Hijrah Muhammad SAW: Mengenang Film Legendaris The Message

Salah satu film yang patut dikenang oleh kaum Muslim salah satu adalah film ‘The Message (bahasa Arab: الرسالة Ar-Risālah). Pada awal pembuatan film sempat berbagai nama akan disematkan pada film ini seperti ‘Mohammad hinga  Messenger of God. Namun akhirnya film ini dinamakan ‘The Message’.

Jenis film ini drama epik Islam tahun. Dibuat pada 1976 dan  disutradarai serta diproduksi oleh Moustapha Akkad. Kisah dalam film ini menceritakan masa awal dakwah Muhammad SAW, yakni dengan mencatat kehidupan dan sosok Muhammad melalui perspektif pamannya Hamzah ibn Abdul-Muttalib dan anak angkat Zayd ibn Harithah.

Film ini dirilis dalam versi bahasa Arab dan bahasa Inggris yang difilmkan secara terpisah. Melalui kisah  The Message sejarah Islam di masa awal dicoba diceritakan.

Para pemeran dalam film ini juga tak sembarang. Mereka telah berkali-kali mendapat pengharaan internasional. Sosok itu antara lain seperti sang aktor legendaris Anthony Quinn, Irene Papas, Michael Ansara, Johnny Sekka, Michael Forest, André Morell, Garrick Hagon, Damien Thomas, dan Martin Benson. Uniknya film ini merupakan produksi bersama internasional karena ada keterlibatan banyak negara misalnya Libya, Maroko, Lebanon, Suriah, Arab Saudi, dan Inggris.

Film The Message dinominasikan untuk mendapat penghargaan ‘Skoring Film Asli Terbaik di Academy Awards ke-50, yang disusun oleh Maurice Jarre. Sayangnya film ini tetapi kalah dari Star Wars (disusun oleh John Williams) yang kala itu sedang top-topnya.

Sedangkan mengenai alur cerita The Message adalah sebagai berikut. Film ini dimulai dengan sepenggal gambaran mengeia surat Muhammad SAW mengirimkan undangan untuk menerima Islam kepada penguasa sekitarnya seperti Heraclius, Kaisar Bizantium; Patriark dari Alexandria, hingga Kaisar Sasanian di Persia.

Sebelumnya surat dibuat, Muhammad SAW kala itu telah dikunjungi malaikat Jibril, yang sangat mengejutkannya. Malaikat memintanya untuk memulai dan menyebarkan Islam. Lambat laun, hampir seluruh kota Makkah mulai berpindah agama. Akibatnya, lebih banyak musuh akan datang dan memburu Muhammad dan teman-temannya dari Makkah dan menyita harta benda mereka. Beberapa dari pengikut ini melarikan diri ke Abyssinia untuk mencari perlindungan dengan perlindungan yang diberikan oleh raja di sana.

Setelah dari hijrah ke Abisina, kaum Quraisy tetap pengganas kepada par a pengikut Islam awal. Karena terus diburu untuk dibantai mereka menuju berangkat mengungsi ke kota yang ada disebelah utara Makkah, yakni Madinah.

Ternyata kedatangan Muhammad Saw dan pengikutnya di Madinah oleh warga kota tersebut disambut hangat. Di Madinah kemudian Rasullah Saw membangus masjid yang pertama kali, kini disebut Masjid Nabawi.

Dan di Madinah Muhammad SAW bisa memilih kehidupan damai meski itu hanya sejenak. Sebab, ancaman serangan dari suku Quraiys tetap eksis dan bisa muncul setiap saat. Quraisy belum bisa pernag karena mereka belum mendapat izin untuk menyerang. Akhirnya terjadilah perang yang pertama dalam kazanah Islam yang disebut perang Badr. Tak disangka Muslim menang meski jumlah tentara hanya kecil saja.

Selanjutnya dendam kesumat orang Quraisy kepada pengikut Islam pada masa itu  ingin balas dendam. Mereka kemudian menyerang balik dengan tiga ribu orang pasukan dalam Pertempuran Uhud. Dalam pertempuran itu Hazmah terbunuh. Sementara kaum Muslim yang pada awal perang Uhud dalam posisi menang, namun ini sontak berunah dibabak akhir perang Uhud tersebut. Merasa menang orang Makkah meninggalkan kamp tanpa perlindungan. Keadaan ini sangat disadari oleh panglima pasukan Makkah, yakni Khalid bin Walid. Tentara Muslim di-‘bokong’-nya habis-habisan sehingga kalah. Namun setelah perang ini kemudian ada kesepakatan antara orang Makkah dan Madinah untuk melakukan gencatan senjata selama 19 tahun.

