Sifat Jahiliyah yang Masih Ada di Tengah-Tengah Kita

Kali ini kita akan membahas beberapa sifat jahiliyah, ada empat sifat yang berasal dari ayat Al-Qur’an dan ada sifat yang berasal dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Empat Sifat Jahiliyah dalam Al-Qur’an

Kata jahiliyah dalam Al-Qur’an dapat ditemukan pada empat tempat.

Pertama, pada firman Allah tentang zhan jahiliyah,

وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ

Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?.” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” (QS. Ali Imran: 154)

Ayat ini bercerita tentang perang Uhud (yang terjadi pada Syawal tahun ketiga Hijriyah), ketika pasukan kaum muslimin mulai terdesak karena harus menerima tekanan dari depan dan belakang. Meskipun demikian, Allah berikan ketenangan bagi para sahabat, sampai mereka dibuat ngantuk. Namun berbeda dengan orang munafik yang terlibat dalam pertempuran itu. Mereka sangat cemas, sangat takut, hingga muncul anggapan tidak benar tentang Allah, Rasul-Nya, dan agama islam.

Muncul anggapan di benak mereka, jangan-jangan Allah dusta, jangan-jangan yang dijanjikan Muhammad itu palsu? Mana, katanya ada pertolongan Alllah? Bisa jadi agama islam akan habis, dan seterusnya. Lihat bahasan dalam Tafsir As-Sa’di dan Tafsir Al-Muyassar.

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud, ngantuk (dibuat tertidur) ketika perang itu dari Allah, sedangkan ngantuk ketika shalat itu dari setan.

Kedua, pada firman Allah tentang hukum jahiliyah,

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah mereka mau mencari hukum Jahiliyah. Siapa yang lebih baik hukumya bagi orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)

Allah mengkritik manusia yang meninggalkan aturan Allah yang penuh kebaikan dan yang menjauhkan dari berbagai keburukan. Sedangkan selain hukum Allah yang dibuat manusia tidak seperti itu. Sebagaimana orang jahiliyah menjadikan orang-orang sesat dan bodoh untuk diambil pendapatnya. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan “man hakama bi ghairi hukmillah, fahakamal jahiliyyah (siapa yang berhukum dengan selain hukum Allah, itulah berhukum dengan hukum jahiliyah).” Demikian disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir.

Ketiga, pada firman Allah tentang tabarruj ala jahiliyah,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ

Hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan tegakkanlah shalat.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Disebutkan dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 433), wanita yang disebut berdandan ala jahiliyah yang pertama adalah berdandan yang dilakukan oleh wanita dengan berpenampilan cantik di hadapan para pria dan ini terjadi sebelum Islam. Sedangkan dalam Islam, yang boleh ditampakkan disebutkan dalam ayat,

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31).

Maqatil bin Hayan mengatakan bahwa yang dimaksud berhias diri adalah seseorang memakai khimar (kerudung) di kepalanya namun tidak menutupinya dengan sempurna. Dari sini terlihatlah kalung, anting dan lehernya. Inilah yang disebut tabarruj (berhias diri) ala jahiliyyah.

Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaklah wanita berdiam di rumahnya dan tidak keluar kecuali jika ada kebutuhan. Dan di antara kebutuhan adalah mengerjakan shalat.

Silakan kaji dari kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 6:183 (terbitan Dar Ibnul Jauzi).

Keempat, firman Allah tentang kesombongan jahiliyah (fanatisme golongan),

إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya.” (QS. Al-Fath: 26)

Surah Al-Fath, berbicara tentang perjanjian Hudaibiyah, yang itu sebenarnya merupakan awal kemenangan kaum muslimin. Meskipun ada banyak hal ganjil yang dilakukan orang-orang musyrik ketika perjanjian Hudaibiyah. Seperti, tidak mau menuliskan bismillahir rahmanir rahiimdi klausul perjanjian. Mereka juga menolak kalimat, “Muhammad Rasulullah”. Padahal itu semuanya kebenaran. Mereka tolak itu, karena fanatik jahiliyah, yang membuat mereka benci kebenaran.

Karena itu, makna Hamiyyah Al-Jahiliyah, fanatisme jahiliyah, menyebabkan mereka bersikap sombong dan menolak setiap kebenaran yang bertentangan dengan prinsip suku dan golongannya.

Berarti empat perkara jahiliyah yang disebutkan di atas adalah:

  1. prasangka jahiliyah, itulah suudzan kepada Allah yang merupakan lambang kerusakan hati dan akidah.
  2. hukum jahiliyah, itulah setiap aturan yang melanggar syariat.
  3. tabarruj jahiliyah, pamer keindahan tubuh di tengah masyarakat. Yang merupakan lambang kerusakan wanita.
  4. fanatisme jahiliyah, yaitu cinta dan benci karena golongan, memberikan pembelaan karena kepentingan golongan, sehingga rela menolak kebenaran demi golongan.

Orang Jahiliyah Tidak Punya Pemimpin

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ حُجَّةَ لَهُ ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan pada penguasa, maka ia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam ia tidak punya argumen apa-apa untuk membelanya. Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai’at, maka ia mati seperti keadaan orang jahiliyah.”(HR. Muslim no. 1851).

Mati jahiliyah yang dimaksud adalah mati dalam keadaan sesat dan salah jalan sebagaimana keadaan orang-orang jahiliyah karena dahulu mereka tidak mau taat pada pemimpin bahkan mereka menilai ‘aib jika mesti taat seperti itu. Namun bukanlah yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati kafir sebagaimana sangkaan sebagian golongan yang keliru dan salah paham.

Orang Jahiliyah Punya Sifat Bangga pada Leluhur, Mencela Keturunan, Mengaitkan Turunnya Hujan Bukan pada Allah, dan Meratapi Mayit

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.” (HR. Muslim, no. 934)

Siapa yang Disebut Orang Jahiliyah?

Coba perhatikan pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut.

Seseorang itu tumbuh dari agama bapak atau agama tuannya atau agama masyarakat yang ada di negerinya. Sebagaimana seorang bocah itu tumbuh dari agama kedua orang tuanya atau orang yang merawatnya atau dari masyarakat sekitarnya. Ketika anak tersebut baligh (dewasa), maka barulah ia dikenai kewajiban untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya. Janganlah seperti yang mengatakan,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah: 170).

Setiap orang yang tidak mengikuti dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, enggan mentaati Allah dan Rasul-Nya lalu berpaling pada adat dan tradisi nenek moyang dan masyarakat yang ada. Itulah yang disebut orang Jahiliyah dan layak mendapat celaan.

Begitu pula orang yang sudah jelas baginya kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya lantas ia berpaling pada adat istiadat, itulah orang-orang yang berhak mendapatkan celaan dan hukuman. (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:225).

Semoga kita dibebaskan dan dapat merdeka dari sifat kejahiliyahan.


