Jangan Risau dan Khawatir dengan ”Jatah” Rizki Kita (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya: Jangan Risau dan Khawatir dengan ”Jatah” Rizki Kita (Bag. 1)

Kewajiban kita hanyalah berusaha mencari rizki yang halal dengan senantiasa bertawakkal kepada-Nya

Sekali lagi kami ingin tekankan, bahwa Allah-lah yang menjamin rizki kita di dunia ini. Sampai-sampai Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan rizkinya telah ditetapkan oleh Allah.” (QS. Huud [11]: 6)

Jika binatang saja mendapatkan jaminan demikian, bagaimana lagi dengan manusia?

Allah Ta’ala juga tidak akan mencabut nyawa kita kecuali Allah telah menyempurnakan bagian rizki tersebut untuk kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا

“Sesungguhnya jiwa itu tidak akan mati sehingga sempurnalah rizkinya.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 2144)

Ketika Allah Ta’ala sudah menyatakan demikian, maka kewajiban kita adalah berusaha untuk mencari dan mendapatkan rizki itu dari Allah Ta’ala dari jalan-jalan yang halal. Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ

“Wahai para hamba-Ku, kalian semua adalah lapar kecuali yang Aku beri makan. Maka mintalah makan kepada-Ku niscaya akan Aku beri makan. Wahai para hamba-Ku, kalian semuanya adalah telanjang kecuali yang Aku beri pakaian. Maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya akan Aku beri pakaian.” (HR. Muslim no. 6737)

Yang dimaksud dengan “permintaan” di sini bukanlah sekedar permintaan belaka tanpa melakukan usaha apa-apa. Akan tetapi, permintaan di sini mencakup meminta dengan berdoa kepada Allah agar Allah memberikan makanan dan pakaian kepada kita serta terkandung pula usaha untuk mencari rizki dan karunia dari Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk [67]: 15)

Inilah hakikat tawakkal. Karena tawakkal adalah kita bersandar kepada Allah Ta’ala dengan penuh kepercayaan kepada-Nya untuk meraih apa yang kita cari dan menolak apa yang kita benci disertai dengan mengambil sebab-sebab yang diizinkan oleh syariat(Lihat Al-Qaulul Mufiid, 2: 87)

Dan bukankah Allah sendiri telah menjanjikan, bahwa barangsiapa yang bertawakkal hanya kepada Allah pasti Allah akan menjamin urusan-urusannya?

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3)

Alangkah indahnya hidup ini jika diisi dengan bertawakkal hanya kepada-Nya!!

Jangan berburuk sangka kepada Allah Ta’ala

Oleh karena itu, ketika kita berusaha untuk bertakwa dengan menjalankan ketaatan kepada-Nya kita tidak perlu khawatir apalagi takut kalau-kalau rizki menjadi sempit. Janganlah kita berburuk sangka kepada Allah Ta’ala bahwa Allah akan menelantarkan dan membiarkan kita begitu saja hidup di dunia ini. Kita juga tidak perlu merasa berputus asa dari rahmat Allah yang sedemikian luas kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah mensifati hamba-hamba-Nya yang berputus asa dari rahmat-Nya sebagai hamba-Nya yang tersesat.

Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ

“Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr [15]: 56)

Hal ini karena kalau kita berputus asa dari rahmat Allah maka kita termasuk ke dalam orang-orang yang berburuk sangka kepada Allah Ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

“Berputus asa dari rahmat Allah itu tidak diperbolehkan. Karena hal itu termasuk berburuk sangka kepada Allah. Yang demikian itu bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, karena mengandung unsur celaan terhadap kekuasaan Allah Ta’ala. Karena barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka tidak ada sesuatu pun yang lepas dari kekuasaan-Nya. Ke dua, karena hal itu mengandung unsur celaan terhadap rahmat Allah. Karena barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah itu Maha Penyayang maka tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari rahmat-Nya. Oleh karena itu, berputus asa dari rahmat Allah itu termasuk kesesatan.” (Al-Qaulul Mufiid, 2: 103-104)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50751-jangan-risau-dan-khawatir-dengan-jatah-rizki-kita-bag-2.html

Agar Siap pada Apapun Takdir Allah

DOA memang bisa mengubah takdir. Tapi semuanya tetap berujung pada ketentuan Allah. Beriman pada takdir selalu dengan kedua perspektif manusia yaitu takdir baik dan buruk. Padahal bagi Allah semua berujung kebaikan. Baik dan buruk itu perspektif manusia saja.

Manusia yang beriman seharusnya tak menyerah untuk melakukan perubahan ke arah kebaikan dan di saat yang sama ia berdoa. Berdoa adalah usaha agar keinginan kita diselaraskan dengan keinginan Allah Sang Penentu. Kalau pun tidak atau belum, doa adalah kekuatan untuk mengubah perspektif negatif kita.

Keberpihakan Allah kepada hamba-Nya dalam penentuan takdir bermaksud ketika keinginan kita dikabulkan Allah.

Manusia bisa berada pada empat kondisi, di antaranya:
– yang ia inginkan terjadi = sama dengan keinginan Allah Ta’ala
– yang tidak ia inginkan tidak terjadi
– yang ia inginkan tidak terjadi
– yang tidak ia inginkan terjadi

Sebagai orang beriman kita harus menyiapkan diri menerima keempat kondisi di atas. Doa adalah salah satu sarana menyiapkan diri menerima takdir Allah apapun keputusannya.

Wallahu a’lam. [Ustadz DR. Syaiful Bahri]

INILAH MOZAIK

Mengapa Kita Tak Boleh Malas Berdoa?

PERTAMA adalah karena Allah sendiri yang memerintahkan kita berdoa dan Allah sendiri yang berjanji akan mengabulkannya. Allah sangat senang kepada hambaNya yang senang berdoa karena berdoa bermakna ada sambungan antara hamba dengan Tuhannya.

Kedua adalah karena doa merupakan sebuah kekuatan akan harapan hidup yang lebih baik. Mereka yang tidak pernah berdoa akan mudah untuk pesimis dan, bahkan, tidak berdoa itu adalah potret kepesimisan, keputusasaan, di samping bisa juga sebagai potret kesombongan.

