Adab Berduka Atas Wafatnya Anggota Keluarga Non-Muslim

Allah melarang Rasulullah memohonkan ampun untuk Abu Thalib

Kesedihan karena kehilangan kerabat yang melindungi dakwah Islam namun tidak mengimaninya diperbolehkan. Namun demikian, umat Islam diberikan tuntunan adab dalam menghadapi situasi demikian.

Mustahafa As-Siba’i dalam buku Yang Tersembunyi dari Sirah Nabi menjelaskan bahwa Rasulullah SAW ketika pamannya yang bernama Abu Thalib wafat masih dalam keadaan kafir, Nabi bersabda: “Semoga Allah merahmati dan mengampunimu. Aku selalu memohonkan ampun untukmu hingga Allah melarangku.”

Kaum Mukmin kemudian mengikutinya dengan memohonkan ampun untuk ahli kubur mereka yang musyrik. Allah pun menurunkan ayat: “Maa kana linnabiyyi walladzina aamanu an yastaghfiru lil-musyrikina walaw kaanuu uli qurba min ba’di maa tabayyana lahum annahum ashaabu al-jahimi.”

Yang artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.”

Dijelaskan bahwa Allah melarang Rasulullah memohonkan ampun untuk Abu Thalib sebagaimana kaum Mukmin dilarang memohonkan ampun untuk kerabat mereka yang telah meninggal dalam keadaan musyrik.

KHAZANAH REPUBLIKA

Rasulullah SAW Ingin Umatnya Kaya dan Taklukkan Dunia?

Rasulullah SAW berpesan agar umat Islam menaklukkan dunia untuk agama

Islam bukanlah agama yang memerintahkan umatnya dalam penderitaan dan kemiskinan, melainkan agama yang melimpahkan kemakmuran hidup dan kebahagiaan kepada pemeluknya untuk dapat memanfaatkannya kepada hal-hal yang bermanfaat.

Abdul Fattah As Samman dalam buku Harta Nabi menjelaskan bahwa Islam mewajibkan pemeluknya yang mau membaca Alquran untuk menikmati berbagai potensi dan karunia yang terkandung dalam bumi ini. 

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya dalam Surat An Nahl ayat 97. 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Man amila shalihan min dzakarin aw untsa wa huwa mukminun falayuhyiyannahu hayaatan thayyibatan wa lanajziyannahum ajrahum bi-ahsani maa kaanu ya’malun.” 

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” 

Dijelaskan bahwa sistem Islam yang memotivasi umatnya untuk hidup berkecukupan dan terlepas dari penderitaan hidup karena kekurangan harta benda. Agar orang-orang itu dapat memuliakan diri mereka menghadap kepada Tuhan mereka dan tidak terganggu oleg kebingungan dan kekhawatiran dalam mencari sesuap nasi serta menyibukkan diri dengan secuil roti hingga melupakan Allah.

Di antara bentuk-bentuk penghormatan Allah kepada Rasulullah adalah memuliakan umat beliau dalam hal finansial. Tidak jarang para ulama menghindar atau menolak keyakinan yang menyatakan bahwa Rasulullah merupakan sumber kekayaan finansial. Namun demkian, Rasulullah SAW bersabda: 

وإن أمتي سيبلغ ملكُها ما زُوِيَ لي منها “Dan bahwasannya kekuasaan umatku akan mencapai sebagaimana bumi itu digulung untukku.” 

Maka diketahui harta Rasulullah bukanlah dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi harta yang kita warisi dari beliau adalah agama ini.

Perlu diketahui bahwa hadis tersebut sejatinya mengemukakan tentang kekuasaan materi secara jelas bersamaan dengan peyebaran Islam dan perluasan wilayah kekuasaannya. 

Bahkan Rasulullah menjelaskan bahwa Allah akan menganugerahkan dua harta simpanan: merah dan putih. Maksudnya adalah dinar dan dirham (mata uang kerajaan-kerajaan klasik).

Rasulullah juga menjelaskan bahwa di antara keindahan agama Islam adalah bahwasannya menjadikan para pemeluknya menjadi kaya dan banyak berinfak.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Perhatikan Hal-hal Ini dalam Memilih Pasangan Hidup

Salah satu ayat dalam Al-Qur’an paling populer yang membahas tentang pemilihan pasangan hidup adalah surat Al-Baqarah Ayat 221.

Ayat ini mengindikasi bahwa salah satu hal yang harus diperhatikan saat memilih pasangan hidup adalah berdasarkan keimanan calon pasangan yang akan dipilih.

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah Swt. mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah Swt. menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Q.S. Al-Baqarah: 221)

Tafsir Ayat

Mari menilik dua tafsiran ayat ini berdasarkan dua ahli tafsir Indonesia yang kompeten dan kerap menjadi rujukan bagi banyak orang yakni Misbah Musthofa dan Quraish Shihab.

Pertama, pendapat Misbah Musthofa. Dalam Tafsir Al-Iklil Juz II, beliau menuliskan bahwa ayat ini turun lantaran pada suatu ketika, ada seorang sahabat yang bernama Abu Mirthad yang diutus oleh Rasulullah Saw. untuk pergi ke Mekah dan melihat kondisi sebagian umat Muslim yang masih tertinggal di Mekkah secara sembunyi-sembunyi.

Setelah sampai Mekkah, berita kedatangan Abu Mirthad ini di dengar oleh para perempuan musyrik yang sangat mencintainya yaitu ‘Anaq. Perempuan ini pun menemui Abu Mirthad dengan tujuan agar dinikahi.

Singkat cerita, Abu Mirthad menyanggupinya tapi akan meminta persetujuan Rasulullah Saw. terlebih dahulu. Setelah kembali ke Madinah, Abu Mirthad menghadap kepada Rasulullah Saw. bersama perempuan tersebut dan meminta untuk dinikahkan. Kemudian, turunlah Q.S. Al-Baqarah Ayat 221.

Kedua, pendapat Quraish Shihab. Dalam Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1 (2000), beliau memaparkan bahwa pemilihan pasangan ibarat batu pertama dalam membangun fondasi rumah tangga.

Fondasi tersebut harus kokoh sebab jika tidak kokoh, maka bangunan tersebut akan roboh meski hanya terkena sedikit goncangan. Apalagi jika beban yang ditampung semakin berat dengan kelahiran anak.

