Kopanski muda tiba-tiba tergerak untuk mendatangi masjid tempat suara azan tersebut.
Sejak masih belia, Bogdan Kopanski tidak pernah puas dengan kehidupan spiritualnya. Ajaran Katolik yang ia peroleh semasa kecil ternyata tidak mampu menjawab kegundahan jiwanya yang tengah mencari-cari kebenaran tentang Tuhan.
Kopanski lahir di Polandia pada 1948. Keluarganya memiliki latar belakang etnik Silesia. Tumbuh sebagai anak yang cerdas, Kopanski kecil cukup kritis mencerna pelajaran agama yang ia dapatkan dari gereja. Ia tidak mau menerima doktrin-doktrin gereja begitu saja tanpa merenungkannya kembali dengan menggunakan akal sehat yang ia punya.
“Ketika masih berumur 12 tahun, saya akhirnya menolak konsep iman Kristiani karena ajaran tersebut tidak masuk akal bagi saya,” tutur Kopanski membuka kisah perjalanan rohaninya.
Tidak hanya dalam urusan agama, Kopanski juga menunjukkan sikap kritisnya dalam merespons situasi politik di negaranya. Saat menjalani pendidikan akademi militer di Katowice, ia aktif menentang rezim komunis Polandia. Sebagai hasilnya, ia pun dikeluarkan dari sekolah ketentaraan itu pada 1968 dan kemudian dijadikan sebagai tahanan politik oleh penguasa setempat.
Sekeluarnya dari penjara, Kopanski melanjutkan pendidikannya pada program sejarah di Universitas Silesia, Katowice. Setelah lulus, ia lalu bekerja sebagai dosen dan peneliti di perguruan tinggi tersebut. Di samping mengajar, Kopanski juga meneruskan studinya ke jenjang pascasarjana (S-2).
Selama berkutat di dunia kampus itulah ia mulai berkenalan dengan Islam. “Saya merasa tertarik untuk mendalami sejarah peradaban Muslim di Eropa. Ini menjadi titik awal saya mempelajari Islam dan Alquran,” ujarnya.
Penasaran
Beberapa waktu berikutnya, rasa penasaran Kopanski terhadap Islam kian besar. Ia pun lantas berusaha mencari lebih banyak lagi literatur tentang agama samawi tersebut guna memuaskan rasa dahaga intelektualnya.
Pada 1974, Kopanski mendapat kesempatan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Turki. Kebetulan ketika itu ia tengah merampungkan tesis S2-nya tentang kebijakan Sulaiman al-Qanuni (Sultan Turki Ottoman yang hidup antara 1494-1566) terhadap Polandia. Oleh karenanya, kesempatan berkunjung ke Turki itu betul-betul ia manfaatkan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitiannya tersebut.
Selama berada di Turki, Kopanski memperoleh banyak pengalaman baru. Salah satu kenangan yang paling berkesan baginya sampai saat ini adalah ketika ia mendengar lantunan indah suara azan dari sebuah masjid tua di Istanbul. “Lafaz-lafaz azan yang menggema itu terasa sangat menyentuh jiwa. Sampai-sampai, bulu romaku berdiri saat mendengarkannya,” ungkapnya.
Seakan-akan ada kekuatan gaib yang menuntunnya, Kopanski muda tiba-tiba tergerak untuk mendatangi masjid tempat suara azan tersebut berasal. Sesampainya di masjid itu, ia bertemu seorang pria Turki yang sudah berusia lanjut. Lelaki itu pun tersenyum begitu mengetahui Kopanski merasa terpanggil oleh suara azan.
Setelah keduanya bercakap-cakap untuk beberapa saat lamanya, pria tua itu lantas mengajarkan Kopanski tata cara berwudhu. Ada pengalaman sangat spiritual yang dirasakan Kopanski tatkala anggota tubuhnya dibasahi oleh air wudhu. Tanpa disadari, air matanya pun jatuh bercucuran karena terharu. Pada waktu itulah Kopanski mengucapkan kalimat Syahadat dan resmi menjadi Muslim.
Setelah kalimat suci tersebut terlontar dari bibirnya, untuk pertama kalinya Kopanski merasakan pikirannya begitu tenang dan santai. Dia juga merasakan nikmat dan cinta Allah memenuhi seluruh relung hatinya kala itu. “Selanjutnya, saya melaksanakan shalat Maghrib berjamaah di masjid tersebut. Itu adalah shalat pertama yang saya lakukan sepanjang hidup saya,” kenangnya.
Karier akademis
Sejak menjadi Muslim, Kopanski menambahkan ‘Ataullah’ pada nama depannya-yang secara harfiah berarti ‘karunia Allah’. Ia lalu menikahi perempuan asal Palestina bernama Mariam binti Abdurrahman. Dari perempuan itu, Kopanski dikaruniai tiga orang anak, yakni Khalid, Tareq, dan Summaya.
Pada 1975, Kopanski meraih gelar masternya di bidang sejarah dari Universitas Silesia. Lima tahun berikutnya, ia berhasil pula menyandang gelar doktor (PhD) di bidang humaniora dari perguruan tinggi yang sama. Pada dekade 1980-an, ia melanjutkan karier akademisnya di berbagai universitas dan lembaga penelitian Islam di AS, Suriah, India, Pakistan, Bosnia, dan Afrika Selatan.
Pada 1995, ia dinobatkan sebagai guru besar sejarah di International Islamic University Malaysia. Sampai saat ini, ia masih aktif mengajar di perguruan tinggi milik Negeri Jiran tersebut. Sebagian hasil kajian dan penelitiannya lebih banyak membahas soal sejarah umat Islam di Eropa Tengah dan Eropa Timur.