“Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin,” jawab dzimmi itu.
“Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu.”
“Di antara kita ada seorang hakim Muslim.”
“Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana.”
Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. “Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?”
“Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya.”
Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, “Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?”
“Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah.”
Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi.”
“Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi.”
“Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin.”
“Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?”
“Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya.”
Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, “Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya.”
Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, “Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,”
Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan, hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil.”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu gugur sebagai syahid ketika ia ikut berperang melawan kaum Khawarij di Nahrawan.
Tepat
Keputusan Umar untuk mengangkat Syuraih sebagai hakim di Kufah amat tepat. Tinta emas sejarah mencatatnya sebagai hakim adil dan bertakwa. Syuraih adalah seorang lelaki Yaman dari suku al-Kindi.
Saat Jazirah Arab disinari cahaya Islam dan menyebar hingga ke negeri Yaman, Syuraih termasuk orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasulnya. Bahkan, ia termasuk orang yang memenuhi panggilan dakwah Islam.
Syuraih menjalankan amanah dan menegakkan keadilan itu selama 60 tahun lamanya. Di depan peradilan, ia tak pernah mengistimewakan pejabat atau kerabatnya sendiri.
Pengangkatan Syuraih al-Qadhi sebagai hakim di Makkah tidaklah rumit, hanya merujuk pada kredibilitas, reputasi, dan integritas seseorang. Karena begitulah sistem pengangkatan seorang pejabat negara pada masa kekhalifahan Islam. Berbeda pengangkatan seorang pejabat negara seperti sekarang, perlu persyaratan administrasi yang melelahkan.