Penetapan Hakikat Tauhid

Syekh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadaburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi Al-Qur’an, dari Al-Fatihah sampai An-Nas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir Al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya. Maka, ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 22)

Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi Al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul, fitrah, dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar di antara segala pokok ajaran agama.” (lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 8:23)

Allah Ta’ala berfirman,

شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلۡعِلۡمِ قَاۤىِٕمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡحَكِیمُ

“Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan (yang benar) selain Dia, dan (begitu pula) para malaikat serta orang-orang yang berilmu (bersaksi), demi tegaknya keadilan. Tiada ilah (yang benar) selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan bantahan bagi seluruh kelompok sesat. Ia mengandung persaksian yang paling mulia, paling agung, paling adil, dan paling jujur, yang berasal dari semulia-mulia saksi terhadap sesuatu perkara yang paling mulia untuk dipersaksikan.” (lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 90 cet. Al-Maktab Al-Islami)

Makna persaksian ini adalah bahwa Allah telah mengabarkan, menerangkan, memberitahukan, menetapkan, dan memutuskan bahwa segala sesuatu selain-Nya bukanlah ilah/sesembahan (yang benar) dan bahwasanya penuhanan segala sesuatu selain-Nya adalah kebatilan yang paling batil. Menetapkan hal itu (ilahiah pada selain Allah) adalah kezaliman yang paling zalim. Dengan demikian, tidak ada yang berhak untuk disembah, kecuali Dia, sebagaimana tidak layak sifat ilahiah disematkan kepada selain-Nya. Konsekuensi hal ini adalah perintah untuk menjadikan Allah semata sebagai ilah dan larangan mengangkat selain-Nya sebagai sesembahan lain bersama-Nya. (lihat At-Tafsir Al-Qayyim, hal. 178 oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah)

Sesembahan yang hak

Allah Ta’ala berfirman,

ذَ ٰ⁠لِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا یَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَـٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِیُّ ٱلۡكَبِیرُ

“Yang demikian itu, karena Allah adalah (sesembahan) yang benar. Adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil. Dan sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Hajj: 62)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil. Yaitu, patung, tandingan, berhala, dan segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka itu adalah (sesembahan yang) batil. Karena ia tidak menguasai kemanfaatan maupun mudarat barang sedikit pun.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 449)

Orang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya mengenai amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

تعبدُ الله لا تشركُ به شيئًا، وتُقيمُ الصلاةَ، وتُؤتي الزكاةَ، وتَصومُ رمضانَ، …

“Kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan salat wajib, zakat yang telah difardukan, dan berpuasa Ramadan …” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)

Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Zat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Zat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan, kecuali kepada Allah ‘Azza Wajalla. Barangsiapa yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini (yang ia merupakan kekhususan ilahiah), maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan. (lihat Kitab At-Tauhid; Risalah Kalimat Al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)

Dengan demikian, seseorang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah wajib mengingkari segala sesembahan selain-Nya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من قال لا إله إلا الله، وكَفَرَ بما يُعْبَدُ من دون الله حَرُمَ مالُه ودمُه وحِسابُه على الله

“Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang disembah selain Allah, maka terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim dari Thariq bin Asy-yam radhiyallahu’anhu)

Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah, akan tetapi tidak mengingkari sesembahan selain Allah atau justru berdoa kepada para wali dan orang-orang saleh (yang sudah mati), maka orang semacam itu tidak bermanfaat baginya ucapan laa ilaha illallah. Karena hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu saling menafsirkan satu sama lain. Tidak boleh hanya mengambil sebagian hadis dan meninggalkan sebagian yang lain. (lihat Syarh Tafsir Kalimat At-Tauhid, hal. 12)

Seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melandasi syahadatnya dengan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فإنَّ اللَّهَ قدْ حَرَّمَ علَى النَّارِ مَن قالَ: لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، يَبْتَغِي بذلكَ وجْهَ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah karena (ikhlas) mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu ’anhu)

Seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallah pun harus melandasi syahadatnya dengan keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أشهَدُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ ، و أنِّي رسولُ اللهِ ، لا يلْقَى اللهَ بِهِما عبدٌ غيرُ شاكٍّ فِيهِما إلَّا دخَلَ الجنةَ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwasanya aku (Muhammad) adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua persaksian ini tanpa keragu-raguan, kecuali ia masuk surga.” (HR. Muslim)

Dakwah yang paling utama

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya,

إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أولَ ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله” –وفي رواية: “إلى أن يوحدوا الله-

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang agung ini menunjukkan bahwasanya dakwah kepada laa ilaha illallah adalah dakwah kepada tauhid. (lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 67 oleh Syekh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syekh).

Orang-orang ahli kitab di masa itu telah mengucapkan kalimat laa ilaha illallah (berdasarkan perintah Kitab suci mereka). Akan tetapi, karena ucapan mereka tidak dilandasi dengan ilmu dan pemahaman, maka ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka, sehingga mereka justru beribadah kepada selain Allah. Oleh sebab itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Mu’adz untuk menjadikan dakwah tauhid sebagai dakwah yang paling utama untuk diserukan kepada mereka. (lihat Qurrat ‘Uyun Al-Muwahhidin, hal. 36 oleh Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah)

Di antara pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hadis di atas adalah wajibnya menerima hadis ahad dan mengamalkannya. Sebab di dalam hadis ini, Mu’adz diutus ke Yaman seorang diri. Hadis ini juga menunjukkan bahwa orang-orang kafir didakwahi kepada tauhid sebelum kepada perkara-perkara wajib yang lain. Demikian pula, hadis ini menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib. (lihat Ibthal At-Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 42 oleh Syekh Hamd bin ‘Atiq rahimahullah)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Di dalam hadis ini terkandung pelajaran diterimanya khabar/hadis ahad dan wajib beramal dengannya.” Beliau juga berkata, “Di dalamnya juga terdapat pelajaran bahwa dituntunkan untuk mendakwahi orang kafir kepada tauhid sebelum memerangi mereka. Dan tidaklah mereka dihukumi sebagai muslim, kecuali setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.” (lihat Syarh Muslim, 2:48)

Demikian sedikit kumpulan catatan yang bisa kami susun dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wallahul muwaffiq.

***

Yogyakarta, 24 Shafar 1445 H / 10 September 2023

Disusun di Markas YPIA Pogungrejo – semoga Allah menjaganya –

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87679-penetapan-hakikat-tauhid.html

Menyelami Makna Tauhid

Syekh Ibnu ‘Utsaimin memaparkan bahwa kata tauhid secara bahasa adalah isim (kata benda) yang berasal dari perubahan fiil (kata kerja) ’wahhada-yuwahhidu’ yang bermakna menunggalkan sesuatu. Sedangkan dalam kacamata syari’at tauhid bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ washifat (Al-Qaul Al-Mufid, I/5)

Syekh Hamad bin ‘Atiq menerangkan bahwa agama Islam disebut sebagai agama tauhid disebabkan agama ini dibangun di atas pondasi pengakuan bahwa Allah adalah esa dan tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam hal kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah Maha Esa dalam hal Zat dan Sifat-sifat-Nya. Tiada sesuatu pun yang menyerupai diri-Nya. Allah Maha Esa dalam urusan peribadahan. Tidak ada yang berhak dijadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya. Tauhid yang diserukan oleh para nabi dan rasul telah mencakup ketiga macam tauhid ini (rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat, pen). Setiap jenis tauhid adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari jenis tauhid yang lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mewujudkan salah satu jenis tauhid saja tanpa disertai dengan jenis tauhid lainnya, maka hal itu tidak mungkin terjadi. Hal ini disebabkan dia tidak melaksanakan tauhid dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh agama. (Ibthal At-Tandid, hal. 5-6).

Syekh Muhammad bin Abdullah Al-Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan terwujud dengan memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid, yaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat). ’La ilaha’ adalah penafian. Kita menolak segala sesembahan selain Allah. Sedangkan ’illallah’ adalah itsbat/ penetapan. Kita menetapkan bahwa Allah saja yang berhak disembah. (At-Taudhihat Al-Kasyifat, hal. 49).

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

“Ketahuilah –semoga Allah membimbingmu untuk menaati-Nya. Sesungguhnya hakikat al-hanifiyah millah Ibrahim adalah engkau beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Dengan maksud itulah seluruh umat manusia diciptakan oleh Allah.

Sebagaimana ditegaskan Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.’ (QS. Az-Zariyat: 56)

Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ dalam ayat tersebut adalah agar mereka men-tauhid-kan-Ku. Perintah terbesar yang dititahkan Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam hal peribadahan. Sedangkan larangan Allah yang terbesar adalah kesyirikan, yaitu berdoa kepada selain Allah di samping berdoa kepada-Nya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

 وَٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ 

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.’ (QS. An-Nisa’ : 36)”

(Tsalatsatul Ushul)

Hanifiyah = beribadah dengan ikhlas

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan bahwa makna hanifiyah adalah beribadah dengan mengikhlaskan agama kepada Allah. Ibadah memiliki asal makna merendah dan menundukkan diri. Oleh sebab itu, berbagai tugas yang dibebankan Allah kepada umat manusia disebut ibadah karena mereka diperintahkan mengerjakannya dalam keadaan tunduk dan patuh kepada Allah. Adapun makna ibadah dalam terminologi syariat yaitu suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan sebagaimana sudah dimaklumi bahwa ibadah hanya akan diterima jika dilandasi dengan keikhlasan. Makna ikhlas adalah seorang hamba beramal dengan mengharapkan rida dan pahala dari Rabbnya, bukan dalam rangka mencari tujuan lain berupa kepemimpinan, kedudukan, ataupun perkara duniawi lainnya. Mengharapkan rida dan pahala dari Allah tidaklah mengurangi keikhlasan. Bahkan orang yang beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan pahala itu tercela. Hal itu merupakan tata cara beragama kaum sufi yang bertentangan dengan dalil-dalil syari’at. (lihat Hushuulul Ma’muul, hal. 43)

Buah keikhlasan

Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan menyebutkan beberapa buah dari keikhlasan.

