaat yang kita inginkan? Inilah dua unsur tawakkal, yaitu (1) melakukan usaha lahiriyyah dan (2) menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Jika dia hanya melakukan nomor 1, tanpa nomor 2, berarti ada cacat dalam tauhidnya. Adapun jika hanya melakukan nomor 2, tanpa nomor 1, berarti dia telah kehilangan akal sehat.

Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya, lalu tawakkal kepada Allah ataukah saya lepas saja sambil bertawakkal kepada-Nya?” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Ikatlah dulu untamu itu, baru Engkau bertawakal!” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)

Cuci tangan, jaga jarak, dan memakai masker itu bagaikan “mengikat unta” dalam hadits di atas. Namun, jangan lupakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikutnya, yaitu,

وَتَوَكَّلْ

“Dan bertawakkal-lah!”

Artinya, sandarkanlah dirimu kepada Allah Ta’ala.

Orang yang hanya bersandar sebab (usaha lahiriyyah), kemudian lupa menyerahkan dirinya kepada Allah Ta’ala, adalah orang-orang yang kurang sempurna tauhidnya. Tauhidnya telah ternoda, karena dia lebih bersandar kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah Ta’ala. 

Sekali lagi, di tengah-tengah pandemi ini, kita pun merenungkan kembali, sudah benarkah tawakkal kita kepada Allah Ta’ala?

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Perang dan Wabah: Penutupan Haji Dalam Lintas Zaman

Jauh sebelum virus asal Wuhan, China, yang dikenal dengan Covid-19 membayangi Makkah, sebenarnya berbagai wabah juga pernah menghampiri Makkah. Bahkan, paparan ini dalam catatan sejarah lazim adanya. Wabah penyakit tersebut menimbulkan kematian dengan angka yang tinggi pada umat Muslim dunia yang tengah menunaikan haji.

Di zaman lalu misalnya, Makkah dan Madinah (Tanah Haram) sebagai pusat pelaksanaan ibadah haji kerap dituduh sebagai pusat wabah dunia. Di masa kini pun, begitu tersebar isu bahwa kemasaan Air Zamzam tidak steril maka pemerintah Arab Saudi segera bertindak. Kawasan sumur zamzam langsung direnovasi, produksi, pengemasan, hingga sitribusi di awasi secara ketat. Arab Saudi tidak ingin ibadah haji tercemar dengan isu ancaman kesehatan hingga kemananan dan berbagai hal lain.

Apalagi setiap musim haji, Arab Saudi bisa mendapat devisa hingga sekitar Rp 1000 Triliun. Yang ini berarti hampir setengah besaran APBN Indonesia setiap tahun. Maka tidak akan ada toleransi bagi wabah selama musim haji. ‘No Way’ bagi Arab sebab mereka paham banyak negara yang meminta agar soal haji di urus oleh organisasi konfrensi negara Islam. Iran yang selama ini paling getol menyuarakannya.

                                            ****

Pada masa sekarang, yakni di awal dekade 2010-an, tepatnya pada 2012, keluarga virus corona muncul di Arab Saudi, yakni virus CoV. Penyakitnya disebut sebagai Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Orang di Arab lazim menyebut dengan nama “flu unta”. Makkah sebagai pusat ibadah umat Islam tak lepas dalam penyebaran virus ini.

Hingga saat ini terdapat dugaan kuat bahwa unta Arab atau dromedaris adalah spesies kunci dari penyebaran wabah MERS ke manusia. Sejak muncul pertama kali pada 2012, MERS telah ditularkan ke ribuan orang di lebih dari 26 negara.

WHO menyebut bahwa hingga November 2019, sekitar 2494 kasus dilaporkan terkait MERS, dengan 858 di antaranya sudah meninggal dunia. Sebagian besar kasus MERS terjadi di Arab Saudi.

Namun, jauh sebelum MERS, sejumlah wabah juga sempat membayangi Tanah Suci. Menurut Encyclopedia of Plague and Pestilence from Ancient Times to the Present (2008) yang ditulis George Childs Kohn, kolera menjadi wabah langganan yang selalu datang ke Makkah.