Beberapa tahun kemudian, Khalid ibn Walid, seorang jenderal Mekah yang telah membunuh banyak Muslim, masuk Islam. Sementara itu, kamp Muslim di gurun pasir diserang pada malam hari. Kaum Muslimin percaya bahwa orang Makkah bertanggung jawab. Abu Sufyan datang ke Madinah karena takut akan pembalasan dan mengklaim bahwa bukan orang Mekah, tapi para perampok yang melanggar gencatan senjata.

Tak satu pun Muslim yang memberinya audiensi atas klaim suku Quraisy. Akibanya kemudia mereka mengklaim bahwa dia “tidak mematuhi perjanjian dan tidak membuat janji.” Kaum Muslimin menanggapi dengan menyerang Mekah dengan pasukan yang sangat banyak dan “orang-orang dari setiap suku”.

Abu Sufyan mencari pertemuan dengan Muhammad pada malam penyerangan. Orang Mekah menjadi sangat ketakutan tetapi diyakinkan bahwa tidak ada yang akan disiksa di rumah mereka, oleh Ka’bah, atau di rumah Abu Sufyan akan aman. Mereka menyerah dan Mekah jatuh ke tangan kaum muslimin. Gambar pagan dewa di Ka’bah dihancurkan, dan azan pertama di Mekah disebut di Ka’bah oleh Bilaal Ibn Rabaah. Khotbah Perpisahan juga disampaikan.

Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=ylreSmRi3bg#action=share

KHAZANAH REPUBLIKA

Faktor-Faktor Yang Dapat Merusak Keistiqamahan

Bismillahirrahmanirrahim
Faktor-faktor yang bisa merusak keistiqamahan hamba sangatlah banyak. Secara umum dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor Internal

1. Kejahilan, lawan dari ilmu

Ilmu adalah sumber dari segala kebaikan dan kejahilan atau kebodohan adalah sumber segala keburukan.

Kejahilan yang ada pada seorang hamba bisa menyeretnya kepada kehancuran dan akibat yang buruk. Pelakunya bisa saja terjerumus kepada dosa dan maksiat, menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus, serta mengikuti syahwat dan syubat. Kecuali jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya petunjuk untuk kembali kepada jalan yang lurus.

Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memberinya ilmu agama yang bermanfaat serta menganugerahkan padanya pemahaman kepada agama yang benar. Sebaliknya, siapa saja yang tidak Allah kehendaki kebaikan atas dirinya maka Allah akan membiarkannya kepada kebodohan. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon agar diberikan ilmu yang bermanfaat dan melindungi kita dari kejahilan.

2. Lalai, berpaling dari kebenaran, dan lengah

Kelengahan yaitu kelalaian yang muncul karena kurangnya kewaspadaan dan kesadaran, hal ini merupakan penyakit yang berbahaya jika menimpa pada seseorang. Karenanya, seorang hamba tidak akan menyibukkan dirinya pada ketaatan dan hal yang tidak bermanfaat. Siapa yang dikuasai oleh kelengahan, disibukkan dengan kelalaian, dan selalu berpaling dari kebenaran, niscaya akan berkurang imannya, serta akan melemah istiqamahnya. Bahkan bisa juga mematikan hati karena berkuasanya syahwat atas dirinya.

Kelengahan adalah sifat yang tercela dan termasuk sifat orang-orang kafir dan munafik. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperigatkannya dengan keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179)

3. Hawa Nafsu yang Selalu Mendorong Berbuat Kejahatan

Hawa nafsu adalah jiwa tercela yang Allah jadikan pada setiap manusia. Jiwa yang tercela ini bisa mendorong seseorang berbuat kejahatan dan mengajaknya pada keburukan. Ini memang tabiat dan watak dasarnya. Kecuali jiwa yang telaah mendapat taufik dari Allah. Tidaklah jiwa seseorang bisa selamat kecuali hanya dengan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا

“… Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya padamu, niscaya tidak seorangpun diantara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya …. (Q.S An-Nur: 21)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menerangkan : “ Hawa nafsu itu selalu mengajak kepada kebinasaan. Suka membantu musuh-musuh dan berambisi kepada semua perbuatan jelek. Suka mengikuti tiap keburukan serta berjalan dengan tabiatnya yang suka melakukan pelanggaran dan penyelisihan. Nikmat yang tiada taranya ialah keluar dari belitan hawa nafsu dan melepaskan diri dari perbudakannya. Karena hawa nafsu itu merupakan hijab terbesar yang menghalangi seorang hamba dengan Rabbnya. Orang yang paling tahu tentang hawa nafsu adalah yang paling merendahkannya dan yang paling mengutuknya.” (Ightsatul Lafhan (I/103))