Disusun di Darush Sholihin, 23 Dzulhijjah 1440 H (24 Agustus 2019)

Oleh yang selalu mengharapkan ampunan Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21257-sifat-jahiliyah-yang-masih-ada-di-tengah-tengah-kita.html

Menyibukkan Diri dengan Berita

Diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنِّي سَمِعْتُهُ يَقُولُ عِنْدَ انْصِرَافِهِ مِنَ الصَّلاَةِ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، قَالَ: وَكَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ المَالِ، وَمَنْعٍ وَهَاتِ، وَعُقُوقِ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدِ البَنَاتِ

“Sesungguhnya aku pernah mendengar beliau selalu mengucapkan doa selesai shalat, yaitu;

LAA ILAAHA ILLALLAAH, WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QADIIR 

(Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia maha berkuasa atas segala sesuatu)

Beliau mengucapkannya hingga tiga kali. Dan beliau juga melarang “qiila wa qaala”; banyak bertanya [1]; menghambur-hamburkan harta [2]; tidak mau melaksanakan kewajiban; meminta sesuatu yang bukan haknya; mendurhakai ibu; dan mengubur hidup-hidup anak perempuan.” (HR. Bukhari no. 6473)

Terdapat beberapa penjelasan tentang makna “qiila wa qaala”, yaitu [3]:

Pertama, mengutip atau menyebar semua berita yang dia dengar, dia mengatakan, “Katanya demikian sih” atau “Si fulan mengatakan ini” atau “Denger-denger kabarnya begitu”. Padahal dia tidak mengetahui apakah itu informasi (berita) yang valid ataukah tidak. Dan dia sendiri tidak bisa (atau belum bisa) memastikan apakah berita itu berita yang valid ataukah tidak. Orang semacam ini disebut sebagai pendusta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu sebagai pendusta (pembohong), ketika dia menceritakan semua (berita) yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5, Abu Dawud no. 4992 dan An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 11845)

Model pertama ini misalnya sibuk dengan berita gosip, desas-desus, atau hoax yang tidak benar. Apalagi jika berita gosip itu berkaitan dengan kehormatan ustadz, ulama, atau pemimpin (pemerintah) kaum muslimin. Tentu lebih parah lagi bahaya yang bisa ditimbulkannya.

Kedua, seseorang menyibukkan diri dan menghabiskan waktunya dengan membahas dan mengutip berita. Sebagaimana yang kita jumpai saat ini, yaitu orang-orang yang mengisi majelis mereka dengan sibuk mencermati, mengutip, dan mengomentari berita yang memang benar (valid). Sibuk harus merasa tahu semua berita yang viral hari ini, entah di media online atau media sosial, padahal berita benar itu tidak ada manfaat dan kepentingannya untuk dirinya. 

Di antara model pengertian kedua ini adalah sibuk mencari berita tentang kehidupan artis, entah si artis menikah (lagi), atau bercerai, atau belanja, atau sedang wisata ke suatu tempat, atau sedang ke salon, dan seterusnya, yang tidak ada manfaatnya kita mengetahui seluk beluk dan detil kehidupan mereka.

Jika orang awam sibuk membicarakan artis, bisa jadi kalangan penuntut ilmu (thalibul ‘ilmi) sibuk membicarakan ustadznya. Entah sang ustadz yang menikah (lagi), entah sang ustadz beli barang baru, dan kabar-kabar pribadi lainnya yang tidak ada manfaatnya kita menghabiskan waktu untuk membahas dan membicarakan kehidupan pribadi beliau dan keluarganya. Oleh karena itu, kita tidak perlu merasa selalu ingin tahu tentang kehidupan pribadi seseorang jika tidak ada kaitannya dengan suatu kewajiban yang harus kita kerjakan sebagai sesama kaum muslimin. 

[Selesai]

M Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50908-menyibukkan-diri-dengan-berita.html

Jumlah Jamaah Haji Tahun Ini Capai 2,4 Juta Jiwa

MAKKAH – Badan Pusat Statistik Arab Saudi merilis data dan angka terkait pelaksanaan haji pada tahun ini. Secara keseluruhan, jumlahnya mencapai 2.489.406 jiwa.

“Perbandingan secara global jamaah haji tahun 1440 H  (2019) dan 1439 H  (2018)  dari sisi jumlah naik sebesar 117.731 jemaah dibanding jumlah jemaah tahun 1439 H (2.371.675 jamaah) dengan persentase kenaikan 4,96 persen,” tulis laporan Badan Pusat Statistik Arab Saudi yang dirilis belum lama ini.

Adapun rinciannya yaitu, jamaah haji dalam negeri mencapai 634.379 jiwa. Sementara, jamaah haji dari luar negeri mencapai 1.855.027 jiwa.

Untuk  jamaah dalam negeri Arab Saudi, yang merupakan orang asli Arab Saudi berjumlah  sedangkan 211.003 bukan orang asli Saudi  423.376.  Berdasarkan jenis kelaminnya yaitu, laki-laki 1.385.234 sedangkan jamaah wanita 1.104.172.

Dari asal benuanya, laporan itu menulis jamaah haji dari negara Arab Majlis Ta’awun 31.884 / 2 persen sedangkan jamaah haji dari negara Arab Non-Majlis Ta’awun: 414.750 /22 persen. Selanjutnya, jamaah haji dari Afrika di luar Arab 187.814 / 10 persen lalu jamaah haji dari Amerika Utara-Selatan Australia 26.892 / 1 persen. Berikutnya, jamaah haji dari Asia 1.126.633 / 61 persen dan jamaah haji dari Eropa: 67.054 / 4 persen

Berdasarkan kedatanganya, jamaah haji yang menggunakan pesawat sebanyak  1.741.568 dan yang menggunakan kapal laut  17.250 Jamaah. Sedangkan yang melalui jalur darat  96.209 jamaah. Secara global, jumlah petugas yang dikerahkan selama musim haji, dari petugas keamanan, administrasi pemerintahan dan urusan khusus, berjumlah 350.830 petugas.

IHRAM


Tim Pemantau Itjen : Prosesi Puncak Haji Lancar, Manasik Perlu Diperkuat

Madinah (Kemenag) — Supervisor tim pemantau Inspektorat Jenderal, M. Thambrin mengatakan bahwa  prosesi puncak haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna) berjalan dengan lancar, namun ia menyampaikan catatan agar memperkuat proses manasik haji.

Supervisor tim 2 yang juga menjabat sebagai Sekretaris Irjen ini menyebutkan, salah hal yang patut diapresiasi adalah adanya pendingin ruangan atau AC di tenda-tenda jamaah. 

“Tahun 2019 ini sudah disiapkan tenda AC. Jemaah sangat terbantu untuk bisa khusus melaksanakan dzikir dan doa secara maksimal,” ujarnya, Rabu (21/08).

Meski demikian, ia mengatakan bahwa jemaah haji masih mengeluhkan minimnya toilet. “Seperti yang disampaikan pak Menteri, itu panjangnya antrean,” imbuhnya. 

Tetapi, pemerintah Indonesia, tidak bisa serta merta langsung menyelesaikan permasalahan tersebut. Karena hal itu merupakan domain dari Pemerintah Arab Saudi. 

“Kita hanya bisa menyampaikan aspirasi dan permohonan, agar bisa direspons,” jelasnya. 

Hingga hari ini, dia menyebut pelaksanaan ibadah haji 2019, Alhamdulillah berjalan dengan lancar.

“Posisi Itjen sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 41 Tahun 2016, melakukan pengawasan internal di Kemenag untuk melaksanakan pengawasan ibadah haji dan umrah,” jelas dia. 

Sekretaris Itjen Kemenag tersebut melanjutkan, pihaknya telah melakukan pengawasan dan audit dalam pelaksanaan akomodasi, transportasi dan katering sejak tahap persiapan atau pra keberangkatan jemaah, termasuk proses manasik haji.

Ia memandang bahwa layanan katering, akomodasi, transportasi yang diperoleh jemaah haji Indonesia pada umumnya telah berjalan dengan baik. Namun ia memberikan masukan agar kegiatan manasik haji perlu dimaksimalkan, baik itu dari segi silabus, dan kompetensi narasumber manasik yang memenuhi syarat. Demikian juga dengan pemilihan ketua kloter, pembimbing ibadah, dan petugas kloter yang akan menentukan proses peribadatan jemaah haji.

“Ini yang perlu penguatan manajemen, penguatan pelaksanaan ibadah terutama manasik hajinya,” ujarnya.

Terlebih tahun 2020 mendatang telah dicanangkan Menteri Agama sebagai tahun peningkatan kualitas manasik haji.