Menyempurnakan tauhid dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah akan menyempurnakan ketaatan dan melenyapkan segala bentuk penyembahan dan pemujaan kepada selain-Nya.

Orang yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah akan dibersihkan dari maksiat dan dosa. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

كَذَ ٰ⁠لِكَ لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ ٱلسُّوۤءَ وَٱلۡفَحۡشَاۤءَۚ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُخۡلَصِینَ

Demikianlah agar Kami memalingkan darinya (Nabi Yusuf) keburukan (maksiat) dan perbuatan keji. Sesungguhnya dia termasuk hamba Kami yang terpilih (dikaruniai keikhlasan).” (QS. Yusuf : 24)

Orang yang ikhlas dalam beribadah, maka dia akan terjaga dari tipu daya setan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِبَادِی لَیۡسَ لَكَ عَلَیۡهِمۡ سُلۡطَـٰنٌ 

Sesungguhnya tidaklah engkau (setan) mampu menyesatkan hamba-hamba-Ku (yang terpilih).” (QS. Al-Hijr : 42)

Dan setan pun berkata,

فَبِعِزَّتِكَ لَأُغۡوِیَنَّهُمۡ أَجۡمَعِینَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡهُمُ ٱلۡمُخۡلَصِینَ

Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (ikhlas).” (QS. Shad : 82-83)

Haram masuk neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadis ‘Itban, “Sesungguhnya Allah mengharamkan orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dengan mengharapkan wajah Allah masuk ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

(lihat Majmu’ Fatawa, 10/260-261. disadur dari Hushuulul Ma’muul, hal. 43-44)

Millah Ibrahim adalah Tauhid

Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata, “Al-Hanifiyah adalah millah (agama) Ibrahim. Agama Ibrahim biasa disebut dengan istilah al-hanifiyah.” (Hushulul Ma’mul, hal. 42). Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Al-Hanifiyah adalah millah (agama) yang memiliki kecenderungan menjauhi syirik. Agama yang ditegakkan di atas landasan keikhlasan untuk Allah ‘Azza Wajalla.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 37)

Sykh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhahullah berkata, ”Yang dimaksud dengan al-hanifiyah millah Ibrahim ‘alaihis salam adalah ajaran yang dititahkan Allah Jalla Wa‘ala kepada Nabi-Nya. Ajaran yang diperintahkan Allah untuk diikuti oleh seluruh umat manusia. Allah Jalla Wa‘ala berfirman,

ثُمَّ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۖ

”Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengikuti millah Ibrahim dengan hanif.” (QS. An-Nahl : 123)

Hakikat millah Ibrahim adalah ajaran tauhid…” (Syarh Kitab Tsalatsatil Ushul, hal. 16)

Imam Ath-Thabari menafsirkan kata-kata ‘dengan hanif’ dalam ayat tersebut (QS. An-Nahl : 123) adalah dengan “istikamah di atas agama Islam”. Imam Ibnu Katsir berkata bahwa makna kata hanif ialah almunharif qashdan ‘an syirki ila tauhid (sengaja menjauhi dan meninggalkan syirik menuju tauhid). Imam Al-Baghawi mengatakan bahwa makna hanif adalah, ”Muslim yang lurus berada di atas agama Islam.” Imam Al-Alusi mengatakan bahwa makna hanif adalah, ”Berpaling dari semua agama yang batil menuju agama yang hak dan tidak bergeser darinya.” Tafsiran serupa disampaikan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir. Syekh As-Sa’di mengatakan bahwa makna hanif adalah muqbilan ‘alallah bil mahabbah wal inaabah wal ‘ubuudiyah mu’ridhan ‘an man siwaahu  (menghadapkan jiwa raga kepada Allah dengan rasa cinta, tobat, dan penghambaan serta berpaling dari segala sesembahan selain-Nya). Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri mengatakan tentang makna hanif adalah condong kepada agama yang lurus, yaitu Islam.

(lihat Maktabah Syamilah)

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77699-menyelami-makna-tauhid.html

Fatwa Ulama: Perbedaan Makna Iman, Tauhid, dan Akidah

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan

Iman, tauhid, dan akidah adalah nama-nama dan istilah-istilah yang tersendiri. Apakah masing-masing berbeda  maknanya?

Jawaban

Iya, ketiganya berbeda tetapi kembali pada satu hal. At-tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Al-imān adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala yang berhak untuk diibadahi semata dan meyakini semua yang difirmankan-Nya. Iman memiliki makna lebih luas dibanding makna tauhid. Tauhid merupakan mashdar dari wahhada – yuwahhidu, yang maknanya mengesakan Allah dalam ibadah dan mengkhususkan-Nya dengannya. Tauhid maknanya meyakini bahwa Allah Ta’ala semata yang berhak disembah. Allah adalah Al-Khāliq (Maha Pencipta), Ar-Rāziq (Maha Pemberi Rizqi), yang Mahasempurna dalam segala nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Allah adalah Maha Pengatur, yang mengatur segala urusan hambanya. Allah Ta’ala semata adalah yang berhak diibadahi.

Tauhid artinya mengesakan Allah dalam ibadah dan menafikan semua sembahan selain Allah. Iman  memiliki makna lebih luas daripada tauhid. Iman di dalamnya mancakup makna tauhid. Iman bentuknya mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Makna iman mencakup juga menerima dan membenarkan semua yang disampaikan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Akidah memiliki makna yang mencakup dua perkara. Makna akidah mencakup makna tauhid dan makna iman. Makna iman yang tercakup dalam makna akidah antara lain, iman kepada Allah, iman kepada kabar yang datang dari Allah, iman kepada kabar dari Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan iman kepada asma wa shifat-Nya.

Akidah adalah sesuatu yang diyakini seorang manusia dengan hatinya. Dia beragama dengan akidah tersebut dan menyembah Allah dengan akidah tersebut. Makna akidah mencakup semua yang diyakini terkait perkara tauhid. Akidah juga mengimani bahwa Allah adalah Al-Khāliq, Ar-Rāziq, dan pemilik al-asmaa’ al-husnaa (nama-nama yang indah) dan ash-shifaat al-’ulaa (sifat-sifat yang tinggi). Selain itu, akidah mencakup mengimani bahwa tidak sah suatu ibadah ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Makna akidah juga mencakup beriman kepada perintah Allah Ta’ala berupa pengharaman, penghalalan, dan syariat yang diturunkan. Oleh karena itu, akidah memiliki makna lebih luas dibandingkan iman dan tauhid [1].

Fatwa Syekh Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan

Apakah makna iman sama dengan tauhid?

Jawaban

Tauhid adalah mengesakan Allah ‘Azza Wa Jalla dalam hal yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala dan hal yang wajib untuk-Nya. Sedangkan iman adalah membenarkan dengan disertai al-qabuul (menerima dengan lapang dada) dan al-idz’aan (taat).

Keduanya memiliki keumuman dan kekhususan. Setiap orang yang bertauhid adalah orang yang beriman (mukmin) dan setiap mukmin secara umum adalah orang yang bertauhid. Akan tetapi, terkadang makna tauhid lebih khusus dari makna iman, dan terkadang makna iman lebih khusus dari makna tauhid. Wallahu a’lam [2].

***

Penerjemah: Muhammad Fadli

Sumber: https://muslim.or.id/73263-fatwa-ulama-perbedaan-makna-iman-tauhid-dan-akidah.html

Tauhid, Fitrah Seluruh Manusia

Terkadang terbesit satu pertanyaan pada diri seseorang, “Mengapa Allah Ta’ala tidak menciptakan seluruh manusia dalam keadaan muslim? Mengapa Allah Ta’ala menciptakan mereka, sedangkan Dia mengetahui bahwasanya mereka akan mengingkari dan kufur terhadap-Nya?”

Perlu kita ketahui dan kita perhatikan, pentingnya dan wajibnya kita beradab kepada Allah Ta’ala. Karena sejatinya, tidak ada yang menjadi kewajiban bagi Allah untuk Dia tunaikan dan lakukan terhadap hamba-hamba-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Sehingga kita tidak boleh menanyakan dan mengatakan “mengapa” terhadap apa-apa yang diperbuat oleh Allah Ta’ala. Karena Dialah Zat Mahakuasa yang melakukan apapun yang Dia kehendaki. Tidak boleh menghakimi keputusan-Nya. Tidak boleh menghalangi ketetapan-Nya. Tidak boleh bertanya tentang apa yang Dia lakukan. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ

“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya’: 23)

وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلْوَدُود ، ذُو ٱلْعَرْشِ ٱلْمَجِيدُ ، فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ

“Dialah Yang Mahapengampun lagi Mahapengasih, yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia, Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Buruj 14-16)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَاللّٰهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهٖۗ وَهُوَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

“Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. Dia Mahacepat perhitungan-Nya.” (QS. Ar-Ra’d: 41)Daftar Isisembunyikan 1. Fitrah Manusia adalah Beribadah dan Mentauhidkan Allah Ta’ala 2. Lalu Apa yang Menyebabkan Manusia Menjadi Kafir?