Ketiga adalah karena berdoa itu merupakan tanda percayanya kita kepada Allah; percaya bahwa Allah Tuhan kita, percaya bahwa Allah yang mengatur hidup kita, percaya bahwa Allah tahu persis keadaan dan masalah kita, serta karenanya maka kita percayakan urusan kita kepadaNya. Sungguh keimanan yang indah.

Ada tiga kemungkinan jawaban Allah akan doa yang kita panjatkan. Pertama, iya, Aku kabulkan segera atau sekarang. Kedua, iya, Aku kabulkan, tapi tidak sekarang. Ada waktu yang lebih indah dan lebih tepat untukmu. Ketiga, Aku memiliki rencana yang lebih indah untukmu. Jadi bukan yang engkau pinta yang Aku berikan, namun yang lebih baik dari yang engkau pinta.

Betapa Rahman Rahimnya Allah Tuhan kita, betapa baiknya Allah Tuhan kita. Namun, begitu terbatas pengetahuan kita. Teruslah berbaik sangka kepada Allah dan tetaplah berdoa serta memasrahkan diri kita kepada Allah. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi |

INILAH MOZAIK

Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya: Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil (Bag. 1)

Apakah dianjurkan untuk memanjangkan ghurah dan tahjiil?

Dalam pembahasan sebelumnya telah disampaikan pada ghurrah adalah cahaya putih pada wajah; sedangkan tahjiil adalah cahaya putih di tangan dan kaki pada hari kiamat yang disebabkan oleh basuhan air wudhu.

Mengingat keutamaan tersebut, sebagian fuqaha (ulama ahli fiqh) berpendapat dianjurkannya memanjangkan ghurrah dan tahjiil ketika berwudhu [1]. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memperluas area yang terkena basuhan air. Maksudnya, ketika membasuh wajah, wajah dibasuh sampai terkena rambut; ketika membasuh tangan, tangan dibasuh sampai pundak/ketiak (lengan atas); dan ketika membasuh kaki, kaki dibasuh sampai betis (tidak cukup sampai dua mata kaki).

Hal ini adalah berdasarkan riwayat dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan dari Nu’aim bin ‘Abdillah, beliau berkata,

أَنَّهُ رَأَى أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ حَتَّى كَادَ يَبْلُغُ الْمَنْكِبَيْنِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَّى رَفَعَ إِلَى السَّاقَيْنِ، ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ، [ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ ]

“Aku melihat Abu Hurairah berwudlu, dia membasuh muka dan membaguskannya, membasuh tangan kanannya hingga lengan atas serta membasuh tangan kirinya hingga lengan atas. Setelah itu mengusap kepala, membasuh kaki kanannya hingga betis dan membasuh kaki kirinya hingga betis. Kemudian berkata, ‘Seperti inilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu.” Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Kalian akan bersinar pada hari kiamat disebabkan karena bekas wudhu”, [barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah].” (HR. Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246. Lafadz hadits ini milik Muslim)

Tentang perkataan dalam tanda kurung siku pada hadits di atas, yaitu “barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah”, Al-Hafidz Al-Mundziri berkata,

“Sesungguhnya perkataan “barangsiapa dari kalian yang mampu … ” sampai selesai, itu hanyalah perkataan sisipan dari perkataan Abu Hurairah, sehingga statusnya mauquf (maksudnya, perkataan sahabat Abu Hurairah dan bukan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hal ini telah disebutkan oleh banyak ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.” (Shahih At-Targhiib wa At-Tarhiib, 1: 136-137)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah memberikan komentar atas perkataan Al-Mundziri tersebut dengan mengatakan,

“Inilah yang telah ditegaskan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan juga muridnya, yaitu Syaikh An-Naaji.” (Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, 3: 106)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

فهذا الحديث إذا قرأته فإنك تظن أنه من قول الرسول صلى الله عليه وسلّم، ولكن الواقع أن الجملة الأخير ليست من كلام النبي صلى الله عليه وسلّم وهو قوله: “فمن استطاع منكم أن يطيل غرته وتحجيله فليفعل” بل هي مدرجة من كلام أبي هريرة

“Hadits ini, jika Engkau baca, Engkau menyangka bahwa hadits itu merupakan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (seluruhnya). Akan tetapi faktanya, kalimat terahir bukanlah termasuk bagian dari ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu kalimat, “barangsiapa dari kalian yang mampu memperluas sinar tersebut, maka lakukanlah.” Kalimat ini statusnya mudraj, yaitu sisipan berupa perkataan dari Abu Hurairah.” (Syarh Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah, hal. 111)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata,

ولو صحت هذه الجملة , لكانت نصاً على استحباب إطالة الغرة والتحجيل لا على إطالة العضد

“Seandainya kaliamt tersebut shahih (dari Nabi), maka itu adalah dalil tegas dianjurkannya memanjangkan ghurrah dan tahjiil, tapi bukan memanjangkan (basuhan sampai) lengan atas (karena lengan atas tidak masuk dalam istilah ghurrah dan tahjiil, pent.)” (Majmu’ Fataawa Al-Albani, 1: 40 [Asy-Syamilah])

Karena perkataan di atas adalah sisipan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, maka –Wallahu a’lam-, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah tidak dianjurkannya perkara tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ولا يستحب إطالة الغرة وهو مذهب مالك ورواية عن أحمد

“Dan tidak dianjurkan memanjangkan ghurrah, inilah pendapat Imam Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.” (Al- Fataawa Al-Kubra, 5: 302)

Di antara alasan yang bisa dijadikan sebagai bantahan adalah bahwa ghurrah itu vahaya pada wajah, sehingga tidak mungkin dipanjangkan. Jika membasuh wajah dilanjutkan sampai rambut kepala, itu sudah tidak ghurrah lagi.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وكان شيخنا يقول هذه اللفظة لا يمكن أن تكون من كلام رسول الله فإن الغرة لا تكون في اليد لا تكون إلا في الوجه وإطالته غير ممكنة إذ تدخل في الرأس فلا تسمى تلك غرة

“Guru kami berkata bahwa kalimat ini tidak mungkin bagian dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ghurrah itu letaknya tidak di tangan, ghurrah itu tidak ada kecuali hanya di wajah saja. Sehingga memanjangkan ghurrah itu tidak mungkin, karena (jika dipanjangkan) akan masuk ke daerah kepala. Sehingga tidak bisa disebut ghurrah lagi.” (Haadil Arwaah, 1: 138)

