Beniatlah untuk Taqwa pada Allah

DALAM satu kesempatan, saya bertemu dengan mantan musisi yang kini telah hijrah dan banyak menekuni aktivitas dakwah.

Pada momen tersebut, saya bertanya kepadanya, “Bang, apa yang harus kita lakukan untuk membuat umat Islam sadar dengan agamanya?”

Secara langsung, sang musisi religius itu kontan menjawab, “Kita ajak manusia untuk sholat, Bang. Tidak akan tegak agama ini kalau umat tidak mau sholat, dan bagaimana orang akan sholat kalau dia tidak takut kepada Allah. Ketika seseorang sudah tidak takut kepada Allah, apapun akan dia lakukan,” urainya.

Jawaban tersebut cukup sederhana. Tetapi, hal itu ternyata merupakan bahasan yang diuraikan dengan cukup detail oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin.

Di dalamnya diuliskan, “Dalil ‘aqli menyatakan, Allah Ta’ala benci dan sangat tidak menghendaki perbuatan maksiat atau dosa ang dilakukan oleh para hamba-Nya. Sebab, perbuatan maksiat merupakan kehendak iblis terkutuk yang tentu hendak menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan (neraka).

Bagaimana mungkin seorang Muslim terlepas dari kekuasaan hukum Allah Yang Mahaagung lagi Mahamulia?”

Dan, hal tersebut mestinya menjadi kesadaran setiap umat Islam, entah dia rakyat biasa, lebih-lebih para pemimpin.

Lebih lanjut Al-Ghazali memberikan ilustrasi menarik.

“Apabila kekuasaan seorang kepala desa disimpangkan (disalahgunakan), maka kekuasaan dan kewibawaannya pun akan segera menurun di mata masyarakat yang tengah dipimpinnya. Dan, perbuatan kepala desa itu sudah tentu akan bertentangan dengan kehendak masyarakat banyak, serta merugikan kepentingan mereka secara bersama-sama. Akibatnya, kedudukan sebagai kepala desa akan dipertaruhkan, karena masyarakat sudah tidak mau menerima lagi kepemimpinannya, dan tidak mau mempercayainya sebagai pemimpin. Pada kenyataannya, perbuatan maksiat dan dosa lebih menguasai kehidupan mausia itu sendiri, dan sama sekali tidak merugikan Allah Ta’ala.”

Oleh karena itu, setiap individu Muslim mestinya menyadari hal berbahaya ini. Pada masalah maksiat dan dosa, sungguh itu merupakan perbuatan yang dipilih sendiri, dan tentu saja dipertanggungjawabkan sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian, tidaklah setiap dosa dan maksiat dilakukan, melainkan ketakutan seseorang kepada Allah dikalahkan oleh keinginan mendapatkan keuntungan semu.

Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam buku biografi Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhah mengutip ungkapan dari suami putri Rasulullah, Siti Fatimah. “Janganlah seorang hamba sekali-kali berharap kecuali hanya kepada Allah, dan tidak takut kecuali kepada dosa-dosanya.”

وَمَآ أَصَـٰبَڪُم مِّن مُّصِيبَةٍ۬ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٍ۬

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuura [42]: 30).

Untuk itu sangat penting kita memahami dan menghayati apa yang diungkapkan oleh Imam Ahmad, “Jadikanlah senantiasa taqwa sebagai bekalmu. Letakkan selalu akhirat di depan matamu.”

Ungkapan Imam Ahmad tersebut mungkin merupakan pemahaman atas apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam, manusia agung yang sekalipun dijamin masuk Surga, namun usahanya dalam ibadah agar sempurna taqwanya kepada Allah sangat luar biasa.

Sampai-sampai, Siti Aisyah pun dibuat bertanya dengan cara Nabi beribadah. “Apakah perlu engkau sampai seperti ini, ya Rasulullah, hingga bengkak dan pecah kakimu karena lamanya berdiri menghadap Rabbmu, padahal telah Dia ampuni bagimu segala yang telah berlalu, yang sedang berlaku, maupun yang akan kautuju?”

Maka, tidak heran jika umat Islam, para ulama, umara (pemimpin) yang komitmen mengikuti (ittiba’) kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam senantiasa menghiasi hari-harinya dengan beragam ibadah.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa. ” (QS. Al-Baqarah [2]: 21).

Dan, di antara perintah ibadah yang dimaksudkan “agar kalian bertaqwa” adalah puasa. Dalam kata yang lain, jika bulan puasa, tak mampu mendorong seorang Muslim menapaki jalan taqwa, maka jalur manalagi yang akan ditempuhinya?

Sedangkan puasa itu sendiri merupakan perisai, setengah dari kesabaran, diberikan beragam fadhilah (keutamaan), dibuka pintu Surga dan setan-setan dibelenggu. Lantas, bagaimana mungkin seorang hamba yang beriman masih melihat perkara lain lebih utama daripada berupaya menempa diri untuk bertaqwa?

Oleh karena itu, waspada dalam hal ketaqwaan ini sangat penting, jangan sampai diri terperosok pada kemunkaran. Sebab hakikat hidup ini adalah ibadah dan penghambaan hanya kepada Allah Ta’ala.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18).

Ibn Katsir menjelaskan bahwa ini adalah perintah untuk diri kita senantiasa bertaqwa kepada-Nya dengan banyak melakukan muhasabah (intropeksi diri) apakah dalam keseharian, sepanjang tahun dan sepanjang hayat lebih banyak amal kebaikan atau sebaliknya, sebelum Allah sendiri yang menghisab (memperhitungkan) amal-amal kita.

Tentu saja derajat taqwa bukan sebuah pemberian laksana hidayah, ia harus diperjuangkan dengan sepenuh tenaga. Dan, apakah kita bisa menjadi orang bertaqwa, Sayyidina Ali berkata, “Pemberian dari Allah itu sesuai dengan niatnya.”

Dalam kata yang lain, jika ada niat diri menjadi orang bertaqwa, maka Allah pun akan membukakan jalan. Semoga Ramadhan 1438 H ini, Allah memudahkan langkah kita meniti jalan ketaqwaan. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi    

 

HIDAYATULAH