Fitrah Manusia adalah Beribadah dan Mentauhidkan Allah Ta’ala

Setelah mengetahui bahwa di antara adab kepada Allah Ta’ala adalah tidak boleh menghakimi keputusan-Nya, tidak boleh menghalangi ketetapan-Nya, dan tidak boleh bertanya tentang apa yang Dia lakukan, maka wajib untuk kita ketahui bahwasanya Allah Ta’ala memberikan fitrah kepada manusia dan menciptakan mereka agar hanya menyembah kepada-Nya serta mentauhidkan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰه

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia barada di atas (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (QS. Ar-Rum: 30)

Makna (Al-Fithrah) adalah agama Islam sebagaimana tafsir dari Mujahid (Diriwayatkan oleh Ath-Thabary dalam tafsirnya 20/97).

Di dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah disebutkan, Dan teguhlah di atas agama Islam. Ia merupakan agama Allah yang manusia diciptakan Allah dengan agama Islam sejak kelahiran mereka. Maka, janganlah merubah fitrah yang telah Allah tetapkan bagi hamba-Nya itu. Namun, teguhlah di atas agama yang agung dan jalan yang dapat mengantarkan kepada keridaan Allah. Akan tetapi, mayoritas hamba tidak mengetahui keagungan agama yang benar ini.”

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

As-Sa’di Rahimahullah di dalam tafsirnya berkata, “Inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia. Dan Allah mengutus semua rasul untuk menyeru kepada tujuan tersebut. Tujuan tersebut adalah menyembah Allah yang mencakup berilmu tentang Allah, mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya. Semua tujuan itu tergantung pada ilmu tentang Allah. Sebab kesempurnaan ibadah itu tergantung pada ilmu dan ma’rifatullah. Dan Allah menciptakan mereka bukan karena mereka diperlukan oleh Allah.”

Bahkan, semenjak masih menjadi janin, sejatinya seluruh manusia telah bersaksi bahwa Allah Ta’ala adalah sesembahan satu-satunya. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb).’” (QS. Al-A’raf: 172)

Oleh sebab itu, setiap manusia yang lahir, maka dia lahir dalam keadaan Islam, mengenal Allah Rabb semesta alam, dan mengakui-Nya sebagai sesembahannya.

Lalu Apa yang Menyebabkan Manusia Menjadi Kafir?

Saat Allah Ta’ala telah menciptakan seluruh janin dengan kondisi mereka telah menjadi muslim, lalu bagaimana bisa ada orang yang kafir?

Di dalam sebuah hadis qudsi Allah Ta’ala berfirman,

إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hunafa’ (Islam) semuanya. Kemudian setan datang. Lalu memalingkan mereka dari agama mereka, mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangannya.” (HR. Muslim no. 2865)

Allah Ta’ala mengabarkan dalam hadis qudsi ini bahwa kita pada asalnya diciptakan dalam keadaan hunafa’. Makna (hunafa’) adalah dalam keadaan Islam sebagaimana penjelasan An-Nawawi Rahimahullah (lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 247). Kemudian setan dari kalangan jin dan manusialah yang menjadikan manusia berubah fitrahnya.

Di antara faktor terbesar yang menjadikan seorang manusia itu menjadi kafir adalah orang tuanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ

“Tidaklah setiap anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah. Maka, bapak ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, atau menjadikannya Nasrani, atau menjadikannya Majusi. Sebagaimana halnya hewan ternak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam keadaan sehat. Apakah Engkau lihat hewan itu terputus telinganya?” (HR. Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658)

Maksudnya, hewan ternak itu semula lahir dalam keadaan sehat tanpa cacat. Kemudian setelah lahir, terjadi perubahan, telinganya putus karena dipotong oleh manusia. Demikian pula manusia, ia terlahir dalam keadaan fitrah, tetapi karena keadaan orang tuanyalah atau karena pola pendidikan orang tuanyalah hingga terjadi perubahan pada diri anak manusia yang tidak sesuai dengan fitrahnya.

Orang tua yang Yahudi, Nasrani, atau Majusi akan dapat mengubah anaknya berubah menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bukan itu saja, bahkan orang tua yang muslim pun akan dapat mengubah fitrah buah hatinya dari Islam menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi, atau minimal berkarakter seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Kenapa bisa begitu?

Lemahnya keislaman orang tua, serta ketidakmampuan mereka di dalam mendidik dan mengarahkan anaknyalah yang akan menyebabkan perubahan fitrah seorang anak. Dan hal itu akan berpengaruh besar bagi perkembangan negatif fitrah anak-anaknya.

Orang tua yang demikian tidak pernah peduli terhadap pendidikan Islam anak-anaknya. Jangankan berpikir tentang pendidikan keislaman anaknya, untuk berpikir tentang keislaman dirinya sendiri pun tidak peduli.

Tidak heran jika mereka menyerahkan pendidikan putra-putrinya kepada orang atau lembaga yang cita-cita tertingginya adalah sukses duniawi. Bukan membentuk anak saleh atau salehah yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpikir tentang sukses akhirat. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan oleh-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Ibnu Katsir Rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan, Penjagaan terhadap diri dan keluarga dari siksa api neraka adalah dengan memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik kepada keluarga termasuk putra-putrinya.”

Semoga Allah Ta’ala senantiasa meneguhkan kita di atas fitrah yang lurus, memberikan kita kekuatan di dalam beribadah dan bertauhid kepada-Nya, serta menjaga seluruh keluarga kita dan anak cucu kita di dalam kalimat tauhid. Amiin Ya Rabbal Aalamiin.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72768-tauhid-fitrah-seluruh-manusia.html

Sepuluh Kaidah Pemurnian Tauhid

Bismillah.

Tidaklah diragukan oleh seorang muslim bahwa tauhid merupakan pondasi agama Islam. Oleh sebab itu para ulama dari masa ke masa senantiasa memprioritaskan dakwah tauhid di tengah manusia.

Kaidah pertama: mengapa Allah menciptakan jin dan manusia?

Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya dan menjauhi syirik. Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. adz-Dzariyat: 56).

Dan dalam rangka mewujudkan tujuan inilah Allah pun mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Allah berfirman,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami utus seorang pun rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku” (QS. al-Anbiya: 25).

Kaidah kedua: tidak akan benar ibadah tanpa tauhid

Sebagaimana salat tidak sah tanpa bersuci, maka ibadah tidak akan menjadi benar tanpa tauhid. Apabila ibadah tercampur dengan syirik, maka seluruh amalan akan lenyap dan sia-sia.

Allah berfirman tentang ibadahnya kaum musyrik,

مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِينَ أَن يَعۡمُرُواْ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ شَٰهِدِينَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِۚ أُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ وَفِي ٱلنَّارِ هُمۡ خَٰلِدُونَ

“Tidak selayaknya kaum musyrik memakmurkan masjid-masjid Allah seraya mempersaksikan atas diri mereka kekafiran, mereka itulah yang terhapus amal-amal mereka dan di dalam neraka mereka itu kekal” (QS. at-Taubah: 17).

Allah juga berfirman,

لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

“Sungguh jika kamu melakukan syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi” (QS. az-Zumar: 65).

Kaidah ketiga: apa makna ibadah yang harus ditujukan kepada Allah semata?

Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah dengan penuh ketaatan; melaksanakan perintah-perintah-Nya, disertai ketundukan dan kepatuhan kepada syariat-Nya, dengan dilandasi kecintaan kepada-Nya. Maka simpul ibadah itu adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah harus dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan.

Kaidah keempat: bagaimana mengenali macam-macam ibadah?

Segala sesuatu yang dicintai oleh Allah untuk kita lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, maka itu adalah ibadah. Ia mencakup keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal dengan anggota badan. Kita bisa mengenali bahwa hal itu dicintai Allah apabila Allah memerintahkannya, memuji pelakunya, meridainya, atau memberikan janji pahala atasnya.

Diantara contoh ibadah hati adalah inabah/ kembali kepada Allah. Allah berfirman,

وَأَنِيبُوٓاْ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَأَسۡلِمُواْ لَهُ

“Dan inabah/kembalilah kalian kepada Rabb kalian dan pasrahlah kepada-Nya” (QS. az-Zumar: 54).

Demikian pula khasyyah/ rasa takut kepada Allah. Allah berfirman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٞ كَبِيرٞ

“Sesungguhnya orang-orang yang merasa takut kepada Rabb mereka dalam keadaan ghaib/ tidak tampak, bagi mereka ampunan dan pahala yang sangat besar” (QS. al-Mulk: 12).

Diantara contoh ibadah lisan adalah berzikir. Allah berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ ذِكۡرٗا كَثِيرٗا

“Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah kepada Allah dengan sebanyak-banyak zikir” (QS. al-Ahzab: 41).

Diantara contoh ibadah anggota badan adalah mendirikan salat dan menunaikan zakat. Allah berfirman,

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS. al-Baqarah: 43).

Begitu pula menyembelih kurban. Allah berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ

“Maka salatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah kurban” (QS. al-Kautsar: 2).

Dengan demikian segala bentuk ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah selain Allah. Allah berfirman,

فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ

“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama/ ketaatan untuk-Nya” (QS. az-Zumar: 2).

Kaidah kelima: syirik kepada Allah adalah dosa terbesar dan paling berbahaya

Syirik menyebabkan semua amalan akan terhapus dan tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah apabila pelakunya tidak bertaubat sebelum meninggal. Allah berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. an-Nisa: 48).