KEMENAG RI

Hukum Menghina atau Memanggil Orang Lain dengan Nama Binatang

Menghina, mencela, atau mengolok-olok orang lain termasuk dalam dosa besar

Menghina, mencela, atau mengolok-olok orang lain termasuk perbuatan yang terlarang. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11)

Bahkan perbuatan tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kategorikan dalam dosa besar. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar), dan memerangi mereka adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Jika seseorang mencela sesama muslim dengan panggilan-panggilan, dia berhak mendapatkan hukuman dari penguasa. Diriwayatkan dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau ditanya tentang ucapan seseorang kepada orang lain, “Wahai orang fasiq!”; “Wahai orang jelek!”; maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

هن فواحش فيهن تعزير وليس فيهن حد

“Itu perbuatan buruk, terdapat hukuman ta’zir [1]namun tidak ada hukuman hadd [2] untuknya.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 8: 253 dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 2393)

Jangankan mencela sesama muslim, bahkan mencela binatang saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Diriwayatkan dari sahabat Zaid bin Khalid radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الدِّيكَ فَإِنَّهُ يُوقِظُ لِلصَّلَاةِ

“Janganlah Engkau mencela ayam jantan, karena sesungguhnya ayam jantan itu yang membangunkan kalian shalat.” (HR. Abu Dawud no. 5101, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dua orang yang saling mencaci, maka dosanya ditanggung pihak yang memulai

Cacian itu seringkali disebabkan karena adanya pertengkaran dan perselisihan. Dalam masalah ini, hendaknya kita senantiasa mengingat bahwa saling mencaci yang terjadi di antara dua orang yang sedang berselisih, dosanya akan ditanggung oleh pihak yang memulai. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

“Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai, selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas.” (HR. Muslim no. 2587 dan Abu Dawud no. 4894)

Dalam hadits di atas, dosa saling mencaci-maki antara dua orang itu akan ditanggung oleh pihak yang memulai. Hal ini dengan syarat bahwa pihak yang dicaci itu tidak melampaui batas, yaitu tidak membalas cacian dengan kuantitas dan kualitas yang lebih jelek. Jika dia membalas dengan cacian yang lebih jelek (baik secara kuantitas atau kualitas), maka dosa melampaui batas itu dia tanggung sendiri, sedangkan sisanya ditanggung oleh pihak yang memulai. [3]

Mencela, menghina, atau memanggil orang lain dengan menyebutkan nama binatang

Yang lebih parah lagi adalah ketika seseorang mencela, menghina, atau memanggil orang lain dengan nama binatang. Sangat disayangkan, keburukan ini begitu tersebar pada jaman ini, salah satunya sebagai akibat buruk pesta demokrasi di negeri ini beberapa waktu yang lalu dan mungkin berlanjut sampai hari ini. Betapa mudah kita melihat saudara kita memanggil saudaranya yang lain yang berbeda pilihan politiknya dengan sebutan, “Dasar kecebong!”; atau “Dia itu cebong”; atau bahkan julukan semisal (maaf), “Bonglaf” (kecebong salaf, yang dinisbatkan kepada pihak-pihak yang dianggap paham agama, namun menjadi pendukung salah satu pihak). Bahkan, ucapan dan hinaan semacam itu keluar dari pihak-pihak yang secara lahiriyah paham agama dan memiliki semangat tinggi dalam menjalankan agama.

Sedangkan di pihak lain, mereka pun tidak mau kalah dengan melontarkan julukan “kampret” (kelelawar) kepada saudaranya yang berbeda pilihan politik. Demikianlah, satu keburukan akan memunculkan keburukan berikutnya, dan demikian seterusnya.

Saudaraku, ketahuilah bahwa menghina orang lain dengan menyebutkan nama binatang itu dosanya lebih parah. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

ومن الألفاظ المذمومة المستعملة في العادة قوله لمن يخاصمه، يا حمار ! يا تيس ! يا كلب ! ونحو ذلك؛ فهذا قبيح لوجهين : أحدهما أنه كذب، والآخر أنه إيذاء؛ وهذا بخلاف قوله : يا ظالم ! ونحوه، فإن ذلك يُسامح به لضرورة المخاصمة، مع أنه يصدق غالباً، فقلّ إنسانٌ إلا وهو ظالم لنفسه ولغيرها .

“Termasuk di antara kalimat yang tercela yang umum dipergunakan dalam perkataan seseorang kepada lawannya (adalah ucapan), “Wahai keledai!”; “Wahai kambing hutan!”; “Hai anjing!”; dan ucapan semacam itu. Ucapan semacam ini sangat jelek ditinjau dari dua sisi. Pertama, karena itu ucapan dusta. Ke dua, karena ucapan itu akan menyakiti saudaranya.

Ucapan ini berbeda dengan perkataan, “Wahai orang dzalim!” dan semacamnya. Ucapan ini dimaafkan karena adanya kebutuhan darurat disebabkan oleh pertengkaran. Selain itu, pada umumnya ucapan itu adalah ucapan yang benar, karena keadaan mayoritas orang yang zalim terhadap dirinya sendiri atau orang lain.” (Al-Adzkaar, hal. 314)

Memanggil orang lain dengan nama-nama binatang itu disebut ucapan dusta karena orang lain yang dia panggil itu adalah manusia, bukan binatang. Inilah sisi kedustaannya.

Orang yang melakukannya pun berhak untuk mendapatkan hukuman dari penguasa kaum muslimin. Diriwayatkan dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

إنكم سألتمونى عن الرجل يقول للرجل: يا كافر! يا فاسق! يا حمار! وليس فيه حد , وإنما فيه عقوبة من السلطان , فلا تعودوا فتقولوا

“Sesungguhnya kalian bertanya kepadaku tentang seseorang yang mengatakan kepada orang lain, “Wahai orang kafir!”, “Wahai orang fasiq!”, atau “Wahai keledai!” Tidak ada hukuman hadd dari syari’at (untuk perbuatan itu). Yang ada hanyalah hukuman ta’zir dari penguasa. Maka janganlah diulangi mengucapkannya lagi!” [4]

Sa’id bin Al-Musyyab rahimahullah mengatakan,

لَا تَقُلْ لِصَاحِبِكَ: يَا حِمَارُ، يَا كَلْبُ، يَا خِنْزِيرُ. فَيَقُولَ لَكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَتُرَانِي خُلِقْتُ كَلْبًا أَوْ حِمَارًا أَوْ خِنْزِيرًا؟

“Janganlah Engkau berkata kepada temanmu, “Wahai keledai!”, “Wahai anjing!”, atau “Wahai babi!” Karena kelak di hari kiamat Engkau akan ditanya, “Apakah Engkau melihat aku diciptakan sebagai anjing, keledai, atau babi?” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 5: 282)

Dalam kitab Mukhtashar Al-Khalil (8: 409) disebutkan,

مَنْ قَالَ لِرَجُلٍ: يَا ابْنَ الْفَاسِقَةِ أَوْ يَا ابْنَ الْفَاجِرَةِ فَعَلَيْهِ فِي ذَلِكَ النَّكَالُ، وَمَنْ قَالَ لِرَجُلٍ: يَا حِمَارَ أَوْ يَا ابْنَ الْحِمَارِ فَعَلَيْهِ النَّكَالُ، وَمَنْ قَالَ لِرَجُلٍ: يَا سَارِقُ عَلَى وَجْهِ الْمُشَاتَمَةِ نُكِّلَ

“Siapa saja yang berkata kepada seseorang, “Wahai anak dari wanita fasik!“ atau “Wahai anak dari wanita fajir (pezina)’, maka dia berhak mendapatkan hukuman. Dan siapa saja yang berkata kepada seseorang, “Wahai keledai!” atau “Wahai anak keledai!”, maka dia berhak mendapatkan hukuman.”