Kolera kerap kali dibawa oleh jamaah haji dari luar Arab Saudi, yang kemudian menularkan penyakit diare akibat infeksi bakteri itu ke jamaah haji dari berbagai belahan dunia lainnya. Negara Rusia, misalnya, pada akhir tahun 1800-an sangat mewaspadai jamaah haji dari negara yang pulang dari Makkah. Mereka melakukan pengawasan secara ketat kepada mereka.

“Makkah (kota suci Islam di Arab Saudi) adalah pusat difusi yang paling rawan dalam penyebaran kolera. Epidemi kolera di sana pecah sebanyak 33 kali antara 1830 dan 1912,” kata Kohn.

Menurut catatan Kohn, Makkah dan ritual ibadah haji tahunannya kerap memiliki “peran” dalam penyebaran kolera ke berbagai belahan dunia. Jamaah yang tertular di Makkah kemudian menularkan kolera ke kampung halamannya. Indonesia pun tidak luput dari kolera yang tertransmisikan di ibadah haji.

Kasus wabah yang salah satu penyebarannya diperbesar oleh aktivitas ibadah haji di Makkah di antaranya kasus wabah kolera Asia 1826-1837. Dua tahun terparah kolera yang menjangkiti Makkah adalah tahun 1831 dan 1865.

“Epidemi kolera paling parah di Makkah meletus pada tahun ritual tahunan haji. Ritual keagamaan mempercepat penyebaran kolera di seluruh Benua Afrika dan Eropa di sepanjang rute transportasi para jamaah,” tulis Kohn. 

Pada 1865-1875, wabah kolera yang kerap dibawa jamaah Muslim India bahkan menular ke 90 ribu jamaah. Sebanyak 30 ribu di antaranya meninggal. Jamaah yang tertular berasal dari Irak, Suriah, Palestina, Turki, dan Mesir. Dari Mesir, kolera ditularkan ke sebagian wilayah Eropa. Kasus kolera serupa terus terjadi, seperti pada 1902 hingga periode 1961-1975.

Selain oleh kolera, Makkah juga pernah dibayangi wabah Asia Afrika Accute Hemmorhagic Conjunctivist (AHC) pada 1969-1971. Pada tahun 1970-an, penyakit mata yang dibawa jamaah haji itu bahkan menular ke Jawa-Bali dan menjadikannya episentrum kedua wabah selain tanah Arab. 

Mundur ke tahun 1348-1349, Makkah juga terdampak Wabah Hitam Maut atau Black Death yang melenyapkan nyawa dua pertiga populasi Eropa saat itu (75 juta). Menurut Kohn, beberapa warga Eropa berusaha melarikan diri dari wabah mematikan ini ke Timur Tengah. Namun, mereka yang terjangkit kemudian menular ke jamaah haji yang mereka temui dalam perjalanan menuju Makkah dan menyebabkan kematian di Makkah.

Maka melihat semua itu pemerintah Arab Saudi masa kini sangat sensitif ketika muncul adanya pandemi wabah Corona. Makkah dan Madinah sampai hari ini diawasi secara ketat. Bahkan Masjidil Haram asih tertutup meski sudah menjelang  musim haji. Dan di sekitar hari ‘H’ pemerintah Arab Saudi menyatakan akan makin mengetatkan orang luar Makkah masuk. Jamaah haji harus terdaftar dan bahkan ketika masuk Makkah  mereka harus mendaftar melaui aplikasi khusus. Jamaah haji dibatasi hanya 10 ribu orang dan hanya boleh dilakukan oleh orang yang berusia di bawah 65 tahun dan tak punya penyakit bawaan.

”Pokoknya nanti berhaji di musim pandemi tak gampang bang. Jamaah begitu diatur ke luar masuk ke Masjidil Haram. Aneka peralatan pun saya dengan dari berita di media massa Arab juga terus dipasang. Dan sangsinya berat bagi yang berani melanggar, bagi warga Arab di denda sampai 1000 real dan bagi warga asing akan didopertasi. Sanksi ini juga berlaku di kota Makkah pada hari-hari ini. Polisi mondar-mandir terus melakukan patroli,” kata Mukimin Indonesia yang kini tinggal di kawasan Aziziah, Makkah.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

IHRAM