Sebagian ulama yang menganjurkan juga berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ، حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ

“Perhiasan seorang mukmin sampai pada bekas wudhunya.” (HR. Muslim no. 250)

Dan argumen ini juga dibantah oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dengan mengatakan,

وقد احتج بهذا من يرى استحباب غسل العضد وإطالته والصحيح انه لا يستحب وهو قول أهل المدينة وعن أحمد روايتان والحديث لا تدل على الإطالة فإن الحلية إنما تكون في زينة في الساعد والمعصم لا في العضد والكتف

“Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini untuk mengatakan dianjurkannya membasuh lengan atas dan memanjangkannya (sampai pundak, pent.). Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa itu tidak dianjurkan. Pendapat ini adalah pendapat penduduk Madinah dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad. Sedangkan hadits tersebut tidak menunjukkan dianjurkannya memanjangkan basuhan, karena yang disebut dengan “hilyah” (perhiasan) itu hanyalah perhiasan di lengan bawah dan pergelangan tangan, bukan di lengan atas dan pundak.” (Haadil Arwaah, 1: 137)

Selain itu, alasan lain adalah bahwa tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan dianjurkannya hal ini.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata,

فإذا لم يثبت في الشرع الإطالة , لم يجز الزيادة عليه , كما لا يخفى

“Ketika tidak terdapat dalil dari syariat (dianjurkannya) memanjangkan basuhan (anggota wudhu), maka tidak boleh menambah (memanjangkan) basuhan anggota wudhu, sebagaimana hal ini adalah perkara yang sudah jelas.” (Majmu’ Fataawa Al-Albani, 1: 39 [Asy-Syamilah])

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50755-ciri-khas-umat-muhammad-pada-hari-kiamat-ghurrah-dan-tahjiil-bag-2.html

Setelah Taubat, Bagaimana Dengan Hartanya Yang Haram?

Soal:

Saya memiliki harta yang haram, namun saya sudah bertaubat kepada Allah. Lalu apa yang mesti saya lakukan terhadap harta saya yang haram tersebut?

Syaikh Abdul Karim Al Khudhair menjawab:

من تاب تاب الله عليه، والتوبة تهدم ما كان قبلها، وعليه أن يتخلص من هذا المال الحرام إذا كان له أصحاب إذا كان مسروقًا أو مغصوبًا يرده على أصحابه، وإذا كان بسبب عقود ومعاوضات وعقود محرمة فيتخلص منه ويتصرف فيه بنية التخلص، لا بنية التقرب إلى الله -جل وعلا-؛ لأن الله طيب لا يقبل إلا طيبًا.

Barangsiapa yang bertaubat kepada Allah, Allah akan menerima taubatnya. Dan taubat itu menghapus dosa-dosa yang sebelumnya ia lakukan. Dan ia wajib melepaskan diri dari semua harta haram yang ada padanya jika memang itu milik orang lain. Jika harta tersebut hasil mencuri atau merampok maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.

Jika harta haram tersebut berasal dari transaksi yang haram maka wajib melepaskan diri dari harta tersebut dan menyalurkannya kepada pihak lain dengan niat melepaskan diri darinya tidak boleh dengan niat taqarrub*) kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Karena Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.

***

*) Maksudnya jika disalurkan kepada orang miskin, maka niatnya semata-mata ingin melepaskan diri dari harta tersebut, tidak boleh dengan niat sedekah.

___

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/66827

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/26596-fatwa-ulama-setelah-taubat-bagaimana-dengan-hartanya-yang-haram.html

Ilmu Agama Itu Lebih Berharga daripada Harta Benda

Kebanyakan kita tentu menghendaki agar kita bisa hidup mapan dan berkecukupan. Kita ingin dapat menghidupi diri sendiri beserta keluarga besok dan tidak bergantung kepada orang lain. Dan lebih dari itu, mungkin kita menghendaki agar bisa hidup dengan harta yang melimpah ruah dan tidak sempit rizkinya.

Sebagian orang menjadikan harta dan kekayaan yang dimiliki sebagai standar kebahagiaan hidup. Kita baru merasa tenang dan bahagia ketika bisa hidup dengan serba berkecukupan dengan harta yang melimpah. Hidup terjamin dengan rizki berupa harta yang senantiasa mengalir tiada henti. Mendapatkan gaji yang mengalir setiap bulannya.

Pada hakikatnya, ilmu itulah kekayaan yang sesungguhnya, bahkan ilmu itu lebih baik, lebih berharga, dan lebih mahal daripada harta.

Tanpa ragu lagi, ilmu agama (ilmu syar’i) itu lebih mulia dan lebih mahal daripada harta jika ditinjau dari beberapa sisi berikut ini.

Pertama, ilmu agama adalah warisan para Nabi. Sedangkan harta adalah warisan orang-orang jahat, orang-orang yang melampaui batas, pelaku dosa besar dan kefasikan (misalnya, Qarun).

Ke dua, ilmu agama itu akan menjaga dan melindungi pemiliknya di dunia dan di akhirat. Sedangkan harta tidaklah bisa melindungi pemiliknya. Bahkan sebaliknya, pemiliknya-lah yang harus repot dan tersibukkan menjaga dan memelihara harta tersebut dalam bank atau gudang-gudang penyimpanan.

Ke tiga, ilmu agama yang bermanfaat (al-‘ilmu an-naafi’) tidaklah Allah berikan kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertakwa. Adapun harta, maka Allah memberikannya baik kepada hamba-Nya yang muslim ataupun kafir, yang berbuat baik maupun buruk dan yang shalih ataupun yang jahat.

Ke empat, ilmu agama tidaklah berkurang ketika diinfakkan, diamalkan, atau diajarkan kepada orang lain. Adapun harta, dia akan berkurang dengan diberikan kepada orang lain. [1]

Ke lima, ilmu agama akan memberikan manfaat kepada pemiliknya meskipun sudah meninggal dunia. Adapun harta, maka hartanya tidak ikut masuk ke dalam kubur pemiliknya ketika meninggal dunia. [1]

Ke enam, pemilik ilmu agama tetap diingat-ingat dan disebut-sebut di antara manusia meskipun telah meninggal. Adapun pemilik harta, apabila telah meninggal, dia tidak lagi disebut-sebut namanya. Hal ini jika dia selamat dari cacian, celaan dan makian orang-orang karena kebakhilannya.