Kemudian dikutip perkataan Ibnu Salmun,

مَنْ قَالَ لِآخَرَ: يَا كَلْبُ أَوْ يَا ثَوْرُ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ الْأَذَى وَعَلَيْهِ الْأَدَبُ، وَكَذَلِكَ إنْ قَالَ لَهُ: يَا خِنْزِيرُ فَعَلَيْهِ الْأَدَبُ عَلَى مَا يَرَاهُ السُّلْطَانُ إلَّا أَنْ يَكُونَ الْقَائِلُ مَا لَا يُعْرَفُ بِالْأَذَى وَإِنَّمَا هِيَ زَلَّةٌ أَوْ فَلْتَةٌ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُقَالَ

“Siapa saja yang berkata kepada orang lain, “Wahai anjing!” atau “Wahai sapi jantan!”, maka ucapan itu menyakiti saudaranya, sehingga berhak dihukum. Demikian pula ucapan, “Wahai babi!”, maka dia berhak mendapatkan hukuman sesuai dengan kebijakan penguasa. Kecuali jika dia tidak tahu kalau ucapan semacam itu menyakitkan, yang hanya muncul karena ketergelinciran atau salah ucap lisan, maka hal itu tidak mengapa (dimaafkan, pen.).” (Mukhtashar Al-Khalil, 8: 409)

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 18 Dzulhijjah 1440/19 Agustus 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50906-hukum-menghina-atau-memanggil-orang-lain-dengan-nama-binatang.html

Takut Kuntilanak Syirik?

Ustadz saya mau tanya, Apa kalau kita takut sama syaitan kuntilanak itu termasuk syirik.. Jazakallah

Ainun, di Surabaya.

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Untuk mengetahui hukum takut kepada jin dengan segala jenis atau sebutannya, perlu kita perjelas terlebih dahulu kategorinya, ada dua macamnya:

[1]. Takut yang muncul dari tabiat (khouf thabi’i).

[2]. Takut atas dasar keyakinan tidak wajar kepada jin.

Takut jenis pertama, pada dasarnya tidak mengapa. Takut yang seperti ini bagian dari naluri manusia. Dimana seorang takut kepada segala yang berpotensi menimpakan bahaya yang wajar pada dirinya, baik dari bangsa manusia, jin ataupun hewan. Seperti takut kepada ular berbisa, hewan buas, perampok dll, demikian pula takutnya kepada jin tidak lebih seperti takutnya kepada hewan buas, perampok dll.

Syekh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah menerangkan hukumnya,

الخوف الطبيعي والجبلي في الأصل مباح

Takut yang sifatnya tabiat, hukum asalnya mubah….

Beliau melanjutkan,

لكن إن حمل على ترك واجب أو فعل محرم فهو محرم ، وإن استلزم شيئا مباحا كان مباحا

Namun, jika dapat menyebabkan seorang meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan haram, maka takut jenis ini berubah hukumnya menjadi haram. Adapun jika berdampak memunculkan hal yang mubah saja, maka hukumnya mubah. (Lihat: Majmu’Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 10/648)

Nabi Musa ‘alaihissalam pun pernah merasakan takut jenis ini. Allah ta’ala berfirman,

فَخَرَجَ مِنۡهَا خَآئِفٗا يَتَرَقَّبُۖ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya), dia berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.” (QS. Al-Qashash : 21)

Saat Allah menunjukkan mukjizat Nabi Musa dihadapan para penyihir Fir’aun, ketika tongkat beliau berubah menjadi ular, melihat kejadian yang tidak wajar itu, Musa merasa ketakutan.

وَأَلۡقِ عَصَاكَۚ فَلَمَّا رَءَاهَا تَهۡتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنّٞ وَلَّىٰ مُدۡبِرٗا وَلَمۡ يُعَقِّبۡۚ يَٰمُوسَىٰ لَا تَخَفۡ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ ٱلۡمُرۡسَلُونَ

Lemparkanlah tongkatmu!” Maka ketika (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah dia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ”Wahai Musa! Jangan takut! Sesungguhnya di hadapan-Ku, para rasul tidak perlu takut. (QS. An-Naml :10)

Adapun takut jenis kedua, yakni takut yang muncul karena keyakinan tak wajar kepada jin, ini bisa menyebabkan pelakunya jatuh dalam kesyirikan. Batasan ketidak wajaran, dijelaskan dalam kitab Taisir Azizil Hamid (salah satu kita Syarah untuk Kitab at Tauhid karya Syekh Muhammad at Tamimi),

أن يخاف العبد من غير الله تعالى أن يصيبه مكروه بمشيئته وقدرته وإن لم يباشره ، فهذا شرك أكبر ، لأنه اعتقادٌ للنفع والضر في غير الله

Seorang takut kepada selain Allah ta’ala bahwa dia mampu menimpakan balak/mara bahaya dengan kehendak atau kemampuannya sendiri, meski dia tidak mengupayakan balak/bahaya tersebut secara langsung. Takut yang seperti ini hukumnya syirik besar. Karena dia telah menyakini ada yang mampu memberi manfaat atau bahaya secara mandiri, selain Allah. (Lihat: Taisir Azizil Hamid, halaman 28)

Gambaran konkritnya, seperti menyakini bahwa jin mampu melakukan suatu hal yang sebenarnya tidak ada yang bisa melakukannya kecuali Tuhan Pengatur semesta alam. Seperti keyakinan bahwa jin mampu menahan hujan, mendatangkan masa krisis pangan, menahan rizki, mampu mendengar ucapan hati, menolak balak, mengatur lautan, menjadikan gunung berapi meletus serta keyakinan-keyakinan tak wajar lainnya, ini bisa menyebabkan jatuh pada syirik.

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/35126-takut-kuntilanak-syirik.html

Safinatun Najah: Sembilan Najis yang Dimaafkan

Ada macam-macam najis, ada juga najis yang dimaafkan. Sekarang kita masih mengenal najis dari Safinatun Najah, dan ini bahasan pengantarnya. Dalam bahasan akan diangkat sembilan macam najis yang dimaafkan.

Hukum asal najis: dihilangkan dan dijauhi

Asalnya najis itu mesti dihilangkan dan kita diperintahkan untuk menjauhkan diri darinya dalam segala keadaan. Juga kita diperintahkan menghindari najis karena merupakan syarat sah shalat, baik dihindarkan pada badan, pakaian, dan tempat. Namun syariat memberikan keringanan pada sebagian najis dimaafkan karena sulit untuk dihilangkan atau sulit untuk dihindari. Ini adalah bentuk kemudahan syariat Islam bagi umatnya, mengangkat kesulitan pada hamba-Nya.

Beberapa bentuk najis yang dimaafkan adalah:

  1. Percikan kencing yang sedikit (yang sulit dihindari) baik yang terkena badan, pakaian, atau suatu tempat.
  2. Sedikit dari darah dan muntah; kecuali jika itu atas kesengajaan manusia, maka tidaklah dimaafkan. Sebagaimana dimaafkan pula darah luka dan nanahnya walaupun banyak, dengan syarat itu keluar dengan sendirinya bukan disengaja.
  3. Kencing hewan dan kotorannya yang terkena biji-bijian ketika hewan tersebut menginjaknya; begitu pula kotoran ternak dan kencingnya ketika susunya diperah selama tidak banyak yang dapat merubah air susunya; atau najis dari hewan yang diperah yang jatuh pada susu ketika diperah.
  4. Kotoran ikan selama tidak merubah air; kotorang burung di tempat yang sering disinggahinya karena sulit dihindari.
  5. Darah yang terkena pakaian jagal; namun kalau darah tersebut banyak tidaklah dimaafkan. Begitu pula yang dimaafkan adalah darah yang menempel pada daging.
  6. Mulut bayi yang tercampur dengan muntahnya ketika dia disusukan oleh ibunya.
  7. Air liur dari orang yang tidur yang keluar dari dalam perut pada orang yang biasa seperti itu.
  8. Lumpur di jalan yang terkena pakaian seseorang walaupun yakin di situ terdapat najis, karena sulit dihindari sehingga dimaafkan.
  9. Bangkai dari hewan yang darahnya tidak mengalir yang jatuh pada cairan seperti lalat, nyamuk, semut dengan syarat jatuh dengan sendirinya, tidak sampai merubah cairan tersebut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً

Jika seekor lalat jatuh di tempat minum salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh bagian lalat tersebut. Lalu buanglah lalat tadi. Karena di salah satu sayapnya terdapat penawar dan sayap lainnya adalah racun.” (HR. Bukhari, no. 5782)

Referensi:

Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i.Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.


