PERKARA niat adalah perkara penting dalam amal ibadah kita. Bahkan jauh lebih penting dari amalan itu sendiri. Niat adalah asas dan pondasi, sedangkan amalan hanya mengikuti niat.
Ibnu Qayyim rahimahullah menyampaikan, “Sesungguhnya niat adalah ruh amalan. Pemimpin dan pengendalinya. Sedangkan amalan sekadar mengikuti. Amalan menjadi sah sesuai keabsahan niat dan menjadi rusak dengan rusaknya niat. Dengan niat tersebut akan didapatkan taufiq. Adapun ketiadaan niat akan mendatangkan kehinaan. Dengan niat pula bertingkat-tingkatlah derajat manusia di dunia dan akhirat”.
Tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhuma, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam dalam suatu peperangan, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa laki-laki yang mana tidaklah kalian menempuh perjalanan, tidak pula melewati lembah, melainkan mereka bersama kalian. Sakit telah menghalangi mereka”. Dalam riwayat lain, “Melainkan mereka berserikat dengan kalian dalam pahala.
Juga hadits yang cukup panjang yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi yang bersumber dari sahabat Abu Kabsyah al Anmari radliyallahu anhu. Hadits ini mengabarkan bahwa golongan orang yang tidak diberi harta namun diberi ilmu oleh Allah, orang tersebut berniat akan memperlakukan hartanya seperti perlakuan seorang dermawan yang kaya apabila ia diberi harta oleh Allah. Rasulullah katakan, “dengan niatnya yang baik itu, maka pahala keduanya sama”.
Dari dua hadits mulia ini, muncullah kaidah agung dalam hal keutamaan berniat baik. Berdasar hadits ini, ulama menjelaskan bahwa niat dapat mendatangkan pahala bagi orangnya, meskipun orang tersebut tidak dapat melaksanakan amal/ibadah yang dia niatkan karena terhalang oleh sesuatu hal.
Allah Alam.