Fondasi kokoh yang dimaksud Quraish Shihab bukanlah kecantikan, ketampanan, status sosial atau kebangsawanan. Semua hal yang disebutkan tersebut hanya bersifat sementara dan bisa hilang seketika.

Fondasi kokoh yang dimaksud di sini adalah pemilihan pasangan hidup yang bersandar pada keimanan kepada Allah Swt. Hal ini adalah pesan pertama bagi mereka yang bermaksud membina rumah tangga dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 221.

Quraish Shihab melanjutkan, kata mushrik/mushrikin/mushrikat digunakan dalam Al-Qura’n untuk kelompok tertentu yang menyekutukan Allah Swt.

Mereka adalah penyembah berhala yang ketika turunnya Al-Quran masih cukup banyak, khususnya mereka yang bertempat tinggal di Mekkah.

Dalam Al-Qur’an sendiri, ada dua istilah berbeda yang digunakan untuk menamai orang yang mempersekutukan Allah Swt. Pertama yakni ahl al-kitab dan kedua mushrikin.

Jika penggalan ayat yang pertama ditujukan pada lelaki Muslim, maka penggalan ayat yang kedua ditujukan pada para wali. Para wali dilarang mengawinkan perempuan-perempuan Muslimah dengan orang musyrik.

Masih menurut Quraish Shihab, ada dua hal yang mesti digarisbawahi. Pertama, ditujukannya penggalan kedua tersebut kepada para wali yang memberi isyarat bahwa wali memiliki peran yang tidak kecil dalam perkawinan putri-putrinya atau perempuan-perempuan yang berada di bawah perwaliannya.

Perlu dicatat, perkawinan dalam Islam adalah perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antara suami dan istri sekaligus antar keluarga.

Selain itu, ada pula larangan mengawinkan Muslimah dengan orang musyrik. Meskipun pandangan mayoritas ulama tidak memasukkan Ahli Kitab dalam kelompok yang dinamai Mushrik, tapi bukan berarti ada izin untuk pria Ahli Kitab mengawini Muslimah.

Larangan tersebut menurut ayat di atas berlanjut sampai mereka beriman, sedang Ahli Kitab tidak dinilai beriman dengan iman yang dibenarkan oleh Islam.

Alasan utama larangan perkawinan dengan non-muslim adalah perbedaan iman. Perkawinan dimaksudkan agar terjalin hubungan yang harmonis, minimal antara pasangan suami istri dan anak- anaknya.

Keharmonisan bersama pasangan hidup bisa tercapai apabila nilai-nilai yang dianut oleh suami tidak berbeda dengan nilai yang dianut oleh istri. Nilai-nilai tersebutlah yang akan memengaruhi pemikiran dan tingkah laku seseorang.

Dalam pandangan Islam, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai tertinggi yang tidak boleh dikorbankan sama sekali. Hal-hal yang langgeng dan dibawa sampai mati adalah keimanan.

Keimananlah landasan dalam memilih pasangan hidup, bukan harta, status dan sebagainya, karena itu untuk langgengnya perkawinan, maka sesuatu yang langgeng harus menjadi landasannya.

Hal ini pulalah yang menjadi penyebab ayat di atas berpesan bahwa perempuan yang status sosialnya rendah, tapi beriman, akan menjadi lebih baik ketimbang perempuan yang status sosialnya tinggi, cantik, kaya tapi tanpa iman.

Pernyataan ini secara sangat jelas telah Allah Swt. sampaikan dalam ayat Al-Qur’an.

Hadis Tentang Pasangan Hidup

Memiliki pasangan hidup yang tepat adalah nikmat. Karena itu sebelum melangkah jauh untuk menikah, ada baiknya kita mengikuti etika dalam memilih pasangan hidup yang dianjurkan oleh Agama.

Al-Qur’an dan hadis memiliki panduan lengkap dalam hal tersebut. Dua pedoman tersebut akan membawa manusia ke jalan kebahagiaan.

Talak memang dibolehkan dalam Islam, namun itu bukan tujuan dari sebuah pernikahan. Jika masih bisa dipertahanan? Kenapa harus berpisah?

Islam memperhatikan beberapa titik yang memang perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk memilih dengan siapa ia akan menikah.

Bukan tentang orang visual memilih yang ganteng dan cantik, atau orang kinestetik memilih yang kreatif dan asyik. Namun ini tentang kriteria yang diajarkan Rasulullah guna mencari pasangan terbaiknya.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw. bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan umumnya dinikahi karena 4 hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Karena itu, pilihlah yang memiliki agama, kalian akan beruntung.

Hadis tersebut menyebutkan empat kriteria yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan hidup. Namun perlu diingat, bahwa diantara harta, nasab, cantik, dan agama, harus perihal agamanya yang didahulukan.

Bukankan kriteria yang paling utama adalah dia yang taat kepada Allah dan Rasulnya? Tersurat dalam QS Al Hujurat ayat 13:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.”

Ayat tersebut mengingatkan kembali jika etika yang tak kalah penting dalam memilih pasangan hidup adalah yang paham agama dengan baik. Karena segala kebaikan di muka bumi ini harus disertai pemahaman (ilmu) yang baik pula.

Ini karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.”

Semoga bermanfaat.[]

BINCANG SYARIAH

Tidak Boleh Memprovokasi Seorang Lelaki Beristri Untuk Menceraikan Istrinya

Tidak boleh seorang wanita memprovokasi seorang lelaki beristri untuk menceraikan istrinya. Ini perkara yang telah diperingatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاقَ أُخْتِها، لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَها، فإنَّما لها ما قُدِّرَ لَها

Tidak halal seorang wanita menuntut suaminya untuk menceraikan saudarinya (madunya), untuk mengosongkan piringnya. Karena bagi dia sudah ada rezeki tersendiri yang ditetapkan oleh Allah” (HR. Bukhari no. 5152, Muslim no.1408).

Dalam riwayat lain:

ولا تَسْأَلُ المَرْأَةُ طَلاقَ أُخْتِها لِتَكْتَفِئَ صَحْفَتَها ولْتَنْكِحْ، فإنَّما لها ما كَتَبَ اللَّهُ لَها

Tidak boleh seorang wanita menuntut seorang suami untuk menceraikan saudarinya (madunya), untuk mencukupi piringnya. Hendaknya ia tetap menikah. Karena sesungguhnya Allah sudah tetapkan rezeki kepadanya” (HR. Muslim no.1408).