#. Faktor Eksternal

1. Syaitan

Pengaruh syaitan adalah pengaruh dari luar terkuat yang bisa menyebabkan berkurangnya iman dan rusaknya istiqamah.
Keinginan dan tujuannya hanyalah ingin menggoyahkan keimanan yang ada dalam hati orang-orang yang beriman. Barangsiapa yang mengikuti was-was dan bisikan dari syaitan serta tidak memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala, maka akan melemahlah imannya dan berkurang istiqamahnya.
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita tentang bahaya dan akibat yang buruk apabila mengikuti syaitan, serta menjelaskan bahwa syaitan adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُوا۟ حِزْبَهُۥ لِيَكُونُوا۟ مِنْ أَصْحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

Sungguh, syaitan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya syaitan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)

2. Dunia dan godaannya

Ini adalah faktor dari luar yang cukup mempengaruhi keimanan dan keiistiqamahan seorang hamba.
Termasuk hal yang bisa menyebabkan berkurang dan melemahnya iman serta keistiqamahan seorang hamba adalah terlalu menyibukkan dirinya dengan kehidupan dunia yang fana. Menghabiskan waktu hanya untuk mengurus segala hal tentang dunia. Mengikuti dan menikmati berbagai macam kelezatan dunia. Maka, semakin besar ambisi dan cita-cita seorang hamba kepada dunia dan semakin terpaut hatinya dengan dunia, semakin melemahlah semangat untuk mengerjakan berbagai macam ketaatan dan semakin berkurang semangatnya untuk terus istiqamah di atas jalan yang benar.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Berat tidaknya seorang hamba dalam melaksanakan ketaatan dan dalam mengejar akhirat bergantung kadar ambisi dan kepuasan seorang hamba terhadap dunia.”(Al-Fawa-id (hal 180))

Ada dua hal yang bisa kita lakukan agar tidak tertipu dengan godaan dunia

Pertama: Melihat bahwa dunia begitu cepat hilang, fana dan akan musnah, serta melihat kekurangan dan kerendahannya. Hingga akhirnya hilang dan terputus yang disertai dengan penyesalan. Siapa yang terlalu mengejar dunia maka akan sering merasa sedih ketika tidak mendapatkannya, sedih ketika yang didapatkannya akan hilang, dan sedih ketika terlepas darinya

Kedua: Melihat bahwa akhirat adalah pasti, abadi, akan segera datang, dan kemuliaan apa-apa yang didalamnya berupa berbagai macam keindahan. Serta dengan melihat perbedaan dari dunia dan akhirat yang sangat mencolok, Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ

Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 17)

3. Teman-teman yang jahat

Teman-teman yang jahat merupakan perusak yang paling berbahaya. Larangan bergaul dengan teman-teman yang buruk adalah karena manusia yang memiliki tabiat suka meniru dan mengikuti teman-teman dekatnya.

Bergaul dengan para penuntut ilmu akan mengajak jiwanya untuk ikut menuntut ilmu. Sedangkan, bergaul dengan para pelaku maksiat atau ahli bid’ah bisa menjadikan jiwanya mengikuti hal tersebut. Demikianlah seterusnya.

Karena itulah, hendaknya seorang mukmin memilih teman yang bisa mengajaknya kepada kebaikan, mengingatkan tentang akhirat, dan dia mendapatkan manfaat lainnya bila bergaul dengannya. Serta berhati-hati dari dan menjauhi teman yang kita tidak bisa mengambil kebaikan darinya dan sebaliknya begitupun dari teman-teman yang jahat.

Wallahu a’lam

(Diketik ulang dengan sedikit perubahan dari buku “Futur?? Jangan Gundah ini Solusinya” “terjemahan”, Abu Ihsan al-Atsari dan Ummu Ihsan, cetakan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.)

Sahabat muslimah, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khaira

R

Hijrah Kepada Allah dan Rasul-Nya

Di dalam Risalah Tabukiyah, Imam Ibnul Qoyyim membagi hijrah menjadi 2 macam. Pertama, hijrah dengan hati menuju Alloh dan Rosul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang di setiap waktu. Macam yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Alloh dan Rosul-Nya adalah yang paling pokok.

Hijrah Dengan Hati Kepada Alloh

Alloh berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50)

Inti hijrah kepada Alloh ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Alloh menuju apa yang dicintai-Nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Alloh.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Alloh, “Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illalloh.

Hijrah Dengan Hati Kepada Rosululloh

Alloh berfirman, “Maka demi Robbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)

Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rosululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rosululloh.

Pilihan Alloh dan Rosul-Nya itulah satu-satunya pilihan

Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)

Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Alloh dan Rosul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Alloh. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Alloh dan Rosul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.

Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka).

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Tausyiah Jumat Penuh Berkah

SALAM damai dan tenang saudara dan sahabatku. Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya mendoakan selalu semoga semua saudara dan sahabat dalam keadaan sehat dan afiyat, damai dan tenteram dalam menjalani hari-hari yang tak pernah berhenti berjalan menuju titik akhir. Yakinkan kita dan keluarga kita berada di jalan yang lurus menuju ridla dan surgaNya.