Allah juga berfirman,

إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ

“Sesungguhnya barang siapa yang mempersekutukan Allah benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong” (QS. al-Maidah: 72).

Kaidah keenam: apakah hakikat syirik yang wajib diwaspadai?

Syirik kepada Allah adalah menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal-hal yang termasuk dalam kekhususan-Nya. Kekhususan Allah itu mencakup perkara rububiyahuluhiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Allah sebagai satu-satunya pemelihara, penguasa, dan pengatur alam semesta; ini adalah kekhususan Allah dalam hal rububiyah. Adapun kekhususan Allah dalam hal uluhiyah yaitu bahwa hanya Allah yang berhak disembah.

Allah berfirman,

إِنَّنِيٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِي وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah; Yang tidak ada ilah/ sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku, dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha: 14).

Allah pemilik segala sifat kesempurnaan dan nama-nama yang terindah; ini merupakan kekhususan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya (asma’ wa shifat).

Allah berfirman,

ۚ لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

“Tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun, dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. as-Syura: 11).

Oleh sebab itu tidak boleh mempersekutukan Allah dalam hal rububiyahuluhiyah maupun nama dan sifat-sifat-Nya (asma’ wa shifat). Tidaklah seorang menjadi ahli tauhid kecuali apabila dia mengesakan Allah dalam hal rububiyahuluhiyah, dan asma’ wa shifat-Nya.

Kaidah ketujuh: doa ibadah yang paling agung

Ada dua macam bentuk doa; doa dalam bentuk ibadah secara umum dan doa dalam bentuk permintaan dengan lisan. Salat, puasa, dsb adalah doa dalam makna yang umum. Adapun meminta berbagai kebutuhan kepada Allah maka ini adalah doa dalam makna yang khusus. Allah berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb kalian berkata; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permintaan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina” (QS. Ghafir: 60).

Doa dan segala bentuk ibadah yang lain harus ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menyeru atau beribadah kepada selain Allah; siapa pun atau apa pun ia. Allah berfirman,

وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدٗا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/ berdoa kepada selain Allah bersama-Nya; siapa pun juga” (QS. al-Jin: 18).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَإِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

“Apabila kamu memohon maka mohonlah kepada Allah, dan apabila kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah” (HR. Tirmidzi).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya tidak boleh beristighotsah/ meminta keselamatan kepadaku, sesungguhnya istighotsah itu hanya boleh ditujukan kepada Allah ‘azza wa jalla” (HR. Thabarani).

Dengan demikian doa, istighotsah, dan isti’adzah/ meminta perlindungan adalah murni milik Allah. Oleh sebab itu tidak boleh menujukan ibadah itu kepada selain-Nya. Barangsiapa berdoa kepada selain Allah atau ber-istighotsah kepada selain-Nya maka sesungguhnya dia telah beribadah kepada selain Allah kecuali apabila orang yang dia minta pertolongan itu masih hidup, hadir atau bisa berkomunikasi dengannya, dan mampu memberikan pertolongan.

Kaidah kedelapan: syarat meminta bantuan kepada makhluk

Diperbolehkan berdoa – dalam artian meminta bantuan – kepada makhluk dengan syarat orang yang dimintai pertolongan itu masih hidup, hadir atau bisa berkomunikasi dengannya, dan mampu memberikan bantuan. Seperti misalnya meminta bantuan kepada teman untuk mengerjakan suatu urusan. Sebagaimana kisah seorang Bani Israil yang meminta bantuan kepada Musa ‘Alaihis salam. Allah berfirman,

فَٱسۡتَغَٰثَهُ ٱلَّذِي مِن شِيعَتِهِۦ عَلَى ٱلَّذِي مِنۡ عَدُوِّهِ

“Maka meminta bantuan kepadanya (Musa) orang yang berasal dari kelompoknya, untuk menghadapi gangguan dari musuhnya” (QS. al-Qashash: 15).

Dengan demikian perbuatan meminta kepada selain Allah itu dihukumi syirik apabila:

Pertama; meminta kepadanya sesuatu yang hanya dikuasai oleh Allah. Misalnya meminta kepada makhluk agar memberikan hidayah ke dalam hati, mengampuni dosa, memberikan anak/ keturunan, menurunkan hujan, dsb.

Allah berfirman,

وَإِن يَمۡسَسۡكَ ٱللَّهُ بِضُرّٖ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَۖ وَإِن يُرِدۡكَ بِخَيۡرٖ فَلَا رَآدَّ لِفَضۡلِهِ

“Dan apabila Allah teimpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya kecuali Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak karunia-Nya” (QS. Yunus: 107).

Kedua; berdoa/ meminta kepada orang yang sudah mati. Allah berfirman,

وَٱلَّذِينَ تَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ مَا يَمۡلِكُونَ مِن قِطۡمِيرٍ (١٣) إِن تَدۡعُوهُمۡ لَا يَسۡمَعُواْ دُعَآءَكُمۡ وَلَوۡ سَمِعُواْ مَا ٱسۡتَجَابُواْ لَكُمۡۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكۡفُرُونَ بِشِرۡكِكُمۡۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثۡلُ خَبِيرٖ (١٤)

“Dan orang-orang yang kalian seru selain-Nya tidaklah menguasai walaupun setipis kulit ari. Apabila kalian berdoa kepada mereka maka mereka tidak bisa mendengar doa kalian, seandainya mereka bisa mendengar maka mereka tidak bisa memenuhi perimintaan kalian, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari syirik kalian, dan tidak ada yang bisa memberitakan kepadamu sebagaimana [Allah] Yang Maha teliti” (QS. Fathir: 13-14).

Ketiga; berdoa/meminta kepada orang/makhluk yang gaib/ tidak hadir dan tidak bisa berkomunikasi dengannya secara wajar. Tidak ada yang bisa mendengar suara segenap makhluk – dimanapun mereka berada – dalam setiap keadaan selain Allah. Allah berfirman,

أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۖ مَا يَكُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ وَلَا خَمۡسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمۡ وَلَآ أَدۡنَىٰ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمۡ أَيۡنَ مَا كَانُواْۖ

“Tidaklah terjadi bisik-bisik diantara tiga orang kecuali Allah lah yang keempat, dan tidak pula lima orang kecuali Allah lah yang keenam. Tidak pula kurang atau lebih daripada itu melainkan Dia bersama dengan mereka di mana pun mereka berada” (QS. al-Mujadilah: 7).

Kaidah kesembilan: hukum memalingkan ibadah kepada selain Allah

Barang siapa memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, maka dia telah berbuat syirik kepada Allah. Hal tersebut sama dengan meyakini bahwa apa yang dia seru itu bisa mendatangkan manfaat atau mudarat, atau dia beribadah kepadanya dengan tujuan semata-mata demi memperoleh syafaat darinya di sisi Allah.

Dalilnya adalah bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengakui bahwa Allah satu-satunya yang mencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan mengatur segala urusan; tetapi hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam.

Allah berfirman,

قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah; Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, siapa yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Mengapa kalian tidak bertakwa?’” (QS. Yunus: 31).

Lantas mengapa mereka dinyatakan sebagai orang kafir? Jawabannya adalah karena mereka telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allah, walaupun dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk mencari syafaat. Allah berfirman,

وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَٰذِبٞ كَفَّارٞ

“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali/penolong/sesembahan; mereka mengatakan, ‘Tidaklah kami menyembah mereka melainkan supaya mereka lebih mendekatkan diri kami kepada Allah.’ Sesungguhnya Allah akan memberikan keputusan hukum atas apa-apa yang mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada pendusta lagi ingkar” (QS. az-Zumar: 3).

Allah juga berfirman,

وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ قُلۡ أَتُنَبِّ‍ُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعۡلَمُ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ

“Dan mereka beribadah kepada selain Allah; sesuatu yang tidak mendatangkan bahaya dan tidak pula manfaat kepada mereka, mereka mengatakan ‘Mereka ini adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.’ Katakanlah; Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diketahui-Nya di langit dan di bumi; Maha suci dan Maha tinggi Allah dari apa-apa yang mereka persekutukan” (QS. Yunus: 18).

Kaidah kesepuluh: selain Allah tidak boleh disembah apa pun atau siapa pun dia

Tidak ada bedanya antara beribadah kepada selain Allah apakah yang disembah itu berupa malaikat, manusia, jin, batu, atau pohon. Maka perbuatan beribadah kepada selain Allah – apapun bentuknya sesembahan itu – tetap dihukumi sebagai perbuatan syirik. Hal ini bisa kita lihat di tengah kaum yang didakwahi oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam; ada diantara mereka yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah orang-orang saleh, ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah nabi, dan ada pula yang menyembah batu dan pohon.

Mereka semuanya diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa membeda-bedakan diantara mereka. Allah berfirman,

وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِۚ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ

“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah/syirik. Dan agama/amal itu semuanya menjadi milik Allah. Maka apabila mereka berhenti -dari syirik-, sesungguhnya Allah Maha melihat apa-apa yang mereka kerjakan” (QS. al-Anfal: 39).

Terjadinya penyembahan kepada matahari dan bulan dikisahkan oleh Allah. Allah berfirman,

لَا تَسۡجُدُواْ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُواْۤ لِلَّهِۤ ٱلَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ

“Janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, dan sujudlah kepada Allah Yang telah menciptakan itu semuanya jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya” (QS. Fushshilat: 37).

