Benarkah Tidak Boleh Menjual Ilmu dalam Islam ?

Benarkah Tidak Boleh Menjual Ilmu dalam Islam ?

“Sungguh Aku diutus untuk menjadi guru”, salah satu pesan Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Pesan ini tidak terpisahkan dengan hadis yang sangat populer; “Sungguh Aku hanya diutus unuk menyempurnakan akhlak”. Dalam hal ini, tugas mulia Nabi dan para pewaris (ulama) adalah mengajarkan akhlak mulia.

Selain itu, ilmu dalam Islam merupakan amanah yang harus disampaikan, namun bukan berarti diperjualbelikan. Nabi disamping merupakan orang yang menyampaikan amanah atau muballigh, juga merupakan sosok yang memang bisa dipercaya (amanah), jujur dan cerdas.

Dalam masalah ilmu, Nabi Muhammad Saw dikenal memberikan teladan sebagai sosok yang dermawan. Dermawan artinya mengajarkan ilmu, memberikan nasehat, pencerahan bahkan risalah al-Qur’an yang turun dari langit kepada umat tanpa meminta imbalan. Sebagai umat, tentu harus banyak bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Nabi dengan meneladaninya dan memperbanyak sholawat kepadanya.

Sifat kedermawanan Nabi diwarisi oleh para ulama, terutama dalam hal ilmu. Disamping ilmu merupakan amanah, sifat dermawan dengan ilmu merupakan kemuliaan tersendiri meskipun ilmu sifatnya tidak kasat mata dan seringkali diabaikan atau dilewatkan begitu saja.

Ketika umat Islam di suatu masyarakat saling berbagi dan yang punya ilmu  dermawan dengan ilmunya, maka tidak lama masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang terdidik dan berperadaban. Untuk menjadi dermawan dalam hal ini, seorang muslim harus terlebih dahulu berlelah-lelah mencarinya sehingga tidak seperti dalam ungkapan: فَاقِدُ الشَّيْءِ لَا يُعْطِيْ artinya orang yang tidak punya sesuatu tidak akan memberi sesuatu.

Seorang ulama dan orang yang berilmu disebut manfaat ilmunya ketika berkenan menyampaikan atau memberikan ilmunya walaupun sedikit. Manfaat dalam arti semakin menjadikan pemilik ilmu dekat kepada Allah dan Rasul-Nya. Para ulama menyebutkan; “segala sesuatu ada zakatnya, dan zakat ilmu adalah mengajar”. Nabi Muhammad Saw juga pernah berpesan bahwa barang siapa ditanya tentang suatu ilmu kemudian dia menyembunyikannya, maka dia harus beriap-siap dilemparkan ke jurang api neraka.

Di era modern yang penuh persaingan dan krisis global saat ini, hampir semua aktivitas dianggap perlu menghasilkan materi. Oleh karena itu,  kedermawanan ilmu perlu terus dipupuk dan dimilki oleh umat Islam. Terlebih ilmu keislaman yang sifatnya fardlu air (kewajiban personal) seperti membaca al-Qur’an, tata cara menjalankan ibadah ritual dan mengerti halal dan haram.

Namun hal ini bukan berarti guru ngaji atau ustadz tidak diperbolehkan meminta upah (ujrah) atau bisyarah, apalagi mereka hidupnya memang sudah diwaqafkan untuk melayani umat dan  syiar agama Islam sehingga tidak ada waktu untuk bekerja. Dengan peran mereka, syiar agama di atas bumi ini masih berlangsung dan tegak hingga saat ini. wajar jika seorang murid yang dermawan memberikan sesuatu atau amplop kepada kyai, ulama atau guru-gurunya.

Seorang ulama yang mengemban amanah ilmu akan memahami bahwa menyampaikan ilmu adalah kewajiban dan tidak perlu menuntut imbalan. Jika terpaksa memasang tarif, tentu tetap ada batas kewajaran dan asas kepantasannya. Jangan sampai tarif menjadi sebab umat Islam tidak bisa mendapatkan ilmu agama (ilmu yang bermanfaat untuk agama) disebabkan mahalnya biaya mengaji, sedangka Nabi Saw menyebarkan ilmu secara cuma-cuma alias gratis.

Pada prinsipnya, kedermawanan ilmu jauh lebih utama dibanding kedermawanan materi. Nabi Muhammad Saw pernah memberikan ilmu kepada seorang Sahabat ketika meminta izin untuk mengemis. Nabi pun melarangnya. Nabi menanyakan aset yang dia miliki dan memintanya untuk mengatur asetnya. Waktu itu aset yang dimiliki sebesar dua dirham. Nabi menyarankan agar membanginya, satu dirham untuk dimakan dan satu dirham lainnya untuk membeli kapak sebagai alat mencari kayu di hutan, kemudian kayunya dijual di pasar.

Petunjuk ini dijalankan dan sahabat tersebut hingga dirinya mampu mandiri secara ekonomi. Jika direnungkan, petunjuk Nabi ini lebih tinggi nilainya dibanding apa yang disebutkan dalam pribahasa Cina; “jangan kasih ikan, tapi kasihkanlah pancingnya”. Nabi dalam hal ini tidak memberi pancing (alat), melainkan memberi ilmu (petunjuk).

Seorang Ulama Besar Abda 20 dan Mufti Agung Mesir Syekh Mohammad Bakhit al-Muthi’i (w. 1354 H) berani menolak hadiah dalam jumlah besar dari seorang konglomerat karena fatwa-fatwanya tentang wakaf dalam Islam. Dengan tanpa berfikir, Syekh Bakhit menolak dan mengatakan “ilmu dalam Islam tidak dijual”. Perkataan  ini pendek namun mengandung kedalaman makna. Selain itu, perkataan ini perlu dijadikan kaidah, prinsip dan diamalkan oleh umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan beragama.

Bagi seorang murid atau pencari ilmu, di antara pengamalan yang bisa dilakukan adalah bersedekah, mendo’akan atau menyebarluaskan ilmu guru-gurunya agar manfaat dan menjadi amal jariyah. Jika mengambil ilmu dari kitab dan mengambil perkataan di dalamnya, maka perlu meraih keberkahan ilmu itu dengan menerapkan kaidah; “Diantara keberkahan suatu ilmu adalah menyebutkan perkataan disertai dengan orang yang mengatakannya”.

ISLAM KAFFAH