Apakah ada di antara saudara dan sahabatku yang sedang resah dan gelisah karena sebagian nikmat Allah dicabut, tersingkir menjauh dan hilang dari dekapan kita? Ijinkan saya berbagi taushiyah dari guru-guru saya yang sering saya jadikan rujukan saat saya ditipu, dihina, dan bahkan lebih dari itu. Mari kita renungkan bersama.

Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi adalah salah seorang guru, penceramah dan penulisyang saya hormati dan kagumi. Beliau pernah berkata begini: “Sebagai upaya menenangkan akal dan hatimu–dari kegalauan dan kegelisahan– tanamkan keyakinan bahwa dalam segala apa yang Allah cabut (ambil) darimu adalah tak ada kebaikan.”

Teringat juga pada taushiyah beliau di lain tempat bahwa Allah memberikan sesuatu kepada kita karena kasih sayangNya (rahmat) dan mencabut sesuatu dari kita karena kebijaksanaanNya (hikmah) yang luar biasa. Nah, jika keyakinan semacam ini tertanam kuat dalam diri kita, alasan apa lagi yang bisa membenarkan kita untuk gelisah? Jalanisaja hidup dengan sabar dan syukur. Ada rahasia Allah di sana.

Ada lagi dawuh dari ulama yang sangat terkenal dalam dunia Islam, yakni Syekh Abdul Qadir Jailani, yang menyatakan bahwa semua nikmat yang Allah cabut dari hambanNya pastilah akan diganti dengan nikmat yang lebih baik, minimal sama derajat kenikmatannya. Sayangnya, kebanyakan kita terbatas memandang nikmat itu sebatas pandangan mata kita dan sebatas pendengaran serta rasa kita. Padahal, nikmat Allah itu banyak dan luar biasa luasnya. Renungkanlah.

Satu potong ayat saja sesungguhnya cukup menjadikan kita tersenyum bahagia. Potongan ayat itu adalah firman Allah: “Rahmatku meliputi SEGALA SESUATU.” Jadi, dalam segala sesuatu pasti ada rahmat atau kasih sayang Allah. Mahabenar Allah dengan segala firmanNya. Salam akrab dan hormat, Ahmad Imam Mawardi (AIM). [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Apa yang Paling Kita Butuhkan dalam Hidup?

Mungkin selama ini kita masih bingung dengan apa yang sebenarnya paling kita butuhkan dalam hidup ini.

Apa yang harusnya pertama kali kita minta dari Allah Swt?

Apa hal penting yang menjadi prioritas ketika kita memohon sesuatu kepada Allah?

Hari ini kita akan belajar dari beberapa kisah dalam Al-Qur’an. Bahwa ternyata, segala fasilitas yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa apabila kita tidak mendapat petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt.

Apa yang paling kita butuhkan dalam hidup?

Yang paling kita butuhkan adalah petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt. Karena ketika kita telah mendapat bimbingan dari Allah maka segala sesuatu akan menjadi fasilitas untuk mengantarkan kita menuju kesuksesan. Dan sebaliknya, semua kemampuan dan semua fasilitas yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa tanpa petunjuk dan bimbingan dari-Nya.

Mari kita simak ayat-ayat berikut ini :

Ketika Nabi Musa as hendak pergi ke Negeri Madyan, beliau tidak meminta sesuatu dari Allah kecuali bimbingan dan petunjuk dari-Nya.

وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلۡقَآءَ مَدۡيَنَ قَالَ عَسَىٰ رَبِّيٓ أَن يَهۡدِيَنِي سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ

Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan dia berdoa lagi, “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.” (QS.Al-Qashash:22)

Begitu pula ketika Nabi Musa as bersama para pengikutnya terjepit di antara ganasnya lautan dan kejaran Fir’aun, beliau tidak meminta apa-apa kecuali bimbingan dan petunjuk dari-Nya.

قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS.Asy-Syu’ara:62)

Kita juga akan menemukan kisah Nabi Ibrahim as ketika beliau hendak berhijrah, beliau tidak meminta apa-apa kepada Allah kecuali bimbingan dan petunjuk dari-Nya.

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus pergi (menghadap) kepada Tuhanku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS.Ash-Shaffat:99)

Perhatikan kata يَهدِينِي…

Dari tiga kisah ini kita mendapatkan poin besar bahwa hal terpenting dalam hidup kita adalah petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt. Karena bila kita telah mendapatkan petunjuk dari Allah maka semua masalah akan selesai dan segala sesuatu akan menemukan jalannya. Dan sebaliknya, tanpa bimbingan dari Allah, apapun yang kita miliki tak akan berarti dan justru bisa membawa kita menuju kesengsaraan abadi.