Penyembahan kepada orang-orang saleh dan malaikat juga telah diceritakan di dalam al-Qur’an. Allah berfirman,

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمۡلِكُونَ كَشۡفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمۡ وَلَا تَحۡوِيلًا (٥٦) أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورٗا (٥٧)

“Katakanlah; Serulah apa-apa yang kalian sangka -sebagai sesembahan- selain-Nya, maka mereka itu tidak menguasai untuk menyingkap bahaya dari kalian dan tidak pula memalingkannya. Mereka itu yang diseru justru mencari wasilah/ sarana untuk mendekatkan diri kepada Rabb mereka; siapakah yang lebih dekat -dengan Allah- dan mereka mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Rabbmu sangat layak untuk ditakuti” (QS. al-Israa: 56-57).

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang beribadah kepada Isa, ibunya, dan Uzair. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang beribadah kepada para malaikat.

Peribadatan kepada selain Allah adalah syirik. Hal tersebut sama dengan mereka menyembah malaikat, nabi, wali, patung, atau meyakini yang disembah itu menguasai manfaat atau mudarat, atau mereka hanya meyakini apa yang disembah hanya menjadi perantara atau pemberi syafaat di sisi Allah. Semuanya itu adalah termasuk perbuatan syirik.

Demikian, semoga bermanfaat.

Referensi:

Artikel ini merupakan ringkasan dari sebagian kaidah yang ditulis oleh Syekh Faishal bin Qazar al-Jasim Hafizhahullah dalam kitabnya ‘Tajrid at-Tauhid min Daranisy Syirki wa Syubahit Tandid’.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/68750-sepuluh-kaidah-pemurnian-tauhid.html

Meneguhkan Tauhid Saat Sakit

ADA dua macam nikmat, yakni nikmat muqayyadah dan nikmat muthlaqah. Nikmat muqayyadah adalah segala nikmat yang dapat membawa manusia kepada kebaikan, dapat pula membawa manusia kepada keburukan. Kesehatan, kebugaran, harta, kecerdasan, waktu luang, keahlian (meskipun dalam bidang agama) adalah sebagian di antara contoh nikmat muqayyadah. Di saat sehat orang bisa sungguh-sungguh taat terhadap syari’at, tetapi sehat juga dapat menggelincirkan manusia kepada maksiat maupun perilaku terlaknat. Maka sehat bukanlah nikmat yang memastikan kebaikan.

Betapa banyak yang di saat sakit justru sangat dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Ia memurnikan tauhid dan tidak berpengharapan selain hanya kepada Allah Ta’ala, tetapi begitu sembuh lain lagi ceritanya. Itu sebabnya ketika sakit, saya sering mengingatkan agar orang yang mendo’akan sembuh tak sekedar sembuh, melainkan sembuh yang penuh barakah. Apalagi jika yang datang bukannya mendo’akan, melainkan mengajari takabbur kepada Allah, “Semangat, Pak. Bapak pasti kuat melawan sakit ini.” Tidak. Sakit itu bukan pertarungan antara kita dengan kondisi sakit. Takabbur orang yang mengatakan bahwa mental yang kuat akan menjadikan kita sebagai pemenang melawan penyakit. Ia bergantung kepada diri sendiri, sedangkan Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita untuk berdo’a agar kita tidak bergantung kepada diri sendiri walaupun hanya sekejap mata. Kita hanya bergantung kepada Allah Ash-Shamad; Dzat yang hanya Dia saja tempat bergantung.

Lalu apa itu nikmat muthlaqah? Nikmat yang mengantarkan kepada keselamatan dan kebahagiaan akhirat, yakni Al-Islam yang kita semua dilahirkan dalam keadaan di atas al-Islam. Tugas kita menjaganya dan tidak mengotori dengan maksiat, syirik maupun kezaliman.

Setiap nikmat muqayyadah adalah ujian. Begitu pula tetapnya, berkurangnya maupun bertambahnya juga merupakan ujian. Sesiapa yang lulus dalam ujian itu, maka ia termasuk orang-orang yang bersyukur, yakni orang yang tetap memuji Allah Ta’ala dengan sebenar-benar pujian dalam segala keadaan, menegakkan imannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sebaik-baiknya, mengikrarkan syukurnya kepada manusia dan menggunakan nikmat itu untuk mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla.

Seorang mukmin yang lulus ketika diberi ujian sakit bukanlah mereka yang sembuh dengan sempurna, tetapi mereka yang tetap bertawakkal kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam berusaha dan menegakkan tauhid dalam segala keadaan. Sakit itu bukanlah pertarungan melawan penyakit. Bukan. Tetapi sakit adalah ujian yang membedakan manusia menjadi dua; orang-orang yang bersyukur dia tetap beriman, gigih, tawakkal dan senantiasa menegakkan isti’anah (memohon pertolongan) hanya kepada Allah Ta’ala; orang-orang yang kufur, dia bertawakkal kepada selain Allah saat berusaha, atau dia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.

Mari sejenak kita mengingat seraya tadabbur terhadap do’a memohonkan kesembuhan sebagaimana kita dapati dalam hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.

‘Abdul ‘Aziz dan Tsabit pernah menemui Anas bin Malik. Tsabit berkata, “Wahai Abu Hamzah (gelaran dari Anas), aku sakit.” Anas berkata, maukah aku meruqyahmu (mengobatimu) dengan ruqyah Rasulullah ﷺ.” Tsabit pun menjawab, “Tentu.”

Lalu Anas membacakan do’a:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, Penghilang segala yang membahayakan, sembuhkanlah. Engkaulah yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu; kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” (HR. Bukhari & Muslim).

Perhatikan dan hayati, cermati dan renungi sepenuh keyakinan. Do’a ini diawali dengan pengakuan saat meminta, bahwa Allah adalah tuhannya seluruh manusia; tuhan yang menciptakan semua manusia tanpa terkecuali. Penyebutan “rabb” merujuk kepada kedudukan Allah ﷻ sebagai pencipta yang Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu; Maha Memelihara.

Selanjutnya kita juga berikrar, menyatakan pengakuan bahwa Allah ﷻ adalah Dzat Yang Menghilangkan segala sesuatu yang membahayakan ﷻ Maknanya adalah bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala dan sungguh-sungguh hanya Allah ﷻ semata yang maha kuasa untuk menghilangkan penyakit dan kesusahan pada diri setiap manusia. Kita mengawali do’a dengan mengatakan pengakuan kita bahwa hanya Allah ﷻ yang dapat menghilangkan segala kesusahan dan atas perkenan-Nya semata segala upaya menghilangkan kesusahan akan dapat membawa manusia keluar dari kesusahan.

Pengakuan ini sekaligus sebagai pengharapan kita agar selain memberi kesembuhan, Allah ﷻ juga menghilangkan kesusahan. Kadang ada yang sembuh dari sakitnya, tetapi tidak hilang kesusahan maupun bahaya dari dirinya. Maka kita mengawali do’a dengan menyatakan pengakuan bahwa sesungguhnya Allah ﷻ Dzat Yang Maha Menghilangkan Segala Kesusahan. Ini kita ikrarkan sesudah menyatakan pengakuan setulus-tulusnya bahwa Ia Rabb seluruh manusia karena kita berharap Allah Ta’ala karuniakan kesembuhan dan sekaligus hilangkan kesusahan serta bahaya darinya.

Selanjutnya, barulah kita memohon kesembuhan dengan menyampaikan hajat kita, “Sembuhkanlah (اشْفِ)”. Sangat ringkas dan singkat karena yang perlu kita mohonkan hanyalah yang paling pokok. Bukankah Allah Ta’ala Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Penyayang?

Sesudah itu, kita kembali menyatakan kalimat pengakuan dengan tatkala mengucapkan “أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا”. Inilah pengakuan yang saling menegaskan, saling menguatkan dan memurnikan pengakuan tauhid kita bahwa hanya Allah dan semata-mata Allah saja yang menentukan kesembuhan. Tidak ada kesembuhan kecuali hanya dari-Nya.

Mari kita ingat kembali maknanya dan perhatikan dengan sepenuh keyakinan, “Engkaulah yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu; kesembuhan yang tidak kambuh lagi.”

Inilah yang harus kita yakini. Ini pula yang harus kita pegangi kuat-kuat. Bila perlu kita gigit dengan gigi geraham kita agar keyakinan bahwa hanya Allah dan semata-mata Allah yang dapat memberikan kesembuhan kepada kita atau siapa pun yang sedang sakit. Maka kepada-Nya kita meminta pertolongan (isti’anah ). Dan sesungguhnya isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) itu merupakan konsekuensi dari shalat kita; dari bacaan Fatihah kita. Bukan setiap shalat kita berikrar “hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”?

Apakah kita tidak boleh berobat? Boleh, bahkan harus. Apakah kita tidak perlu berobat? Sangat perlu sebagai bentuk tawakkal kita dan sikap tidak berputus asa dari rahmat Allah, bahkan ketika tampaknya sudah tidak ada harapan.

Nabi ﷺ bersabda:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ

“Semua penyakit ada obatnya. Jika sesuai antara penyakit dan obatnya, maka akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim).
Dari Usamah bin Syariik radhiyaLlahu ‘anhu, ia berkata: “Aku berada di samping Nabi ﷺ kemudian datang seseorang dan berkata, “Ya RasulaLlah, apakah aku perlu berobat?”

Rasulullah ﷺ bersabda:
نَعَمْ يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غير داء واحد

“Ya, wahai hamba Allah, berobatlah Sesungguhnya Allah tidak memberikan penyakit, kecuali Allah juga memberikan obatnya, kecuali untuk satu penyakit.”

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ

Orang tersebut bertanya, “Ya Rasulullah, penyakit apa itu?”