Dalam riwayat lain:

وَلَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَكْفِئَ إِنَاءَهَا

Tidak boleh seorang wanita menuntut seorang suami untuk menceraikan saudarinya (madunya), untuk mencukupi bejananya” (HR. Bukhari no.2723).

Hadits-hadits di atas mencakup tiga perkara:

1. Calon istri kedua terlarang untuk memberi syarat kepada calon suaminya untuk menceraikan istri pertamanya

Oleh karena itulah, imam Al Bukhari dalam Shahih Al Bukhari membawakan hadits ini dalam bab:

باب الشروط التي لا تحل في النكاح

“Bab syarat yang tidak halal dalam pernikahan”.

Demikian juga, Ibnu Bathal mengatakan:

دل نهيه عليه السلام المرأة عن اشتراطها طلاق أختها

“Hadits ini menunjukkan larangan Nabi ‘alaihissalam kepada wanita, untuk mempersyaratkan calonnya agar menceraikan saudarinya (istri pertamanya)” (Syarah Shahih Bukhari karya Ibnu Bathal, 7/273).

Dengan demikian, seorang wanita yang ingin menikahi lelaki beristri (sebagai istri kedua) tidak boleh mempersyaratkan lelaki tersebut untuk menceraikan istri pertamanya. Dan andaikan pernikahan tetap berlanjut, syarat ini batal dan tidak wajib dipenuhi.

2. Seorang wanita terlarang memprovokasi seorang lelaki beristri untuk menceraikan istrinya, sehingga lelaki ini nantinya menikah dengan wanita tadi

Sebagaimana penjelasan An Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits-hadits di atas:

نَهْي المَرْأَة الأجْنَبِيَّة أنْ تَسْأَل الزَّوْج طَلاق زَوْجَته، وأنْ يَنْكِحها، ويَصِير لها مِنْ نَفَقَته ومَعْرُوفه، ومُعاشَرَته ونَحْوها

“Hadits ini melarang wanita ajnabiyah (yang bukan mahram dan bukan istri) menuntut seorang lelaki beristri untuk menceraikan istrinya. Lalu lelaki ini menikahi wanita tersebut. Sehingga wanita tersebut bisa merebut nafkah, perlakuan baik dan kemesraan dari sang lelaki dan semisalnya (dari sang istri pertama)” (Syarah Shahih Muslim, 9/193).

Ini yang disebut dalam bahasa kita sebagai “perebut laki orang” atau pelakor. Allahul musta’an. Menjadi pelakor adalah hal yang terlarang dalam Islam.

3. Seorang istri dalam pernikahan poligami terlarang memprovokasi suaminya untuk menceraikan istrinya yang lain.

Sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani, beliau mengatakan:

الأخت: الضَّرَّة، وفيه من الفقه: أنَّه لا ينبغي أن تسأل المرأةُ زوجها أن يطلِّق ضرَّتها لتنفرِد به

“Yang dimaksud ‘saudari’ dalam hadits ini adalah dharrah (madu dalam poligami). Dan salah satu fikih dari hadits ini adalah tidak selayaknya seorang wanita memprovokasi suaminya untuk menceraikan istrinya yang lain agar ia bisa berduaan saja dengan suaminya itu” (Fathul Baari, 11/502).

Adapun ungkapan “mengosongkan piringnya” yang ada dalam hadits, ini adalah majaz (kiasan) yang bermakna: merebut apa yang diberikan suami kepada istrinya. Jadi, apa yang didapatkan istri pertama dari suaminya, direbut oleh si calon istri kedua atau si istri kedua.

Badruddin Al ‘Aini rahimahullah menjelaskan:

أَي: لتقلب مَا فِي إنائها وَأَصله من أفرغت الْإِنَاء إفراغا، وفرغته، إِذا قبلت مَا فِيهِ، لَكِن هُوَ مجَاز عَمَّا كَانَ للَّتِي يطلقهَا من النَّفَقَة وَالْمَعْرُوف والمعاشرة

“Maksudnya adalah untuk merebut apa yang ada pada bejana milik istri pertama. Karena dalam bahasa Arab, perkataan “afraghtul inaa’ ifraaghan” atau perkataan “faraghtuhu” maknanya: aku mengambil apa yang ada di sana.

Dan ini adalah majaz (kiasan) dari apa yang dimiliki oleh istri pertama, berupa nafkah, perlakuan yang baik serta kemesraan dari suaminya” (Umdatul Qari, 20/142-143).

Ringkas kata, wanita manapun, baik yang belum dinikahi atau sudah dinikahi, hendaknya tidak memprovokasi seorang lelaki beristri untuk menceraikan istrinya. Dan siapapun itu, hendaknya berusaha menjaga keutuhan rumah tangga dari saudaranya sesama Muslim, jangan menjadi perusak rumah tangga orang.

Tentunya ada beberapa keadaan yang dikecualikan, dimana boleh menyarankan seseorang untuk menceraikan istrinya atau suaminya karena adanya maslahat yang besar. Seperti dalam kisah Nabi Ibrahim terhadap rumah tangga Nabi Isma’il ‘alaihimassalam.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13926-tidak-boleh-memprovokasi-seorang-lelaki-beristri-untuk-menceraikan-istrinya.html

Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 5)

Kiat Keenam: Mengangkat Tangan ketika Berdoa

Diriwayatkan dari sahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

“ Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Ta’ala adalah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dalam keadaan hampa” (H.R Abu Dawud, shahih)

Allah Yang Maha Kaya malu kepada hamba-Nya apabila ada hamba yang menengadahkan tangan kepada Allah kemudian tidak mendapatkan apa-apa.   Hal ini karena keadaan mengangkat kedua tangan -yakni menghadapkan punggung telapak tangan ke atas atau ke arah kiblat- merupakan kondisi yang menunjukkan sangat fakir, rendah, dan hina, serta tampak sekali menunjukkan sangat membutuhkan sehingga ini merupakan sebab terkabulnya doa di sisi Allah.

Hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi mengangkat tangan ketika berdoa sangatlah banyak. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh mengangkat kedua tangan beliau dalam kondisi sulit dan genting. Hal ini di antaranya beliau lakukan saat perang Badar. Ketika Nabi melihat banyaknya jumlah pasukan kaum musyrikin dibandingkan kaum muslimin, beliau pun kemudian menghadap kiblat serta menjulurkan kedua tangan beliau ke atas seraya berdoa. Hal ini diceritakan oleh ‘Umar bin Khattab. Beliau mengatakan,

 فَما زَالَ يَهْتِفُ برَبِّهِ، مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ، حتَّى سَقَطَ رِدَاؤُهُ عن مَنْكِبَيْهِ

“ Beliau terus memohon kepada Allah disertai mengangkat kedua tangannya menghadap kiblat, sampai-sampai sorban beliau terjatuh dari pundaknya. “ (H.R Muslim)

Demikian pula ketika terjadi kekeringan, beliau berdoa di atas mimbar saat salat istisqa’. Anas bin Malik rahimahullah mengkisahkan,

 أنه رفع يديه حتى رأيت بياض إبطيه

“ Rasulullah berdoa kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sampai saya melihat putih kedua ketiak beliau. ” (H.R Bukhari)

Kiat Ketujuh: Memulai dengan Memuji Allah dan Mengucapkan Selawat sebelum Berdoa

Diriwayatkan dari Fadholah bin ‘Ubaid radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “ Rasulullah mendengar salah seorang berdoa saat salat tanpa disertai dengan memuji Allah dan berselawat kepada Nabi. Maka Nabi memperingatkan orang tersebut agar jangan terburu-buru dalam berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil orang tersebut dan bersabda kepadanya,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيْدِ اللهِ تَعَالَى وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يَدْعُو بِمَا شَاءَ.

” Apabila salah seorang dari kalian berdoa, maka hendaknya dia memulai dengan tahmid dan pujian kepada Allah, kemudian berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berdoa dengan apa yang dikehendakinya.” (H.R Abu Dawud, shahih)

Sikap yang lebih sempurna bagi seorang muslim apabila berdoa hendaknya memulai doanya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian berselawat kepada Nabi, setelah itu baru dilanjutkan berdoa dan meminta kepada Allah sesuai apa yang diinginkan.

Kiat Kedelapan: Taubat dan Istigfar ketika Berdoa 

Sesungguhnya dosa-dosa merupakan penghalang yang nyata untuk terkabulnya doa, sebagaimana hal ini diterangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

Ada seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan panjang, sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Ia menengadahkan tangannya ke langit dan berkata: ‘Wahai Rabb-ku.. Wahai Rabb-ku..’ Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan? ” (HR. Muslim)

Orang ini telah terkumpul pada dirinya sebab-sebab terkabulnya doa. Dia berdoa dalam keadaan safar serta juga  mengangkat kedua tangannya ke langit ketika berdoa.

Akan tetapi, dia tidak menjaga dari perkara haram. Pakaian, minuman, dan makanannya berasal dari yang haram. Ini semua merupakan penghalang terkabulnya doa.

Salah seorang ulama saleh terdahulu berkata,

لا تستبطئ الإجابة وقد سددت طريقها بالذنوب

“ Janganlah engkau menganggap Allah terlambat mengabulkan doamu, karena sungguh engkau telah menutupi jalan terkabulnya doa dengan dosa-dosamu.”

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali dan juga memotivasi umatnya untuk melakukannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يا أيها الناس، توبوا إلي الله واستغفروه ، فإني أتوب في اليوم مائة مرة

” Wahai sekalian manusia, bertaubat dan minta ampunlah (istigfar) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah seratus kali setiap hari.” (HR. Muslim)

Maka hendaknya setiap mukmin menasihati dirinya untuk memperbanyak istigfar dan taubat dengan mengakui perbuaan dosanya, menyesal sudah melakukannya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Terlebih lagi ketika berdoa, karena itu merupakan sebab Allah terima taubatnya dan dikabulkan doa serta dipenuhi permintaanya oleh Allah.

Insyaallah bersambung dengan penjelasan kiat-kiat lainnya agar doa dikabulkan. Semoga bermanfaat.

Sumber : Ad-Du’aa alladzii Laa Yurod  karya  Syekh Prof. Dr. ‘Aburrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafidzahullah yang diunduh dari https://www.al-badr.net/ebook/192

Penyusun : Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/67273-kiat-kiat-agar-doa-dikabulkan-bag-5.html

Sehat Lahir Batin

Dalam diri manusia, yang diperlukan bukan hanya fisik yang sehat, melainkan juga batin yang sehat.

Di tengah pandemi seperti saat ini, kesehatan adalah nikmat yang sangat mahal. Namun, terkadang banyak manusia tak menyadarinya.

Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi SAW, “Dua nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR al-Bukhari No 6.412).

Dalam diri manusia, yang diperlukan bukan hanya fisik yang sehat, melainkan juga batin yang sehat. Sebab manusia terdiri dari dua dimensi utama, yakni dimensi ruh dan jasad.

Keduanya mestinya sama-sama dijaga demi terjaganya keseimbangan hidup. Fisik yang sakit dapat memengaruhi kondisi kebatinan (ruhiyah) seseorang. Demikian pula sebaliknya, batin yang sakit dapat memengaruhi kondisi fisik seseorang.

Penelitian telah membuktikan bahwa stres dapat menyebabkan penyakit fisik dengan membajak sistem imun. Penelitian yang dibuat oleh Universitas Michigan mengungkapkan bahwa stres dapat memengaruhi respons dari pertahanan bahan kimia atau zat yang melawan bakteri atau virus, memperkuat reaksi inflamasi dan alergi, seperti iritasi usus besar, asma, dan gangguan imun.

Senada dengan itu, Ibnu Sina juga pernah mengatakan bahwa kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah awal dari kesembuhan. Terdapat pula sebuah teori sebelumnya mengatakan dalam bahasa latin, “Mens sana in corpore sano”, artinya, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.” Dalam bahasa Arab teori itu berbunyi, al-‘aql as-salim fi al-jism as-salim, akal yang sehat terdapat pada badan yang sehat.

Upaya untuk menjaga kesehatan, baik lahir maupun batin, harus diseimbangkan. Di tengah pandemi Covid-19 ini, misalnya, untuk sehat lahir atau fisik harus dijaga dengan tetap menjaga sistem imun tubuh dengan makan-makanan yang bergizi, berolahraga, serta menaati protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh para ahli kesehatan.