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Anda Rajin Puasa Senin-Kamis? Ini Janji Allah

ALLAH Ta’ala berfirman dalam Alquran:

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberikan rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaaq: 2-3)

Tentang ayat ini, al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Maknanya, barang siapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”

Orang yang rajin mengerjakan puasa SeninKamis, niscaya ia akan terlatih menjadi orang yang bertakwa. Dan bagi orang yang bertakwa, Allah telah berjanji akan memberinya rezeki dari arah yang tak terduga dan disangka-sangkanya.

Ada dua hal hal untuk memahami ini:

Pertama, Allah adalah Zat yang menciptakan dan mengatur rezeki. Sumber rezeki itu datangnya dari Allah. Kita hanya mampu berusaha, sedangkan Dia yang berkuasa menentukan.

Kedua, Allah memiliki kehendak yang mutlak. Jika Allah berkehendak memberi, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak mencegah, maka tak ada seorang pun yang dapat menahannya.

Maka, ketika Allah mengatakan akan memberi rezeki yang tak terduga kepada hamba-Nya yang bertakwa, itu menjadi masuk akal dan bisa dipahami. Karena, sumber rezeki itu ada di tangan Allah, Dia sanggup mengirimkannya kapan saja, dimana saja dan dalam situasi apa saja.

Orang yang bertakwa yakin benar akan hal ini bahwa Allah Maha Kuasa atas segala-galanya. Bukan hal yang mustahil bagi Allah mendatangkan rezeki kepada hamba-Nya secara langsung. Sunguh tidak sedikit manusia di muka bumi yang mengalami keajaiban-keajaiban di luar kemampuan akal menangkapnya. [Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK


Bulan Sakral dalam Islam dan Alasannya, Termasuk Muharram

Terdapat sejumlah bulan yang dianggap sakral dalam Islam.

الزَّمانُ قَدِ اسْتَدارَ كَهَيْئَةِ يَومَ خَلَقَ السَّمَواتِ والأرْضَ، السَّنَةُ اثْنا عَشَرَ شَهْرًا مِنْها أرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاثَةٌ مُتَوالِياتٌ: ذُو القَعْدَةِ، وذُو الحِجَّةِ، والمُحَرَّمُ، ورَجَبُ مُضَرَ، الذي بيْنَ جُمادَى وشَعْبانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa terdapat empat bulan yang disucikan dalam Islam, yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Keempat bulan tersebut juga disebut sebagai bulan haram, yang menurut Al Qodhi Abu Ya’la, mengandung dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut berbagai tindakan pembunuhan diharamkan, dan peraturan ini telah berlaku sejak zaman jahiliyyah. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan lainnya karena saking mulianya bulan tersebut.  

Selain itu, berdasarkan surat At-Taubah ayat 36, dalam kitab //Zaadul Maysir// dijelaskan keempat bulan haram tersebut juga menjadi tempat terbaik untuk melakukan amalan-amalan kebaikan. Oleh sebab itulah banyak umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa sunnah. 

Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dinukilkan dalam Lathaif Al-Ma’arif, mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” 

Terkait penobatan bulan paling baik diantara bulan-bulan terbaik, hingga saat ini masih menjadi perdebatan banyak ulama. Beberapa ulama mengatakan bahwa yang lebih utama adalah Rajab, hal ini berdasar pada apa yang dikatakan sebagian ulama Syafi’iyah. Meski begitu, salah satu ulama besar Syafi’iyah An-Nawawi melemahkan pendapat ini.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa bukan yang lebih utama adalah Muharram, sebagaimana dikatakan Al-Hasan Al-Bashri dan dikuatkan pendapat An-Nawawi. 

Dan sebagian ulama lain mengatakan, bahwa Dzulhijjah adalah bulan yang balik utama dibandingkan bukan yang lain. Pendapat ini berdasar pada pendapat Sa’id bin Jubair, dan dikuatkan pula oleh Ibnu Rajab dalam Latha-if Al-Ma’arif. 

MUSLIMAH

Keutamaan Puasa Sunnah Di Hari Asyura

Sebagian kaum muslimin, tidak hafal hitungan bulan dalam Islam, yaitu bulan-bulan dalam penanggalan Hijriyah. Bahkan tidak mengenal sama sekali bulan-bulan tersebut. Padahal bulan-bulan tersebut lah yang Allah maksud dalam kitab suci Al-Quran. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya adalah 4 bulan haram…” (QS. At-Taubah: 36).

Adapun bulan-bulan yang telah Allah tetapkan sebagai bulan haram (bulan yang dimuliakan, ed) adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Di bulan Muharram yang mulia ini, kita dianjurkan memperbanyak puasa. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram” (HR. Muslim).