Rasulullah ﷺ bersabda, “Penyakit tua.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ وَأَنْزَل لَهُشِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ و جَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali Allah juga menurunkan obatnya. Ada orang yang mengetahui ada pula yang tidak mengetahuinya.” (HR Ahmad dan yang lainnya, shahih).

Ini mengisyaratkan bahwa berobat itu penting. Mencari tahu apa obatnya juga penting. Tetapi harus kita ingat bahwa tidak akan pernah ada kesembuhan, kecuali dengan izin Allah. Bi idzniLlah. Kesesuaian obat dengan penyakit yang diobati itu jelas penting dan sungguh sangat penting. Tetapi jika Allah tidak izinkan terjadi kesembuhan, maka kesembuhan itu tidak pernah terjadi. Karena itu jangan takabbur dengan mengatakan, “Nggak usah repot-repot. Begitu merasa sakit, langsung saja kasih ini. Dijamin penyakitnya pasti kabur.”

Jangan pula berkata seolah dapat menentukan takdir, semisal, “Kemenangan hanya milik mereka yang mentalnya kuat. Jika Anda tenang dan mental Anda kuat, maka Anda pasti akan keluar sebagai pemenang melawan pandemi ini.”

Merinding rasanya ketika mendengar kalimat-kalimat semacam ini terus-menerus diucapkan manusia semenjak awal pandemi; dari yang muslim maupun kafir, dari yang alergi kepada agama maupun yang tampak bersemangat kepada agama ini. Maka alangkah perlu kita menjaga diri dari syubhat-syubhat yang berkelebat.

Hari-hari ini banyak saudara kita yang sakit. Tidak sedikit pula justru ada di antara kita yang sakit. Siapa pun itu, hendaklah sakit menjadikan kita semakin memurnikan tauhid, menjaganya dan memeganginya dengan kokoh. Kita berobat dengan segala upaya syar’i; melakukan langkah-langkah medis maupun non medis yang dibenarkan oleh ilmu, yakni memiliki landasan ilmiah, tidak berputus asa terhadap pertolongan-Nya dan menguatkan isti’anah kita hanya kepada Allah Ta’ala seraya mengingat bahwa hanya Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa menyembuhkan siapa saja yang ia kehendaki.

Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan barakah. Semoga upaya-upaya kita, begitu pula keyakinan kita, tidak menyelisihi rangkaian ucapan do’a memohonkan kesembuhan sebagaimana yang telah dituntunkan oleh RasuluLlah Muhammad ﷺ sebagaimana kita dapati dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim tersebut.*
Penulis buku ‘Mencari ketenangan di tengah kesibukan’ dan pengajar Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu’.

HIDAYATULLAH

Tauhid dan Terangkatnya Musibah

Bismillah.

Sebuah perkara yang menjadi prinsip dan diterangkan oleh para ulama dalam karya-karya mereka adalah bahwa tauhid merupakan kewajiban terbesar. Tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah hak Allah atas segenap hamba.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam“Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibadah kepada Allah tidak akan diterima tanpa tauhid. Artinya, sebanyak apapun ibadah dan amal ketaatan, jika terkotori oleh syirik; peribadatan kepada selain Allah -di samping ibadahnya kepada Allah- maka semua amal itu akan tertolak.

Allah Ta’ala berfirman,

 وَلَوۡ أَشۡرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

“Dan seandainya mereka berbuat syirik, pasti akan lenyap semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’am: 88)

Di antara keutamaan tauhid yang sangat agung adalah bahwa tauhid menjadi sebab -bahkan sebab terbesar- untuk mendapatkan jalan keluar bagi segala bentuk kesulitan dan musibah yang menimpa di dunia maupun di akhirat. Artinya, tauhid akan membuka kemudahan atas kesulitan yang menimpa, begitu juga tauhid dapat menolak bahaya yang mengancam hamba (lihat keterangan Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid)

Ketika terjebak di dalam perut ikan, Dzun Nun atau Nabi Yunus ‘alaihis salam berdoa kepada Allah dengan menyebutkan keesaan-Nya dalam hal uluhiyah dan mengakui kesalahannya, dan hal itu menjadi sebab Allah menyelamatkan dirinya. Beliau membaca doa “laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh zhalimin” yang artinya adalah “tidak ada ilah (sesembahan) yang benar selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang yang zalim”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tidaklah seorang muslim membaca doa ini dalam suatu kesulitan yang dia alami kecuali Allah penuhi permintaannya.” (HR. Tirmidzi, disahihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi tidak membantah hal itu, hadis ini dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar) (lihat al-Wabil ash-Shayyib karya Imam Ibnul Qayyim, hal. 224 tahqiq Abdurrahman bin Hasan bin Qa’id)

Hal ini perkara yang dimaklumi/bisa dipahami dengan jelas oleh para ulama karena sesungguhnya keimanan dan tauhid merupakan sebab keamanan dan hidayah bagi hamba.

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah yang diberikan keamanan dan mereka itulah yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82).

Dengan keamanan, ia akan terbebas dari rasa takut dan dengan petunjuk, ia akan selamat dari kesesatan. Besar kecilnya keamanan dan hidayah itu tergantung pada besar kecilnya tauhid dan keimanan yang ada pada diri seorang hamba. Semakin sempurna tauhid dan imannya, semakin sempurna pula keamanan dan hidayah yang didapatkan olehnya (lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah dalam Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 10-11)

Oleh sebab itu, Allah memberikan jaminan untuk selamat dari azab bagi mereka yang beriman dan senantiasa bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

مَّا یَفۡعَلُ ٱللَّهُ بِعَذَابِكُمۡ إِن شَكَرۡتُمۡ وَءَامَنتُمۡۚ

“Allah tidak akan mengazab kalian; jika kalian bersyukur dan tetap beriman.” (QS. an-Nisaa’ : 147)

Dan sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama bahwa tauhid merupakan pokok keimanan dan juga pilar utama dalam mewujudkan rasa syukur kepada Allah. Karena syukur itu mencakup pengakuan dari dalam hati bahwa semua nikmat adalah berasal dari Allah, memuji Allah atas segala nikmat-Nya, dan menggunakan nikmat dalam ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu, Allah mengingatkan seluruh manusia tentang nikmat penciptaan dan memerintahkan mereka untuk mengesakan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 21)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan -sebagaimana dinukil oleh al-Baghawi dalam tafsirnya- bahwa semua perintah ibadah dalam al-Qur’an maka maknanya adalah perintah untuk mentauhidkan-Nya. Demikian pula, di antara tafsiran ‘supaya kalian bertakwa’ adalah supaya kalian bisa menjaga diri dari azab Allah, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Dari sinilah kita mengetahui mengapa para ulama -bahkan para nabi- senantiasa memprioritaskan dakwah tauhid, karena inilah pokok ajaran agama dan kunci kebahagiaan umat manusia. Dengan memahami tauhid, seorang hamba akan menyadari bahwa Allah punya hak yang harus dia tunaikan, yaitu ibadah kepada-Nya tanpa dicampuri oleh syirik. Inilah dakwah setiap rasul kepada umatnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut”.” (QS. an-Nahl: 36)

Tauhid inilah keadilan terbesar, sedangkan syirik kepada Allah merupakan kezaliman paling jahat di muka bumi. Oleh sebab itu, Allah menceritakan wasiat Luqman kepada putranya,

یَـٰبُنَیَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِیمࣱ

“Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah. Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman : 13).

Syirik kepada Allah merupakan kezaliman sekaligus bentuk kekufuran yang sangat jelas. Bagaimana mungkin seorang hamba yang diberikan nikmat oleh Allah semata lantas menujukan ibadah kepada selain-Nya? Tentu hal ini bukan termasuk syukur kepada Allah, bahkan inilah kekufuran atas nikmat-Nya.

Bahkan hal ini -keyakinan bahwa tauhid merupakan sebab keselamatan- pun telah diakui oleh orang-orang musyrik di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, apabila mereka sedang terjebak oleh ombak dahsyat di tengah lautan dan khawatir tenggelam/binasa, mereka pun memurnikan doanya hanya kepada Allah dan membuang berhala-berhala mereka. Sebagaimana hal itu dikisahkan oleh Ikrimah bin Abi Jahal, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (tafsir al-Ankabut ayat 65).

Hal ini tentu mengingatkan kita akan keagungan doa, yang itu merupakan intisari dari segala bentuk ibadah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِیۤ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِی سَیَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِینَ

“Dan Rabb kalian mengatakan; Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir : 60).

Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah selain doa. Karena doa yang murni dan tulus kepada Allah mencerminkan perendahan diri dan ketundukan yang itu merupakan asas dalam penghambaan kepada Allah.

Oleh sebab itu pula, Allah melarang menjadikan sekutu bagi-Nya dalam hal doa. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ ٱلۡمَسَـٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدࣰا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru bersama Allah siapa pun juga.” (QS. al-Jin : 18).

Allah tidak rida dipersekutukan bersama-Nya dalam hal ibadah, apakah itu berupa malaikat ataupun nabi.

Oleh karena itulah para ulama menasihatkan bahwa salah satu kiat untuk keluar dari musibah dan bencana yang kita alami adalah dengan menunjukkan sikap iftiqar/merasa miskin dan butuh di hadapan Allah. Karena Allah telah berjanji untuk mencukupi orang-orang yang menghamba kepada-Nya semata. Allah pun berjanji untuk memberikan kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Allah pun berjanji memberikan jalan keluar bagi orang-orang yang bertakwa. Orang-orang yang dicintai Allah, yang hidupnya di atas iman dan berhias ketakwaan, maka Allah janjikan kepada mereka rasa aman dan bebas dari segala kesedihan.