Adapun untuk menjaga kesehatan batin atau spiritual perlu diberi “nutrisi” dengan memperbanyak dan memperbagus ibadah kepada Allah. Misalnya, dengan memperbanyak zikir dapat membuat hati menjadi tenang.

Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.” (QS ar-Ra’d: 28). Ibnu Al Qayyim al-Jauziyah berkata, “Zikir bagi hati seperti air bagi ikan.”

Itulah keutamaan orang-orang beriman, dengan zikir mereka menjadi tenang. Berbeda halnya dengan orang-orang jauh dari Allah, mereka tersesat dan senantiasa dilanda kesempitan dan ketidaktenangan (QS al-An’am: 125).

Oleh karena itu, krisis dan pandemi yang kita alami saat ini harus disikapi secara positif. Yaitu dengan cara memperkuat ikhtiar lahir dan batin. Ikhtiar lahir, misalnya, dengan menaati protokol kesehatan.

Adapun ikhtiar batin dengan memperbanyak dan memperbaiki ibadah kepada Allah. Baik ibadah yang bersifat wajib maupun sunah serta memperbanyak doa agar Allah memberikan kesehatan lahir dan batin kepada kita.

Wallahu a’lam.

OLEH MUHAMMAD RAJAB

KHAZANAH REPUBLIKA

Sidang Isbat Tetapkan Idul Adha 1442H Jatuh pada 20 Juli

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pemerintah menetapkan 1 Zulhijah 1442 H jatuh pada Ahad (11/07/2021). Ketetapan ini disampaikan Menag dalam telekonferensi usai memimpin Sidang Isbat (penetapan) Awal Zulhijah 1442 H, yang digelar secara dalam jaringan (daring), Sabtu (10/07/2021).

“Secara umum tadi sidang isbat berjalan lancar, dimulai dengan pemaparan dari Profesor Thomas Jamaludin sebagai anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kementerian Agama RI, dan beliau menyampaikan tadi bahwa ketinggian hilal di seluruh Indonesia berada pada posisi di atas ufuk. Antara 2 derajat 21 menit sampai 4 derajat 14 menit,” ungkap Menag.

“Selain itu, terdapat laporan hilal terlihat atau teramati. Sehingga secara mufakat 1 Zulhijah 1442 H, ditetapkan jatuh pada hari Ahad, 11 Juli 2021. Dan dengan begitu Hari Raya Idul Adha akan jatuh pada 20 Juli 2021,” imbuhnya.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini Menag Yaqut Cholil Qoumas memimpin sidang isbat secara daring dari kediamannya di Rumah Dinas, Komplek Menteri Widya Chandra, Jakarta. Tampak hadir secara daring Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MU) KH Abdullah Jaidi, Ketua Komisi VIII Yandri Susanto, dan Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin.Tampak hadir pula para undangan, mulai dari Duta Besar negara sahabat, perwakilan Kementerian/Lembaga, hingga perwakilan ormas-ormas Islam.

“Seperti kita ketahui, kita terutama yang berada di Jawa dan Bali ini dalam situasi PPKM Darurat. Pemerintah sudah menetapkan PPKM Darurat ini beberapa waktu yang lalu. Karenanya, sidang isbat kali ini pun kita laksanakan sepenuhnya secara daring,” kata Menag.

Dalam kesempatan tersebut sebagaimana keterangannya Menag juga menyampaikan, dalam rangka menghadapi Hari Raya Idul Adha, ia telah mengeluarkan surat edaran terkait panduan ibadah.

“Saya sudah mengeluarkan dua surat edaran sekaligus. Dan kami berharap masyarakat dapat mengikuti panduan yang ada di dalamnya,” tutur Menag.

Pertama, adalah SE Nomor 16 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Malam Takbiran, Shalat Idul Adha, dan Pelaksanaan Qurban Tahun 1442 H/2021 M di Luar Wilayah Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Kedua, SE Nomor 17 tahun 2021 tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di Tempat Ibadah, Malam Takbiran, Shalat Idul Adha, dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Qurban Tahun1442 H/2021 M di Wilayah PPKM Darurat.

Khusus terkait dengan pelaksanaan kurban, Menag menekankan bahwa dalam pelaksanaannya harus mematuhi aturan yang disebutkan dalam surat edaran.

“Khususnya terkait pembagian daging kurban, ini harus menjadi perhatian para panitia, bahwa daging kurban harus diantarkan kepada penerimanya. Tidak boleh ada antrean dalam pembagian daging kurban seperti tahun-tahun sebelumnya,” tegas Menag.

“Akhirnya, saya mengucapkan selamat menyambut Hari Raya Idul Adha, dan tetap jaga protokol kesehatan. Karena, dalam kondisi saat ini, menjaga diri artinya juga menjaga lingkungan sosial di sekitar kita,” tutup Menag.*

HIDAYATULLAH

Bagi Warga Indonesia di Arab Saudi, Ini Anjuran Shalat Sunnah Sebelum Berangkat Haji dan Umrah

Pandemi Covid-19 membuat umat Muslim di seluruh dunia tidak dapat melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji hanya diperuntukkan bagi warga Arab Saudi atau warga luar Arab Saudi yang sudah bermukim di sana sebagai tenaga kerja. Nah, sudah maklum bahwa ketika ada seseorang hendak berangkat ke Tanah Suci, selain mengadakan walimatus safar, dia melakukan shalat sunnah terlebih dahulu. Baru setelah melakukan shalat sunnah, dia berpamitan pada sanak saudara dan tetangga untuk berangkat haji dan umrah. Bagaimana hukum praktik melaksanakan shalat sunnah sebelum berangkat haji atau umrah ini, apakah dianjurkan?

Melakukan shalat sunnah sebelum berangkat haji atau umrah hukumnya adalah sunnah. Dalam Islam, jika seseorang hendak berangkat bepergian, baik bepergian untuk melaksanakan ibadah haji, umrah atau lainnya, maka dia dianjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah dua rakaat terlebih dahulu. Shalat sunnah dua rakaat ini oleh para ulama disebut sebagai shalat sunnah safar.