Ke tujuh, pemilik ilmu syar’i akan diberi pahala dan diberi balasan karena setiap masalah yang dia pelajari karena Allah, yang dia ajarkan kepada manusia, atau yang dia amalkan. Adapun pemilik harta, maka dia akan ditanya: (1) dari mana hartanya diperoleh? (2) Dan ke mana hartanya diinfakkan?

Ke delapan, ilmu itu sebagai hakim bagi harta, dan harta itu diadili oleh ilmu sebagaimana dalam zakat, warisan, dan nafkah. Namun tidak sebaliknya.

Ke sembilan, pemilik ilmu itu akan bertambah rasa takutnya kepada Allah dan akan diangkat derajatnya di sisi Allah Ta’ala setiap kali bertambah ilmu agama pada dirinya. Adapun pemilik harta, setiap kali bertambah hartanya, maka akan semakin bertambahlah pula kejahatan dan kesesatannya, serta semakin menjauh dari Allah, kecuali sedikit di antara mereka yang mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. (Lihat Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’ihal. 229-230)

Nikmat harta bukanlah tanda bahwa Allah Ta’ala mencintai kita

Selain itu, perlu kita ketahui bahwa nikmat harta yang Allah Ta’ala berikan kepada kita bukanlah tanda bahwa Allah mencintai kita. Karena nikmat berupa harta tersebut juga Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang musyrik dan kafir. Bahkan bisa jadi, orang-orang kafir itu lebih banyak hartanya daripada kita.

Oleh karena itu, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menyebut nikmat harta ini sebagai suatu kenikmatan yang sifatnya nisbi (relatif) semata, tidak mutlak. Karena nikmat ini hanya terbatas di dunia, tidak di akhirat. Demikian pula nikmat-nikmat lain seperti badan yang sehat, kedudukan yang tinggi di dunia, banyaknya anak, dan istri yang cantik. (Lihat Ijtima’ Al-Juyuusy Al-Islamiyyah, hal. 6)

Bahkan sebaliknya, bisa jadi kenikmatan berupa harta ini adalah bentuk istidroj (hukuman dari sisi yang tidak kita sadari) dari Allah Ta’ala sehingga manusia semakin tersesat dan semakin menjauh dari jalan-Nya yang lurus. Atau bisa jadi merupakan bentuk ujian dari Allah Ta’ala kepada manusia.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

“Ketika nikmat yang sifatnya nisbi merupakan suatu bentuk istidroj bagi orang kafir yang dapat menjerumuskannya ke dalam hukuman dan adzab, maka nikmat itu seolah-olah bukanlah suatu kenikmatan. Nikmat itu justru merupakan ujian sebagaimana istilah yang Allah Ta’ala berikan di dalam kitab-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ؛ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ؛ كَلَّا

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Adapun bila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rizkinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak!” (QS. Al-Fajr [89]: 15-17)

Maksudnya, tidaklah setiap orang yang dimuliakan dan diberi nikmat oleh Allah di dunia berarti Allah benar-benar memberikan nikmat kepadanya. Bisa jadi hal itu merupakan ujian dan cobaan dari Allah bagi manusia. Dan tidaklah setiap yang Allah sempitkan rizkinya, dengan memberinya rizki sekadar kebutuhannya dan tidak dilebihkan, berarti Allah menghinakannya. Akan tetapi, Allah menguji hamba-Nya dengan kenikmatan sebagaimana Allah juga menguji hamba-Nya dengan kesulitan (kesempitan).” (Lihat Ijtima’ Al-Juyuusy Al-Islamiyyah, hal. 6)

Oleh karena itu, para salaf dahulu, mereka tidak mau kalau ilmu agamanya itu ditukar dengan harta benda. Mereka tidak mau kalau ilmu yang dia miliki itu ditukar dengan sesuatu yang lebih rendah nilainya.

Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata,

“Aku bersama Ahmad bin Abu Imran ketika ada seorang yang kaya raya lewat. Aku memandangnya dengan serius. Padahal aku sedang belajar bersamanya.

Dia bertanya kepadaku, “Seolah-olah Engkau berpikir tentang harta yang dimilki oleh orang itu?”

Aku menjawab, “Ya.”

Dia berkata, “Apakah Engkau mau kalau Allah mengganti ilmu yang Engkau miliki dengan harta yang dia punya? Sehingga Engkau hidup sebagai orang kaya yang bodoh dan dia hidup sebagai orang miskin yang berilmu?”

Maka aku menjawab, “Aku tidak mau mengganti ilmu yang aku miliki dengan harta yang dia punya. Karena ilmu itu kekayaan meski tanpa harta, kemuliaan meski tanpa pendukung, dan kekuasaan meski tanpa pasukan.” (Al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 225-226)

Itulah kekayaan dan harta yang seharusnya kita cari dalam kehidupan ini. Itu pula harta yang seharusnya kita inginkan. Kita hanya bisa berdoa, semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk bersemangat mencari kekayaan itu.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50749-ilmu-agama-itu-lebih-berharga-daripada-harta-benda.html

Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Hakikat Tauhid adalah Kalimat Laa ilaaha illallah (Bag. 2)

Perhatian kita harus ditujukan untuk mendakwahkan tauhid uluhiyyah

Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya,”Untuk apa penulis membahas hal ini? Kalau memang hakikat tauhid adalah tauhid uluhiyyah, lalu apa kepentingannya?”

Maksud penulis dari penjelasan ini dengan mengutip perkataan dari beberapa ulama adalah untuk menjelaskan bahwa tauhid inilah yang seharusnya menjadi titik perhatian kita semua dalam kehidupan kita, termasuk ketika mendakwahkan tauhid. Hal ini sekaligus untuk menjelaskan kesalahan sekelompok orang yang lebih mementingkan dan mengutamakan dakwah kepada tauhid rububiyyah, dan berhenti di situ saja tanpa menjelaskan kepada umat tentang hakikat tauhid yang sebenarnya, yaitu tauhid uluhiyyah.