Ditulis pada 20 Dzulhijjah 1440 H (21 Agustus 2019), Rabu pagi bakda Shubuh @ Darush Sholihin

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21221-safinatun-najah-sembilan-najis-yang-dimaafkan.html

Safinatun Najah: Mengenal Macam-Macam Najis

Apa itu najis? Sudah kenal macam-macam najis? Sekarang kita mulai pelajari dari Safinatun Najah. Namun diawali dengan pembahasan najis dari kitab Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i.

[Najis yang Bisa Suci]

الَّذِيْ يَطْهُرُ مِنَ النَّجَاسَاتِ ثَلاَثَةٌ:

1- الْخَمْرُ إِذَا تَخَلَّلَتْ بِنَفْسِهَا.

وَ2- جِلْدُ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَ

وَ3- مَا صَارَ حَيَواناً.

Fasal: Yang bisa menjadi suci dari najis ada 3, yaitu [1] khamar (arak) yang berubah dengan sendirinya (menjadi cuka), [2] kulit bangkai jika disamak (dubigha), dan [3] najis yang berubah menjadi hewan.

Catatan Dalil

Pertama: Pengertian Najis

An-najasah (najis) adalah lawan dari thaharah (suci). Najis itu ada dua macam yaitu:

  1. Najis hakikiyyah atau ‘ainiyyah, yaitu segala sesuatu yang kotor yang menghalangi dari shalat seperti darah dan kencing. Najis jenis ini selamanya tidak bisa berubah jadi suci.
  2. Najis hukmiyyah atau ma’nawiyyah yaitu keadaan seseorang yang tidak suci yang menghalangi dari shalat, termasuk pembatal wudhu, dan mewajibkan untuk mandi. Najis hukmiyyah ini suci dengan wudhu atau mandi.

Benda yang najis ada yang bentuknya jamad (benda mati), ada yang bentuknya hewan, dan ada yang cairan. Asalnya semua benda jamad itu suci, di mana jamad itu bukan hewan, bukan yang menjadi hewan, bukan bagian dari hewan, dan bukan dihasilkan dari hewan. Adapun hewan dan cairan sebagiannya najis, dan asalnya suci.

Kedua: Benda-Benda Najis

  1. Kencing dan kotoran manusia, kencing hewan dan kotorannya

Kencing itu najis. Di antara dalilnya adalah hadits Arab Badui yang kencing di masjid lalu diperintahkan kencing tersebut disiram dengan air.

Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Ada seorang Arab Badui kencing di salah satu bagian masjid, lantas orang-orang ingin memarahinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka yang menghardik tadi. Ketika Arab Badui telah kencing, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil satu wadah berisi air untuk disiram pada kencing tersebut.” (HR. Bukhari, no. 221 dan Muslim, no. 284)

Kotoran manusia juga najis karena lebih jijik dibanding kencing. Dalam madzhab Syafi’i, berlaku pula untuk kencing dan kotoran hewan dihukumi najis, baik untuk hewan yang halal dimakan dan yang haram dimakan.

  1. Darah yang mengalir

Dalilnya di antaranya adalah,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu rijsun (kotor).” (QS. Al-An’am: 145). Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan bahwa yang dimaksud rijsun di sini adalah najis dan kotor. (Jami’ Al-Bayan, 8:93)

Dari Asma’ radhiyallahu anha, ia berkata,

جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

“Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamseraya berkata, ‘Pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid, apa yang harus ia lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Keriklah darah itu terlebih dahulu, kemudian bilaslah dengan air, kemudian cucilah ia. Setelah itu engkau boleh memakainya untuk shalat.” (HR. Bukhari, no. 330 dan Muslim, no. 291)

Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Mencuci Darah”. Imam Nawawi juga membuat judul untuk hadits di atas, Bab “Najisnya darah dan cara mencucinya”. Walaupun penyebutan hadits tersebut membicarakan tentang darah haidh. Namun semua darah itu sama, tidak dibedakan darah yang satu dan darah lainnya, juga tidak dibedakan dari mana darah itu keluar.

Adapun darah yang sedikit yang tidak mengalir, tetap najis namun dimaafkan.

Hati dan limpa termasuk darah yang dikecualikan najisnya. Dalilnya adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah, no. 3314. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

  1. Bangkai

Yang dimaksud bangkai adalah yang disembelih dengan jalan tidak syar’i, yang disembelih untuk berhala, yang disembelih untuk selain Allah, yang disebut nama selain Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.”(QS. Al-Maidah: 3)

Sebab diharamkannya adalah karena najisnya bangkai. Rambut dan bulu bangkai juga dihukumi najis. Begitu pula untuk susu yang ada di ambing kambing yang bangkai dihukumi najis.

Yang dikecualikan dari bangkai yang najis adalah bangkai manusia dan bagian-bagiannya. Bangkai manusia itu suci. Dalilnya berdasarkan ayat,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan.” (QS. Al-Isra’: 70). Yang dimaksudkan dengan dimuliakan di sini adalah hukum akan sucinya tubuh manusia, baik muslim maupun kafir, baik saat hidup maupun saat mati.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ

Sesungguhnya orang mukmin tidaklah najis.” (HR. Bukhari, no. 283 dan Muslim, no. 372).

Yang dikecualikan dari bangkai yang najis adalah bangkai ikan dan semua hewan yang asalnya hidup di air, begitu pula bangkai belalang.

Begitu pula yang tidak termasuk bangkai najis adalah bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, seperti lalat, nyamuk, kutu, dan kumbang. Contoh lainnya adalah ulat yang muncul dari makanan (seperti ulat pada buah-buahan), ulat tersebut tidak menajiskan makanan.

  1. Bagian yang terpisah dari tubuh hewan ketika hidup

Dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia berkata bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, orang-orang ketika itu sangat menyukai punuk unta dan bagian pantat kambing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

مَا قُطِعَ مِنْ بَهِيمَةٍ وَهِىَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتَةٌ

Yang terpotong dari hewan dan hewan tersebut dalam keadaan hidup, maka termasuk bangkai.” (HR. Ad-Darimi dalam sunannya, 6:202. Husain Salim Asad menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari).

Yang dikecualikan di sini adalah susu hewan yang halal dimakan, susu tersebut suci. Hukum susu sama dengan hukum dagingnya.

Yang dikecualikan di sini pula adalah bulu dan rambut dari hewan yang halal dimakan dihukumi suci. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الْأَنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ ۙ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ

Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (QS. An-Nahl: 80)

  1. Zat yang memabukkan

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily mengatakan bahwa segala zat yang memabukkan (khamar) itu termasuk najis. Khamar ini bisa jadi berasal dari anggur, kurma, atau dibuat dari zat yang lain yang sifatnya memabukkan. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90). Yang dimaksud rijsun adalah najis. Yang lainnya juga dihukumi najis jika sifatnya memabukkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِى الآخِرَةِ

Segala sesuatu yang memabukkan itu khamar, dan segala sesuatu yang memabukkan itu haram. Siapa yang meminum khamar di dunia, lantas ia meninggal dunia dalam keadaan menjadi pecandu khamar dan tidak bertaubat, maka ia tidak akan meminum khamar (penuh kenikmatan) di akhirat.” (HR. Muslim, no. 2003, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Najisnya khamar ini supaya seorang muslim menjauhkan diri darinya. Namun jika khamar berubah dengan sendirinya menjadi cuka, maka dihukumi suci.

