Ulama menjelaskan soal qadha puasa Ramadhan.
Ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Ramadhan juga bulan suci umat Islam di mana semua amal kebajikan yang dilakukan di bulan ini akan berlipat-lipat ganda pahalanya.
Pada bulan Ramadhan, umat Islam diperintahkan untuk menjalankan ibadah puasa. Yakni tidak makan dan minum sepanjang hari, hingga tiba waktu berbuka puasa pada waktu maghrib.
Bagaimana jika seseorang tidak dapat melakukan puasa ketika Ramadhan, maka ia diwajibkan mengqadha puasanya. Kewajiban qadha ini diperintahkan Allah dalam Alquran:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, (kemudian tidak puasa), maka wajib menggantinya pada hari-hari yang lain,” (QS. Al-Baqarah ayat 184)
Pertanyaannya adalah sampai kapan batas waktu qadha tersebut. Apakah boleh menunda qada puasa sampai kapan pun ataukah ada batasnya. Dilansir dari buku Belum Qada Puasa Sudah Masuk Ramadhan Berikutnya karya Muhammad Aqil Haidar, masalah qadha puasa ulama telah berbeda pendapat mengenai batasan waktu qadha puasa. Ada yang mengatakan sampai kapan saja, ada pula yang membatasi tidak boleh lebih dari Ramadhan berikutnya.
A. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi As-Syarai’ menyebutkan, apabila seseorang menunda qadha sampai masuk ramadhan berikutnya maka tidak wajib fidyah baginya.
Sedangkan Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir juga menyebutkan, ketika menunda qadha puasa sampai masuk bulan Ramadhan berikutnya maka diwajibkan berpuasa Ramadhan yang kedua. Setelah selesai Ramadhan, maka diperbolehkan untuk mengqadha puasa Ramadhan yang telah lewat tersebut, bahkan juga dibolehkan untuk melakukan puasa sunnah lebih dahulu.
B. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan, jika seseorang mempunyai kewajiban puasa Ramadhan kemudian tidak puasa dan mengakhirkan qadha sampai masuk Ramadhan berikutnya sedangkan ia mampu untuk menqadhanya (sebelum datang Ramadhan kedua), maka jika dia tidak puasa pada Ramadhan tersebut wajib baginya menqadha hari-hari yang ditinggalkanya dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan satu mud dengan ukuran mud Nabi SAW.
C. Mazhab Asy-Syafi’i
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin – Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan, ketika seseorang menunda qadha sampai masuk Ramadhan berikutnya tanpa udzur maka ia berdosa. Dan wajib baginya berpuasa untuk Ramadhan yang kedua, dan setelah itu baru menqadha untuk Ramadhan yang telah lalu. Serta wajib juga baginya membayar fidyah untuk setiap hari yang ia tinggalkan dengan hanya masuknya Ramadhan kedua. Yaitu satu mud makanan beserta dengan qadha.
Dasar kewajiban fidyah ini adalah atsar sahabat, yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah. Sebagaimana disebutan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab.
Dalilnya adalah riwayat dari Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah bahwasanya mereka menghukumi orang yang memiliki hutang puasa kemudian tidak mengqadhanya sampai datang Ramadhan berikutnya wajib memberi makan (fidyah) untuk puasa ramadhan yang pertama.
D. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan, ketika seseorang mengakhirkan qadha, bukan karena udzur, sampai melewati dua Ramadhan atau lebih, maka tidak wajib baginya kecuali qadha dan fidyah.
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan, tidak diperbolehkan menunda qadha puasa Ramadhan sampai Ramadhan beikutnya. Dan ini yang di nashkan dan tidak ada perbedaan di sini. Dan ketika ia melakukanya maka wajib baginya qadha dan memberi makan orang miskin. Untuk setiap harinya satu mud.