Apabila mereka meninggal di atas kalimat tauhid laa ilaha illallah, maka itu pun menjadi pintu kebahagiaan yang abadi di akhirat nanti. Kematian menjadi tempat istirahat mereka dari segala keburukan.

Semoga Allah mengangkat wabah ini dari tengah kaum muslimin, dan semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/67366-tauhid-dan-terangkatnya-musibah.html

Nikmat Tauhid bagi Negeri Ini

Bismillah …

Setiap insan menghendaki kebahagiaan. Setiap muslim pasti mendambakan kemuliaan. Adalah menjadi anugerah yang begitu besar bagi manusia ketika Allah berikan petunjuk kepada mereka untuk meniti jalan yang lurus; jalan yang mengantarkan menuju surga.

Banyak orang beranggapan bahwa nikmat itu adalah ketika Anda bisa hidup nyaman dengan segala fasilitas dan kemewahan. Banyak orang mengira bahwa nikmat itu adalah ketika Anda bisa kenyang menyantap berbagai menu makanan dan aneka kuliner kesukaan. Tidak jarang pula orang menilai bahwa nikmat itu adalah ketika menjadi sosok yang tenar dan dipuja oleh jutaan penggemar dan simpatisan. Alangkah dangkal ilmu dan pemahaman kita kalau begitu …

Bukankah nikmat yang hakiki adalah kenikmatan yang membawa kita menuju surga. Seperti yang dilukiskan oleh Abu Hazim rahimahullah dalam sebuah petuahnya yang sangat indah -yang kami dengar seingat kami pertama kali ucapan beliau ini dari lisan Ustaz Dzulqarnain hafizhahullah dalam sebuah pengajian di Masjid Pogung Raya Yogyakarta- bahwa, “Setiap nikmat yang tidak semakin menambah dekat kepada Allah sesungguhnya itu adalah malapetaka (bencana).”

Di antara sekian banyak nikmat yang menuntun hamba menuju surga, tauhid adalah nikmat yang tiada duanya. Sebab tauhid adalah kunci surga dan sebab diterimanya amal. Dengan tauhid pula, manusia akan selamat dari kekekalan azab neraka.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong.” (QS. al-Maaidah: 72) 

Dengan demikian, berkembangnya dakwah tauhid adalah anugerah dan nikmat bagi negeri dan bangsa ini, bukan justru ancaman atau malapetaka yang harus diwaspadai. Dakwah tauhid melandaskan seruannya kepada al-Kitab dan as-Sunnah yang akan membimbing umat manusia menuju kebahagiaan yang hakiki. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)

Dakwah tauhid adalah jalan hidup Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara memusuhi dan menentang dakwah tauhid merupakan jalan menuju kehancuran. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً

“Barangsiapa menentang Rasul itu setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan kaum beriman, niscaya Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih. Dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam. Dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)

Ya, tauhid ini adalah nikmat yang paling agung. Dakwah tauhid ini merupakan anugerah yang paling utama bagi umat manusia. Tidaklah ada seorang pun nabi, melainkan dia menyeru kepada tauhid dan mengajak umat kepadanya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)

Inilah yang disinggung oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam penggalan mukadimah kitabnya ‘ar-Radd ‘alal Jahmiyyah’ yang mengatakan, “Betapa indah pengaruh yang ditinggalkan oleh para ulama pada diri umat manusia, namun betapa jelek tangapan manusia terhadap mereka … ”

Pengaruh dakwah para ulama yang paling pokok adalah dakwah tauhid. Dengan perjuangan para ulama Sunnah -setelah taufik dari Allah- maka manusia mengenali tauhid dan syirik. Dengan keterangan yang disampaikan para ulama maka manusia dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan. Inilah yang disinggung oleh Imam Hasan al-Bashri dalam salah satu petuahnya, “Kalau bukan karena keberadaan ulama, niscaya manusia itu seperti binatang.”

Para ulama adalah pewaris nabi-nabi, sementara para nabi tidak meninggalkan warisan berupa uang emas atau uang perak. Akan tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu agama. Dan ilmu agama yang paling penting dan paling wajib adalah ilmu tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Merupakan keanehan yang sungguh mengenaskan; ketika manusia sangat-sangat membutuhkan tauhid dan petunjuk yang benar di dalam beragama justru banyak orang juga berupaya mati-matian untuk memadamkan cahaya Allah ini … Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan lisan-lisan mereka. Akan tetapi, Allah Ta’ala enggan kecuali tetap menyempurnakan cahaya-Nya … “Benar-benar Allah akan membela orang-orang yang berjuang membela agama-Nya … ”

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, seperti dikatakan dalam pepatah arab ‘an-naasu a’daa-u maa jahiluu’ artinya, ‘manusia itu cenderung memusuhi apa-apa yang tidak mereka ketahui’. Inilah yang terjadi ketika banyak di antara masyarakat kita ini -yang notabene mayoritas muslim, tetapi secara kualitas masih jauh dari pemahaman yang benar tentang agama- justru alergi dengan dakwah tauhid, bahkan cenderung memusuhi dan menolaknya -kecuali yang diberi taufik oleh Allah-.

Inilah salah satu pelajaran yang bisa kita petik dari sebuah riwayat yang masyhur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan akan datangnya suatu masa dimana ketika itu orang yang berpegang teguh dengan agamanya laksana orang yang memegang bara api.

Betapa banyak di negeri ini kita jumpai kubur-kubur orang salih yang dikeramatkan dan dipuja-puja! Betapa banyak di negeri ini kita dengar praktek perdukunan dan paranormal yang dipromosikan dan laris manis di masyarakat dari berbagai lapisan … Betapa akrab telinga dan media informasi kita dengan kabar tentang acara-acara persembahan dan sesaji untuk ini dan itu dengan dalih demi melestarikan peninggalan nenek-moyang dan menyemarakkan pariwisata! Wa ilallahil musytaka ‘kepada Allah semata tempat kita mengadu dan mengiba … ’

Ketika para da’i tauhid menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya, banyak orang pun marah dan murka! Ketika disebutkan nama Allah semata hati mereka menjadi kesal dan geram, tetapi ketika disebutkan bersama Allah sesembahan dan pujaan selain-Nya mereka pun riang gembira… Subhanallah wallahu akbar!

Inilah sunnatullah di muka bumi ini. Akan selalu ada pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Bukanlah sebuah sikap yang bijak dan lurus ketika manusia berupaya mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Sikap yang benar adalah tunduk kepada kebenaran yang datang dari Allah dengan sepenuhnya. Inilah garis dan jalan yang harus kita patuhi.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

“Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki beriman atau perempuan beriman apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan lainnya bagi urusan mereka itu. Barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

Imam Malik rahimahullah berpesan kepada kita, “as-Sunnah [ajaran nabi] ini adalah ‘bahtera’ Nuh. Barangsiapa menaikinya pasti selamat, dan barangsiapa yang dengan sengaja tidak mau menumpang di atasnya maka dia pasti tenggelam.”

Imam Malik rahimahullah juga berkata, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang memperbaiki generasi awalnya.”

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk Ahlus Sunnah dan mewafatkan kita di atas Sunnah …

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Artikel:  Muslim.or.id

Mendakwahkan Akhlak dan Muamalah Saja, Lalu Melupakan Dakwah Tauhid

Salah satu yang perlu kita pahami dengan baik bahwa dakwah para Nabi dan Rasul itu ditolak karena mereka mendakwahkan tauhid dan juga mendakwahkan agar manusia menjauhi syirik. Hal ini sangat penting diketahui karena di zaman ini kaum muslimin mulai melupakan dan lalai akan dakwah tauhid. Manusia pun mulai lupa mempelajari tauhid. Manusia lebih tertarik dengan pembahasan akhlak, muamalah, jual beli saja, dan “melupakan” dakwah tauhid. Kami katakan bahwa belajar akhlak dan muamalah itu juga merupakan kebaikan. Akan tetapi, jangan sampai melalaikan mempelajari dan mendakwahkan tauhid.

Para Nabi dan Rasul adalah orang yang paling baik akhlak dan muamalah dengan sesama manusia. Bahkan musuh-musuh mereka pun mengakui baiknya akhlak dan muamalah para Nabi dan Rasul tersebut. Apabila dakwah kita hanya mengarah ke aspek akhlak, muamalah yang baik, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada sesama, maka para Nabi dan rasul sudah memenuhi itu semua. Sekali lagi, mereka adalah yang paling baik akhlak dan muamalahnya kepada sesama manusia. Akan tetapi, dakwah mereka tetap ditolak karena mereka mendakwahkan tauhid dan mendakwahkan agar manusia menjauhi syirik.

Tugas utama para Nabi dan Rasul adalah mendakwahkan tauhid dan menjauhi kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﺑَﻌَﺜْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﺃُﻣَّﺔٍ ﺭَﺳُﻮﻻً ﺃَﻥِ ﺍﻋْﺒُﺪُﻭﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﺍ ﺍﻟﻄَّﺎﻏُﻮﺕَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut’” (QS. An-Nahl: 36).

Bahkan dakwah tauhid adalah dakwah prioritas yang pertama kali kita dakwahkan. Sehinga tidak layak kita berdakwah ke arah akhlak dan muamalah saja, lalu lupa dan lalai akan dakwah tauhid.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika berdakwah ke negeri Yaman agar mendakwahkan tauhid terlebih dahulu,

ِ فَلْتَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ.

“Hendaklah yang pertama kali engkau serukan adalah syahadat bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka mentaatimu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka salat lima waktu dalam sehari semalam”  (HR. Muslim).

Mari kita tetap mendakwahkan tauhid dan terus memperbaiki akhlak dan muamalah kita. Jangan tinggalkan total dakwah tauhid karena khawatir ditinggalkan manusia atau ditinggalkan jamaah. Sering kali kita mengutip ayat ketika berdakwah hadzihi sabili (inilah jalanku)”. Tafsir dari ayat ini bahwa “jalan” tersebut adalah dakwah tauhid. Berikut ini ayat dan tafsirnya.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻗُﻞْ ﻫَﺬِﻩِ ﺳَﺒِﻴﻠِﻲ ﺃَﺩْﻋُﻮ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﺼِﻴﺮَﺓٍ ﺃَﻧَﺎ ﻭَﻣَﻦِ ﺍﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲ ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻧَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’” (QS. Yusuf: 108).

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini,

ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺇﻟﻰ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺣﺪﻩ ﻻ ﺷﺮﻳﻚ ﻟﻪ

“Yaitu berdakwah kepada syahadat ‘tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu baginya’” (Tafsir Ibnu Katsir).

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel: www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/59821-mendakwahkan-akhlak-dan-muamalah-saja.html

Faidah Seputar Tauhid

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Hakikat tauhid yang menjadi tujuan penciptaan manusia

Tauhid rububiyyah adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya. Misalnya, meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, penguasa, dan pemilik seluruh alam, yang memuliakan dan merendahkan, yang mahakuasa atas segala sesuatu, yang mengatur siang dan malam, dan yang menghidupkan dan mematikan. Allah Ta’ala telah menetapkan fitrah pada seluruh manusia untuk mengakui keesaan Allah Ta’ala dalam hal rububiyyah ini. Bahkan kaum musyrikin sekalipun yang melakukan ibadah kepada selain-Nya juga mengakui keesaan-Nya dalam hal rububiyyah [1].

Barangsiapa yang mengakui tauhid rububiyyah, maka wajib baginya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala – semata – sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Barangsiapa yang mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah pencipta dirinya, pemberi rezeki baginya, dan yang mencurahkan kepadanya segala bentuk kenikmatan, maka wajib atasnya untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala atas hal itu dengan cara beribadah kepada-Nya semata dan tidak kepada selain-Nya [2].

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil (bodoh) dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan Anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam …” [3].

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ ٢٥

“Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu (Muhammad) seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tiada sesembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Anbiyaa: 25)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dakwah para rasul ialah mengajak kepada tauhid dan meninggalkan syirik. Setiap rasul berkata kepada kaumnya,

قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓۖ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا مُفۡتَرُونَ ٥٠

“Wahai kaumku, sembahlah Allah (semata), tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Hud: 50)

Inilah kalimat yang diucapkan oleh Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad, dan segenap rasul ‘alaihimush shalatu was salam [4].

Tauhid yang menjadi tujuan penciptaan dan hikmah diutusnya para rasul itu adalah tauhid uluhiyyah atau disebut juga tauhid al-qashd wa ath-thalab, yaitu mengesakan Allah dalam hal keinginan dan tuntutan, mengesakan Allah dalam beribadah. Maksudnya, beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Adapun tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat, disebut juga tauhid al-‘ilmi wal i’tiqad, maka kebanyakan umat manusia telah mengakuinya. Dalam hal tauhid uluhiyyah, atau tauhid ibadah, kebanyakan mereka menentangnya. Ketika rasul berkata kepada mereka,

قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ

“(Hud berkata), “Sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raf: 65)

mereka (kaum Nabi Hud) berkata,

قَالُوٓاْ أَجِئۡتَنَا لِنَعۡبُدَ ٱللَّهَ وَحۡدَهُۥ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعۡبُدُ ءَابَآؤُنَا

“Mereka berkata, ‘Apakah kamu datang kepada kami agar kami hanya beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?’” (QS. Al-A’raf: 70)

Orang-orang musyrik Quraisy pun mengatakan,

أَجَعَلَ ٱلۡأٓلِهَةَ إِلَٰهٗا وَٰحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ عُجَابٞ ٥

“Apakah dia (Muhammad) hendak menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja. Sesungguhnya hal ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5) [5]

Tauhid inilah jenis tauhid yang paling agung. Tauhid yang paling penting. Tauhid ini pun telah mencakup jenis-jenis tauhid yang lainnya (yaitu tauhid rububiyyah dan asma’ wa shifat, pent). Tauhid inilah yang menjadi tujuan penciptaan jin dan manusia serta misi dakwah para rasul. Tauhid inilah yang menjadi muatan pokok kitab-kitab yang diturunkan Allah. Di atas perkara tauhid inilah ditegakkan hisab kelak di akhirat. Disebabkan persoalan tauhid inilah orang akan masuk surga atau neraka. Dan dalam hal tauhid inilah, akan terjadi persengketaan antara para rasul dengan umat-umatnya kelak di hari kiamat [6].

Pembagian tauhid menjadi tiga 

Mentauhidkan Allah Ta’ala dalam hal rububiyyah maksudnya adalah meyakini bahwa Allah itu esa dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya seperti mencipta, memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur segala urusan di alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam perkara-perkara ini [7].

Mentauhidkan Allah dalam hal uluhiyyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti dalam berdoa, merasa takut, berharap, tawakal, isti’anahisti’adzahistighotsah, menyembelih, bernazar, dan sebagainya. Oleh sebab itu, ibadah-ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya siapa pun ia; apakah dia malaikat ataupun nabi, terlebih lagi selain mereka [7].

Mentauhidkan Allah Ta’ala dalam hal asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan segala nama dan sifat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala sendiri atau oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tanpa tamtsil (menyerupakan), tanpa tahrif (menyelewengkan), tanpa ta’wil (menyimpangkan), dan tanpa ta’thil (menolak), serta menyucikan Allah Ta’ala dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya [7].

Pembagian tauhid ini bisa diketahui dari hasil penelitian dan pengkajian secara komprehensif terhadap dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah [7]. Pembagian tauhid menjadi tiga semacam ini adalah perkara yang menjadi ketetapan dalam madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka barangsiapa menambahkan menjadi empat atau lima macam itu merupakan tambahan dari dirinya sendiri. Karena para ulama membagi tauhid menjadi tiga berdasarkan kesimpulan dari Al-Kitab dan As-Sunnah [8].

Semua ayat yang membicarakan tentang perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala, maka itu tercakup dalam tauhid rububiyyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang ibadah, perintah untuk beribadah dan ajakan kepadanya, maka itu mengandung tauhid uluhiyyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka itu mengandung tauhid asma’ wa shifat [9].

Hubungan (kaitan) antara ketiga macam tauhid tersebut di atas

Kaitan antara ketiga macam tauhid ini adalah; bahwa tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat mengonsekuensikan tauhid uluhiyyah. Adapun tauhid uluhiyyah mengandung keduanya. Artinya, barangsiapa yang mengakui keesaan Allah dalam hal uluhiyyah, maka secara otomatis dia pun mengakui keesaan Allah Ta’ala dalam hal rububiyyah dan asma’ wa shifat.

Orang yang meyakini bahwa Allah Ta’ala lah sesembahan yang benar (sehingga dia pun menujukan ibadah hanya kepada-Nya), maka dia tentu tidak akan mengingkari bahwa Allah lah Dzat yang menciptakan dan memberikan rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, dan bahwasanya Allah memiliki nama-nama yang terindah dan sifat-sifat yang mulia [10].

Adapun orang yang mengakui tauhid rububiyyah dan tauhid asma’ wa shifat, maka wajib baginya untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyyah). Orang-orang kafir yang didakwahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui tauhid rububiyyah. Akan tetapi, pengakuan ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka supaya mereka beribadah kepada Allah Ta’ala semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Oleh sebab itu, di dalam Al-Qur’an seringkali disebutkan penetapan tauhid rububiyyah sebagaimana yang telah diakui oleh orang-orang kafir dalam rangka mewajibkan mereka untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dalam hal ibadah [10].

Di antara ketiga macam tauhid di atas, maka yang paling dituntut adalah tauhid uluhiyyah. Sebab itulah perkara yang menjadi muatan pokok dakwah para rasul dan sebab utama diturunkannya kitab-kitab, dan karena itu pula ditegakkan jihad fi sabilillah. Hal ini supaya hanya Allah Ta’ala yang disembah dan segala sesembahan selain-Nya ditinggalkan [9].

Seandainya tauhid rububiyyah itu sudah cukup, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memerangi orang-orang kafir di masa itu. Bahkan itu juga berarti tidak ada kebutuhan untuk diutusnya para rasul. Maka ini menunjukkan bahwa sesungguhnya yang paling dituntut dan paling pokok adalah tauhid uluhiyyah. Adapun tauhid rububiyyah, maka itu adalah dalil atau landasan untuknya [11].

Demikian sedikit catatan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Ari Wahyudi

Muslim.or.id

Catatan Kaki:

[1] Lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam ‘Aqidatu at-Tauhid, hal. 22-24.

[2] Lihat keterangan Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin dalam Tahdzib Tashil Al-‘Aqidah al-Islamiyah, hal. 27.

[3] Lihat At-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22.

[4] Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 19.

[5] Lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4.

[6] Lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 54.

[7] Lihat Kutub wa Rasa’il, Abdil Muhsin, 3: 28.

[8] Lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 28.

[9] Lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29.

[10] Lihat Kutub wa Rasa’il, Abdil Muhsin, 3: 30-31.

[11] Lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 30.