  1. Anjing dan babi

Anjing dan babi termasuk najis ‘ain, wajib mensucikan diri dari keduanya. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ»

Sucinya bejana salah seorang di antara kalian ketika anjing menjilat dalam bejana tersebut, hendaklah mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan menggunakan tanah.” (HR. Muslim, no. 279). Hadits ini menunjukkan najisnya anjing. Sedangkan babi itu dihukumi najis sama dengan anjing, bahkan lebih parah.

  1. Muntah dan air dari bisul juga termasuk najis, ini disamakan dengan darah yang dibahas sebelumnya.

Referensi:

Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i.Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.


Dikembangkan lagi 20 Dzulhijjah 1440 H (21 Agustus 2019), Rabu pagi bakda Shubuh

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/20770-safinatun-najah-mengenal-macam-macam-najis.html?fbclid=IwAR1Yv47Q6QWX1OXThgpGL83n6CKUlTOyjE-gUmr5zrEeVMb8T9nfTUEcgvE

Sujud Syukur, Bacaan, Tata Cara, dan Hikmahnya

Sujud syukur adalah salah satu cara bersyukur atas nikmat Allah. Bagaimana tata cara, bacaan dan hikmahnya? Berikut ini pembahasannya.

Mayoritas ulama berpendapat sujud ini hukumnya sunnah. Terutama para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Menurut madzhab Maliki, hukumnya makruh. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, hukumnya makruh jika dikerjakan setelah sholat karena dikhawatirkan orang awam menganggapnya sebagai sujud tambahan yang disunnahkan atau diwajibkan.

Pengertian

Syaikh Abdurrahman Al Juzairi dalam Fikih Empat Madzhab menjelaskan, sujud syukur adalah melakukan sujud sebanyak satu kali ketika seseorang baru saja mendapat kenikmatan atau terlepas dari satu kesengsaraan. Bedanya dengan sujud tilawah, sujud ini hanya boleh dilakukan di luar sholat, tidak boleh dilakukan di dalam sholat.

Menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili, sujud syukur adalah sujud yang dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan atau terselamatkan dari bencana.

Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, berhujjah dengan beberapa hadits Nabi berikut ini:

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَتَاهُ أَمْرٌ يَسُرُّهُ أَوْ يُسَرُّ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Dari Abu Bakrah bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meraih sesuatu yang disenangi atau diberi kabar gembira, beliau segera sujud sebagai tanda syukur kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Abu Daud; hasan)

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاتَّبَعْتُهُ حَتَّى دَخَلَ نَخْلاً فَسَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى خِفْتُ أَوْ خَشِيتُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ قَدْ تَوَفَّاهُ أَوْ قَبَضَهُ – قَالَ – فَجِئْتُ أَنْظُرُ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ « مَا لَكَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ ». قَالَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ « إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى أَلاَ أُبَشِّرُكَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ لَكَ مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ صَلَّيْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ سَلَّمَ عَلَيْكَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dan aku mengikutinya hingga masuk Nakhl. Lalu beliau bersujud dalam waktu yang cukup lama hingga saya takut kalau-kalau Allah mewafatkan beliau. Saya menghampiri beliau, tiba-tiba beliau mengangkat kepada dan bertanya, “Ada apa wahai Abdurrahman?”

Saya menceritakan perasaan tadi, maka beliau pun bersabda, “Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam dan mengatakan, ‘Sukakah engkau kuberi kabar gembira? Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepadamu, ‘Barangsiapa membacakan sholawat kepadamu, maka Aku akan memberinya rahmat. Dan barangsiapa membacakan salam kepadamu, maka Aku akan memberinya keselamatan.’” (HR. Ahmad; hasan)

Tentang sujud ini, Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa Kaab bin Malik radhiyallahu ‘anhu melakukannya ketika menerima berita taubatnya diterima oleh Allah. Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu melakukan sujud ini ketika menemukan mayat Dzats Tsudaiyah, yakni pemuka golongan khawarij yang tewas.

Tata Cara Sujud Syukur

Sujud ini dilakukan sebagaimana sujud tilawah, yakni satu kali. Bedanya, sujud ini hanya dilakukan di luar sholat. Bentuk sujudnya sebagaimana sujud sholat pada umumnya, yakni didahului takbir lalu langsung sujud dan membaca bacaan sujud syukur.

Dalam contoh yang dilakukan Rasulullah, beliau menghadap kiblat lalu bersujud dan memanjangkan sujudnya. Setelah itu beliau mengangkat kepala.

Sujud syukur juga memerlukan syarat-syarat sebagaimana syarat-syarat sholat seperti suci dari hadats, pakaian dan tempatnya suci dari najis. Namun ada pula ulama yang berpendapat bahwa syarat-syarat itu tidak diperlukan karena sujudnya di luar sholat, tidak termasuk kategori sholat.

Imam Syaukani menjelaskan, “Dalam sujud sukur tidak terdapat hadits yang menjelaskan bahwa syarat melakukannya harus dalam keadaan berwudhu, suci pakaian atau tempat.”

Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, boleh melakukan sujud ini di atas kendaraan. Jika berada di atas unta atau kendaraan yang menyulitkan, boleh bersujud dengan isyarat.

Secara praktis, tata cara sujud syukur adalah sebagai berikut:

  1. Menghadap kiblat
  2. Niat untuk sujud syukur
  3. Sujud seperti dalam sholat dengan membaca bacaan sujud syukur
  4. Duduk kembali
  5. Salam

Bacaan Sujud Syukur

Pada intinya, bacaan sujud syukur adalah memuji Allah, bersyukur kepada-Nya. Di antaranya bisa membaca bacaan sebagai berikut:

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ

(Subhaanalloh walhamdulillah wa laa ilaaha illalloh walloohu akbar walaa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim)

Artinya:
Mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, dan tiada daya dan kekuatan kecuali atas izin Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung.

Kapan Disunnahkan?

Imam Syafi’i menjelaskan, sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat seperti ketika dikaruniai anak dan mendapatkan pangkat atau jabatan. Juga disunnahkan ketika terhindar dari bencana, misalnya selamat dari kebakaran, selamat dari tenggelam, melihat orang yang tertimpa musibah, bahkan saat melihat orang mempertontonkan kemaksiatan sedangkan ia diselamatkan Allah dari maksiat itu.

Para ulama Hanabilah menjelaskan, sujud ini disunnahkan ketika mendapatkan kenikmatan dan terhindar dari musibah. Dalilnya adalah hadits Abu Bakrah dan sujudnya Abu Bakar ketika penaklukan Yamamah.

Dengan demikian, semua nikmat –terutama yang tak biasa- boleh sujud syukur. Misalnya kelahiran bayi, lulus ujian, diterima pekerjaan, lamaran diterima, menang perlombaan, dan sebagainya.

Hikmah Sujud Syukur

Sujud syukur adalah bentuk terima kasih dan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana rasa syukur itu sendiri, ia membawa beberapa hikmah sebagai berikut:

  1. Terhindar dari sikap sombong atas nikmat yang diterimanya. Dengan sujud syukur, ia menyadari bahwa nikmat yang diterimanya adalah anugerah dari Allah, bukan karena kehebatannya.
  2. Memperoleh kepuasan batin dan kebahagiaan hakiki.
  3. Mendapatkan tambahan nikmat dan keberkahan dari Allah serta dihindarkan dari kemurkaan-Nya, sebagaimana keutamaan syukur dalam Surat Ibrahim ayat 7.
  4. Menjadi lebih dekat kepada Allah sehingga mendapat bimbingan, taufiq dan hidayah-Nya.

