Para ulama membaktikan hidup mereka untuk ilmu.
Dalam sejarah banyak didapati fakta para ulama yang memutuskan tidak menikah, salah satunya adalah Imam an-Nawawi dan Ibn al-Jawzi. Menurut Syekh Abd al-Fattah Abu Ghaddah, dalam Al-Ulama’ al-‘Uzzab Alladzina Atsarul ‘ilma ‘Ala az-Zawaj, keputusan membujang mereka bukanlah bentuk pengingkaran terhadap sunah Rasulullah SAW, yaitu menikah.
Apalagi jika menengok dampak negatif akibat membujang, kecil kemungkinan mereka melakukannya begitu saja tanpa sebab. Lantas mengapa mereka memutuskan pernikahan, ibadah yang sangat ditekankan agama itu?
Menurut Syekh Abu Ghadah, keputusan tersebut adalah jalan yang sangat personal yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri. Dengan naluri dan mata hati mereka yang sangat tajam, mereka memilih antara dua pilihan yang sama-sama berat yaitu menikah atau atau tetap membujang dengan berbakti pada kebaikan ilmu.
Dan yang penting digarisbawahi, para ulama tersebut tidak pernah mengajak, mengampanyekan, dan mempropagandakan jalan membujang yang mereka tempuh.
Sekalipun juga tidak pernah mengklaim bahwa membujang lebih baik dibandingkan menikah. Apa yang mereka lakoni juga sama sekali tak ada hubungannya dengan pandangan sebagian filsuf Abad Pertengahan bahwa menikah dan berketurunan adalah kriminalitas, mereka beranggapan berketurunan berarti membukakan pintu kerusakan dan malapetaka yang ada di dunia ini dengan sengaja bagi anak-anak.
Kehidupan membujang justru sebaliknya, di mata para tokoh ulama tersebut, semakin mendekatkan kecintaan mereka terhadap ilmu Allah SWT.”Ilmu sudah menjadi ruh bagi jasad mereka, menjelma bak air bagi tanaman, dan layaknya udara bagi kehidupan,” tutur dia.
Para ulama itu, terlepas dari keutamaan dan keistimewaan menikah, beranggapan jika mereka menikah justru akan membuat mereka lemah dan semakin menjauh dari semangat menggali ilmu.