Contohnya adalah belasan tahun yang lalu ketika banyak bermunculan VCD-VCD dan juga buku-buku yang intinya mengajak masyarakat untuk merenungi keajaiban dan keindahan alam semesta ini. Misalnya VCD atau buku tentang keajaiban di dalam sel, sistem pertahanan tubuh manusia, proses penciptaan manusia, dan juga keajaiban pada semut, dan binatang-binatang lainnya. Dengan merenungi itu semua, mereka bermaksud untuk menunjukkan bahwa di balik semua keajaiban itu pasti terdapat Dzat Yang Maha pencipta dan Maha kuasa atas segala sesuatu. 

Hal ini sekaligus mereka gunakan untuk membantah para pengikut teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada tidaklah “diciptakan secara khusus”, akan tetapi merupakan hasil dari “proses alamiah” melalui proses seleksi alam, adaptasi, dan mutasi selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. VCD-VCD tersebut kemudian sering ditayangkan kepada anak-anak dan juga orang dewasa melalui forum-forum pengajian dan juga forum-forum pertemuan lainnya. 

Atau fenomena lainnya, yaitu diselenggarakannya acara outbond dengan naik gunung atau ke tempat-tempat lainnya, untuk merenungi keindahan alam tersebutKarena dengan naik gunung atau naik tebing kemudian berkemah, maka akan tampaklah keindahan dan keteraturan alam semesta ini, yang semuanya itu menunjukkan adanya Pencipta alam semesta ini, yaitu Allah Ta’ala.

Penulis sama sekali tidak bermaksud untuk mengecilkan atau meremehkan usaha yang telah mereka lakukan tersebut. Namun yang penulis sayangkan adalah, ketika usaha mereka hanya sampai pada mengenalkan tauhid rububiyyah saja, kemudian berhenti dan selesai, serta tidak melanjutkannya dengan mendakwahkan tauhid uluhiyyah. 

Hal ini karena hakikat tauhid yang sebenarnya bukanlah tauhid rububiyyah, akan tetapi tauhid uluhiyyah. Inti dakwah para Rasul sejak zaman Nuh ‘alaihis salaam sampai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pada tauhid rububiyyah, akan tetapi pada tauhid uluhiyyah. Penyelewengan yang banyak terjadi pada umat manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang ini, bukanlah pada masalah rububiyyah, tetapi dalam masalah uluhiyyah. 

Selain itu, keyakinan bahwa Allah-lah Dzat Yang Maha mencipta dan Maha mengatur alam semesta adalah keyakinan dan fitrah yang telah dimiliki oleh setiap orang. Bahkan orang yang paling kafir sekalipun, yaitu Fir’aun, mengakui hal ini. Adapun pernyataan Fir’aun bahwa dia-lah Tuhan alam semesta ini, hanyalah karena kesombongan yang ada pada dirinya, padahal sebenarnya hatinya mengakui bahwa Allah-lah Yang Maha pencipta. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala ketika menceritakan perkataan Musa ‘alaihis salaam kepada Fir’aun, 

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا

“Musa menjawab, ’Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata’.” (QS. Al-Isra’ [17]: 102)

Dan apabila kita membaca Al Qur’an, maka akan kita jumpai ayat-ayat yang menunjukkan bahwa konsekuensi selanjutnya dari keimanan terhadap rububiyyah Allah adalah beriman terhadap uluhiyyah-Nya. Dan Allah pun berdalil dengan keimanan orang-orang musyrik terhadap tauhid rububiyyah untuk memerintahkan mereka agar beriman kepada tauhid uluhiyyah dan mengamalkannya

Misalnya, perintah pertama dalam ayat Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ؛ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 21-22)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam [19]: 65) 

Oleh karena itu, apabila kita hanya sibuk mendakwahkan tauhid rububiyyah, tanpa menjelaskan tauhid uluhiyyah dan lawannya yaitu syirik dalam masalah uluhiyyah, maka umat ini akan menyangka bahwa tauhid rububiyyah inilah yang merupakan inti dari ajaran agama Islam. Mereka juga akan salah paham dengan meyakini bahwa seseorang baru disebut sebagai seorang musyrik jika tidak meyakini adanya Allah Ta’ala. Adapun jika mereka masih meyakini adanya Allah Ta’ala, mereka tetap disebut sebagai seorang muslim, meskipun beribadah kepada kubur atau percaya kepada dukun. 

Selain itu, berhenti hanya pada tauhid rububiyyah inilah yang menjadi sumber asal kesesatan sekte-sekte yang menyimpang dalam agama Islam seperti sekte khawarij, syi’ah rafidhah, mu’tazilah, tasawwuf, dan juga asy’ariyyah. Hakikat tauhid yang mereka pahami adalah tauhid rububiyyah, sehingga tidak aneh jika mereka memaknai “laa ilaaha illallah”  dengan “Tidak ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta kecuali Allah”. Mereka tidak mengetahui lebih daripada makna itu, meskipun mereka mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”, mengumandangkannya ketika adzan, dan menyatakannya ketika shalat. Akan tetapi, mereka tetap tidak mengetahui makna yang benar dan juga tidak mengetahui syarat-syaratnya. 

Karena yang mereka pahami dari tauhid adalah tauhid rububiyyah, maka kita tidak heran ketika mendapati pengikut-pengikut sekte tersebut yang menyembah kubur, dan meyakini bahwa para wali dalam sekte mereka memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib dan dapat mengatur alam ini. Bahkan saking parahnya, mereka sampai terjatuh ke dalam syirik dalam tauhid rububiyyah. Semuanya karena kebodohan mereka tentang hakikat tauhid yang menjadi inti dakwah para Rasul dan juga kebodohan tentang makna yang benar dari “laa ilaaha illallah”, sesuatu yang diketahui oleh orang-orang musyrik zaman dahulu seperti kaum kafir Quraisy. 

Hal ini karena sebenarnya di antara pengikut sekte tersebut, seperti syi’ah rafidhah dan sufi, terdapat orang-orang yang hanya ingin menghancurkan Islam. Orang-orang yang menyimpang tersebut, dengan berpakaian sebagai seorang muslim dan bertingkah seolah-olah sebagai seorang ahli ibadah dan ahli zuhud, mereka menyebarkan ideologi syirik, hulul (bahwa Allah dapat menitis pada mahluk), dan wihdatul wujud (bahwa segala sesuatu yang ada pada hakikatnya adalah Allah). 

Semua ideologi ini menyebar di kalangan kaum sufi. Sampai-sampai tidak ada sebuah kelompok sufi secara keseluruhan di muka bumi ini kecuali pada saat ini terjatuh ke dalam syirik, hulul, dan wihdatul wujud. Meskipun ada beberapa individu yang mungkin terbebas dari penyimpangan ini, namun sebagian besar orang dari sekte ini tidak selamat dari kesesatan ini. Sehingga mereka meyakini bahwa para wali mengetahui hal-hal yang ghaib dan dapat mengontrol alam semesta ini. Di antara mereka ada yang berdoa, menyembelih, dan memohon pertolongan kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kita pun memohon petunjuk dan hidayah kepada Allah Ta’ala. [1]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50671-hakikat-tauhid-adalah-kalimat-laa-ilaaha-illallah-bag-3.html

Ciri Khas Umat Muhammad pada Hari Kiamat: Ghurrah dan Tahjiil (Bag. 1)

Wudhu merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Wudhu merupakan sebab kecintaan Allah Ta’ala kepada kita, sebab terhapusnya dosa, dan juga di antara sebab masuk ke dalam surga-Nya. Dan juga termasuk keutamaan wudhu adalah bahwa orang-orang yang rutin berwudhu ketika di dunia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil.

Ciri khas umat Muhammad adalah memiliki ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat

Di antara ciri khas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat adalah memiliki ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ حَوْضِي أَبْعَدُ مِنْ أَيْلَةَ مِنْ عَدَنٍ لَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ الثَّلْجِ، وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ بِاللَّبَنِ، وَلَآنِيَتُهُ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ النُّجُومِ وَإِنِّي لَأَصُدُّ النَّاسَ عَنْهُ، كَمَا يَصُدُّ الرَّجُلُ إِبِلَ النَّاسِ عَنْ حَوْضِهِ ؛ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَعْرِفُنَا يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: نَعَمْ لَكُمْ سِيمَا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ مِنَ الْأُمَمِ تَرِدُونَ عَلَيَّ غُرًّا، مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ

“Sesungguhya telagaku lebih jauh daripada jarak kota A`ilah dengan kota ‘Adn. Sungguh ia lebih putih daripada salju, dan lebih manis daripada madu yang dicampur susu. Dan sungguh, cangkir-cangkirnya lebih banyak daripada jumlah bintang. Dan sungguh, aku menghalau manusia darinya sebagaimana seorang laki-laki menghalau unta orang lain dari telaganya.”

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Engkau mengenal kami pada waktu itu?”

Beliau menjawab, “Ya, aku mengenal. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat-umat lain. Kalian muncul dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil disebabkan bekas air wudhu.” (HR. Muslim no. 247)

Berdasarkan hadits di atas, para ulama berselisih pendapat tentang manakah yang menjadi ciri khas umat Muhammad, apakah syariat wudhu ataukah adanya ghurrah dan tahjiil?

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

وقد استدل جماعة من أهل العلم بهذا الحديث على أن الوضوء من خصائص هذه الأمة زادها الله تعالى شرفا وقال آخرون ليس الوضوء مختصا وإنما الذي اختصت به هذه الأمة الغرة والتحجيل

“Sejumlah ulama berdalil berdasarkan hadits ini bahwa (syariat) wudhu merupakan kekhususan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Ta’ala tambahkan sebagai kemuliaan umat ini (atas umat sebelumnya, pen.). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa wudhu bukanlah kekhususan umat Muhammad. Yang menjadi kekhususan umat Muhammad adalah ghurrah dan tahjiil.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 135-136)

Pendapat ke dua adalah pendapat yang lebih tepat karena terdapat riwayat bahwa wudhu telah disyariatkan pada umat-umat sebelumnya, sehingga bukanlah menjadi kekhususan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana diriwayatkan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam ketika hijrah bersama Sarah, kemudian memasuki suatu kampung yang dipimpin oleh raja yang bengis. Dalam hadits yang panjang tersebut dikisahkan,

فَأَرْسَلَ بِهَا إِلَيْهِ فَقَامَ إِلَيْهَا، فَقَامَتْ تَوَضَّأُ وَتُصَلِّي، فَقَالَتْ: اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ آمَنْتُ بِكَ وَبِرَسُولِكَ، وَأَحْصَنْتُ فَرْجِي، إِلَّا عَلَى زَوْجِي فَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيَّ الكَافِرَ

“ … Kemudian Sarah dibawa menghadap raja untuk hidup bersamanya. Maka Sarah berwudhu lalu shalat seraya berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku beriman kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu dan aku memelihara kemaluanku, kecuali untuk suamiku maka janganlah Engkau satukan aku dengan orang kafir ini … ” (HR. Bukhari no. 2217)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وفيه أن الوضوء لا يختص بهذه الأمة خلافا لمن زعم ذلك وإنما الذي يختص بها الغرة والتحجيل في الآخرة وقد تقدم في قصة إبراهيم أيضا مثل ذلك في خبر سارة مع الجبار والله أعلم

“Dalam hadits ini terkandung faidah bahwa wudhu bukanlah kekhususan umat ini, berbeda dengan orang-orang yang menyangka demikian. Yang menjadi kekhususan umat ini hanyalah ghurrah dan tahjiil pada hari kiamat. Telah lewat dalam kisah Ibrahim semisal ini, yaitu tentang kisah Sarah bersama raja yang bengis, wallahu a’lam.” (Fathul Baari, 6: 483)

Lalu, apa itu ghurrah dan tahjiil?

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

قال أهل اللغة الغرة بياض في جبهة الفرس والتحجيل بياض في يديها ورجليها قال العلماء سمي النور الذي يكون على مواضع الوضوء يوم القيامة غرة وتحجيلا تشبيها بغرة الفرس

“Ahli bahasa berkata, “Ghurrah adalah tanda putih di dahi kuda. Sedangkan tahjiil adalah tanda putih di kedua tangan dan kaki kuda.” Para ulama berkata, “Cahaya yang terdapat pada anggota wudhu pada hari kiamat disebut ghurrah dan tahjiil, karena menyerupai ghurrah yang dimiliki kuda.”” (Syarh Shahih Muslim, 3: 135)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وأصل الغرة لمعة بيضاء تكون في جبهة الفرس

“Makna asal dari ghurrah adalah tanda berwarna putih yang terdapat di dahi kuda.” (Fathul Baari, 1: 236)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah juga berkata,

والمراد بها هنا النور الكائن في وجوه أمة محمد صلى الله عليه وسلم

“Yang dimaksud (dengan ghurrah) adalah cahaya putih yang terdapat pada wajah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fathul Baari, 1: 236)

Dari penjelasan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa ghurrah dan tahjiil adalah cahaya putih pada wajah, tangan, dan kaki (anggota wudhu), dan merupakan ciri khas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak dimiliki oleh umat-umat sebelumnya. Yang dimaksud dengan “umat Muhammad” di sini adalah ummatul ijaabah, yaitu umat Muhammad yang menerima dakwah beliau dan beriman kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan umat beliau yang kafir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّكُمْ تَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ

“Sesungguhnya kalian akan datang pada hari kiamat dalam keadaan memiliki ghurrah dan tahjiil karena bekas air wudhu.”

Ini adalah sufat (ciri) orang-orang yang mendirikan shalat. Lalu, orang-orang mukallaf selain mereka, yaitu orang yang meninggalkan shalat dan anak-anak kecil, dapat dikenali dengan ciri apa?”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، هَذَا الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ إنَّمَا يُعْرَفُ مَنْ كَانَ أَغَرَّ مُحَجَّلًا وَهُمْ الَّذِينَ يَتَوَضَّؤُونَ لِلصَّلَاةِ. وَأَمَّا الْأَطْفَالُ فَهُمْ تَبَعٌ لِلرَّجُلِ. وَأَمَّا مَنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ قَطُّ وَلَمْ يُصَلِّ: فَإِنَّهُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يُعْرَفُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Hadits ini adalah dalil bahwa yang dikenali hanyalah yang memiliki ghurrah dan tahjiil, yaitu orang-orang yang berwudhu untuk mendirikan shalat. Adapun anak-anak kecil, maka mereka mengikuti laki-laki dewasa. Sedangkan orang-orang yang tidak berwudhu sama sekali dan tidak shalat sama sekali, maka hadits ini dalil bahwa mereka tidak akan dikenali pada hari kiamat.” (Majmu’ Al-Fataawa, 21: 171)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50753-ciri-khas-umat-muhammad-pada-hari-kiamat-ghurrah-dan-tahjiil-bag-1.html

Adab Berinteraksi dengan Wanita di Internet

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus

Soal:

Apa hukum menjadi pengajar atau da’i yang mengajarkan pelajaran agama yang pesertanya terdiri dari lelaki dan wanita, melalui media tulisan di internet?

Jawab:

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد

Berinteraksi, berkomunikasi verbal, berkomunikasi melalui tulisan ataupun verbal dan tulisan sekaligus, terhadap wanita ajnabiyah (non-mahram) itu merupakan bahaya yang besar dan nyata bagi agama dan kehormatan seorang lelaki, jika tidak dibarengi dengan aturan-aturan yang membuatnya aman dari fitnah serta jika dilakukan dengan sering dan terus-menerus. Terdapat dalam hadits:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku, fitnah (godaan) yang lebih besar bagi lelaki melainkan wanita” (HR. Bukhari no. 5096, Muslim no. 6740).

Dan kita ketahui bersama bahwasanya hendaknya seorang lelaki ketika berinteraksi dengan wanita non mahram ia menjaga dirinya dengan adab-adab yang ketat dan hanya sebatas keperluan saja. Agar tidak muncul di hati sang lelaki suatu keterkaitan yang bisa tumbuh di dalam hati yang memiliki penyakit hati.

Oleh karena itu, semua interaksi verbal atau tulisan antara lelaki dan wanita yang mengandung nada yang lembut, gaya bahasa yang gemulai, mendayu-dayu, juga yang penuh kekaguman, melucu, saling tertawa, interaksi yang terlalu akrab, canda ria, dan semacamnya yang menimbulkan bekas di hati dan dapat menimbulkan desiran-desiran syahwat, ini hukumnya terlarang dalam rangka menutup celah keburukan. Tidak termasuk di larangan ini, perkataan yang penuh wibawa dan adab serta perkataan yang ma’ruf. Bahkan nada yang lembut dan gaya bahasa yang gemulai tidak ragu lagi akan menyentuh hati dan memicu syahwat sehingga nantinya akan menimbulkan angan-angan serta munculnya syahwat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al Ahzab: 32).

Ketika banyak wanita yang tidak berpegang pada adab-adab ini dan tidak mengindahkan batasan-batasan syariat dalam pembicaraan mereka atau tulisan-tulisan mereka, maka yang lebih selamat bagi para lelaki adalah meninggalkan interaksi dengan para wanita tersebut kecuali pada keperluan-keperluan yang mendesak dengan tetap menjaga aturan-aturan agama dengan syarat aman dari fitnah, serta dalam keperluan yang dibolehkan syariat. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah dari wanita” (HR. Muslim no. 2742).

والعلم عند الله تعالى، وآخر دعوانا أن الحمد لله ربِّ العالمين وصلَّى الله على محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلَّم تسليمًا.

Sumber: http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1116

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/31942-adab-berinteraksi-dengan-wanita-di-internet.html

Pergi Haji & Umrah Berkali-kali atau Berinfak & Sedekah?

Salah satu syubhat yang dilemparkan oleh mereka yang benci Islam (islamphobia & liberal) adalah membenturkan ibadah satu dengan ibadah yang lain. Misalnya perkataan mereka:

“Daripada Haji & umrah berkali-kali, lebih baik dana tersebut digunakan untuk berinfak kepada anak yatim dan orang miskin”

“Aku tidak respek/hormat pada orang yang haji & umrah berkali-kali, tapi aku lebih respek pada orang yang berinfak kepada anak yatim dan orang miskin serta membangun sekolah gratis.”

Perlu diketahui bahwa pernyataan di atas adalah TIDAK BENAR karena termasuk membenturkan ibadah satu dengan ibadah yang lainnya. Yang namanya ibadah tidak perlu dibenturkan dan bisa dilakukan secara bersamaan. Apabila bisa naik haji dan umrah berkali-kali sekaligus banyak berinfak kepada faqir miskin, kenapa tidak? Terlebih haji dan umrah justru bisa mendatang rezeki yang berlipat serta berkah dari Allah.

Logika mereka adalah standar ganda yang hanya digunakan untuk menyerang Islam. Harusnya logika mereka dipakai juga dengan kasus berikut:

  1. Apabila ada yang memberikan sumbangan/bantuan ke bencana luar negeri, harusnya mereka berkomentar

“Kepada harus memberikan sumbangan bencana ke luar negeri? Padahal di negeri sendiri banyak bencana, kelaparan, sekolah susah dan gizi buruk?”

Jawabnya: tentu dua kebaikan ini tidak perlu dipertentangkan, dalam negeri dibantu dan luar negeri juga dibantu

  1. Apabila ada orang yang pelesiran atau wisata ke luar negeri berkali-kali, harusnya mereka berkomentar

“Kenapa harus pergi wisata ke luar negeri berkali-kali, kepada tidak wisata dalam negeri saja agar dananya kembali ke negeri sendiri, kenapa tidak sumbangkan untuk anak yatim dan orang miskin saja?”

Jawabnya: tentu terserah orang yang punya uang, mereka juga ingin pergi berkali-kali untuk wisata dan rekreasi setelah lama bekerja. Mereka juga punya hak rekreasi.

Demikianlah dua kebaikan dan dua ibadah itu tidak perlu dipertentangkan dan bahkan bisa dikombinasikan serta dilakukan secara bersamaan. Justru yang menjadi masalah adalah orang yang tidak pernah melakukan dua kebaikan tersebut. Tidak pernah terbesit keingingan untuk haji dan umrah serta tidak pernah juga melakukan infak dan sedekah untuk anak yatim dan orang miskin.

Syaikh Shalih Fauzan menjelaskan bahwa mengulangi haji termasuk hal yang disunnahkan, apabila mampu hendaknya dilakukan. Beliau berkata:

وأما تكرار الحج فهو مستحب إذا لم يترتب عليه أضرار بدنية بسبب الزحام الشديد والأخطار المترتبة على ذلك. فإذا كان هناك أضرار فترك الحج النافلة أفضل لاسيما وهناك أعمال خيرية كثيرة ومجال واسع لمن يريد الخير من إطعام المحتاجين وإعانة المعسرين والإسهام في المشاريع الخيرية النافعة.

“Adapun mengulangi haji, hukumnya sunnah apabila tidak menimbulkan bahaya badan karena sebab ramai dan sesaknya manusia serta bahaya yang timbul. Apabila muncul bahaya, lebih baik meninggalkan haji yang sunnah (selain hajjatul Islam yang wajib). Terlebih ada amal-amal yang baik dan kesempatan yang luas untuk melakukan kebaikan seperti memberi makan bagi yang membutuhkan, membantu orang yang kesulitan dan menanam saham dalam jalan-jalan kebaikan yang bermanfaat.” [https://www.alfawzan.af.org.sa/en/node/2304]

Kami jelaskan sebelumnya bahwa haji dan umrah bisa mendatangkan rezeki serta menghilangkan kemiskinan. Bisa jadi karena ia sering berhaji dan umrah kemudian menjadi sebab datangnya rezeki dan keberkahan sehinga ia dimudahkan untuk berinfak kepada anak yatim dan orang miskin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa haji dan umrah dapat meghilangkan kemiskinan,

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” [HR. Tirmidzi, Al-Silsilah As-Shahihah no. 1200]

Syaikh Abul ‘Ula Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud menghilangkan kemiskinan di sini bisa bermakna dzahir atau makna batin. Beliau berkata,

أي يزيلانه وهو يحتمل الفقر الظاهر بحصول غنى اليد ، والفقر الباطن بحصول غنى القلب

Haji dan umrah menghilangkan kefakiran, bisa bermakna kefakiran secara dzahir, dengan terwujudnya kecukupan harta. Bisa juga bermakna batin yaitu terwujudnya kekayaan dalam hati.” [Tuhfatul Ahwazi 3/635]

Akan tetapi agama Islam adalah agama yang indah dan mulia. Agama islam tetap mendorong agar memperhatikan apa yang paling bermanfaat bagi dirinya dan umat secara umum, sehingga keputusan apakah haji dan umrah berkali-kali atau berinfak maka kembali kepada mana yang lebih mashalahat bagi dirinya dan umat pada saat itu. Bisa jadi saat itu dia butuh mengulangi haji dan umrah dan bisa jadi saat itu berinfak lebih baik dan lebih mashalat. Intinya kedua kebaikan dan ibadah ini tidak perlu dipertentangkan.

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad- Daimah dijelasakan,

وإنما يرجع تكراره إلى وضع المكلف المالي والصحي وحال من حوله من الأقارب والفقراء، وإلى اختلاف مصالح الأمة العامة ودعمه لها بنفسه وماله، وإلى منزلته في الأمة ونفعه لها حضراً أو سفراً في الحج وغيره، فلينظر كلٌّ إلى ظروفه وما هو أنفع له وللأمة فيقدمه على غيره‏

“Mengenai mengulangi haji & umrah, maka dikembalikan kepada pertimbangan beban harta, kesehatan dan keadaan orang di sekitarnya dari keluarga kerabat dan orang miskin. Dipertimbangkan juga dari perbedaan keadaan mashalahat umat dan keadaan dirinya serta hartanya. Dipertimbangkan juga keadaan umat dan manfaatnya ketika ia sedang safar atau tidak safar ketika haji. Hendaklah memperhatikan keadaan mana yang paling bermanfaat baginya dan bagi umat, lalu ia dahulukan yang lebih bermanfaat itu.” [Fatwa Al-lajnah Ad-Daimah no. ‏6909‏]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50835-pergi-haji-umrah-berkali-kali-atau-berinfak-sedekah.html