Dalam hadits ini disebutkan bahwa puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram. Dan di dalam bulan Muharram terdapat anjuran untuk berpuasa di Hari ‘Asyura.

Keutamaan Amalan Puasa

Sebelum kita membahas keutamaan Puasa ‘Asyura, sungguh puasa itu sendiri adalah amalan yang Allah sendiri akan membalasnya, dan mendapatkan pelipatgandaan pahala. Simaklah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut ini,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku” (HR. Muslim).

Kemudian sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Keutamaan Puasa ‘Asyura

Setelah membaca hadits-hadits Nabi secara umum tentang keutamaan orang yang berpuasa, di dalam bulan Muharram terdapat anjuran secara khusus untuk berpuasa pada Hari ‘Asyura. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang Puasa ‘Asyura,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Puasa ‘Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim).

Kemudian terdapat suatu hadits yang menceritakan bahwa seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang pahala puasa hari ‘asyura. Maka beliau menjawab:

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa-dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim).

Sejarah dan Hukum Puasa ‘Asyura

Shahabat ‘Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan Puasa ‘Asyura dan memerintahkan kepada para shahabat untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan hal tersebut- yakni berhenti mewajibkan mereka mengerjakan dan hukumnya menjadi mustahab (sunnah).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kemudian perkataan shahabat Mu’awiyyah Radhiyallahu ‘anhu, “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Hari ini adalah hari ‘Asyura. Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa padanya, tetapi aku berpuasa, maka barang siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah. Dan barangsiapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa), maka berbukalah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari kedua hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum bepuasa pada Hari ‘Asyura adalah mustahab(dianjurkan), yang sebelumnya adalah wajib. Tatkala disyariatkan Puasa Ramadhan, maka hukum Puasa ‘Asyura menjadi Sunnah

Menambah Puasa pada Tanggal 9 Muharram

Dianjurkan untuk menambah Puasa ‘Asyura pada tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. ‘Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan puasa hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, kemudian pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”.

Lantas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insyaa Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari ke-9.”

‘Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim)

Semangat dalam Mengerjakan Amalan yang Dianjurkan

Meskipun hukum melaksanakan Puasa ‘Asyura adalah sunnah dan tidak sampai wajib, hendaknya seorang muslim tetap semangat dalam melaksanakan amalan tersebut. Karena hal ini menjadi salah satu sebab Allah akan mencintainya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Qudsi,

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya…” (HR. Al-Bukhari)

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri sangat bersemangat dalam menjaga amalan Puasa ‘Asyura.

عن ابن عباس – رضي الله عنه – أنه سئل عن يوم عاشوراء فقال: ” ما رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يوماً يتحرى فضله على الأيام إلا هذا اليوم – يعني يوم عاشوراء – وهذا الشهر يعني رمضان

Dari ‘Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah ditanya tentang hari ‘Asyura, maka beliau menjawab: Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam begitu menjaga keutamaan satu hari diatas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (maksudnya, hari ‘Asyura) dan bulan yang ini (maksudnya, bulan Ramadhan)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sebagai seseorang muslim yang mengaku cinta kepada Nabi, semestinya kita mencontoh amalan-amalan yang dilakukan oleh beliau, meskipun dalam perkara yang dianjurkan. Semoga Allah mudahkan kita untuk senantiasa semangat beramal shalih dan beribadah sesuai dengan apa yang telah Allah syariatkan.

Wallahul Muwaffiq.

***

Penulis: Wiwit Hardi P.

Artikel Muslimah.or.id

Mengambil Dalil Setengah-Setengah adalah Sebab Ketergelinciran dan Kesalahan dalam Beragama

Di antara prinsip ahlus-sunnah yang wajib untuk kita pahami dalam beragama adalah menggabungkan terlebih dahulu semua dalil dalam suatu permasalahan sebelum mengambil kesimpulan. Ahlus-sunnah tidak mengambil dalil setengah-setengah ketika hendak menyimpulkan hukum, sehingga hanya al-Qur’an saja yang diambil tetapi tidak dengan as-Sunnah, atau hanya sebagian ayat atau hadits saja yang diambil tetapi tidak dengan ayat atau hadits lainnya.