Demikian pembahasan sujud syukur mulai dari pengertian, tata cara, bacaan dan hikmahnya. Semoga bermanfaat serta menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang pandai bersyukur. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]


Bacaan Ayat Kursi, Artinya, Keutamaan dan Manfaatnya

Ayat kursi merupakan ayat paling agung dalam Al Quran. Bagaimana arti dan tafsirnya, serta apa saja keutamaan dan manfaatnya? Berikut ini pembahasannya.

Ayat kursi yang tidak lain adalah Surat Al Baqarah ayat 255 ini keutamaannya luar biasa, dimulai dari kandungan maknanya. Ia berisi penjelasan kalimat tauhid yang darinya terumus pendirian dan pegangan seorang muslim sehingga berani menghadapi segala tantangan hidup.

Bacaan Ayat Kursi dan Artinya

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

(Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa naum. Lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa biidznih, ya’lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum wa laa yuhiithuuna bisyai’im min ‘ilmihii illaa bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim)

Artinya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Mengapa Disebut Ayat Kursi

Mengapa disebut ayat kursi? Karena di dalam ayat ini ada kata kursiyyuhu. Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan, makna asal Al Kursi adalah Al ‘Ilmu(ilmu). Oleh karena itu para ulama disebut juga dengan sebutan al karaasi sebab mereka adalah orang-orang yang dijadikan pegangan atau sandaran. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Kursi dalam ayat ini adalah keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi tidak ada apa namanya al kursi (kursi atau tempat duduk), tidak ada al qu’ud (duduk) dan tidak ada al qaa’id (yang duduk). Hal ini seperti firman Allah Az Zumar ayat 67.

Pendapat lainnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Al Kursi di sini adalah kerajaan dan kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hasan Al Bashri berpendapat yang dimaksud Al Kursi di dalam ayat ini adalah arsy. Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “yang benar adalah bahwa Al Kursi bukanlah arsy karena arsy lebih besar dari al kursi sebagaimana dijelaskan oleh beberapa hadits dan atsar.

Keutamaan Ayat Kursi

Keutamaan ayat kursi cukup banyak dan sungguh luar biasa. Mulai dari kedudukan ayat kursi sebagai pemimpin ayat Al Qur’an, untuk perlindungan, hingga rezeki dan balasan surga.

Berikut ini beberapa keutamaan ayat kursi yang bersumber dari sejumlah hadits:

1. Pemimpin ayat Al Quran

لِكُلِّ شَىْءٍ سَنَامٌ وَإِنَّ سَنَامَ الْقُرْآنِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَفِيهَا آيَةٌ هِىَ سَيِّدَةُ آىِ الْقُرْآنِ هِىَ آيَةُ الْكُرْسِىِّ

Segala sesuatu itu mempunyai puncaknya dan puncak Alquran ialah surat al-Baqarah, di dalamnya terdapat sebuah ayat pemimpin semua ayat al-quran yaitu Ayat Kursi. (HR. Tirmidzi)

2. Doa mustajabah

Siapa yang membaca ayat kursi lalu berdoa, doanya akan dikabulkan Allah karena di dalam ayat kursi ada asma Allah yang paling agung, yakni al hayyu al qayyuum.

اسْمُ اللَّهِ الأَعْظَمُ الَّذِى إِذَا دُعِىَ بِهِ أَجَابَ فِى سُوَرٍ ثَلاَثٍ الْبَقَرَةِ وَآلِ عِمْرَانَ وَطَهَ

Asma Allah yang paling Agung yang apabila dibaca dalam doa pasti dikabulkan ada dalam tiga tempat yaitu surat al-baqarah surat al-imron dan surat Thaha. (HR. Ibnu Majah)

Tiga ayat yang dimaksud dalam hadits ini adalah Surat Al Baqarah ayat 255 (ayat kursi), Surat Ali Imran ayat 1-2, dan Surat Thaha ayat 111.

3. Kunci masuk surga

مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ، إِلا الْمَوْتُ

Barang siapa membaca ayat kursi sehabis setiap sholat fardhu maka tiada penghalang baginya untuk memasuki surga kecuali hanya mati. (HR. Thabrani)

4. Ayat yang paling agung

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Ubay Bin ka’ab, “Ayat kitab Allah manakah yang paling agung?” Ubay menjawab, “Allah dan RasulNya lebih mengetahui.”

Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam mengulang-ulang pertanyaannya, maka Ubay menjawab, “Ayat kursi.”

Lalu Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Selamatlah dengan ilmu yang kamu miliki, Hai Abu Mundzir. Demi Tuhan yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ayat kursi itu mempunyai lisan dan sepasang bibir yang selalu menyucikan Tuhan yang maha kuasa di dekat pilar arsy.” (HR. Ahmad)

5. Perlindungan dari jin dan sihir

Dari Abdullah bin Ubay bin ka’ab, ayahnya (Kaab) pernah menceritakan kepadanya bahwa ia memiliki sebuah wadah besar yang berisi kurma. Ayahnya biasa menjaga tong berisi kurma itu tetapi ia menjumpai isinya berkurang.

Pada suatu malam saat ia menjaganya, tiba-tiba ia melihat seekor hewan yang bentuknya mirip dengan anak laki-laki berusia baligh. Lalu Kaab mengucap salam kepadanya. Makhluk itu pun menjawab salam Kaab.

“Siapa kamu, jin atau manusia?” tanya Kaab.

“Aku jin” jawabnya,

“Kemarikanlah tanganmu ke tanganku.”

Makhluk itu mengeluarkan tangannya ke Ka’ab, ternyata tangannya seperti kaki anjing begitu pula bulunya.

“Apakah memang demikian bentuk jin itu?” tanya Kaab lagi.

“Kamu sekarang telah mengetahui jin. Di kalangan mereka, tidak ada yang lebih kuat daripada aku.”

“Apa yang mendorong berbuat demikian?”

“Telah sampai kepadaku bahwa kamu adalah seorang manusia yang suka bersedekah, maka kami ingin memperoleh sebagian dari makananmu.”

“Hal apakah yang dapat melindungi kami dari gangguan kalian?”

“Ayat ini, yakni ayat kursi,” jawab jin tersebut.

Keesokan harinya, Kaab berangkat menemui Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam lalu menceritakan hal itu kepada beliau. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Benarlah apa yang dikatakan oleh si jahat itu.” (HR Hakim, dikutip Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat kursi)

6. Seperempat Al Quran

Rasulullah pernah bertanya kepada salah seorang lelaki dari kalangan sahabatnya, “Hai Fulan, apakah kamu sudah menikah?” Laki-laki itu menjawab, “Belum, karena aku tidak mempunyai biaya untuk menikah.” Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bertanya, “Bukankah kamu telah hafal qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlas)?” Lelaki itu menjawab, “Memang benar.” Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “seperempat Al Quran.”

“Bukankah kamu telah hafal qulya ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun)?” Laki-laki itu menjawab, “Benar.” Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “seperempat Al Quran.”

“Bukankah kamu telah hafal idzaa zulzilati (surat al zalzalah)?” Laki-laki itu menjawab, “Benar.” Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “seperempat Al Quran.”

“Bukankah kamu telah hafal idzaa jaa’a nashrullah (surat an nashr)?” Laki-laki itu menjawab, “Benar.” Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “seperempat Al Quran.”

“Bukankah kamu telah ayat kursi (Allahu laa ilaha illa huwa)?” Laki-laki itu menjawab, “Benar.” Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “seperempat Al Quran.” (HR. Ahmad, dikutip Ibnu Katsir saat menjelaskan tafsir ayat kursi)

7. Kunci rezeki dan jodoh

Hal ini tersirat dari hadits di atas. Ketika seorang sahabat mengatakan belum menikah karena alasan tidak memiliki biaya, Rasulullah menyuruhnya membaca surat Al Ikhlas, surat Al Kafirun, surat Al Zalzalah, surat An Nashr dan ayat kursi.

Siapa yang banyak membaca ayat kursi, insya Allah dimudahkan mendapatkan rezeki dan mendapatkan jodoh.

8. Pahala mati syahid

Siapa yang rutin membaca ayat kursi setelah sholat fardhu, ia akan mendapat pahala mati syahid.

من قرأ آية الكرسى دبر كل صلاة كان الذى يلى قبض روحه ذو الجلال والإكرام وكان كمن قاتل عن أنبياء الله ورسله حتى يستشهد

Barangsiapa membaca ayat kursi setiap selesai sholat, maka yang akan mencabut nyawanya adalah Allah sendiri dan ia bagaikan orang yang berperang bersama para nabi hingga mendapatkan mati syahid. (HR. Hakim)

Manfaat Ayat Kursi

Keutamaan-keutamaan ayat kursi di atas sebenarnya sudah cukup untuk mengetahui betapa ajaibnya ayat kursi. Dengan izin Allah, ayat kursi menjadi doa perlindungan, kunci rezeki, kunci jodoh, hingga kunci surga.

Selain itu, dua hadits lagi yang menunjukkan manfaat ayat kursi. Satu hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi. Satu hadits lain yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Kedua hadits ini menunjukkan manfat ayat kursi. Mari kita simak intisari hadits-hadits tersebut:

1. Tak Ada yang Berani Mengganggu

Abu Ayyub sering didatangi jin yang mengganggu dalam tidurnya. Ia kemudian melaporkan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi bersabda kepadanya, “apabila kamu melihatnya maka ucapkanlah:

بسم الله اجيبي رسول الله

Bismillah, tunduklah kepada Rasulullah

Ketika jin itu datang, Abu Ayyub mengucapkan kalimat tersebut dan akhirnya ia dapat menangkapnya. Tetapi jin itu berkata “Sesungguhnya aku tidak akan kembali lagi.”

Maka Abu Ayyub melepaskannya. Abu Ayyub datang menghadap Nabi dan beliau bertanya “Apa yang telah dilakukan oleh tawananmu?” Abu Ayyub menjawab, “Aku dapat menangkapnya dan ia berkata bahwa dirinya tidak akan kembali lagi, akhirnya kulepaskan.” Nabi menjawab, “Sesungguhnya dia akan lagi.”

Abu Ayyub melanjutkan kisahnya: aku menangkapnya kembali sebanyak dua atau tiga kali. Setiap kutangkap, ia mengatakan, “aku sudah kapok dan tidak akan kembali menggoda lagi.” Aku datang lagi kepada Nabi dan beliau bertanya, “Apakah yang telah dilakukan oleh tawananmu?” Aku menjawab, “Aku menangkapnya dan ia berkata bahwa dia tidak akan kembali lagi.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya dia akan kembali lagi.”

Kemudian aku menangkapnya kembali dan ia berkata, “Lepaskanlah aku dan aku akan mengajarkan kepadamu satu kalimat yang jika kamu ucapkan niscaya tidak ada sesuatu yang berani mengganggumu yaitu ayat kursi.”

Abu Ayyub datang kepada Nabi dan menceritakan hal itu kepada beliau. Lalu Nabi bersabda, “Engkau benar, tetapi dia banyak berdusta.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dikutip Ibnu Katsir saat menjelaskan tafsir ayat kursi)

2. Setan Tak Berani Mendekat

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah memerintahkannya untuk menjaga zakat Ramadhan. Tiba-tiba datang seseorang mengambil sebagian dari zakat yang dijaganya itu. Lalu Abu Hurairah menangkapnya.

“Sungguh aku akan melaporkan kamu kepada Rasulullah.”

“Lepaskanlah aku, sesungguhnya aku orang yang miskin dan banyak anak serta aku dalam keadaan sangat memerlukan makanan.”

Abu Hurairah lantas melepaskannya.

Paginya, Rasulullah bersabda, “Abu Hurairah, apa yang telah dilakukan oleh tawananmu tadi malam?”

“Wahai Rasulullah, dia mengatakan tentang kemiskinan yang sangat dan banyak anak hingga aku kasihan kepadanya maka kulepaskan dia.”

“Ingatlah sesungguhnya dia akan telah berdusta kepadamu dan dia pasti akan kembali lagi.”

Abu Hurairah yakin pencuri itu akan kembali sebagaimana sabda Nabi. Maka diintailah pencuri itu. Saat ia datang, Abu Hurairah pun kembali menangkapnya. Paginya, Rasulullah memberitahukan bahwa pencuri itu akan kembali lagi.

Malamnya, Abu Hurairah kembali mengintai pencuri itu. Ternyata dia datang lagi lalu mengambil sebagian dari zakat itu. Abu Hurairah kembali menangkapnya.

“Sungguh aku akan menghadapkan dirimu kepada Rasulullah kali ini. Untuk yang ketiga kalinya kamu katakan bahwa dirimu tidak akan kembali lagi tetapi ternyata kamu kembali lagi.”

“Lepaskanlah aku. Aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat yang akan membuatmu mendapat manfaat dari Allah karenanya.”

“Kalimat-kalimat apakah itu?”

“Apabila kamu hendak pergi ke peraduan, maka bacalah ayat kursi. Sesungguhnya engkau akan terus menerus mendapat pemeliharaan dari Allah dan tiada setan yang berani mendekatimu hingga pagi hari.” Maka aku lepaskan dia.

Abu Hurairah pun lantas melepaskannya.

Pada pagi harinya, Rasulullah bertanya kepada Abu Hurairah. Setelah Abu Hurairah menceritakan semuanya, maka Nabi bersabda, “Ingatlah sesungguhnya dia percaya kepadamu tetapi dia sendiri banyak berdusta. Hai Abu Hurairah, tahukah kamu siapa yang kamu ajak bicara selama tiga malam itu?” Abu Hurairah menjawab, “Tidak.” Nabi bersabda, “dia adalah setan.”

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 255

Ayat Kursi yang tidak lain adalah Surat Al Baqarah ayat 255 ini dimulai dengan pemberitahuan yang menyatakan keesaan Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dialah yang hidup kekal abadi, tidak akan pernah mati. Dia terus menerus mengurus seluruh makhluk-Nya, tanpa pernah lelah dan lalai. Dia juga tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur.

Segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Segala yang ada di alam semesta ini, di planet dan di galaksi mana pun adalah milik-Nya. Seluruhnya dalah makhluk Allah dan kepunyaan-Nya.

Sebagai pemilik dan penguasa, Allah kuasa untuk bertindak sekehendak-Nya dan memberikan pertolongan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Sebaliknya, tidak ada yang bisa memberikan syafaat atau pertolongan kecuali dengan izin-Nya.

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Baik apa yang ada di depan mereka maupun di belakang mereka. Baik dalam pengertian secara harfiah maupun secara majazi, yakni masa depan dan masa lalu. Allah mengetahui semuanya.

Sedangkan manusia, pada hakikatnya mereka tidak memiliki pengetahuan apa pun kecuali dengan kehendak-Nya. Semua pengetahuan dan ilmu itu dari Allah dan manusia tidak mengetahui sedikitpun dari ilmu Allah itu kecuali atas kehendak-Nya.

Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quranmenjelaskan, kursi itu identik dengan kekuasaan. Bahwa kekuasaan Allah itu adalah kekuasaan yang sempurna, meliputi seluruh alam semesta termasuk langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat untuk memelihara langit dan bumi itu.

Surat Al Baqarah ayat 255 ini kemudian ditutup dengan dua sifat Allah. Mahatinggi lagi Mahabesar. Dua sifat yang hanya dimiliki Allah Azza wa Jalla dan menunjukkan kesempurnaan-Nya.

Demikian bacaan ayat kursi, artinya, keutamaan dan manfaatnya. Semoga kita semakin mencintainya, suka membacanya, mempelajari tafsirnya dan mengamalkannya. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]