Yang dimaksud shalat sunnah safar adalah shalat sunnah sebanyak dua rakaat dengan niat safar atau bepergian. Dianjurkan pada rakaat pertama setelah membaca surah Al-Fatihah untuk membaca surah Al-Kafirun dan pada rakaat kedua dianjurkan membaca surah Al-Ikhlas.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ berikut;

يستحب إذا أراد الخروج من منزله أن يصلي ركعتين يقرأ في الأولى بعد الفاتحة قل يا أيها الكافرون وفي الثانية قل هو الله أحد ففي الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ما خلف عبد أهله أفضل من ركعتين يركعهما عندهم حين يريد سفرا

Dianjurkan jika seseorang hendak keluar dari rumahnya untuk mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, pada rakaat pertama membaca suraAl-Kafirun dan pada rakaat kedua membaca Qul huwallaahu ahad. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda; Tidak ada perbuatan yang lebih utama bagi seorang hamba yang hendak bepergian meninggalkan keluarganya daripada melaksanakan shalat sunnah dua rakaat.

Di antara hadis yang dijadikan dasar mengenai kesunnahan melaksanakan shalat sunnah sebelum bepergian, baik bepergian untuk haji, umrah dan lainnya, adalah hadis riwayat Imam Al-Hakim, dari Anas bin Malik, dia berkata;

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا ينزل منزلا إلا ودعه بركعتين

Nabi Saw tidaklah mampir pada suatu tempat dan meninggalkannya, kecuali dengan melakukan shalat sunnah dua rakaat.

Dengan demikian, praktek melaksanakan shalat sunnah yang dilakukan oleh masyarakat sebelum berangkat haji atau umrah merupakan perkara yang memang dianjurkan dalam Islam. Bahkan hal itu telah dipraktekkan langsung oleh Rasulullah Saw.

BINCANG SYARIAH

Mengobati Kegalauan (Bag. 2)

Upaya meneladani Rasul dan orang saleh, menjadikan mereka sebagai teladan

Para Rasul adalah orang-orang yang paling berat ujiannya di dunia. Beratnya ujian seorang hamba sesuai dengan kadar agamanya. Apabila Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberinya ujian. Sa’ad Radhiyallaahu‘anhu bertanya kepada Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasallam,

فقال: يا رسولَ اللهِ أيُّ النَّاسِ أشدُّ بلاءً قالَ الأَنبياءُ ثمَّ الأَمثلُ فالأَمثلُ ؛ يُبتلَى الرَّجلُ علَى حسَبِ دينِهِ ، فإن كانَ في دينِهِ صلبًا اشتدَّ بلاؤُهُ ، وإن كانَ في دينِهِ رقَّةٌ ابتليَ علَى قدرِ دينِهِ ، فما يبرحُ البلاءُ بالعبدِ حتَّى يترُكَهُ يمشي علَى الأرضِ وما علَيهِ خطيئةٌ.

“Dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’ Rasulullah menjawab, ‘Para nabi, kemudian orang-orang yang di bawahnya, kemudian orang-orang yang di bawahnya. Seseorang akan diuji menurut kadar agamanya (keimanannya). Jika agamanya kuat, maka musibahnya semakin keras. Jika agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya itu. Musibah terus menerus menimpa seorang hamba hingga dia berjalan di muka bumi tanpa ada kesalahan’” (HR. Tirmidzi no.2398, beliau mengatakan: ini adalah hadis hasan sahih).

Saat hati sedih dengan kejadian yang menimpa, hendaknya senantiasa mengingat kisah para Rasul dan orang-orang saleh. Para Rasul mengalami kesedihan yang jauh lebih besar dibandingkan kita. Bagaimana dahulu Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wasallam dilempari batu, Nabi Ibrahim Alaihissalaam akan dibakar di atas kayu, Nabi Nuh Alaihissalaam yang dianggap orang dungu dan seterusnya. Begitu juga dengan penderitaan yang dialami oleh orang-orang saleh, seperti para sahabat. Betapa beratnya penderitaan dan perjuangan yang dialami Bilal bin Rabbah, Humamah, Sumayyah binti Khayyath, Ammar bin Yasir, Khabbab bin Al Arrat,  Mush’ab bin Umair dan seterusnya. Dimanakah kita di antara mereka Radhiyallaahu‘anhum?!

Menjadikan akhirat sebagai orientasi

Disebutkan dalam sebuah hadis dari Anas Radhiyallaahu‘anhu,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

“Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai orientasi hidupnya, Allah akan letakkan kekayaan di hatinya, Allah mudahkan urusannya dan dunia mendatanginya dalam keadaan hina. Sebaliknya, siapa saja yang dunia menjadi orientasi hidupnya Allah akan meletakkan kefakiran di antara kedua matanya. Allah akan cerai beraikan urusannya dan dia tidaklah mendapatkan dunia kecuali sebesar yang Allah takdirkan untuknya’” (HR. Tirmidzi no. 2389, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ no. 6510).

Ibnu Qoyyim Rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang menjumpai waktu pagi dan petang dalam keadaan tidak ada yang dipikirkannya kecuali Allah semata, maka Allah menanggung dan memikul semua hajatnya, dan Allah bersihkan dari dirinya segala sesuatu yang menyusahkannya, Allah kosongkan hatinya sehingga hanya mencintai Allah, Allah kosongkan lisannya sehingga hanya untuk berzikir kepada Allah, Allah kosongkan badannya sehingga hanya untuk beribadah kepada Allah. Namun jika seseorang berada di waktu pagi dan petang dalam keadaan dunialah yang dia pikirkan, maka Allah bebankan kepadanya kegalauan, kecemasan, dan kesusahan dunia, serta Allah pasrahkan dia pada dirinya sendiri. Allah sibukkan hatinya dari mencintai Allah kepada mencintai makhluk, Allah sibukkan lidahnya dari mengingat Allah kepada mengingat makhluk, Allah sibukkan badannya dari ketaatan terhadap Allah kepada kekhidmatan dan kesibukan terhadap makhluk” (Al Fawaid, hal.159).

Orang yang orientasinya akhirat akan fokus dengan bekal untuk kehidupan abadinya. Dia akan merasa cukup dengan yang Allah Ta’ala berikan kepadanya tanpa iri dengki kepada orang lain. Dia tidak akan galau dengan sedikitnya harta yang dimilikinya dibandingkan harta kawannya. Dia pun tidak cemas saat orang lain memberikan penilaian buruk terhadapnya karena penilaian manusia tersebut tidak akan mempengaruhi penilaian Allah Ta’ala terhadapnya.

[Bersambung]

Disarikan dari kitab ’Ilaajul Humum, karya Syekh Muhammad Shalih Al Munajid  Hafidzahullahu Ta’ala.

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67270-mengobati-kegalauan-bag-2.html

Mengobati Kegalauan (Bag. 1)

Dunia bukanlah taman surga. Bukan pula istana dengan berbagai keindahan dan kenyamanan jiwa. Sedih dengan sesuatu yang telah terjadi, cemas dengan hal yang sedang terjadi, dan galau dengan sesuatu yang akan terjadi adalah menu harian manusia. Setiap hati berbeda tingkat kesedihan, kecemasan, dan kegalauannya. Sebab yang menjadikan hati tidak tenang pun berbeda-beda. Ada yang galau dengan masa depannya, kecilnya IPK, sidang skripsi tak kunjung tiba, mau nikah tak ada dana, ditinggal nikah orang yang disuka, tiap hari kesana-kemari melamar kerja, dan seterusnya. Ada yang cemas disebabkan karena menunggu hadirnya momongan begitu lama, hutang di mana-mana, pasangan tak setia, anak yang durhaka, juga belum punya uang makan di esok lusa. Ada yang sedih karena maksiat yang dilakukannya, merasa susahnya belajar ilmu agama, atau karena dakwah tak diterima. Banyak pula tetesan air mata karena bencana alam begitu banyaknya dan wabah yang melanda dunia.

Berikut adalah sedikit paparan dari jenis terapi kesedihan, kecemasan, dan kegalauan yang ada dalam syariat:

Keimanan dan amal salih

Allah Ta’ala beerfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّه حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barangsiapa beramal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)

Orang yang beriman dengan keimanan yang benar akan membuahkan amal salih yang memperbaiki kondisi hati dan akhlaknya. Amalan salih tersebut juga akan memperbaiki keadaan dunia dan akhiratnya. Dia akan merespon kebahagiaan yang didapatkannya dengan rasa syukur dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat. Apabila seseorang melakukan hal tersebut, maka ia akan merasakan keindahan, menikmati kelanggengan, keberkahan, dan balasan dari syukurnya tersebut.

Seorang mukmin sejati juga akan merespon berbagai hal yang tidak menyenangkan, kesedihan, kecemasan, dan kegalauan dengan cara melawannya jika hal itu bisa dilawan, atau meminimalisir jika bisa diminimalisir, atau bersabar dengan sabar yang indah jika memang hal  tersebut tidak bisa dilawan maupun diminimalisir. Dengan seperti itu, dia akan mendapatkan banyak manfaat, seperti kuatnya jiwa, besarnya kesabaran, dan balasan pahala dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat, dia bersyukur dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah, dia sabar dan itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)

Melihat apa yang didapatkan seorang muslim saat musibah menimpa; terhapusnya dosa, bersihnya hati dan diangkat derajat

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِن نَصَبٍ ولَا وصَبٍ، ولَا هَمٍّ ولَا حُزْنٍ ولَا أذًى ولَا غَمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بهَا مِن خَطَايَاهُ.

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa keletihan, rasa sakit, kegalauankesedihan, gangguan, atau kecemasan sampai pun duri yang melukainya, melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari no. 5641)

Dalam riwayat Muslim,

ما يُصِيبُ المُؤْمِنَ مِن وصَبٍ، ولا نَصَبٍ، ولا سَقَمٍ، ولا حَزَنٍ حتَّى الهَمِّ يُهَمُّهُ، إلَّا كُفِّرَ به مِن سَيِّئاتِهِ

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), keletihan, rasa sakit, kesedihan, dan kegalauan yang menerpanya, melainkan dosa-dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim no. 2573)

Oleh karena itu, seorang mukmin hendaknya menyadari bahwa kegalauan dan musibah yang menimpanya tidak pergi dengan sia-sia. Musibah tersebut meninggalkan manfaat besar bagi mukmin berupa ampunan terhadap dosa-dosanya. Seorang muslim hendaknya juga menyadari bahwa jikalau bukan disebabkan musibah yang menimpanya, maka dia akan menjadi orang yang bangkrut di hari kiamat nanti, sebagaimana disebutkan oleh sebagian salaf. Karena hal inilah, seharusnya seorang mukmin gembira dengan masalah yang dijumpainya sebagaimana dia gembira saat mendapatkan nikmat.

Apabila seorang hamba menyadari bahwa musibah yang menimpanya akan menghapus dosa, maka dia akan gembira dan merasa senang, apalagi balasan tersebut disegerakan setelah seorang hamba melakukan suatu perbuatan dosa, sebagaimana kisah salah seorang sahabat.

 أنَّ رجلًا لقيَ امرأةً كانت بغيًّا في الجاهلية، فجعل يلاعِبُها حتى بسَطَ يدَه إليها، فقالت: مه! فإنَّ الله عز وجل قد ذهب با لشرك وقال عفان مرة ذهب بالجاهلية وجاءنا بالإسلامِ، فولى الرجل فأصاب وجهه الحائِطُ فشجه ثم اتى النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فأَخبَرَه  فقال: أنت عبدٌ أراد اللهُ بك خيرًا. إذا أراد الله عز وجل بعبد خيرا عجل له عقوبة ذنبه وإذا أراد بعبد شرا أمسك عليه بذنبه حتى يوفى به يوم القيامة كأنه عيرِ.

Ada seorang lelaki menjumpai wanita mantan pelacur di masa jahiliyah, ia menggodanya hingga menjulurkan tangan kepadanya (mengajak berzina). Perempuan itu berkata, Tahan! Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah menghilangkan kesyirikan (dalam riwayat lain dari Affan: telah menghilangkan jahiliyah dan menghadirkan Islam untuk kita), maka ia berbalik dan saat berbalik wajahnya menabrak tembok sampai luka di kepalanya. Lelaki tersebut mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengkisahkan ceritanya.

Rasulullah bersabda, ‘Engkau adalah hamba yang diinginkan kebaikan oleh Allah untukmu. Apabila Allah ‘azza wa jalla menginginkan kebaikan bagi hamba, maka Dia akan mensegerakan hukuman atas dosa yang telah dilakukannya. Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi hamba, maka Dia akan tahan azab atas dosanya tersebut hingga nantinya dibalas di hari kiamat, seakan-akan (dosanya tersebut) kafilah (karena banyaknya)’.” (HR. Ahmad dalam Musnad 4: 87 dan Hakim dalam Mustadrak 1: 349, di dalam sanadnya terdapat Al-Hasan, dari ‘Abdullah bin Mughaffal dan Al-Hasan adalah seorang mudallis yang di sini menggunakan riwayat ‘an’an, akan tetapi Shalih bin Ahmad bin Hambal mengatakan, “Ayahku mengatakan, ‘beliau mendengar Al-Hasan dari Anas bin Malik dan dari Ibnu Mughaffal -yakni ‘Abdullah bin Mughaffal-‘.” demikian di dalam kitab Marasil milik Ibnu Abi Hatim).

إن الله إذا أراد بعبد خيرا عجل له العقوبة في الدنيا، وإذا أراد بعبد شرا أمسك عنه حتى يوفى  يوم القيامة بذنبه

“Sesungguhnya apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba, maka Dia akan menyegerakan hukuman (atas dosa yang telah dilakukannya) di dunia. Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi hamba, maka Dia akan tahan (azab atas dosanya) tersebut hingga nantinya dibalas di hari kiamat dengan sebab dosanya.” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya no. 2396 )

Mengenal hakikat dunia

Hendaknya seorang mukmin menyadari bahwa dunia ini fana, kesenangannya sedikit, kelezatannya terkotori, dan tidak jernih bagi siapa pun. Saat dunia membuatmu tertawa sebentar, dia akan membuatmu menangis lebih lama. Saat dia memberimu sesuatu yang sedikit, dia akan menahan sesuatu yang banyak untukmu. Seorang mukmin akan ‘terpenjara’ di dunia ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,

الدُّنْيا سِجْنُ المُؤْمِنِ، وجَنَّةُ الكافِرِ.

Dunia itu penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2956)

Maksud ‘penjara’ bagi orang beriman adalah adanya batasan-batasan bagi orang beriman, sedangkan orang kafir tidak memiliki batasan. Makna lainnya yaitu sebahagia apapun seorang mukmin di dunia, kebahagiaan itu ibarat penjara baginya. Hal ini karena di akhirat nanti, dia akan mendapatkan kebahagiaan yang jauh lebih besar. Sebaliknya, sesengsara apapun orang kafir di dunia, kesengsaraan itu ibarat surga baginya. Hal ini karena di akhirat nanti dia akan mendapatkan kesengsaraan yang jauh lebih besar.

Dunia berisi keletihan, gangguan, dan kesengsaraan. Oleh karenanya, seorang mukmin akan beristirahat saat ia pergi meninggalkan dunia sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abi Qatadah bin Rib’iy Al-Anshari,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَّ عَلَيْهِ بِجَنَازَةٍ فَقَالَ مُسْتَرِيحٌ وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ َقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَمَا الْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ قَالَ الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dilewati pengiringan jenazah. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‘Ada orang yang mendapatkan kenyamanan (istirahat) dan ada pula yang orang lain menjadi nyaman (istirahat) karena ketiadaannya.’

Para shahabat bertanya,

‘Wahai Rasululullah, siapa itu orang yang mendapatkan kenyamanan (istirahat) dan orang yang orang lain menjadi aman (istirahat) karena ketiadaannya?’

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

‘Seorang hamba yang mukmin adalah orang yang beristirahat dari keletihan dunia dan kesulitannya. Sedangkan seorang hamba yang fajir/gemar bermaksiat, maka hamba Allah yang lain, negeri dan pepohonan serta hewan yang beristirahat dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6512)

Kematian orang beriman merupakan peristirahatan dari kecemasan, kegalauan, dan rasa sakitnya di dunia, sebagaimana disebutkan dalam hadis,

إذا حُضِرَ المؤمنُ أتتهُ ملائِكَةُ الرَّحمةِ بحريرةٍ بيضاءَ ، فيقولونَ : اخرُجي راضيةً مرضيًّا عنكِ إلى رَوحِ اللَّهِ، ورَيحانٍ ، وربٍّ غيرِ غضبانَ فتخرجُ كأطيَبِ ريحِ المسكٍ حتَّى إنَّهُ ليُناولُهُ بعضُهُم بعضًا حتَّى يأتون بِهِ بابَ السَّماءِ فيقولونَ : ما أطيَبَ هذِهِ الرِّيحَ الَّتي جاءتْكم منَ الأرضِ فيأتونَ بِهِ أرواحَ المؤمنينَ فلَهُم أشَدُّ فرحًا بِهِ مِن أحدِكُم بِغائبِهِ يقدمُ علَيهِ فيَسألونَهُ ماذا فَعلَ فلانٌ ماذا فعلَ فلانٌ ، فيقولونَ : دَعوهُ فإنَّهُ كانَ في غَمِّ الدُّنيا

“Jika dihadirkan orang yang beriman, datanglah malaikat rahmah kepadanya dengan membawa sutra putih, lantas mengatakan, ‘Keluarlah dalam keadaan senang dan disenangi kepada karunia Allah dan bau wanginya surga, dan menuju Rabb yang tidak akan marah.’

Keluarlah nyawa orang yang beriman sebagaimana parfum kasturi yang paling wangi. Sampai sebagiannya menerima dari sebagian yang lain, sampai mereka datang dengan membawanya ke pintu langit.

Kemudian mereka (malaikat penghuni pintu langit) mengatakan, ‘Betapa harumnya bau ini, yang kalian bawa dari bumi.’

Mereka lantas menjumpai nyawanya orang-orang yang beriman. Sungguh mereka sangat gembira karenanya dibandingkan dengan gembiranya kalian dengan kepulangan saudaranya yang safar. Lantas mereka akan menanyainya, ‘Apa yang telah dilakukan si fulan, apa yang telah dilakukan si fulan?’

Mereka menjawab, ‘Tinggalkanlah dia, sesungguhnya dulu dia dalam keadaan kegalauan dunia …’.”

(Shahih An-Nasa’i no. 1832)

Seorang mukmin yang mengetahui hakikat dunia akan mendapatkan pengaruh sangat besar pada hatinya dalam menyikapi berbagai masalah hidup. Dia menyadari bahwa musibah, rasa sakit, penderitaan, dan kesusahan merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan dunia. Dia juga menyadari bahwa dengan musibah tersebut, Allah Ta’ala akan mengampuni dosa dan mengangkat derajatnya.

[Bersambung]

Penulis: apt. Pridiyanto

Sumber: https://muslim.or.id/67268-mengobati-kegalauan-bag-1.html