Sesungguhnya jika kita merenungkan kaidah ini, maka terdapat sebuah faidah yang sangat agung di baliknya. Perhatikan bahwa berapapun banyaknya dalil yang kita kaji, maka kita tidak akan menemukan sama sekali kontradiksi dalam dalil-dalil tersebut, selama pemahaman kita itu benar, ditopang oleh kaidah-kaidah yang baku dan ilmiah dalam memahami dalil. Ini karena dalil wahyu, baik itu ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah saling menguatkan dan saling menjelaskan satu sama lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang tidak adanya kontradiksi atau pertentangan di dalam al-Qur’an,

أَفَلا يَتَدَبَّرونَ القُرءانَ ۚ وَلَو كانَ مِن عِندِ غَيرِ اللَّـهِ لَوَجَدوا فيهِ اختِلـٰفًا كَثيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari Sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[1]

Demikian pula dengan as-Sunnah, juga tidak ada pertentangan di dalamnya, karena hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah wahyu dari Allah, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,

وَما يَنطِقُ عَنِ الهَوىٰ * إِن هُوَ إِلّا وَحىٌ يوحىٰ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[2]

Jika kita telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa di antara sebab ketergelinciran dan kesalahan kelompok-kelompok yang menyimpang adalah karena mereka mengambil dalil hanya setengah-setengah.

Orang-orang yang memiliki pemahaman Khawarij hanya mengambil kesimpulan dari ayat-ayat wa’id (ancaman), misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدودَهُ يُدخِلهُ نارًا خـٰلِدًا فيها وَلَهُ عَذابٌ مُهينٌ

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[3]

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ فَإِنَّ لَهُ نارَ جَهَنَّمَ خـٰلِدينَ فيها أَبَدًا

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”[4]

بَلىٰ مَن كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحـٰطَت بِهِ خَطيـَٔتُهُ فَأُولـٰئِكَ أَصحـٰبُ النّارِ ۖ هُم فيها خـٰلِدونَ

“Barangsiapa berbuat dosa dan dia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”[5]

Dengan berbekal ayat-ayat ini, Khawarij menghakimi kafirnya para pelaku dosa besar, sebuah kesimpulan prematur yang bersumber dari mengambil dalil setengah-setengah dan berujung pada penghalalan darah kaum muslimin dan pemberontakan kepada ulil-amri.

Adapun orang-orang yang memiliki pemahaman Murji’ah, maka mereka hanya mengambil kesimpulan dari ayat-ayat wa’d (janji), misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ يُدخِلهُ جَنّـٰتٍ تَجرى مِن تَحتِهَا الأَنهـٰرُ خـٰلِدينَ فيها

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya.”[6]

وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ فَقَد فازَ فَوزًا عَظيمًا

“Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah mendapat kemenangan yang besar.”[7]

Dari ayat-ayat di atas, Murji’ah menyimpulkan bahwa selama seseorang itu beriman kepada Allah, yaitu dengan memiliki tashdiq (membenarkan) tentang Allah dan Rasul-Nya di dalam hatinya, maka kemaksiatan yang dia lakukan ketika dia dalam kondisi beriman tersebut tidak akan mempengaruhinya sebagaimana ketaatan yang dia lakukan jika dia dalam kondisi kafir itu tidak akan mempengaruhinya.

Ini adalah pemahaman yang menyelisihi apa yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal-jama’ah. Mereka meyakini bahwa iman itu tidak hanya sekedar tashdiq di dalam hati saja, akan tetapi juga mencakup ucapan lisan dan perbuatan atau amalan anggota tubuh.

Pemahaman ahlus-sunnah berada di tengah-tengah antara dua pemahaman menyimpang Khawarij dan Murji’ah. Ahlus-sunnah meyakini bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Ahlus-sunnah juga meyakini bahwa di antara dosa dan kemaksiatan ada yang namanya nawaqidhul-Islam (pembatal-pembatal keislaman), yaitu syirik akbar, kufur akbar, dan nifaq akbar, di mana jika seseorang melakukan salah satu saja di antara dosa pembatal keislaman ini, maka dia keluar dari Islam. Ahlus-sunnah meyakini bahwa pelaku dosa besar, selama dosa tersebut bukan termasuk pembatal-pembatal keislaman, maka dia tidak keluar dari Islam, seperti misalnya dosa membunuh dan melakukan zina. Orang yang melakukan dosa seperti ini maka perkaranya diserahkan kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia akan menghukumnya, dan jika Dia berkehendak maka Dia akan mengampuninya.

Akidah yang lurus dan shahihah ini tidak akan bisa didapat kecuali setelah kita menggabungkan berbagai dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah untuk mendapatkan kesimpulan yang benar sesuai yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

لا ريب أن الكتاب والسنة فيهما وعد ووعيد.

ثم قال: ومثل هذا كثير في الكتاب والسنة، والعبد عليه أن يصدق بهذا وبهذا، لا يؤمن ببعض ويكفر ببعض، فهؤلاء المشركون أرادوا أن يصدقوا بالوعد، وكذبوا بالوعيد. والحرورية والمعتزلة أرادوا أن يصدقوا بالوعيد دون الوعد، وكلاهما أخطأ، والذي عليه أهل السنة والجماعة الإيمان بالوعد والوعيد.

ثم قال: فلا بد من الإيمان بكل ما جاء به الرسول، ثم إن كان من أهل الكبائر فأمره إلى الله، إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له، فإن ارتد عن الإسلام ومات مرتدا، كان في النار، فالسيئات تحبطها التوبة، والحسنات تحبطها الردة، ومن كان له حسنات وسيئات، فإن الله لا يظلمه، بل من يعمل مثقال ذرة خيرا يره، ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره، والله تعالى قد يتفضل عليه، ويحسن إليه بمغفرته ورحمته.

“Tidak diragukan lagi bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat dalil wa’d (janji) dan wa’id (ancaman).

Kemudian beliau berkata: Dan yang semisal ini banyak di al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan seorang hamba wajib untuk membenarkan dalil yang ini dan dalil yang itu, tidak boleh baginya untuk beriman kepada sebagiannya tetapi kufur terhadap sebagian yang lainnya. Mereka kaum musyrikin ingin membenarkan dalil-dalil wa’d saja dan mengingkari dalil-dalil wa’id. Sedangkan Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah ingin membenarkan dalil-dalil wa’id saja tetapi tidak untuk dalil-dalil wa’d. Maka keduanya telah salah. Yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal-jama’ah adalah beriman kepada dalil wa’d dan wa’id.

Kemudian beliau berkata: Tidak boleh tidak untuk beriman kepada semua yang datang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian jika dia termasuk pelaku dosa besar, maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Jika Dia berkehendak maka Dia akan menghukumnya, dan jika Dia berkehendak maka Dia akan mengampuninya. Jika orang tersebut keluar dari Islam kemudian dia mati dalam keadaan murtad, maka tempatnya di neraka. Maka, keburukan dihapuskan dengan taubat, dan kebaikan dihapuskan dengan riddah (murtad, keluar dari Islam). Dan bagi orang yang memiliki kebaikan dan keburukan, maka sesungguhnya Allah tidak menzhaliminya. Akan tetapi, barangsiapa yang melakukan kebaikan walaupun hanya sebesar dzarrah, maka dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan walau hanya sebesar dzarrah, maka dia juga akan melihat (balasan)nya. Dan Allah Ta’ala telah memberikan karunia-Nya dan berbuat baik kepadanya dengan memberikan ampunan-Nya dan rahmat-Nya.”[8]

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

MUSLIM

3 Adab Berbicara

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, 

إِذَا جَالَسْتَ فَكُنْ عَلَى أَنْ تَسْمَعَ أَحْرَصَ مِنْكَ عَلَى أَنْ تَقُولَ ، وَتَعَلَّمْ حُسْنَ الِاسْتِمَاعِ ، كَمَا تَعَلَّمُ حُسْنَ الْقَوْلِ ، وَلَا تَقْطَعْ عَلَى أَحَدٍ حَدِيثَهُ

“Jika engkau duduk bersama kawan, jadilah orang yang lebih bersemangat untuk menjadi pendengar dibandingkan menjadi pembicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana belajar bertutur kata yang baik. Jangan putus/hentikan perkataan siapapun.” (Makarim al-Akhlaq karya al-Khara’ithi nomor 687)

Ada tiga adab berbicara yang penting kita ketahui dan kita praktekkan. 

PERTAMA:

Lebih banyak mendengar dan menyimak dari pada berbicara.

Allah ciptakan untuk kita dua telinga dan satu lidah agar kita lebih sering menjadi penyimak dibandingkan menjadi pembicara. 

Seringkali pendapat yang paling berkualitas adalah pendapat pembicara terakhir setelah menyimak pendapat semua orang yang berbicara sebelum dirinya.

KEDUA:

Menjadi pendengar yang baik.

Itulah orang yang menyimak perkataan lawan bicara dengan baik tanpa sibuk dengan medsos dan gadgetnya. 

Pendengar yang baik merespon dengan gembira ketika lawan bicara menyampaikan hal-hal yang menurutnya menggembirakan.

Demikian pula ketika lawan bicara menyampaikan hal-hal yang menyedihkan, pendengar yang baik akan menampakkan respon dan ekspresi ikut bersedih. 

Untuk bisa memiliki kemampuan menjadi pendengar yang baik perlu kesungguhan dan keseriusan untuk selalu belajar, berbenah serta memperbaiki diri.

KETIGA:

Tidak memotong pembicaraan.

Diantara bentuk menghormati lawan bicara adalah membiarkannya menuntaskan pembicaraan baru direspon dan dikomentari. 

Di sisi lain, tidak mendominasi pembicaraan adalah juga bentuk menghormati lawan berbicara. 

Semoga Allah mudahkan penulis dan semua pembaca tulisan ini memiliki adab-adab Islam yang luhur. Aamiin. 

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIA